31.12.06

Marta Harnecker: Eksperimen Kuasa Kerakyatan di Venezuela

Marta Harnecker, kelahiran Chile, adalah penulis buku "Memahami Revolusi Venezuela" (Monthly Review Press, 2005), dan buku-buku lain mengenai revolusi dan Amerika Latin. Ia adalah peserta aktif dalam revolusi Bolivarian di Venezuela dan seorang penasehat presiden sosialis negeri itu, Hugo Chavez.

Harnecker terlibat dalam pembentukan dan pengembangan badan-badan Dewan Komunal di Venezuela, yang dimaksudkan sebagai kendaraan bagi kuasa kerakyatan (popular power) dan partisipasi publik untuk menciptakan sosialisme di abad ke-21. Untuk mengetahui apa dan bagaimana kuasa kerakyatan itu dibentuk dan bekerja, Coral Wynter & Jim McIlroy dari Green Left Weekly, bertempat di Caracas, Venezuela, mewawancarai Marta Harnecker pada akhir Oktober. Berikut petikan wawancaranya:


Green Left Weekly (GLW): : Bagaimana Dewan-dewan Komunal itu dibentuk dan bagaimana perkembangannya?

Marta Harnecker (MH): Apa yang saya lakukan selama setahun terakhir adalah mencari pengalaman yang menarik, dan mencari orang yang dapat bertukar pengalaman. Di Cumana, (Venezuela timur laut), saya menemukan organisasi yang sudah ada bertahun-tahun, sebelum Dewan-dewan Komunal dibentuk. Organisasi itu dibentuk dalam lingkup yang sangat kecil, lebih kecil dari sebuah barrio (rukun tetangga), dengan sekitar 200-400 keluarga. Di beberapa daerah pedesaan, bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 100 keluarga. Organisasi itu dibentuk di mana orang saling mengenal dan anda tidak memerlukan transportasi untuk menghadiri pertemuan. Sungguh mudah untuk bertemu. Ini adalah ruang yang memungkinkan semua orang terlibat.

Tentu saja orang yang berpikir tentangnya, menemukan bahwa ruang kecil semacam itu memungkinkan orang yang biasanya tidak punya kemampuan untuk mengungkap diri, sekarang justru menyampaikan pandangan mereka dan membuat keputusan. Seperti dikatakan Freddy Bernal (walikota Libertador di Caracas tengah), Dewan Komunal itu adalah sel dasar dari masyarakat masa depan.

Kalau kita berhasil membangun komunitas yang berorientasi pada solidaritas, maka orang akan peduli pada rakyat miskin yang hidup di wilayah mereka. Dalam (kerangka) solidaritas inilah, mereka akan mencari jalan keluar bagi sektor tersebut.

Chavez mencari berbagai rumusan berbeda untuk organisasi kerakyatan. Lingkaran Bolivarian itu lebih dalam kerangka politik yang luas. Lingkaran itu terarah pada kekuasaan politik. Dewan Komunal sementara itu, mencakup mereka yang bersama Chavez dan mereka yang tidak. Mereka adalah komunitas: Dewan-dewan Komunal harus mencerminkan semua warna dari pelangi; mereka harus mencakup semua orang yang ingin bekerja untuk komunitas, tanpa afiliasi politik, tanpa hubungan dengan pemerintah.

Melalui proyek ini, ketika seseorang mulai bekerja untuk komunitas, maka orang mulai mengedepankan solidaritas, dan dengan begitu orang tersebut akan mengalami transformasi. Saya kira, ini akan menggantikan Chavismo. Kadang orang berpikir, terlibat dalam politik berarti membawa plakat, spanduk dan (topi serta kaos) merah. Orang dalam periode sekarang di dunia yang kita huni ini, berpikir bahwa politik itu terbatas pada praktek politik formal.

Jika anda mengorganisir di barrio, organisasinya akan jauh lebih kecil skalanya. Anda akan memerlukan orang yang fleksibel, tidak sektarian dan punya kapasitas bekerja dengan siapa saja, melaksanakan proyek-proyek, dan coba memecahkan masalah yang dihadapi rakyat.

Dalam sebuah artikel yang saya tulis mengenai 4 juta pemilih dalam referendum untuk menyingkirkan Chavez, saya mengatakan, 3 juta di antaranya tidak benar-benar memilih menentang proyek Chavez. Mereka hanya memilih menentang proyek Chavez, seperti yang disampaikan oleh oposisi. Hanya sekitar 1 juta orang yang memilih menentang Chavez, benar-benar yakin dan tahu apa yang mereka lakukan. 3 juta orang lainnya dipengaruhi oleh media oposisi, yang mengatakan bahwa proyek Chavez adalah proyek komunisme, otoriterianisme, kediktatoran.

Ketika orang terlibat dalam kerja praktis, mereka mulai bisa melihat bahwa Chavez adalah orang yang terbuka dan langsung, dan bahwa proyek presiden bukanlah seperti yang mereka kira semula. Dalam kaitannya dengan pemilihan, masalahnya adalah bahwa banyak orang yang dapat informasi penuh. Ada banyak orang yang anti-Chavista tapi, sebenarnya mendapat informasi yang salah dari media oposisi di negeri ini. Media tidak menghargai hak-hak dasar dari rakyat untuk mendapat informasi secara benar.

Orang dari kelas menengah adalah yang paling rentan terhadap kerja media ini. Media memanipulasi keadaan dengan mulai menyampaikan kebenaran-kebenaran kecil, dan berbagai kegagalan kecil, yang kemudian mereka lebih-lebihkan.

GLW: : Apa peran yang dimainkan gerakan buruh dalam kaitannya dengan pengorganisasian komunitas?

MH: Logisnya, kita menerima secara umum bahwa pengalaman kuasa kerakyatan, yang berdasar pada lingkup teritorial, berarti bahwa buruh tidak muncul (langsung) sebagai anggota yang aktif. Saya ingat sebuah diskusi yang sangat menarik di Kuba, ketika mereka sedang merencanakan kuasa kerakyatan melalui pendaftaran pemilih. Dengan sendirinya, seorang warga yang mengusulkan nama calon di daerahnya, akan memilih orang yang dapat memecahkan masalah-masalah paling praktis dalam komunitas. Ini artinya sulit, sampai sekarang, bagi buruh untuk terlibat secara langsung.

Karena hal ini, di Kuba, diusulkan agar ada dua forum untuk memilih calon, satu berdasar wilayah atau teritorial, dan satunya berdasar tempat kerja, dua cara untuk mengambil keputusan. Di Venezuela, sampai saat ini, belum ada persatuan buruh dalam revolusi. Gerakan serikat buruh belum cukup kuat pada tahap ini.

Saya pernah berkata pada serikat-serikat buruh, "kenapa kalian tidak memperkuat saja dewan komunal dan menyatu dengan mereka? Kalian, sebagai buruh, harus terlibat dalam komunitas." Tapi sampai saat ini, mereka belum melakukannya.

Kita sebaiknya berpikir tentang dewan-dewan komunal ini sebagai komunitas buruh dari buruh (dan juga warga). Bagi saya, adalah sangat penting untuk mempertimbangkan masalah ekonomi mikro dan perlunya menyertakan organisasi-organisasi ekonomi sehingga dapat didemokratisasi ke arah solidaritas bukan korporatisme. Harus ada hubungan erat antara organisasi kerja dan komunitas.

GLW: : Anda bisa gambarkan cara kerjanya Dewan Komunal ini?

MH: Saat ini ada 16.000 Dewan Komunal, yang dibentuk dalam waktu enam bulan (sejak program tersebut dimulai tahun ini). Ini adalah inisiatif yang sangat serius, menurut saya. Proses pembentukan Dewan Komunal memerlukan waktu beberapa bulan, agar orang menjadi matang dan memilih pemimpinnya yang sejati. Kita mulai dengan proses melibatkan motivator. Komite motivator ini yang kemudian mendatangi dari rumah ke rumah untuk membuat sensus. Ini adalah tugas yang paling dasar, sensus sosioekonomi. Untuk melakukan ini, komite harus mengunjungi semua rumah tangga di wilayah tersebut.

Nampaknya di sini diperlukan pemimpin yang serius dan rajin, yang dapat berkunjung dari rumah ke rumah. Karena itu, kami berpikir, tidak mungkin memilih jurubicara untuk Dewan Komunal tanpa melalui proses ini. Mereka harus membentuk majelis terlebih dulu, baru melakukan pemilihan.

Perlu ada sebuah tim, semacam komisi promosi, yang harus melakukan penulisan sejarah sosial dan geografis, atau kisah dari komunitas yang bersangkutan. (Untuk menghasilkan ini), diperlukan sekurangnya delapan bulan. Saat majelis bertemu, mereka akan memilih jurubicara mereka di masa mendatang. Lalu proses tersebut disahkan (secara hukum). Sebagian Dewan Komunal berjalan baik, sebagian lain tidak.

Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Ini adalah cara demokratik untuk merenovasi kepemimpinan, dan memungkinkan majelis memilih pemimpin baru. Saya kira hukum menghargai kehendak dari majelis. Saya turut serta dalam kelompok yang mengawasi pembentukan Dewan Komunal. Dalam aturan hukumnya sangat jelas: Di mana kekuasaan itu? Kekuasaan tidak terletak di tangan para jurubicara tapi di tangan majelis umum. Kenapa mereka disebut "voceros?" Karena mereka adalah suara dari komunitas. Jika mereka kehilangan posisi sebagai jurubicara, maka mereka kehilangan kuasa.

Saya kira ini cara eksperimiental untuk menghimpun kuasa kerakyatan. Tapi, bagi saya, arah di masa mendatanglah yang harus kita ambil. Ini ada gagasan dasarnya: tidak dari atas.

Ini juga bergantung pada jenis masalahnya. Ada masalah-masalah yang memerlukan keterlibatan berbagai Dewan Komunal, karena merupakan masalah dari seluruh barrio. Misalnya, pipa-pipa air yang melalui seluruh barrio. Hal ini harus dipecahkan di tingkat Dewan Barrio. Masalah tangga, penerangan, dan sampah dapat dipecahkan di tingkat Dewan Komunal. Jadi Dewan Komunal ini adalah basis, sangat demokratis; sebuah skema partisipasi.

Mereka mencari jalan untuk memprioritaskan hal-hal yang dapat diselesaikan oleh komunitas: tapi bukan untuk menciptakan pemukiman pengemis yang melihat masalah, lalu minta negara untuk memecahkannya.

Ini adalah metode-metode yang memungkinkan komunitas untuk menyelesaikan masalah. Kita melakukan penilaian lalu membuat prioritas masalah: apa yang dapat dipecahkan komunitas dan apa yang tidak. Suara-suara dari komunitas yang berbeda harus membahas masalah-masalah ini di tingkat lebih tinggi.

Inilah cara bagaimana solidaritas dimulai, karena kita mulai dengan melihat bahwa masalah kita lebih luas dari kenyataan sempit yang kita hadapi, dan bahwa kita harus membantu sesama. Karena itu, Dewan Komunal lebih merupakan sekolah bagi formasi politik. Saya kira kuasa kerakyatan, jika sungguh demokratik, adalah sekolah terbaik karena memproduksi proses itu. Dan ini karena anda berjuang untuk rumah dan tanah anda. Lalu, anda mulai menyadari bahwa rumah anda ada dalam sebuah barrio dan bahwa barrio itu ada dalam kota.

GLW: : Apa perbedaan-perbedaan antara pangalaman Kuba, dan revolusi Bolivarian Venezula, dari segi misi dan seterusnya?

MH: Saya kira bahwa revolusi ini dlancarkan dengan jalan damai, tapi presiden tidak dilucuti. Dalam kasus Chile (pemerintahan sayap kiri Allende pada awal 1970-an), yang diambil juga jalan damai tapi, tidak bersenjata. Mereka tidak mendapat dukungan militer. Venezuela menjadi sangat kuat karena bersenjata, dengan dukungan dari Angkatan Bersenjata Nasional. Bagaimanapun, ini adalah proses dimana korelasi kekuatan berarti bahwa presiden tidak dapat mendesakkan sebuah proyek di negeri ini begitu saja. Proses Venezuela mengharuskan pemerintah mencapai harmoni.

Proyek ini mendapat sokongan dari sebagian besar sektor masyarakat. Akibatnya, hal ini memaksa transformasi berjalan lebih lamban. Aparatus negara berarti bahwa anda punya 80 persen atau lebih orang yang mendapat pekerjaan dalam pemerintah melalui clientelisme, yang tidak berminat pada pekerjaan mereka. Ini adalah layanan publik, tapi layanan yang tidak berfungsi. Kebanyakan pelayan publik ini bukanlah pelayan publik, mereka bekerja melawan publik.

(Venezuela) adalah negeri 'rentier' yang tidak punya tingkat perkembangan industri yang tinggi. Kebanyakan buruh ada di sektor informal. Di Kuba, revolusi melaksanakan proyek-proyek sosialis hampir langsung setelah menang. Sedangkan di sini, rangkaian pertempurannya masih terutama bersifat ideologis.

Karena itu, arah dari kuasa kerakyatan ini menjadi penting, karena proyek itu memerlukan waktu untuk menjadi matang. Di jalur damai, jalannya akan lebih pelan dari transformasi negara yang tajam sifatnya.

GLW: : Apa anda bisa memberi komentar mengenai proyek sosialisme di abad ke-21 dari Chavez?

MH: Sejujurnya, ada banyak orang yang mengritik kami. Eduardo Galeano, penulis Uruguay itu, mengatakan, ketika sosialisme gagal di Uni Soviet, Barat mengatakan bahwa sosialisme sudah mati dan begitu pula Marxisme. Galeano mengatakan, sosialisme yang mati itu bukan sosialisme kita, karena proyek sosialis yang kami bela ini pada dasarnya humanis, demokratik, dan berdasar pada solidaritas. Sosialisme yang mati itu adalah sosialisme birokratik, yang tidak dibela oleh rakyat, karena tidak ada keterlibatan nyata rakyat di dalamnya.

Saya kira, Chavez menyadari hal ini. Chavez tahu bahwa kita hanya dapat menciptakan masyarakat sosialis masa depan, jika rakya yang paling sederhana, yang paling miskin, yang paling tertindas, bisa terlibat dalam proses tersebut. Hal yang hebat dari Chavez bahwa ia adalah pemimpin yang mempromosikan organisasi kerakyatan, orang yang yakin bahwa kekuatan dalam proses ini adalah organisasi. Chavez selalu menyerukan, pembentukan lebih banyak organisasi dan penciptaan organisasi baru. Kadang, terlalu banyak. Ini adalah kreativitas yang memberi kesempatan semua orang untuk mengorganisasi diri.

Sumber:
International News, Green Left Weekly issue #693 6 December 2006. Sumber: http://www.greenleft.org.au/2006/693/35989.

(Diterjemahkan oleh Hilmar Farid, untuk IndoProgress, dari judul asli, Marta Harnecker: Venezuela’s experiment in popular power, 30 November 2006).


Baca selengkapnya!

4.12.06

Militer Venezuela: Terbentuknya Sebuah Penyimpangan

Marta Harnecker

Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez FrÌas, seorang mantan pejabat militer, sebuah "proses revolusioner Bolivarian" tengah berlangsung di Venezuela, terutama sejak Chavez memenangkan pemilu presiden pada 1998. Ketika perubahan progresif yang genuin tengah berlangsung, Chavez selain dibenci negara-negara kaya dan berkuasa, "revolusi Bolivarian" ini juga ditolak oleh beberapa kalangan kiri. Penyebabnya, tak lain karena revolusi ini dipimpin oleh seorang perwira militer dan karena militer memainkan peran signifikan dalam proses perubahan tersebut. Selain itu, militer juga memainkan peranan penting pada sejumlah lembaga-lembaga negara serta perencanaan pemerintah.

Alasan bagi penolakan ini adalah standar kebijaksanaan kiri bahwa militer adalah bagian integral dari mesin penindas negara borjuis. Militer selalu dan pasti dipengaruhi oleh ideologi borjuis, dan oleh karena itu tidak layak memainkan peran revolusioner dalam masyarakat kapitalis. Tetapi, mungkin ini adalah sebuah penafsiran yang mekanistik. Adalah lebih baik jika kita menghindari generalisasi dan menganalisa militer di setiap negara dalam realitas khusus kita. Jika kita mengambil pendekatan ini, kita lihat bahwa militer Venezuela tidak memainkan peran negatif. Selama lebih dari empat tahun dimana militer menduduki ruang-ruang kunci dalam kancah perpolitikan Venezuela, mereka membela keputusan-keputusan yang dibuat secara demokratik oleh rakyat Venezuela. Mereka juga merupakan aktor dominan dalam mendukung Chavez kembali ke tampuk kekuasaan setelah dikudeta pada April 2002 oleh sekelompok perwira tinggi senior - banyak di antara mereka menemukan dirinya sebagai tentara yang tidak memimpin - tunduk mendahului kepentingan-kepentingan utama dalam percobaan kudeta.(1)

Di samping itu, personil militer juga memimpin proyek-proyek sosial yang penting yang diorgansir oleh pemerintah. Mereka ditempatkan berdasarkan kemampuan kerjanya, keahlian teknisnya, dan pengetahuan organisasi guna melayani sektor-sektor miskin dalam masyarakat. Yang paling penting adalah tanggung jawab mereka dalam menyukseskan Plan Bolivar 2000, sebuah program yang bertujuan meningkatkan standar hidup kelompok miskin, melalui, di antara hal-hal lainnya, membersihkan jalan dan sekolah, meningkatkan kelestarian lingkungan untuk memerangi penyakit endemik, dan memperbaiki infrastruktur sosial baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tujuan dari Plan adalah menemukan solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial seperti pengangguran dan menggabungkan (incorporating) organisasi-organisasi komunitas dalam usaha bersama memecahkan masalah yang ada.

Juga penting dicatat, Plan ini baru digelar pada tahun pertama Chavez berkuasa. Tahun-tahun, ketika ia harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang sangat tidak menguntungkannya(2). Sebagian besar dari para gubernur dan walikota adalah anggota kelompok oposisi, dan pada saat yang sama Kongres Nasional dan Mahkamah Agung juga berseberangan jalan dengannya(3).

Dengan perimbangan kekuatan yang timpang itu, kader-kader politik Chavez memutuskan bahwa tugas pertama dan mendesak adalah dalam lapangan politik yakni, menuntut amandemen konstitusi agar memungkinkannya dalam menerapkan mandat popularnya dan serangkaian dengannya, melakukan pemilihan untuk memperbarui mandat tersebut.

Kemenangan Chavez adalah hasil dari harapan rakyat yang sangat tinggi, dan karena itu secepatnya dibutuhkan tindakan-tindakan untuk segera memenuhi aspirasi-aspirasi rakyat. Satu-satunya aparatus yang memiliki struktur nasional dan layak untuk menjalankan misi presiden Chavez (di samping gereja Katolik) adalah militer.

Angkatan darat Venezuela, khususnya perwira-perwira muda, melaksanakan tugas-tugasnya dalam memmbangun kembali masyarakat dengan sangat antusias. Mereka terlibat langsung dengan problem-problem yang diderita oleh kelompok yang sangat miskin dan secara mendalam terlibat dalam penyelesaian masalam-masalah rakyat miskin. Perwira-perwira militer ini kini merupakan sektor yang sangat radikal dalam proses revolusi Bolivarian.

Gejala peran aktif militer di Venezuela ini, tidak umum terjadi di kawasan Amerika Latin. Hal ini menimbulkan pertanyaan: "mengapa militer Venezuela memberikan dukungan yang kuat terhadap proses transformasi sosial besar-besaran dan juga terlibat aktif dalam penyelesaian masalah-masalah rakyat miskin?" Analisis selanjutnya didasarkan pada wawancara-wawancara terkini dengan sembilan perwira angkatan darat Venezuela. Wawancara dan analisis ini kini telah diterbitkan dalam sebuah buku: "Venezuela: Militares Junto al Pueblo." (4).

Terdapat sejumlah faktor yang membedakan personil militer Venezuela dari rekan-rekannya di kawasan Amerika Latin lainnya. Pertama, militer Venezuela sangat dipengaruhi oleh filosofi Simon Bolivar, figur paling terhormat di Amerika Latin dalam perjuangan pembebasan nasional dari penjajahan Spanyol. Meskipun Bolivar tidak pernah berbicara tentang perjuangan kelas, ia menuntut agar perbudakan segera dihapuskan dan dalam karya-karyanya ia selalu menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan rakyat banyak. Sumbangan terbesarnya, mungkin adalah pemahamannya tentang pentingnya integrasi Amerika Latin. Ia sedari awal telah mengerti bahwa negaranya tidak akan memiliki masa depan kecuali mereka bergabung dalam perjuangan melawan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Setelah dua dekade abad ke-19 ia meramalkan bahwa "atas nama kebebasan, Persatuan Negara-negara Amerika Utara tampaknya telah ditakdirkan melalui pelestarian wabah kemiskinan." Bolivar juga percaya bahwa demokrasi mengandung sebuah sistem politik yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada rakyat. Menurut Bolivar, tak ada militer yang ingin menggunakan senjatanya dengan maksud menentang rakyat.

Kedua, sebelum generasi Hugo Chavez, sebagian besar perwira militer memperoleh latihan tidak hanya dalam sekolah-sekolah Amerika (di Amerika Serikat) yang keji dan brutal tapi, juga dilatih di Akademi Militer Venezuela. Pada 1971, di bawah rencana Andres Bello Plan, akademi militer mengalami perubahan secara radikal, dengan menempatkan statusnya sejajar dengan universitas. Dengan adanya perubahan ini, kader-kader militer diharuskan belajar ilmu politik dan membaca tulisan tentang demokrasi dan tentang realitas Venezuela. Dalam kelas strategi militer, mereka mempelajari Clausewitz, strategi-strategi militer Asia dan strategi militer Mao Zedong. Para mahasiswa ini acapkali melanjutkan pendidikannya ke universitas untuk mengambil spesialisasi dan bertukar pengalaman dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang non militer. Jika beberapa dari mereka belajar ke Amerika Serikat, mereka telah dibentengi dengan gagasan-gagasan progresif.

Ketiga, perwira militer generasi Chavez ini, tidak pernah menghadapi kekuatan gerilya yang besar sebagaimana militer di negara Amerika Latin lainnya. Sebaliknya, ketika dilatih pada 1970an, saat itu militer Venezuela dalam seluruh tindakannya bersifat pasif dan hanya ada sedikit sel-sel gerilya yang aktif. Ketika tentara melakukan patroli di wilayah pertanian di perbatasan, apa yang mereka temukan bukanlah sebuah kekuatan gerilya melainkan kemiskinan. Mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa terdapat kesamaan ideologi di kalangan elite Amerika Latin - bahwa rakyat miskin menjadi semakin miskin karena mereka pemabuk, karena mereka tidak memiliki inisiatif atau tidak mau bekerja, karena mereka bodoh - sebuah kepercayaan yang salah. Para prajurit ini mulai memahami bahwa di balik kemiskinan tersebut berdiri tegak oligarki yang menumpuk kekayaan bangsanya, yang bersama Amerika Serika terus menyebarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pembiakan kemiskinan di seluruh negeri.

Keempat, tidak ada diskriminasi dalam tubuh angkatan darat Venezuela; setiap orang berpeluang merengkuh pangkat tertinggi. Juga tidak seperti di negara lain, di Venezuela tidak ada kasta dalam militer. Sebagian besar dari pejabat-pejabat militer senior adalah anak miskin perkotaan dan dari keluarga petani; dan berdasarkan pengalamannya mereka tahu bahwa rakyat menjalani kehidupan yang sulit setiap harinya. Tentu saja, tidak berarti karena mereka berasal dari keluarga yang sederhana, mereka kebal terhadap kooptasi oligarki melalui sebuah manuver yang canggih, khususnya ketika secara tak terelakkan terjalin hubungan di antara oligarki tersebut dengan pejabat militer yang berpangkat tinggi. Beberapa perwira militer lupa dengan asal-usul sosialnya dan kemudian takluk di bawah kepentingan kelas dominan.

Kelima, faktor yang berdampak pada generasi Chavez ini adalah pergolakan sosial yang terjadi pada 27 Februari 1989. Pergolakan ini bertujuan untuk menolak langkah-langkah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dipaksakan oleh pemerintahan Carlos Andres Perez, yang antara lain, harus mengurangi belanja publik, deregulasi harga, liberalisasi perdagangan, promosi investasi asing, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Penyebab utama pemberontakan rakyat itu adalah meningkatnya biaya transportasi umum yang dipicu oleh tinggi harga bensin. Rakyat dari keluarga miskin turun ke jalan-jalan dan mulai membakar bis, menjarah pusat perbelanjaan, dan menghancurkan toko-toko dan supermarket. Militer pun datang untuk mengembalikan "ketertiban." Pemberontakan yang kemudian dikenal dengan istilah "Caracazo," karena tempatnya berlokasi di pusat ibukota (walaupun pergolakan yang sama juga terjadi di beberapa kota lainnya) berakhir dengan sebuah pembantaian besar-besaran.(5) Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam membentuk kesadaran politik baru di kalangan perwira-perwira yunior.

Keenam, bahkan sebelum Caracazo, kesenjangan kemakmuran yang sangat luar biasa di Venezuela, kesenjangan yang diperkuat oleh perilaku korupsi telah menghalangi negara itu untuk menyelesaikan masalah-masalah sosialnya, meskipun boom minyak sanggup mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Kondisi ini memunculkan dalam tubuh militer sebuah arus perubahan yang bergerak menentang kemapanan (status quo). Pada Desember 1982, arus ini berkembang menjadi sebuah gerakan bawah tanah yang disebut Movimiento Bolivariano Revolucionario 200 dan pertama-tama berkembang dalam internal militer dan akhirnya menjangkau sektor sipil.

Gerakan ini memperoleh inspirasi dari tiga sumber utama: Simon Bolivar, Simon Rodriquez, and Ezequiel Zamora. Kita telah membicarakan tentang sosok Bolivar. Simon Rodriquez adalah guru dan teman Bolivar, seorang pendidik yang baik dan pembaru yang gigih membela keaslian Amerika Latin yang multietnik. Ia berpendapat, dibutuhkan pengintgrasian masyarakat adat dan budak hitam ke dalam masyarakat masa depan benua tersebut. Rodriquez adalah seorang penganjur utama bagi diciptakannya lembaga-lembaga asli untuk disesuaikan dengan dunia kita sendiri, dan ia menolak peniruan solusi-solusi Eropa, dengan meyakinkan bahwa, "Kita harus mencipta atau kita keliru." Sedangkan Ezequiel Zamora adalah seorang jenderal liberal yang berjuang menentang konservatisme selama perang federal pada 1850. Ia juga mendorong perjuangan sampai mati menentang oligarki dan pembagian tanah kepada petani hanya berdasarkan kemurahan hati tuan tanah.

Caracao mempercepat rencana Movimiento muda, dan tiga tahun kemudian, pada 4 Februari 1992, diorganisirlah sebuah pemberontakan militer melawan presiden Perez. Tetapi gerakan ini berakhir dengan kegagalan. Namun demikian, dari gerakan ini lahirlah seorang Hugo Chavez Frias, yang saat itu berpangkat letnan kolonel dan merupakan pemimpin utama Movimiento, sebagai pusat dari seluruh pertunjukan teater nasional bangsanya. Pemimpin yang kharismatik hanya membutuhklan dua menit tayang di televisi untuk mencatatkan personalitasnya ke dalam pikiran rakyat. Dalam ruang yang singkat itu, ia menyampaikan pertanggungjawabannya atas peristiwa tersebut dalam sebuah negara dimana tak ada pemimpin lainnya sebelum dirinya, yang menyerap sikap yang demikian memesona. Ia menyerukan kepada para pemberontak untuk menyerah tapi, ia menekankan dalam bahasa yang masyhur, "Waktunya akan tiba!" Ini adalah pesan yang jelas kepada rakyat bahwa ia tidak menyerah dalam perjuangan. Terima kasih kepada sikapnya ini karena ia telah membangun opini positif di kapangan rakyat sekelilingnya, di sebuah negara dimana skeptisisme politik dan para politisi gadungan bertebaran di masyarakat, termasuk kelas menengah.

Komitmen awal Chavez ini telah meratakan jalan bagi kemenangannya dalam pemilu presiden pada 1998. Dalam pemilu ini, ia diterima baik oleh banyak temannya di militer, yang menjadikan militer Venezuela menjadi unik - karena kini mereka dalam posisi yang diuntungkan dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan baru. Sambil jalan, militer terus memperbaiki kebanggaannya dan mengatasi prasangka negatif yang tertanam akibat peristiwa Caracazo. Dengan dukungan Chavez dan program-programnya, militer diperkenankan untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari di sekolahnya. Dari pengalaman praktek itulah mereka lalu bertransformasi dari pendukung oligarki menjadi pembela sistem demokrasi.

Di banyak negara Amerika Latin, setiap usaha untuk melakukan transformasi sosial yang besar harus berhadapan dengan keberadaan hukum yang sangat kompleks, dimana tujuannya adalah melindungi sistem tersebut dari setiap perubahan yang berdampak pada kepentingan kelas berkuasa. Untuk menghancurkan penghalang ini guna terjadi perubahan di Venezuela, tugas pertama dari pemerintahan yang baru terpilih adalah mengumumkan sebuah proses demokratik untuk mengubah aturan main warisan masa lalu dan terbukti berdampak pada negara baru. Aturan main yang baru itu berupa sekumpulan institusi yang memungkinkan perubahan sosial terjadi. Maka sebuah Dewan Konstitusi pun dibentuk pada 1999 dengan beranggotakan 131 orang. Dewan ini akan bekerja selama enam bulan dan akhirnya mengusulkan sebuah rancangan bagi konstitusi baru, yang kemudian disetujui oleh mayoritas lebih suara (129 suara). Rancangan ini kemudian diusulkan kepada rakyat Venezuela, dimana hasilnya 70 persen menyatakan setuju.

Konstitusi baru ini berpusat pada keadilan sosial, kebebasan, partisipasi politik rakyat, perlindungan terhadap warisan nasional (yang berdampak, oposisi terhadap neoliberalisme), dan memperkukuh kedaulatan nasional Venezuela. Prinsip kesamaan di bawah hukum termasuk masyarakat adat, dimana kini mereka memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan etnisnya, identitas budaya, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, dan tempat-tempat suci, termasuk praktek-praktek pemujuaannya. Mungkin aspek yang terpenting dari pengalaman penyusunan konstitusi ini adalah bahwa inlah "Magna Charta" yang memperkenalkan konsep tentang kedaulatan rakyat.

Seluruh warga negara laki-laki dan perempuan, memiliki hak untuk bebas berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa publik, apakah langsung atau melalui perwakilan mereka yang terpilih, laki-laki atau perempuan. Penerapan partisipasi rakyat dan kontrol terhadap administrasi publik dibutuhkan untuk menjamin secara penuh pembangunan kolektikf dan individu. Negara menjamin dan masyarakat bertugas menyumbang bagi terbukannya jalan untuk kondisi-kondisi yang lebih baik dalam prakteknya.

Selanjutnya konstitusi menyatakan, "pemilih memiliki hak untuk menerima dari perwakilan publik mereka laporan yang transparan secara periodik mengenai apa yang mereka kerjakan, dimana program itu harus ditindaklanjuti kepada publik." Pemilih secara empatik menuntut penghormatan kepada bangsa dan kedaulatannya, lebih jelasnya menolak pangkalan militer asing. Itu juga berarti deklarasi tentang kebutuhan bagi sistem peradilan yang benar-benar netral, penyelenggaraan keadilan tanpa harus diusulkan kepada pemimpin lembaga peradilan atau birokrat. Dalam kasus masyarakat adat, otoritas mereka diakui melalui penerapan hukum-hukum lokal di basis di mana mereka memiliki kepercayaan tradisional yang diwariskan, mengikuti aturan main mereka, agar mereka tidak bertentangan dengan konstitusi. Hakim harus dipilih setelah melalui proses seleksi berdasarkan kepantasan seluruh partisipan. Oleh karenanya hukum harus menjamin partisipasi seluruh warga negara dalam proses pemilihan dan penentuan nama hakim. Eksekutif nasional bertugas memberikan laporan tahunan kepada dewan tentang politik, ekonomi, sosial dan aspek-aspek administratif dalam pekerjaannya. Deputi juga harus melaporkan kembali kepada pemilih mereka dan menjawab pertanyaan mereka, sehingga rakyat memiliki kontrol permanen walaupun pemilu telah berakhir.

Di samping tiga cabang kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), konstitusi juga menciptakan dua cabang lainnya: kekuasaan warganegara dan kekuasaan elektoral. Yang pertama diterapkan melalui Republican Ethics Council, terdiri dari People's defender, Jaksa Penuntut Umum dan general comptroller of the republic. Dewan Nasional harus disetujui oleh anggota. The peopleís defender bertanggung jawab atas promosi, pertahanan, dan kontrol serta jaminan bagi ditegakkannya konstitusi melalui pengakuan warga negara secara kolektif atas kepentingan sebagian. Kekuasaan elektoral ditegakkan melalui Dewan Pemilu Nasional (National Electoral Council), yang bertindak secara arbitrer untuk mengontrol pemilu dan menjamin transparansi pelaksanaannya.

Konstitusi ini merupakan sekutu terbesar revolusi Chavez. Ini karena, sebagaimana yang kita lihat, militer Venezuela menjalankan secara serius tugasnya untuk membela apa yang diputuskan rakyat secara demokratis. Sekali militer berkomitmen untuk membela konstitusi, seterusnya ia akan berkomitmen untuk membela perubahan yang dilakukan Chavez. Dengan demikian, perubahan dan konstitusi baru itu adalah sejajar. Ketika militer garis lama mencoba menggerakkan kudeta melawan Chavez pada 2002, Jenderal Baduel, seorang yang secara tegas mengajurkan militer untuk menghormati aturan main hukum, berhasil menggunakan otoritasnya berdasarkan konstitusi baru untuk menolak perintah yang diberikan oleh komandannya yang memberontak. Konstitusi yang sama juga digunakan oleh perwira yunior dan prajurit ketika mereka mengorganisir perlawanan menentang kudeta dan tekanan komandan mereka dari bawah untuk bergabung dalam barisan kudeta.

Kita bisa mencatat dua point terakhir untuk usaha kita menjelaskan keunikan militer Venezuela. Program ekonomi Chavez adalah sebuah program yang berwatak nasionalistik. Program ini jelas berlawanan dengan kebijakan neoliberal, globalisasi yang berorientasi asing. Ia sebaliknya bertujuan memajukan investasi nasional dan pembangunan lokal. Program ini juga bertentangan dengan privatisasi di sektor minyak, dan mencoba memberikan prioritas bagi penyelesaian-penyelesaian yang diderita oleh bagian termiskin dari masyarakat. Lebih dari itu, keseluruhan program ini sangat cocok dengan pekerjaan militer yakni, pembela kedaulatan dan kemakmuran nasional. Inilah yang membuat kita mudah untuk memahami mengapa aksi-aksi menentang Chavez - pemogokan oleh pekerja lapisan menengah dan sabotase produksi minyak - berhasil digagalkan secara masif oleh angkatan darat. Seterusnya momen tersebut digunakan militer untuk mengonsolidasikan dukungannya kepada program-program Chavez.

Akhirnya, yang tak kalah pentingnya adalah kharisma personal Chavez sendiri yang sulit diperkirakan. Chavez merupakan inspirasi terbesar yang mendatangkan kekaguman dan rasa cinta di kalangan prajurit-prajurit angkatan darat. Dirinya, baiknya secara legal dan emosional adalah komandan tertinggi mereka. Selama kudeta April 2002, tepatnya pada jabatan dan ingatan tentara - dimana ia bertemu dengan para pengunjungnya dari penjara ke penjara, dari Tiuna ke kepulauan Orchila, tempat terakhir ia dipenjara - ia berhasil memperlihatkan daya juangnya yang mengagumkan.

Bersama dengan rakyat dan kerapkali atas dorongan mereka, militer Venezuela merupakan sedikit dari militer di Amerika Latin, yang mampu bertindak secara matang. Dan dalam proses ini, mereka merasa sederajat dalam menghadapi tantangan luar biasa yang dihadapi oleh kaum revolusioner Bolivarian.***

La Havana, 1 April 2003

Catatan kaki:
(1) Tak banyak yang tahu bahwa hanya perwira-perwira senior yang memiliki posisi riil seperti komandan staf umum angkatan darat Ramirez PÈrez dan komandan umum angkatan darat Vasquez Velasco, yang terlibat dalam kudeta ini. Beberapa jenderal menolak mendukung kudeta, jumlah mereka sekitar 200 hingga 8.000 perwira (jenderal, admiral, kolonel, letnan kolonel, dan perwira rendah). 80 persen perwira komando berpartisipasi dalam Plan untuk menyelamatkan Chavez.
(2) Plan ini diumumkan secara terbuka pada 27 Februari 1999, sepuluh tahun setelah Caracazo.
(3) Pemilihan gubernur dan walikota dilaksanakan setahun sebelum pemilihan presiden.
(4) Marta Harnecker, "Militares Junto al Pueblo," Vadell hnos.,Caracas, 2003. Liha versi Inggrisnya dalam www.rebelion.org/harnecker.htm.
(5) Jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui. Sejumlah pejabat pemerintahan mengakui bahwa sekitar 372 orang mati terbunuh tapi, organisasi hak asasi manusia mencatat lebih banyak lagi yakni, 5.000.

*Marta Harnecker adalah Direktur of the centro de Investigaciones Memoria Popular Lationamericana (MEPLA) di Havana, Cuba, sebuah organisasi yang melakukan penelitian tentang sejarah gerakan rakyat di Amerika Latin. Ia juga adalah penulis sejumlah buku dan artikel tentang gerakan kiri di Amerika Latin, termasuk "Understanding the Venezuelan Revolution: Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker," yang diterbitkan oleh Monthly Review Press.


Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Marta Harnecker dengan judul asli, "The Venezuelan Military: The Making of an Anomaly," oleh Coen Husain Pontoh. Sebelumnya dimuat dalam jurnal Monthly Review, September 2003 dalam http://www.venezuelanalysis.com/articles.php?artno=1040



Baca selengkapnya!

30.8.06

Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara

Vedi R Hadiz

Abstract: The article concerns the tradition of political unionism in Southeast Asia, with reference to the experiences of Indonesia, Malaysia, Thailand and the Philippines. It argues that political unionism was once an important feature of the political landscape of these societies. It also argues that a conjuncture of factors has resulted in the near death of political unionism and that this has been detrimental to the overall strength of organised labour in the region. Specifically, the article discusses the impact of the political defeat of the Left, some of the affects of the timing of industrialisation in these societies, and that of contemporary globalisation. The position of organised labour in the region today is primarily examined in relation to the Asian economic crisis of 1997/1998.

Kata-kata Kunci: Buruh terorganisasi Asia Tenggara, kekuatan buruh, pengorganisasian buruh, tradisi keserikatburuhan politik, industrialisasi, kekalahan politik kelompok Kiri, globalisasi, krisis ekonomi Asia 1997/98.


Tulisan ini mengangkat tema buruh yang terorganisasi di empat negeri Asia Tenggara – Inonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – dalam konteks globalisasi dan dalam situasi konflik sosial di masing-masing negeri. Bersama dengan negeri-kecil Singapura, negeri-negeri ini mewakili Asia Tenggara pertama yang mengikuti jalan industrialisasi kapitalisme pada puncak Perang Dingin, dan yang secara tidak malu-malu menyekutukan dirinya dengan kepentingan AS dan Barat secara umum. Tulisan ini menyajikan latar belakang sejarah mengenai gerakan buruh di masing-masing negeri dalam menghadapi kancah perjuangan politik, khususnya pada saat atau beberapa saat sebelum periode industrialisasi yang pesat, termasuk dalam konteks zaman kampanye anti-komunis selama Perang Dingin. Selain itu, tulisan ini juga mendiskusikan tanggapan-tanggapan mutakhir atas tekanan-tekanan terhadap buruh dan gerakan buruh skala nasional yang diakibatkan krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998.

Inti tulisan ini terutama ingin menentukan posisi buruh Asia Tenggara dalam hubungannya dengan konfigurasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Argumen yang dikembangkan ialah bahwa hasil dari perjuangan politik masa lalu yang melibatkan kekuatan buruh dan anti-buruh, serta beberapa aspek globalisasi, menyatu untuk menjaga agar buruh di negeri-negeri kawasan Asia Tenggara relatif tetap tak berdaya. Krisis ekonomi semakin memperlemah posisi tawar buruh terorganisasi di kawasan ini. Dengan kata lain, masih ada hambatan ekonomi dan politik bagi perkembangan gerakan buruh yang kuat dan efektif di masyarakat Asia Tenggara, meski sebagai wilayah industrialisasi kapitalis kawasan ini telah maju dalam beberapa dasawarsa dan menciptakan kondisi bagi perkembangan organisasi kelas buruh yang lebih substansial.

Buruh dan Kekuasaan

Dalam satu artikel menarik tentang kepentingan modal dan buruh ‘yang tergantung keadaan’ untuk mendukung demokrasi, Bellin (2000) mengamati bahwa dalam konteks apapun yang menentukan jalan perubahan politik ialah hasil perjuangan konkrit antara kekuatan sosial yang saling bersaing. Bellin lalu menyebutkan bahwa alur sejarah yang spesifik tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Posisi Bellin ini melengkapi apa yang telah dijelaskan Rodan, dkk (2001: 15) dalam ‘laporan konflik sosial’ perkembangan Asia Tenggara yang menganggap bahwa pengambilan keputusan tidak hanya merupakan hasil memilih ‘secara rasional’ keputusan-keputusan yang ‘tepat’ dalam suatu cara yang teknokratis dan bebas nilai, tetapi lebih mendasar lagi juga sebagai hasil dari pertarungan antara kepentingan yang bersaing atau hasil dari koalisi kepentingan. Setiap kebijakan secara esensial merupakan indikasi dari bentuk tertentu pembagian kekuasaan. Maksudnya, untuk memahami bahwa kondisi sosial, ekonomi dan politik yang umumnya buruk di mana buruh terorganisasi menjalankan aktivitasnya di Asia Tenggara, tak lain merupakan akibat dari pertarungan kepentingan dalam pembagian kekuasaan semacam ini. Kompetisi tersebut terjadi pada masa-masa sulit, penuh kekerasan dengan kerap kali diiringi konflik berdarah yang sengaja dipelihara, dan pada akhirnya menciptakan rezim politik yang cenderung membatasi pengaruh buruh sebagai satu kekuatan sosial.

Dengan dasar pendekatan seperti di atas kita dapat memahami mengapa buruh terorganisasi di Asia Tenggara relatif tetap lemah meskipun terjadi satu proses industrialisasi yang pesat dalam beberapa dasawarsa lalu, yang sebetulnya menyediakan banyak kondisi potensial bagi tumbuhnya kelas buruh dan organisasi-organisasinya. Pada periode industrialisasi yang pesat ini lapangan kerja di sektor industri digencarkan sebagai kebijakan oleh semua negara. Dalam tingkat yang berbeda-beda, industrialisasi telah mentransformasi lingkungan sosial buruh, kehidupan mereka, kondisi kerja mereka, juga mentransformasi aspirasi sebagian besar masyarakat Asia Tenggara; karena proses industrialisasinya yang tidak begitu pesat, Filipina terkena pengaruh yang paling sedikit. Banyak dari masyarakat ini sebetulnya telah mapan hidup di wilayah pertanian yang berkesinambungan, tetapi terdorong menuju realitas hidup yang suram dan rutin di pabrik-pabrik, kawasan berikat (zona khusus perdagangan bebas/kawasan khusus pemrosesan barang-barang ekspor—penerjemah), dan kawasan-kawasan kumuh kota yang amat luas terhampar di Asia Tenggara. Transformasi demikian dalam basis material dan kultural masyarakat barangkali diharapkan memicu perkembangan gerakan buruh yang lebih efektif, sebagaimana pengalaman sejarah di Eropa dan di wilayah lainnya.

Tetapi secara historis ketiadaan rezim yang secara tegas lebih pro-buruh di Asia Tenggara yang tengah mengalami industrialisasi ini, hingga pada saat dan setelah krisis ekonomi 1997/98, merupakan cerminan dari ketidakmampuan buruh mempertarungkan kekuatan secara efektif. Pada saat yang sama hal ini juga menunjukkan dominasi koalisi kekuatan dan kepentingan sosial di Asia Tenggara yang anti-buruh.

Bentuk sejarah perjuangan politik di Asia Tenggara, yang dibahas secara rinci oleh Mark Berger (2004: 30-49), menghasilkan naiknya koalisi anti-komunis yang secara umum juga anti-buruh – faktor penting yang menentukan langkah pasti perkembangan Asia Tenggara. Koalisi seperti itu biasanya akan memasukkan kepentingan modal lokal dan internasional, sekelompok masyarakat-menengah kota yang bergaji dan sederet birokrat-politik, dan terkadang juga militer. Bukan suatu kebetulan bahwa dalam banyak kasus koalisi-koalisi ini memiliki kaitan dan berasal dari koalisi pada periode akhir penjajahan yang melihat bangkitnya gerakan kelompok pejuang kemerdekaan yang kerap saling berhubungan dengan ragam upaya kelompok sosialis, dan karenanya merupakan ancaman bagi kelompok kaya dan pemilik tanah. Satu contoh bagus untuk hal ini ialah kasus Malaysia di mana penghancuran oleh Inggris terhadap gerakan buruh Malaysia terutama dengan cara mengasosiasikan gerakan buruh negeri itu sebagai kekuatan komunis dan kekuatan sayap Kiri, yang karenanya menanamkan stigma permanen bagi perjuangan buruh. Di lain pihak, penting dicatat di sini ialah bahwa asal mula “keserikatburuhan politik” di Asia Tenggara lebih berakar pada masa perjuangan anti-penjajahan yang biasanya menggabungkan isu perburuhan dengan agenda sosial dan politik yang lebih luas ketimbang pada keserikatburuhan dengan bentuk pluralis-liberal yang saat ini didukung oleh organisasi-organisasi buruh internasional arus utama. Model keserikatburuhan pluralis-liberal cenderung membatasi perjuangan buruh hanya pada tingkat kesejahteraan ekonomi. Menurut logika model ini, pengabaian tujuan-tujuan sosial dan politik yang lebih luas adalah indikator bagi sebuah langkah menuju ‘modernitas’ (lihat Hutchison dan Brown, 2001: 5-6).

Penting dicatat di sini bahwa tidak dilibatkannya buruh dalam pertarungan yang lebih luas mencapai kekuasaan yang terjadi di Asia Tenggara tidak berkaitan langsung dengan upaya masing-masing negara melakukan pencarian strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor berdasarkan industri manufaktur berupah murah sejak 1970-an atau 1980-an. Tentu merupakan penyederhanaan ketika kita menghubungkan secara langsung antara munculnya rezim politik yang anti-buruh dan dimulainya industrialisasi yang berorientasi ekspor (IOE) di kawasan ini (lihat Hagaard: 1989; Kuruvilla, 1995) – dengan misalnya mencatat seberapa sering tekanan terhadap buruh terkait dengan kepentingan mengembangkan sektor manufaktur-ringan yang kompetitif. Sebetulnya, bagi keempat negeri ini tidak dilibatkannya buruh secara politik jelas merupakan warisan perjuangan politik sebelum dimulainya strategi industrialisasi berorientasi ekspor. Tidak dilibatkannya buruh dalam politik telah menandai periode pertama industrialisasi yang berlanjut, dalam kerangka industrilisasi subtitusi impor (ISI), yang sebaliknya di beberapa negeri Amerika Latin justru menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan gerakan buruh yang lebih berpengaruh (lihat Deyo, 1989).

Faktor kedua yang semakin penting ialah globalisasi. Meski konsep gobalisasi dan juga cakupan serta keunikan fenomenanya masih sengit diperdebatkan (lihat misalnya Hirst dan Thompson, 1996; Petrella, 1996; Higgott, 1999), tidaklah sulit untuk melihat kenyataan bahwa gerak modal yang secara dramatis meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir yang berhadapan dengan negara yang tak bergerak dan tenaga kerja nasional yang umumnya statis, telah menjadikan modal memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik. Perubahan tersebut lebih lanjut telah memperkuat modal yang secara internasional bergerak menuntut iklim investasi yang kondusif, termasuk dengan menekan negara agar membatasi arena yang tersedia bagi buruh terorganisasi. Namun demikian, dampak globalisasi ini mesti dipahami sebagai pertentangan atau kontradiksi. Misalnya, globalisasi telah membantu ‘menyebarkan’ relasi produksi kapitalis dan karenanya basis material di mana perkembangan kegiatan organisasional buruh-berupah yang baru memungkinkan untuk berkembang.

Tetapi pada masyarakat industri awal dampak dari lebih mengglobalnya ekonomi dunia telah dengan kuat menekan negara kesejahteraan dan berwujud dalam bentuk tantangan yang nyata yang ditujukan untuk melawan gagasan penting soal nilai serikat buruh. Pernah pula ada diskusi serius mengenai penghapusan serikat buruh di masyarakat yang disebut sebagai masyarakat ‘pascaindustri’. Karenanya, kemenangan-kemenangan yang pernah diraih buruh terorganisasi pada perjuangan terdahulu sangat rawan untuk dinafikan (lihat Kapstein, 1996; Moody, 1997). Pada masyarakat Asia Tenggara yang mengalami industrialisasi saat ini, posisi buruh terorganisasi, yang telah dilemahkan oleh kemenangan absolut koalisi kekuatan dan kepentingan anti-buruh hanya sesaat atau pada saat dimulainya industrialisasi yang pesat, kini terancam diperparah oleh proses globalisasi yang, misalnya, saat ini telah menawarkan suatu sistem produksi yang lentur (fleksibel).

Dengan kata lain, globalisasi telah turut mementahkan apa yang barangkali disebut sebagai kompromi penting antara modal dan buruh pada masyarakat kapitalis lanjut, yakni konsep negara kesejahteraan. Di negeri-negeri industri baru saat ini, globalisasi secara kompleks terkait dengan munculnya angkatan kerja-berupah baru. Namun, kini gerakan buruh yang saat ini umumnya lebih lemah harus menghadapi tantangan ganda: menghadapi pemerintah yang terkadang represif yang berpijak pada kebijakan liberalisasi dan privatisasi, sementara itu perusahaan-perusahaan multinasional menelikung melalui strategi sumber daya manusia yang menekankan aktualisasi, normalisasi dan kelenturan (Deyo, 2001), bahkan di negeri dengan kondisi perekonomian yang berkelebihan (surplus) buruh.

Tetapi tentu tidak semua buruh berada dalam kerentanan demikian. Buruh yang bekerja di industri dengan modal yang bergerak secara global adalah mereka yang terutama sangat rawan (Winters, 1996: 195). Industri seperti ini – garmen, alas kaki, tekstil dan semacamnya – amat penting bagi industrialisasi pesat di keempat negeri ini, meskipun wacana tentang transisi menuju ‘ekonomi berbasis pengetahuan’ mulai masuk di beberapa tempat di kawasan ini. Untuk itu, keempat negeri yang akan dipaparkan di bawah ini menyajikan studi kasus yang sangat bagus yang menggambarkan karakter kontradiktif industrialisasi kapitalis dalam kaitan dengan munculnya gerakan buruh nasional yang efektif. Negeri-negeri tersebut memperlihatkan bagaimana industrialisasi yang pesat yang biasanya melahirkan lingkungan sosial yang kondusif bagi pengembangan organisasi buruh, tetapi konstelasi kekuatan ekonomi dan politik, warisan sejarah, dan tekanan globalisasi, telah memastikan bahwa kebanyakan gerakan buruh tetap terhambat untuk berperan sebagai sebuah kekuatan sosial yang efektif.

Indonesia

Organisasi-organisasi buruh Indonesia – terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan – memerankan bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh kekerasan (Tedjasukmana, I958; Ingleson, 1986; Shiraishi, 1990). Dibentuk pertama kali pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh ini mendahului partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Seperti juga dilakukan penjajah Malaya, otoritas Hindia Belanda banyak memberangus tumbuhnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kasus ini, setelah dibungkam oleh pemerintahan penjajah Belanda sebagai dampak dari pemberontakan yang gagal yang didorong oleh PKI pada 1926, buruh terorganisasi kembali muncul dalam perjuangan kemerdekaan bersenjata yang tak lama disusul dengan berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang didukung PKI adalah organisasi buruh yang paling aktif dan kuat di antara banyaknya organisasi buruh yang memiliki kaitan dengan partai politik. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950-an. Namun, keadaan darurat militer dan kendali manajerial pada perusahaan-perusahaan tersebut menempatkan tentara pada posisi yang kemudian malah berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok militan gerakan buruh yang biasanya dipimpin oleh kelompok komunis (Hawkins, 1963).

Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menangah kota, juga kepentingan kaum pemilik tanah kota dan desa setelah tahun 1965 mengakibatkan lenyapnya tradisi politik keserikatburuhan, dan warisan ini terus menghambat buruh terorganisasi di Indonesia. Sejak 1970-an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh dihambat oleh sistem korporatis yang sangat otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah, dan yang secara maya (virtual) melarang aksi industrial atas nama kesatuan dan persatuan nasional (lihat Hadiz, 1997). Aspek kunci dari strategi ini ialah penyebaran kebijakan satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah yang sangat terkontrol, dan juga penyebaran sistem hubungan industrial yang berpola menghindari konflik sebagai satu hal yang prinsipil – karena dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia.

Indonesia adalah bangsa Asia Tenggara yang paling parah tertimpa Krisis Asia dan juga negeri yang buruh terorganisasinya paling keras dibungkam. Terutama, hanya krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian memunculkan satu krisis politik yang mendasar. Seluruh bangunan sistem rezim yang telah lama mapan akhirnya melonggar ketika krisis tak kunjung teratasi yang itu berarti terbukanya kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh.

Tetapi kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kapasitas buruh untuk mempengaruhi kebijakan negara tergantung pada posisinya dalam konstelasi kekuatan sosial yang lebih luas. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya sang diktator Soeharto pada Mei 1998 membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian hambatan hukum yang telah lama ada. Namun, ketika elite lama dan elite baru kembali terbentuk dalam satu format politik demokratis, buruh terorganisasi umumnya tetap saja tidak terlibat meskipun terdapat banyak sarana-sarana pengorganisasian yang baru. Dari kekuatan-kekuatan utama yang bertarung membentuk kembali kekuasaan pasca-Orde Baru, tak satupun yang memiliki dukungan konstituensi dari buruh; satu kenyataan yang banyak diakibatkan oleh disorganisasi sistematik dan marjinalisasi buruh di bawah Soeharto (Hadiz, 2001).

Harus juga diingat bahwa krisis ekonomi Indonesia yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998 (Far Eastern Economic Review, 4 Maret 1999: 44), juga berdampak meningkatkan angka pengangguran dalam jumlah besar. Dalam kondisi perekonomian dengan tingkat pengangguran yang sangat kronis, tentu hal ini semakin memperlemah posisi tawar organisasi buruh. Stagnasi ekonomi Indonesia merobohkan ratusan perusahaan, termasuk di sektor manufaktur berorientasi ekspor yang sangat penting bagi pertumbuhan Indonesia pasca-bom minyak dan sebelum krisis (kira-kira sejak awal tahun 1980-an hingga tahun 1997). Para buruh perkotaan yang jumlahnya tak terhitung pun tidak memiliki pilihan selain pulang ke kampung-kampung halaman mereka di pedesaan (Manning, 2000), mencari perlindungan dari bencana krisis – tentu saja termasuk beberapa aktivis dan organiser buruh akar rumput yang berpengalaman.

Selain itu, ketika sejumlah serikat buruh baru bermunculan, saat ini tak ada organisasi buruh tingkat nasional yang atas nama buruh dapat bernegosiasi dengan kepentingan lain yang kebanyakan terbentuk dalam aliansi-aliansi yang rakus di partai-partai politik baru. Bekas organisasi buruh yang ‘resmi’ di tingkat pusat, FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), mulai tercerai-berai nyaris secepat ketika Soeharto jatuh, akan tetapi praktis tidak ada satu pun kemungkinan untuk menggantikan organisasi itu.

Adalah kelemahan organisasional buruh secara mendasar yang sudah ada sejak sebelum krisis ekonomi dan kejatuhan Soeharto yang menghambat buruh untuk dapat menggunakan sepenuhnya momen keterbukaan yang diciptakan peristiwa Mei 1998. Gambaran tentang terus melemahnya pengaruh buruh terlihat saat undang-undang perburuhan yang baru tentang serikat buruh akhirnya disahkan pada pertengahan tahun 2000. Walau terdapat protes dari mayoritas organisasi buruh, tetapi masih memungkinkan bagi pemerintah memecah-belah serikat buruh yang baginya berbahaya bagi ‘kepentingan nasional’ (Jakarta Post, 11 Juli 2000). Ketika organisasi buruh mampu menuntut kenaikan upah minimum – yang terus meningkatkan angka pengangguran dan protes para pengusaha – kenaikan harga yang kian melonjak dan berkurangnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang secara terus-menerus akhirnya melenyapkan nilai riil kenaikan upah tersebut. Suatu ujian atas kekuatan serikat buruh terjadi pada 2002, dengan terus dilontarkannya gagasan kontroversial tentang undang-undang hubungan industrial yang baru yang ketika itu para aktivis buruh memilih bersikap brutal terhadap pelbagai hambatan, di antaranya mengenai implementasi hak mereka melakukan aksi.

Barangkali tidak ada gambaran mengenai lemahnya posisi buruh terorganisasi Indonesia yang lebih jelas daripada ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, juga dari sekelompok pengusaha lokal, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia (lihat misalnya Jakarta Post, 26 Agustus 2002). Para investor ini menganggap kenaikan upah dan masalah-masalah yang ditimbulkan buruh belakangan membuat iklim investasi Indonesia kurang kondusif dibanding negeri pesaing seperti Cina, Vietnam atau Myanmar. Pejabat pemerintah menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh dan mengontrol serikat buruh, sementara mereka jarang sekali membenahi sumber-sumber lain yang mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, termasuk prosedur dan biaya birokrasi yang tidak sedikit. Sudah sangat sering dilaporkan di media nasional bahwa hal ini akan menyediakan banyak senjata bagi kepentingan-kepentingan yang hendak mencegah munculnya gerakan buruh Indonesia yang lebih efektif.

Malaysia

Gerakan buruh pada masa penjajahan Malaya berfokus terutama pada kaum imigran Cina dan India yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan Inggris akan buruh untuk dipekerjakan di perkebunan yang tengah tumbuh dan industri pertambangan di abad ke-19. Perkembangan ini terkait dengan kemunculan suatu pola pembagian kerja kolonial di mana kaum pribumi Melayu, yang umumnya telah hidup mapan di wilayah pertanian, tidak ikut beralih ke sektor ekonomi modern. Seperti disebutkan Hirschman dalam artikelnya yang berpengaruh, bahwa sangat masuk akal dalam pandangan para petani ini untuk tidak beralih dari basis pertanian ke lapangan kerja di sektor modern era kolonial yang tengah tumbuh, yang umumnya memiliki kondisi kerja amat buruk (Hirschman, 1986).

Komposisi kelas buruh Malaysia berubah hanya dengan adanya industrialisasi pesat pada kurun tahun 1970-an dan 1980-an saat perempuan-perempuan muda Melayu dalam jumlah yang sangat besar terserap dalam angkatan kerja-berupah (Wee Siu Hui, tt.).

Gerakan buruh di Malaya tentu kemudian memiliki ciri dasar etnik dan kelas. Perkembangan di luar Malaya, terutama di Cina, juga mempengaruhi gerakan buruh awal negeri ini. Kemunculan nasionalisme Cina pada pergantian abad (terutama setelah kejatuhan dinasti Qing) meningkatkan sentimen kebangsaan di antara kelompok migran Cina di Malaya (dan juga di Hindia Belanda), sementara itu kekuatan Partai Komunis Cina yang tengah tumbuh dan akhirnya menang memiliki sumber penting dalam pengaruh ideologi. Karenanya pada masa penjajahan Malaya kelompok nasionalis Cina dan Partai Komunis Malaya (MCP) mampu memobilisasi buruh, terutama yang berada di sektor perkebunan, untuk masuk ke dalam satu sumber penting perlawanan terhadap pemerintahan penjajah (Jomo dan Todd, 1994; mengenai sejarah MCP, lihat Yong, 1997). Pada awal periode pascaperang kekuatan serikat buruh yang disokong kelompok komunis cukup kuat untuk memukul balik pemerintahan penjajah yang hendak mengebiri pertumbuhan serikat buruh lebih lanjut dan akhirnya mengikisnya habis (Arudsothy dan Littler, 1993: 112). Organisasi buruh anti-komunis yang didukung pemerintah, Dewan Serikat Buruh Malaya (MTUC—Malayan Trade Union Council), didirikan dengan dukungan Inggris pada awal babak ancaman bahaya laten komunis pada 1948 hingga 1960 dalam rangka mengurangi dukungan bagi kelompok Kiri. Dengan merefleksikan kecenderungan yang sama, buruh perkebunan etnis India juga diarahkan untuk mendukung satu serikat buruh yang moderat di sektor perkebunan, yaitu National Union of Plantation Workers (Serikat Buruh Perkebunan Nasional) (Ramachandran, 1994: bab 7). Dengan kekalahan kelompok komunis dan arus radikal gerakan buruh, negara Malaysia pascapenjajahan pun akhirnya terbebas dari tekanan yang berarti dari kelas buruh.

Meski undang-undang perburuhan dibuat pada awal 1940-an yang sebagian merupakan respon atas tumbuhnya kelompok Kiri, namun undang-undang tersebut menjadi sekadar sebuah ‘komitmen’ pada ide ‘keserikatburuhan yang dikontrol negara’ (Jomo dan Todd, 1994: 65-6). Ada sedikit perubahan di awal periode pascapenjajahan pada 1967, undang-undang perburuhan baru dikeluarkan yang melarang serikat buruh melakukan negosiasi kesepakatan kerja bersama (KKB) dan aksi atas hal-hal yang berkaitan dengan promosi jabatan, pengetatan, pemecatan (PHK—pemutusan hubungan kerja) atau pembagian kewajiban. Di bawah ketetapan ini, serikat buruh bahkan tak memiliki hak untuk melakukan aksi jika perselisihan dilakukan di pengadilan industrial (Rasiah, 2001: 92).

Kasus Malaysia juga menarik karena memperlihatkan sederet strategi yang dibuat untuk memelihara penjinakan politik buruh. Hal ini mencakup adopsi konsep serikat buruh lokal tingkat pabrik (SBTP) dengan menekankan kekeluargaan gaya Jepang sebagai alat untuk menghambat perkembangan solidaritas kelas buruh tingkat nasional dan serikat buruh yang lebih kuat (lihat misalnya, Jomo dan Todd, 1994: 170). Tetapi tidak seperti di Jepang, keserikatburuhan lokal ini tidak menghasilkan hubungan kerja yang kolaboratif pada tingkat pabrik dan kelenturan dalam hubungan antara manajemen dan buruh. Karenanya Rasiah menyimpulkan bahwa tak ada demokratisasi pada undang-undang perburuhan di Malaysia, sementara itu negara ‘tetap memelihara kontrol represif atas buruh agar upah mereka tetap rendah dan membatasi masalah-masalah dalam hal produksi sehingga tetap dapat mempertahankan daya saing’ (Rasiah, 2001: 95). Model keserikatburuhan lokal tingkat pabrik ini juga muncul dalam kasus negeri Asia Tenggara lainnya, namun barangkali model tersebut paling berhasil dijalankan di Malaysia dan paling gagal diterapkan di Indonesia.

Perkembangan penting lainnya di Malaysia ialah lahirnya perundang-undangan yang menawarkan status ‘pelopor’ bagi perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor. Hal ini antara lain berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut diberi pilihan untuk menolak kehadiran serikat buruh, khususnya di zona-zona bebas ekspor.

MTUC (Malaysian Trade Union Congress—Kongres Serikat Buruh Malaysia) sendiri – sebagai organisasi buruh tertinggi di Malaysia – berada pada posisi mendua terhadap negara. MTUC tak pernah tumbuh menjadi sekadar alat kendali terhadap kelas buruh seperti dilakukan FSPSI di Indonesia,, tetapi ia jelas menolak menjadi satu sumber penting bagi perlawanan politik melawan pemerintah. Meskipun politisi-politisi oposisi lahir dari MTUC, hubungan organisasi ini dengan pemerintah kini kian dekat. Kedekatan ini paling tampak saat presiden MTUC bergabung dengan partai yang tengah memerintah, UMNO (United Malay National Organization) pada tahun 1998 dan menjadi salah seorang anggota parlemen (Rasiah, 2001: 94). Presiden ini, Zainal Rampak, belakangan mendukung revisi kebijakan yang kontroversial tentang penggunaan dana pensiun oleh pemerintah, meski tanpa kesepakatan banyak masyarakat dan buruh akar rumput (New Straits Times, 15 September 2000).

Efek dari sejarah panjang penjinakan politik buruh dengan sangat bagus ditunjukan dengan kurangnya pengaruh buruh terorganisasi pada kebijakan negara terkait dengan krisis ekonomi di Asia saat ini. Memang benar bahwa saat ekonomi Malaysia terpuruk secara signifikan pada 1998 dan angka pengangguran meningkat bersama dengan meningkatnya PHK – terutama di sektor manufaktur, konstruksi dan keuangan – krisis di negeri ini tidak seburuk Indonesia atau Thailand (Chandran, 1998). Penting dicatat di sini bahwa sektor angkatan kerja yang paling tak dilindungi, yakni buruh migran (berasal dari Indonesia, Bangladesh dan lainnya), adalah yang paling buruk tertimpa dampak krisis. Gerakan buruh di Malaysia tidak banyak melindungi para buruh ini. Fakta tersebut menunjukkan bahwa rendahnya solidaritas internasional tidak hanya merupakan fenomena Utara-Selatan tetapi juga fenomena Selatan-Selatan. Tentu peran gerakan buruh Malaysia akhirnya hanya bisa mendukung kebijakan represif pemerintah terhadap ratusan ribu (kebanyakan dari Indonesia) buruh imigran gelap yang telah lama menjadi basis penopang industri seperti konstruksi.

Pada puncak krisis ekonomi, MTUC mendesak pemerintah mengambil langkah mengurangi inflasi, menambah lapangan kerja dan membuat skema jaring pengaman sosial yang baru. Organisasi ini juga mendesak pemerintah untuk tidak menurunkan upah dengan meratifikasi dan melaksanakan standar perburuhan yang diakui secara internasional dan memberikan kebebasan berserikat yang lebih besar bagi serikat buruh untuk bernegosiasi dan hak melakukan aksi (Chandran, 1998). Namun demikian buruh bukanlah kekuatan sosial yang harus segera direspon oleh pemerintahan Mahathir, dan ‘saran-saran’ ini pun dengan gampang diabaikan. Penting untuk dicatat bahwa meski gerakan oposisi berpusat pada mantan calon penggantinya yang muncul pada 1998-2000, Anwar Ibrahim, tetapi ia pun tak banyak memiliki kaitan dengan gerakan buruh.

Thailand

Sebelum peristiwa kudeta pada 1932 yang melahirkan sistem monarki konstitusional, industrialisasi di Thailand berjalan tidak begitu pesat. Namun demikian, para buruh upahan mulai hadir dalam lanskap sosial dengan tumbuhnya perusahaan pengolahan kayu dan padi abad ke-19, juga perkebunan, pembangunan rel kereta, jalan raya dan pelabuhan-pelabuhan, serta beberapa perusahaan tekstil skala kecil (Brown dan Frenkel, 1993: 83-4). Meski Partai Komunis Thailand berbasis di desa-desa, pengaruh komunisme masuk melalui gerakan buruh yang tengah tumbuh dan setelah Perang Dunia II kelompok komunis ini mampu membangun satu serikat tingkat nasional, Central Labour Union (Serikat Buruh Pusat). Namun, sebagaimana terjadi di Malaya era kolonial, Thailand yang bersistem kerajaan dan tak pernah terjajah itu juga menganggap keumunculan komunisme sebagai ‘asing’ dan bukan khas Thai, terlebih karena dominannya etnis Cina di tubuh Partai Komunis Thailand (TCP) yang akhirnya tumbang pada 1980-an setelah periode perjuangan panjang di pedesaan. Namun demikian, gerakan buruh yang dimotori kelompok komunis juga melibatkan masyarakat Thai bukan keturunan Cina, sekurang-kurangnya sejak 1940-an (Tejapira, 2001:57).

Di Thailand, terdapat sebuah gerakan buruh yang relatif independen yang konstituensinya tumbuh bersamaan dengan kemajuan industri walau terdapat dominasi militer dalam politik, terutama adanya asumsi bahwa kekuasaan diktator oleh rezim Sarit yang sangat anti-Kiri pada 1958 berarti merupakan periode panjang penindasan serikat buruh. Bahkan sebelum Sarit muncul dalam kekuasaan, undang-undang anti-komunis disahkan pada 1952 yang menghancurkan kegiatan serikat buruh yang sah (Tejapira, 2001:94).

Bagi Brown (2001), tahun 1970-an merupakan momen yang menentukan bagi gerakan buruh di Thailand. Menurutnya periode awal industrilisasi subtitusi impor (ISI) berdampak pada perluasan industri dan meningkatnya kaum proletariat perkotaan yang mengekspresikan kemunculannya melalui beragam bentuk pengorganisasian dan aksi kolektif yang kuat. Ini merupakan satu tipe politik keserikatburuhan yang menggabungkan perjuangan buruh dengan isu yang lebih luas tentang hak-hak sosial dan politik. Dalam konteks hubungan industrial, dampak dari semua itu ialah satu perubahan: dari kendali langsung oleh negara dan represi menjadi ‘konsultasi dan mediasi’ dalam lembaga tripartit, di mana negara, modal dan buruh bekerja sama. Ketika akhirnya militansi buruh mulai menurun, jumlah organisasi buruh justru bertambah banyak (Brown, 2001: 128).

Dalam perkembangan ini Brown melihat munculnya strategi baru pengendalian buruh yang didasarkan pada upaya mencerai-beraikan kekuatan buruh terorganisasi. Dampaknya ialah disorganisasi buruh dan perusakan kemampuan serikat untuk mewakili kepentingan buruh. Di Thailand pada 1990-an terdapat 18 federasi serikat buruh dan 8 serikat buruh tingkat nasional yang karenanya memungkinkan masuknya satu strategi menghambat pengaruh buruh dengan mendorong persaingan antarmereka, khususnya terkait dengan hak untuk duduk di lembaga-lembaga tripartit (Brown, 1997: 172-3). Selain itu, serikat-serikat yang disukai negara cenderung memonopoli posisi di lembaga-lembaga tripartit ini. Dengan kemampuan pemerintah mempengaruhi serikat buruh ini maka pertumbuhan pesat jumlah serikat di Thailand pada 1980-an tidak lantas menunjukkan semakin kuat atau efektifnya gerakan buruh negara itu (Brown, 2001: 130). Ungpakorn (1999) menganggap bahwa perkembangan tersebut sebagian terkait dengan ulah ‘pemimpin serikat buruh preman’, yakni orang-orang ‘yang mendirikan serikat untuk mendapat uang perlindungan dari pengusaha dengan mengancam melakukan aksi’ (1999: 14).

Situasi ini jelas turut berperan membatasi kemampuan buruh terorganisasi untuk merespon krisis ekonomi Asia yang mulanya terjadi di Thailand. Krisis tersebut segera menyebabkan tenaga kerja manufaktur berkurang separuhnya akibat kapasitas produksi di industri-industri manufaktur utama menurun hingga 30 persen (Deyo, 2000). Segala rasionalisasi turut mengikuti perkembangan ini dan telah terjadi PHK bahkan di perusahaan-perusahaan milik negara yang biasanya aman. Pada saat yang sama, krisis ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk kembali menjalankan strategi ‘aktualisasi’ dan ‘normalisasi’, yang ditata untuk memangkas biaya dan menerapkan kelenturan dalam manajemen ketenagakerjaan (Deyo, 2000). Menurut Ungpakorn, pada saat krisis buruh cenderung menerimanya secara pasif karena takut kehilangan pekerjaan dan mereka juga kurang meyakini nilai-nilai aksi kolektif (Ungpakorn, 1999: 52-4).

Bagaimanapun, penting dicatat bahwa meski dalam masa-masa suram – termasuk masa tidak diakuinya serikat-serikat buruh sektor publik yang penting pada era 1990-an – gerakan buruh di Thailand tak pernah sungguh-sungguh tersubordinasi sebagaimana terjadi di Indonesia. Karenanya, meski penilaian Ungpakorn menunjukan sebaliknya, buruh di Thailand berada pada satu posisi yang lebih baik dibanding saudara-saudara mereka di Indonesia untuk berupaya melakukan beberapa respon atas krisis ekonomi, walau dengan terbatas. Mereka, misalnya, segera melakukan aksi dan demonstrasi terhadap isu-isu seperti keamanan kerja, hak-hak dasar buruh dan tingkat upah. Selain beberapa keberhasilan mereka dalam menentang pemotongan upah yang drastis, aksi-aksi gerakan serikat buruh berperan menyebabkan tertundanya rencana privatisasi yang saat itu akhirnya menjadi perdebatan panas. Seperti yang terjadi di Filipina dan Indonesia, privatisasi merupakan isu yang sangat politis dan mengundang aksi protes yang lebih besar menentang agenda reformasi neoliberal (Deyo, 2000: 272).

Pertanyaannya kemudian, mengapa organisasi-organisasi buruh Thailand, dengan segala keterbatasannya, mampu menjadi lebih kuat khususnya dibanding dengan mereka di Indonesia? Dapat dikatakan, jawabannya terletak pada kenyataan bahwa tekanan terhadap buruh tidak pernah berdampak terjadinya penghancuran total atas tradisi militansi buruh. Seperti dalam kasus Filipina di bawah ini, militansi buruh di Thailand mampu membuat mereka bertahan, khususnya karena fakta bahwa kendali negara yang terpusat tak mungkin mampu mencerai-berai serikat buruh akibat kekuasaan negara yang juga memiliki karakter fragmentatif sendiri. Bahkan pada puncak rezim diktator militer di Thailand, bentuk pemerintahan terpusat yang otoritarian seperti Orde Baru Indonesia tidak pernah dicapai. Karenanya, organisasi-organisasi buruh berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk dapat merespon krisis ekonomi untuk berupaya melindungi kepentingan-kepentingan buruh.

Filipina

Meskipun ada upaya keras membendung perjuangan buruh dari pemerintahan kolonial dan pascakolonial, tradisi militansi para buruh yang dimulai dengan pendirian serikat buruh yang dimotori kelompok komunis pada dasawarsa awal abad ini (Ofreneo, 1993: 98-128) terus mempengaruhi bagian-bagian penting dari gerakan buruh Filipina. Seperti di Thailand, hal ini di antaranya dimungkinkan karena ciri fragmentatif kekuasaan negara. Secara berarti kelompok Kiri sebagai kekuatan tak pernah hancur-lebur, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia, dan bahkan Thailand.

Gerakan buruh di Filipina bermula di serikat-serikat buruh yang dibentuk di industri-industri seperti percetakan dan pembuatan rokok pada 1899. Beberapa tahun kemudian federasi serikat buruh dibentuk dan meningkatnya aksi-aksi pemogokan akhirnya membuat administrasi koloni Amerika mendirikan satu kantor urusan perburuhan. Saat industri perlahan-lahan berkembang, Partai Komunis menjadi kian berpengaruh dalam gerakan buruh yang akhirnya menyebabkan Departemen Perburuhan era kolonial menekan kelompok komunis ini pada tahun 1930-an. Kongres Organisasi Buruh (Congress of Labour Organization/CLO) didirikan menyusul Perang Dunia II untuk menyatukan gerakan buruh, namun pendirian Konfederasi Nasional Serikat Buruh (National Confederation of Trade Unions) buatan pemerintah memicu persaingan dan perseteruan di kalangan aktivis serikat. Berbagai upaya juga dibuat untuk memutus kaitan gerakan buruh dengan pemberontakan petani Hukbalahap pada 1950-an di mana CLO dilarang dengan alasan bahwa ia merupakan satu organisasi front komunis (Hutchison, 1993: 203-4; 2001: 73).

Pada umumnya, pembuatan hukum perburuhan di Filipina selalu saja relatif liberal yang di antaranya diakibatkan oleh warisan kolonialisme Amerika. Industrial Peace Act tahun 1953 dibuat untuk mencegah pengaruh komunis, di antaranya dengan mendorong keserikatburuhan ‘ekonomi’ yang dihubungkan dengan model pluralis-liberal dan untuk menolak keserikatburuhan ‘politik’ yang lebih disukai organisasi-organisasi buruh yang lebih militan dan radikal. Kelompok militan dan radikal ini, meski ada upaya menghambat ruang bagi keserikatburuhan politik, membangun basis untuk menumbuhkan keserikatburuhan akar rumput yang kuat yang dapat memelihara ‘gerakan oposisi berbasis komunitas yang tersembunyi’ (Deyo, 1997: 219-20) bahkan pada masa represi di bawah keadaan darurat militer kekuasaan Marcos.

Dengan sangat baik Hutchison (2001: 74) menunjukkan bahwa ‘ruang bagi pengorganisasian buruh’ di Filipina ‘dibikin sulit oleh krisis ekonomi nasional yang berulang-ulang, menurunnya kegiatan produksi di sektor manufaktur, dan tingkat pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup yang sangat tinggi’. Meski terdapat legislasi liberal mengenai perburuhan, Hutchison berpendapat bahwa ‘kemampuan mengorganisir selalu terus-menerus dihancurkan oleh keengganan dan atau ketakmampuan negara untuk menegakkan dengan baik hukum yang memuat hak pembuatan kesepakatan kerja bersama di wilayah dengan struktur masyarakat yang sangat timpang dalam kepemilikan dan kekuasaan’. Seperti terjadi di Malaysia, kegiatan pengorganisasian ditekan, khususnya di zona-zona bebas ekspor (Deyo, 2001: 266). Selain itu, upaya-upaya untuk menekan tumbuhnya keserikatburuhan yang militan terus dilakukan di bawah lingkungan demokratis yang mencirikan masa-masa pasca-Marcos (Hutchison, 2001: 72, 75). Namun demikian, seperti di Thailand, bertahannya tradisi militansi buruh meskipun mendapat tekanan negara memungkinkan satu respon kuat oleh serikat buruh saat krisis ekonomi menerpa pada 1997/98. Tetapi, sebaliknya, gerakan buruh di Filipina dan Thailand gagal memanfaatkan dengan optimal upaya demokratisasi seperti sekarang ini terjadi di Indonesia.

Dampak krisis Asia bagi perekonomian Filipina tidak seburuk yang menimpa negeri-negeri tetangganya. Hal ini karena ekonomi Filipina tidak merasakan tahun-tahun ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan ini pada 1980-an dan 1990-an. Dengan kata lain, tanpa ‘ledakan’ tak akan ada banyak ‘kehancuran’. Produk Nasional Brutto riil Filipina, misalnya, berubah drastis dari 1980 ke 2000 (Balisacan dan Hill, 2002: 237). Akan tetapi sama sekali keliru jika dengan fakta ini ada anggapan bahwa krisis tersebut tidak berdampak bagi kelas pekerja Filipina. Krisis tersebut cukup keras mengakibatkan PHK massal dan berdampak tutupnya perusahaan-perusahaan. Seperti kasus Indonesia, banyak buruh perkotaan terpaksa untuk sementara kembali ke kampung halaman mereka di pedesaan. Mereka yang masih bekerja pun merasa bahwa daya beli mereka sangat berkurang karena turunnya nilai mata uang peso (Ranald, 2000: 314), meskipun tidak separah mata uang Indonesia, rupiah.

Dalam menanggapi krisis, dalam situasi inflasi yang tinggi serikat-serikat berhasil melakukan beberapa kampanye soal upah (Ranald, 2000: 318). Selain itu, seperti di Thailand, buruh di Filipina mengambil peran dalam kampanye-kampanye anti-privatisasi yang mencapai keberhasilan yang penting karena privatisasi diyakini akan menyebabkan PHK lebih lanjut. Lagi seperti di Thailand, bagaimanapun adalah tidak mungkin menyarankan agar program-program liberalisasi dan privatisasi dihentikan. Tentu pemerintahan Arroyo akan lebih memilih program-program neoliberal tersebut dibanding Thaksin yang tampak populis. Secara esensial, seluruh pemerintahan Filipina pasca-Marcos loyal terhadap perluasan program liberalisasi dan privatisasi, dan ini akan menghambat keberhasilan kampanye-kampanye serupa oleh buruh di masa mendatang.

Namun gerakan buruh yang relatif lebih kuat di Filipina mesti dipahami berkaitan dengan posisi buruh terorganisasi dalam konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial sebelum krisis ekonomi. Patut dicatat bahwa Filipina memiliki sejarah panjang perjuangan buruh yang tak pernah sepenuhnya terhenti, bahkan lebih lama dibandingkan kasus Thailand di mana masa-masa pemerintahan militer yang bertahun-tahun merupakan hambatan yang sangat sulit. Meskipun rezim Marcos berupaya melakukan kontrol lebih ketat atas buruh terorganisasi dengan mendukung sebuah federasi serikat buruh nasional pada 1970-an, Kongres Serikat Buruh Filipina (Trade Union Congress of the Philipines), tetapi strategi ini tidak berhasil sebagaimana yang terjadi di Indonesia atau di Malaysia. Upaya Marcos sangat keras ditentang oleh federasi serikat buruh yang lebih radikal, KMU (Kilusang Mayo Uno – Gerakan Satu Mei) (Muntz, 1992: 266), yang dalam kondisi sulit tetap menghidupkan tradisi keserikatburuhan politik. Sekarang tradisi ini barangkali masih hidup meski pada akhirnya terdapat perpecahan di tubuh KMU karena persaingan internal.

Jadi, mengapa di Filipina buruh terorganisasi selama krisis ekonomi dapat relatif kuat? Jawabannya, antara lain, ialah bahwa seperti di Thailand, koalisi-koalisi kepentingan anti-buruh di Filipina tak pernah dapat menjinakkan buruh negeri itu dan dapat benar-benar mensubordinasi mereka di bawah kepentingan negara atau modal. Namun demikian, seperti di Thailand, suatu gerakan buruh terorganisasi yang sangat tercerai-berai tidak bisa dikatakan mampu mempertarungkan kekuatannya secara efektif dan dapat mempengaruhi kebijakan negara secara terus menerus walau dalam kondisi pemerintahan demokratis pasca-Marcos.

Perjuangan Politik lawan Perjuangan Kesejahteraan Ekonomi dalam Konteks Globalisasi

Kasus-kasus yang didiskusikan di atas menunjukkan betapa berartinya konflik sosial dan dampak-dampaknya bagi pengorganisasian buruh di Asia Tenggara. Kasus-kasus tersebut bahkan memperlihatkan bahwa dampak tersebut lebih penting dari kondisi ketersediaan dan permintaan (supply and demand) akan buruh dalam menentukan kekuatan dan pengaruh buruh. Pada akhirnya, gerakan buruh yang terorganisasi di Thailand dan Filipina, dua negeri dengan jumlah buruh berlebih, telah mampu menjadi lebih kuat dibanding di Malaysia yang memiliki pasar tenaga kerja yang umumnya ketat. Di Indonesia buruh terorganisasi dihambat oleh dua hal, yaitu dampak melimpahnya angkatan kerja dan, hingga tahun 1998, hadirnya negara otoritarian yang sangat tersentralisasi dan represif.

Sebagaimana sudah ditunjukkan, satu variabel kunci di sini ialah kekalahan kelompok Kiri dengan tingkat yang bermacam-macam telah memberikan ruang bagi upaya-upaya elite mendepolitisasi perjuangan buruh. Secara esensial, hal ini telah memberikan peluang bagi sekurang-kurangnya beberapa aspek dari model pluralis-liberal yang membatasi ruang gerak keserikatburuhan hanya pada soal kesejahtaraan ekonomi. Model tersebut terkait dengan pengalaman negeri-negeri Barat/Utara yang telah terindustrialisasi dan dengan konteks penyusunan kelembagaan negara kesejahteraan. Tentu bukanlah kebetulan bahwa aktivitas-aktivitas buruh terorganisasi di keempat negeri yang dibahas di sini semuanya didesak untuk mengadopsi satu konsep keserikatburuhan yang menekankan perjuangan ekonomi yang lepas dari agenda sosial dan politik yang lebih luas. Konsep ini kurang mengancam koalisi-koalisi anti-buruh yang dominan. Konsep tersebut barangkali tercermin dalam satu kasus di Asia Tenggara yang tidak dibahas di sini – yaitu negeri-kecil Singapura (lihat misalnya, Leggett, 1993) – di mana gerakan buruhnya telah sangat dikontrol sejak sebelum ‘berpisah’ dengan Malaysia pada tahun 1965 dan di mana struktur tertinggi organisasi buruhnya, NTUC (Kongres Serikat Buruh Nasional) masuk dalam kekuasaan negara.

Pada saat yang sama, globalisasi telah menciptakan tekanan lebih lanjut terhadap gerakan buruh di masyarakat Asia Tenggara yang baru mengindustri ini. Akan tetapi, Wood (1998) berargumen bahwa saat ini modal lebih membutuhkan negara dibanding pada masa-masa sebelumnya, dan hal ini akan membantu menstimulasi gerakan buruh di pelbagai penjuru dunia. Hal yang menjadi kunci menurut Wood ialah semakin meningkatnya kedekatan identitas antara kepentingan negara dan modal. Karena modal membutuhkan negara ‘untuk meretas jalan’ menuju ekonomi global dengan mengusung kebijakan perdagangan bebas yang neo-liberal, negara menjadi target perjuangan buruh. Hal ini menurutnya telah ‘mendorong rakyat turun ke jejalanan menentang kebijakan negara di berbagai negeri seperti Kanada dan Korea Selatan’ (1998: 13-15).

Namun demikian, posisi Wood ini tampak agak tidak sensitif pada kenyataan adanya hambatan-hambatan ekonomi dan politik yang dihadapi buruh di negeri-negeri Asia Tenggara yang dibahas di sini. Posisi ini juga mengabaikan implikasi sejarah yang berbeda yang berlaku pada kondisi politik yang otoriter atau semi-otoriter atau demokratik-liberal, untuk tidak menyebutkan warisan yang masih ada dari hasil perjuangan masa lalu terhadap masa sekarang. Ia juga menafikan pentingnya pengaturan dan ketepatan waktu dalam proses industrialisasi yang pesat. Sebagaimana yang diamati Winters (1996), saat industrialisasi terjadi di Utara tak ada dari negeri-negeri lainnya yang dilibatkan kecuali negeri terjajah penyedia bahan baku atau para konsumen barang-barang impor. Hal ini membuat buruh di Utara mampu berjuang ‘melawan kemelimpahan produksi’, membentuk kembali kondisi politik yang lebih luas dalam proses industrialisasi mereka ‘tanpa terhambat oleh persaingan langsung dari ketersediaan yang nyaris tak terbatas’ dari buruh di negeri-negeri jajahan yang secara politik jauh lebih lemah dan miskin. Maka, dalam beberapa hal, buruh negeri-negeri penjajah dan terjajah tersekat satu sama lain. Seperti dikemukakan Winters lebih lanjut, sekat itu memungkinkan ‘langkah besar para buruh di negeri Utara baik secara ekonomi maupun politik...’ di masa lalu (Winters, 1996: 218-19).

Karena langkah besar ke depan tersebut sekarang berada dalam bahaya untuk didorong mundur kembali, beberapa aktivis serikat buruh di berbagai penjuru dunia mungkin mulai berpikir bahwa merupakan ‘kekeliruan untuk membatasi’ diri mereka hanya ‘pada visi ekonomi’ (Da Silva, 1998: 47). Ini merupakan pengakuan implisit bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak-hak ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara esensial juga merupakan sebuah perjuangan politik. Walaupun begitu, belum ada satu strategi yang mendasar yang telah ditemukan oleh buruh terorganisasi, di Utara maupun di Selatan, untuk menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Langkah awal yang perlu dilakukan barangkali ialah memunculkan kembali tradisi keserikatburuhan politik dan meraih kembali ruang politik sebagai satu sasaran perjuangan buruh yang sah.***

*)Vedi R. Hadiz, adalah asisten profesor di Universitas Nasional Singapura.

Naskah ini pernah dipublikasikan di Jurnal SEDANE Vol.3 No.2, 2005. Dimuat kembali untuk IndoProgress, atas ijin penulis.



Baca selengkapnya!

27.7.06

Dinamika Politik Dan Modal Di Sulawesi

Apa yang dapat dilakukan oleh para aktor pro-demokrasi?

George Junus Aditjondro


1. ADA lima faktor yang sangat berpengaruh terhadap dinamika ekonomi-politik di Sulawesi, yakni: (a). dominasi Partai Golkar dan satelit-satelitnya di hampir semua provinsi di Sulawesi; (b). ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam di pulau ini; (c). dominasi korporasi-korporasi milik keluarga dan konco-konco Wakil Presiden Jusuf Kalla dan korporasi-korporasi yang dekat dengan tokoh politik nasional yang lain di pulau ini; (d). keragaman etno-linguistik yang tinggi di pulau ini, yang sering tumpang-tindih dengan keragaman agama, sehingga konflik-konflik ekonomi politik berbasis kelas dengan mudah dapat ditransformasikan menjadi konflik-konflik komunal atau sektarian; (e). siasat faksi-faksi militer untuk mengawetkan konflik-konflik komunal untuk menghancurkan resistensi penduduk setempat bagi masuknya modal besar di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan, serta pembangunan proyek-proyek infrastruktur besar seperti PLTA.


Dominasi Golkar:

2. Dominasi Partai Golkar dan partai-partai satelitnya di hampir semua provinsi di Sulawesi, masih merupakan warisan dari era Soeharto, ketika A.A. Baramuli berhasil memenangkan Golkar di hampir semua provinsi di Indonesia bagian Timur lewat blok IRAMASUKA (Irian Maluku, Sulawesi, Kalimantan). Di masa transisi dari Soeharto ke B.J. Habibie, yang asal kepresidenannya juga karena diorbitkan oleh Soeharto, Golkar tetap berhasil mempertahankan hegemoninya dalam kepemimpinan politik di Sulawesi. Selanjutnya, dalam era pasca-Soeharto, kepemimpinan politik di Sulawesi di-share oleh Golkar dengan PDI-P dan partai-partai kecil yang boleh dikata merupakan satelit Golkar, seperti PKPI dan Partai Demokrat, sementara partai-partai berbasis agama, seperti PDS dan PKS hanya berjaya di beberapa tempat saja, seperti Poso (PDS). PDI-P sendiri, susah dibedakan dari Golkar, akibat banyaknya ‘kutu loncat’ dari Golkar yang masuk ke PDI-P. Begitu pula Partai Demokrat, yang di Sulawesi Selatan menokohkan Fanny Habibie, adik kandung mantan Presiden B.J. Habibie, yang tidak pernah dituntut pertanggungjawabannya atas tragedi tenggelamnya kapal Tampomas dengan korban jiwa yang luar biasa. Sehingga secara de facto, kader-kader Golkar dari ketiga poros baru – A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar, dari tiga poros terdahulu, yakni Kosgoro, MKGR, dan Korpri) – tetap mendominasi elit politik di kelima provinsi di Sulawesi. Apalagi sistem pemilu dan undang-undang kepartaian kita belum memungkinkan munculnya partai-partai lokal yang berbasis pada aspirasi rakyat setempat yang spesifik, sebab yang cabang-cabang partai di luar Jawa praktis merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan elit partai di Pusat.

Ekspansi modal dari luar Sulawesi:

3. Ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam di Sulawesi, paling tampak di sektor pertambangan. Di bidang pertambangan mineral, mulai dari nikel s/d emas, kita bisa melihat dominasi maskapai-maskapai tambang dari Amerika Utara, yakni Inco di pertambangan nikel serta Newmont di pertambangan emas, serta Rio Tinto, maskapai tambang raksasa yang bermodal Australia dan Inggris. Wilayah kontrak karya PT Inco Indonesia seluas 6,6 juta hektar meliputi tiga provinsi yang meliputi busur timur Pulau Sulawesi, yakni Sulawesi Tengah (16,76%), Sulawesi Selatan (54,17%), dan Sulawesi Tenggara (29.06%) (Sangaji 2002: 136).

4. Kenyataan bahwa PT Inco sedang bersiap-siap untuk membangun PLTA Karebbe di Desa Laskap, Kecamatan Malili, Luwu Timur, yang memerlukan izin pemerintah pusat untuk pelepasan kawasan hutan lindung (Investor Indonesia, 5 Juli 2006), dan juga sedang menanti pasokan listrik dari PLTA Poso (Aditjondro 2005), dapat dijadikan indikator bahwa dalam waktu dekat perusahaan tambang bermodal Kanada itu juga mau membuka Blok Bahudopi di Sulawesi Tengah dan Blok Pomala’a di Sulawesi Tenggara. Namun perlu dicatat bahwa penyerobotan lahan penduduk seputar Sorowako di awal Orde Baru (Sangaji 2002: 146-50) masih ditentang oleh rakyat setempat, dengan dukungan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Untuk Korban Masyarakat Tambang (FSKMT). Mereka berdemonstrasi di gedung DPRD Sulawesi Selatan, 15 September tahun lalu (Radar Sulteng, 16 Sept. 2005). Sehingga potensi penggalangan solidaritas antara rakyat setempat, buruh, dan mahasiswa di Palu dan Makassar, harus diperhitungkan oleh maskapai tambang itu dalam rencana ekspansinya.

5. Soal Newmont di Teluk Buyat, kita juga sudah banyak membaca. Yang masih kurang diperhatikan orang adalah kemungkinan masuknya perusahaan-perusahaan tambang raksasa di pegunungan antara Polewali dan Mamasa, di mana pertikaian soal tapal batas kedua kabupaten hasil pemekaran, tampaknya sudah (atau sedang?) reda, untuk menambang bijih emas yang memang tersebar secara sporadis di seantero ‘pinggang’ Pulau Sulawesi, khususnya di daerah Sulawesi Barat, Toraja bagian Utara, serta Kabupaten Donggala dan Poso bagian Selatan. Dua perusahaan yang banyak disebut-sebut adalah Rio Tinto, yang bermodal Inggris dan Australia, serta Newmont yang bermodal AS. Menurut informan kunci saya di Mamasa, Bupati Mamasa telah memberikan izin prinsip bagi Newmont. Sedangkan Rio Tinto membekingi salah seorang calon Gubernur Sulawesi Barat. Sementara itu, satu perusahaan dari Jepang yang baru mulai melakukan survei di Kecamatan Aralle, di daerah sengketa antara Polewali dan Mamasa.

Kemungkinan juga, elit Jakarta juga punya kepentingan ekonomi di sana, sebab di sebelah utara daerah itu, terdapat konsesi tambang batubara kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla. Bosowa juga memiliki konsesi tambak udang seluas 10 ribu hektar di Kabupaten Mamuju (Aditjondro 2006b).

6. Tidak jelas, perusahaan mana saja yang akan dapat konsesi tambang di daerah itu. Tapi yang jelas, semua kegiatan pertempuran maupun eksplorasi kekayaan alam daerah itu semakin memporakporandakan daerah pegunungan yang dulu terkenal dengan federasi ‘tujuh hulu sungai’ (pitu ulunna salu), yang pernah menjadi sekutu dagang dari federasi ‘tujuh muara sungai’ (pitu ba’bana binanga) dari kerajaan-kerajaan Mandar di pesisir Sulawesi Barat (George 1996: 26-30; Alimuddin 2005: 4-7). Di samping itu, pertambangan di hulu sungai pasti akan punya dampak sampai ke muara, seperti terbukti dari tambang Freeport McMoRan di Papua Barat dan tambang BHP Billiton di Ok Tedi, PNG.

7. Di bidang pertambangan migas, kita melihat munculnya korporasi-korporasi domestik, seperti Medco milik Arifin Panigoro dan keluarganya di Teluk Tolo dan daratan Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), serta PT Elnusa, anak perusahaan Pertamina, yang sudah memulai eksplorasi di Selat Malaka dan Teluk Bone. Untuk mengfasilitasi pengeboran minyak bumi di Teluk Tolo, terumbu karang Tiaka telah ditimbun oleh perusahaan kongsi Pertamina dan kelompok Medco menjadi “pulau buatan”.

Pengapalan perdana minyak mentah produksi Lapangan Tiaka dari pulau buatan itu berlangsung hari Kamis, 12 Januari lalu. Sehingga untuk pertama kali dalam sejarah perminyakan Indonesia, Sulawesi mencatatkan diri sebagai daerah penghasil minyak mentah. Lapangan minyak Tiaka diperkirakan dapat memproduksi minyak mentah sebanyak sepuluh juta barrel. Produksi minyak mentah lapangan tersebut sudah mencapai 2.000 barrel per hari (bph), yang akan terus ditingkatkan menjadi 5.000 bph. Selain minyak
mentah, potensi gas di daratan Banggai yang juga dikelola oleh kongsi yang sama, berpotensi menghasilkan 3,7 trilyun kaki kubik gas alam. Untuk itu akan dibangun fasilitas kilang gas alam cair (LNG) di Luwuk (Kompas, 13 Jan. 2006).

8. Sayangnya, pers jarang mencatat kerugian para nelayan akibat boom migas di lepas pantai Sulawesi, khususnya di Selat Makassar dan Teluk Bone. Di lepas pantai Mamuju, Sulawesi Barat, roppong-roppong (rumpon-rumpon) milik nelayan Mandar tahun lalu dipotong belayang (tali pengikat batu pemberat) oleh kapal survei PT Elnusa Geosains. Alasan pemutusan secara sefihak itu adalah bahwa rumpon-rumpon itu mengganggu pelayaran kapal survei tersebut. Sedangkan di Teluk Bone, lebih banyak lagi rumpon nelayan yang jadi korban kegiatan eksplorasi PT Elnusa Geosains, yang dilakukan untuk
PT Minyak & Gas (Migas) RI. Jumlah rumpon yang rusak sebanyak 102 unit, milik 85 orang nelayan, dengan nilai kerugian mencapai milyaran rupiah. Saking lamanya menunggu turunnya ganti rugi yang tak kunjung tiba dari pimpinan perusahaan itu dari Jakarta, yang telah berjanji akan datang ke Bone tanggal 3 Januari lalu, para nelayan yang sudah habis kesabarannya berdemonstrasi ke DPRD Kabupaten Bone dan merusak pagar gedung itu (Tribun Timur, 18-19 Des. 2005, 6 & 8 Februari 2006; Fajar, 28
Desember 2005; komunikasi pribadi dengan Muh. Ridwan Alimuddin di Mamuju, 14 Juli 2006; tentang teknologi tradisional penangkapan ikan orang Mandar dengan roppong, serta adopsi teknologi tradisional itu oleh nelayan Pinrang dan Bone, lihat Alimuddin 2005: 79-90, 2006).

9. Sementara itu, kerugian nelayan di ketiga desa sekitar (eks) terumbu karang Tiaka di Teluk Tolo, yakni Baturube, Kolo Bawah, dan Pandauke, sama sekali tidak diberitakan oleh pers. Nelayan di ketiga desa itu ada 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari setiap hari 10 kg, sementara satu kg ikan dijual kepada pedagang penampung ikan setinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke Pasar Luwuk setinggi Rp 17 ribu per kg, maka kerugian mereka selama setahun = 365 x 300 x 10 x Rp 15 ribu = Rp 16,
425 milyar! Ini bukan kerugian yang kecil bagi para nelayan di Kecamatan Bungku Atas, atau bagi nelayan pondok di manapun di Indonesia (Gogali t.t.).

10. Makanya, tidak mustahil kalau korporasi-korporasi domestik lain akan mulai melakukan eksplorasi migas di Teluk Tomini serta di lepas pantai Sulawesi Barat dan Pantai Barat Sulawesi Tengah. Soalnya, sumur minyak pertama dibor di tahun 1902 di dekat muara Sungai Lariang di Pasangkayu, sekarang ibukota Kabupaten Mamuju Utara, provinsi Sulawesi Barat. Sementara itu, suatu ladang gas telah ditemukan oleh maskapai migas Inggris, BP, di timur laut Danau Tempe, yang memungkinkan
produksi amoniak untuk sebuah pabrik pupuk urea (Whitten, Henderson & Mustafa 2002: 11).

11. Berbicara soal pupuk berarti bicara soal pertanian dalam arti luas, termasuk perkebunan. Berbicara soal perkebunan, perhatian kita tidak bisa lepas dari Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, yang telah jadi ajang dua konflik antara korporasi perkebunan, yang didukung oleh aparat bersenjata, dan rakyat setempat. Konflik pertama menyangkut introduksi kapas transgenic oleh Monsanto, salah satu maskapai agrobisnis terbesar di dunia, tanpa melalui AMDAL. Maskapai itu telah divonis denda US$ 1,5 juta di kandangnya sendiri, AS, karena terbukti menyuap 140 orang pejabat di Indonesia dalam kurun waktu 1997 hingga 2002 (Gatra, 3 April 2004: 64-65, 29 Jan. 2005: 84-85).

Anehnya, tidak terdengar bahwa Menteri Pertanian dan Menteri Lingkungan dalam era yang dipersoalkan itu, yakni Soleh Solahuddin, Bungaran Saragih, Nabiel Makarim, dan Sony Keraf dikenakan sanksi apa-apa. Para petani di Bulukumba dan enam kabupaten lain, yakni Gowa, Takalar, Bantaeng, Bone, Soppeng dan Wajo, bahkan ditinggal dengan ribuan ton kapas busuk.

12. Berbeda dengan konflik kapas transgenic yang berjalan secara ‘damai’, konflik antara PT London Sumatra (LonSum) soal ekspansi kebun karet mereka di Bulukumba berjalan secara keras. Perlawanan petani membuahkan korban jiwa ketika pasukan Brimob secara sewenang-wenang memukuli dan menembaki petani yang berusaha merebut tanah mereka kembali. Akibat tindakan kekerasan Brimob pada hari Senin, 21 Juli 2003 itu, empat orang meninggal dunia, banyak orang menderita luka-luka, 14 orang dimasukkan ke penjara, dan sejumlah aktivis pro-demokrasi yang selama itu mendampingi perjuangan
rakyat Bulukumba, terpaksa ‘tiarap’ karena dimasukkan di daftar pencarian orang (DPO (van Gelder dkk 2005: 49; Tempo, 10 Agustus 2003: 36).

13. Sementara itu, sejarah perlawanan rakyat pedesaan di Sulawesi Tengah terhadap kebijakan pemerintah yang memihak investor, dimulai dengan perlawanan rakyat di dataran Seseba seluas 400 hektar di Kabupaten Banggai, menghadapi gelombang-gelombang penggusuran oleh berbagai perusahaan. Masyarakat Seseba sejak dulu mengenal klasifikasi lahan dataran itu sesuai dengan fungsinya, yakni hutan rakyat yang dimiliki secara komunal; tanah adat, yang difungsikan masyarakat untuk menanam
palawija (milik komunal, di mana warga masyarakat secara bergantian menanam dan memanen hasil) dan tanaman tahunan (milik perorangan); serta perkebunan masyarakat yang digunakan warga masyarakat untuk menanam tanaman tahunan dalam skala besar, seperti kelapa, coklat, kemiri, dan kopi (Gogali t.t.).

14. Sejak 1982, rakyat Seseba silih berganti ‘dirayu’ dan diancam untuk menyerahkan lahannya oleh PT Delta Subur Permai, dengan melibatkan militer dari Koramil Batui, serta dengan mengeksploitasi wibawa tradisional Raja Banggai, Hideo Amir. Rakyat Seseba tetap melawan dengan merebut kembali tanah mereka dan menanaminya dengan padi ladang dan palawija. Perlawanan mereka diorganisir oleh Forum Persaudaraan Petani Miskin, yang lima pimpinannya sempat dihukum penjara di tahun 2003 selama lima bulan. Sampai pertengahan 2004 rakyat Seseba terus melawan, walaupun tekanan semakin berat.
Soalnya, daerah mereka diincar oleh kelompok Medco yang sedang melakukan eksplorasi minyak bumi di daratan dan lepas pantai Banggai, untuk dijadikan pusat pemukiman karyawan mereka. Lokasi Seseba juga dekat dengan rencana pelabuhan Pertamina dan rencana pelabuhan samudera untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui (idem).

15. Perlawanan rakyat Seseba, segera disusul perlawanan rakyat desa di daerah Bungku Tengah dan Selatan (dulu di Kabupaten Poso, kini masuk Kabupaten Morowali) menghadapi PT Tamaco Graha Krida, yang mendapat konsesi kelapa sawit seluas 13.230 hektar, sehingga 1743 orang petani kehilangan lahan. Mereka mengorganisasi diri menjadi Forum Petani Plasma Kelapa Sawit. Tahun 1999, sebanyak 5000 orang anggota Forum itu mendatangi kantor pusat perusahaan perkebunan tersebut. Mereka memprotes kebijakan perusahaan dalam pembagian lokasi plasma, memprotes luas Lahan Inti Plasma yang
melebihi 40% dari luas plasma, serta memprotes perusahaan yang memprioritaskan transmigran dari NTT, NTB dan Jawa. Aksi itu dibalas dengan demo tandingan oleh para petani transmigran peserta plasma, yang diorganisasi oleh perusahaan dan pemerintah setempat. Aksi massa para anggota Forum dilanjutkan dengan aksi massa besar di Poso, ibukota Kabupaten Poso yang waktu itu masih meliputi Kabupaten Morowali (idem).

Dominasi bisnis keluarga JK & tokoh nasional lain:

16. Setelah melihat gambaran di atas betapa kencangnya arus ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara ke Sulawesi, marilah sekarang kita lihat betapa dominannya korporasi-korporasi milik keluarga Jusuf Kalla dan kroni-kroninya di Sulawesi. Ini terlihat paling jelas di sektor infrastruktur, khususnya lagi dalam pembangunan proyek-proyek pembangkitan listrik tenaga air (PLTA) berikut saluran udara tegangan tinggi dan ekstra tinggi (SUTT /SUTET)nya.

Sejak Jusuf Kalla dilantik sebagai Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004, dan terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, dua bulan kemudian, PT Bukaka Teknik Utama milik Jusuf Kalla dan adik-adikna mulai kebanjiran order membangun PLTA di Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu, bekas pusat kerajaan Luwu’ di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp 1,44 trilyun di Pinrang; sebuah PLTA kecil berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobutu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai; sebuah PLTA berskala menengah berkapasitas 8 MW di Bantaeng; serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabupaten Luwu’ Utara. Saat ini, Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW.

Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW, dibantu pembangunan jalan sepanjang 10 KM oleh Pemerintah Kabupaten (Aditjondro 2006c).

17. Menurut rencana, Bukaka juga akan membangun PLTA berkapasitas 200 MW dengan investasi sebesar US$ 300 juta di Sungai Saddang, sekitar 4 Km dari Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang diharapkan bisa rampung pada tahun 2010. Untuk itu, Pemprov Sulawesi Selatan telah menandatangani nota kesepakatan dengan konsultan rekayasa Jepang, Nippon Koei, dua tahun lalu (6 Febr. 2004). Untuk itu fihak konsultan berharap agar Pemprov Sulsel dan Pemkab Tana Toraja dapat
mendukung pembebasan tanah di lokasi proyek yang dikenal dengan nama “PLTA Malea”, yang meliputi satu kelurahan (Awa Tiromanda) dan dua lembang (Randanbatu dan Talion) di Kecamatan Makale Selatan dan Kecamatan Saloputti. Selain berdampak terhadap perladangan-hutan (agroforestry ) penduduk yang terdiri dari campuran kayu, kopi, kemiri, coklat, enau, bamboo, sengon, dan vanili, pembendungan Sungai Saddang itu juga punya efek sosio-psikologis. Di badan sungai di Lembang Randanbatu terdapat
tempat yang dalam legenda orang Toraja diyakini sebagai tempat munculnya putri Sandabilik, isteri Datu Pamula Tana (idem).

18. Itu baru order pembangunan PLTA buat Bukaka, belum lagi order pembangunan pembangkit listrik lain buat kelompok Bosowa milik saudara ipar Jusuf Kalla, Aksa Mahmud yang kini Wakil Ketua MPR-RI. Kelompok itu sedang membangun PLTU berkapasitas 20 MW di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan akan menelan biaya Rp 1,6 trilyun dan seluruh biayanya didanai oleh kelompok itu sendiri. Tahap pertama PLTU berkapasitas 100 MW yang menggunakan batubara diharapkan selesai tahun 2007 dan tahap kedua yang juga berkapasitas 100 MW direncanakan selesai tahun 2008, atau
paling lambat awal 2009. Dari total 200 MW yang dibangkitkan, PT Semen Bosowa di Maros mendapat jatah listrik 70 MW dengan harga 60 sen dollar AS per MW. Sisa energi sekitar 130 MW dijual kepada PLN Wilayah Sulselra dengan harga 4,3 – 4,4 sen dollar AS per MW (idem).

19. Namun bukan hanya bisnis keluarga besar Jusuf Kalla-Aksa Mahmud yang berjaya di Sulawesi. Di Manado, Mall di Boulevard, hasil reklamasi pantai Teluk Manado, melibatkan Theo Syafei sebagai Presiden Komisaris, dan anak Theo, Nano, sebagai direktur.

20. Seperti juga di Indonesia bagian Barat, pembangunan proyek-proyek pembangkitan listik skala besar di Sulawesi juga sering menghadapi resistensi masyarakat petani yang tergusur atau terancam lingkungan hidupnya. Di Sulawesi Selatan berturut-turut dikenal konflik antara petani di tepi Danau Towuti dengan PLTA Larona yang dibangun oleh maskapai pertambangan nikel bermodal Kanada, PT Inco, serta perlawanan petani terhadap pencabutan hak-hak atas tanahnya untuk pembangunan PLTA Bakaru dan bendungan Bili-bili (lihat Aditjondro 2001). Sedangkan di Sulawesi Tengah dikenal perlawanan petani di tepi Danau Lindu terhadap pembangunan PLTA Lore Lindu (Sangaji 2000), serta kini perlawanan rakyat di hulu Sungai Poso terhadap pembangunan PLTA Poso. Perlawanan ini akan segera disusul perlawanan terhadap pembangunan SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) dari Sungai Poso ke Soroako (Sulawesi Selatan) dan Pomala’a (Sulawesi Tenggara), yang dikoordinasi oleh Front Advokasi PLTA & SUTET (FAPS).

Keragaman etno-linguistik di Sulawesi & potensi konflik horizontal yang tinggi:

21. Resistensi rakyat setempat terhadap berbagai proyek ‘pembangunan’ lain yang padat-lahan, seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan dan pengolahan kayunya, serta PLTA ikut dipengaruhi oleh keragaman etno-linguistik di Sulawesi, di mana hak ulayat masing-masing kelompok etno-linguistik (= suku) masih jauh lebih dihormati ketimbang di Jawa. Berbeda dengan di Jawa, keragaman etno-linguistik di Sulawesi jauh lebih tinggi dari pada di Jawa, dengan keragaman
paling tinggi di Sulawesi Tengah, dengan sekitar 50 kelompok etno-linguistik. Keragaman etno-linguistik itu juga seringkali tumpang tindih dengan keragaman agama, di mana suku tertentu cenderung dominan beragama Islam dan yang lain Kristen, tergantung dari sejarah perjumpaannya dengan ‘agama-agama dunia’ tersebut. Akibatnya, konflik kelas di kantong-kantong masyarakat petani (peasant) dan peladang di gunung (hilltribes) di Sulawesi Tengah – dan juga di Sulawesi Barat – mudah dibelokkan
menjadi konflik horizontal yang berdarah-darah, akibat tumpang tindihnya kategori “kelas”, “etnisitas” dan “agama”.

22. Selama tiga tahun terakhir, di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sering tercetus konflik berdarah antara migran Bugis dengan dua subsuku asli Kabupaten Donggala, yakni orang Kaili Ledo yang menghuni dataran rendah dan orang Kaili Da’a yang habitat aslinya di pegunungan. Untuk mengurangi tekanan penduduk di pegunungan, banyak orang Da’a dipindahkan oleh pemerintah ke dataran rendah untuk menggarap tanah pertanian di sana. Namun kedua subsuku asli Donggala itu sulit bersaing dengan para migran, yang lebih tinggi tingkat kewiraswastaannya dan lebih mudah memperoleh sertifikat buat tanah persawahan dan perkebunan mereka di dataran rendah. Sementara itu, orang Da’a dengan sistem hak adat mereka tidak terbiasa mengurus sertifikat tanah. Begitu pula orang Ledo, yang secara tradisional merasa “tuan tanah” di sana. Akibat kesenjangan ekonomi dan perbedaan persepsi tentang pemilikan tanah, sering terjadi apa yang dianggap oleh petani Bugis sebagai “pencurian” tanaman mereka. Reaksi mereka paling keras, yakni membunuh para “pencuri”, apabila yang “dicuri” adalah tanaman coklat, komoditi primadona di Sulawesi Tengah. Di bulan Oktober 2004, terjadi dua kali pembunuhan di Kecamatan Biromaru, yakni di Desa Jono-oge dan di desa Sidondo, yang diduga berlatarbelakang konflik agraris begini, yakni awal Oktober dan tanggal 31 Oktober (lihat Aditjondro 2006a).

23. Tadi telah disinggung tentang kewiraswastaan orang Bugis. Ini berkaitan dengan suatu permasalahan bagi banyak masyarakat petani di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Luwu, dan Sulawesi Tengah, yakni penjualan tanah. Proses pelepasan tanah di kedua daerah ini telah berjalan dengan gencar selama dua dasawarsa terakhir, akibat ‘penjeblosan’ masyakatnya ke dalam ekonomi uang, yang merupakan ‘paspor’ ke banyak bidang lain. Buat yang beragama Islam, penjualan tanah dilakukan menjelang musim haji, agar mereka dapat menunaikan ibadah haji. Sedangkan secara lintas agama,
penjualan tanah dilakukan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Lalu, setelah anak-anak itu mencapai jenjang pendidikan tertentu, tanah orang tua dijual lagi untuk membayar sogokan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini telah saya amati mulai dari Kabupaten Luwu Utara (Sulawesi Selatan), sampai dengan di Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah). Seorang pegawai Departemen Agama di Kabupaten Luwu Utara menjual tanahnya untuk membiayai kuliah anak-anak puterinya di STAIN Datokarama di Palu. Setelah puteri tertuanya tamat, ia menjual tanahnya lagi untuk membayar ‘biaya masuk’ agar puterinya itu bisa diangkat menjadi dosen STAIN tersebut. Tragisnya, tidak lama setelah diterima menjadi dosen STAIN, puteri kesayangannya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang ayah dan sang ibu menyusul anaknya ke alam baka (idem).

24. Di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali (hasil pemekaran dari Kabupaten Poso), pelepasan tanah adat tiga suku asli di sana - To Pamona, To Lore, dan To Mori -- berjalan paling gencar dengan dampak marjinalisasi penduduk asli pegunungan (indigenous highlander) yang paling parah di seantero Pulau Sulawesi, dibandingkan dengan orang Toraja dan Minahasa. Ada tujuh faktor penyebab marjinalisasi tersebut. Pertama, melunturnya ketaatan pada hukum adat menyangkut tanah menyebabkan banyak tanah komunitas pribumi beralih ke tangan para pendatang. Kedua, pergeseran orientasi dari petani ke pegawai negeri atau pegawai gereja mendorong para orang tua menjual tanah keluarga untuk membiayai pendidikan anak mereka, serta selanjutnya, setelah anak mereka lulus S-1, menyogok para petugas penerimaan PNS baru. Ketiga, tanah juga dijual untuk membiayai pesta pernikahan di kalangan orang Pamona, di mana gengsi keluarga besar dianggap semakin terangkat kalau dapat menjamu sebanyak mungkin tamu. Keempat, masyarakat di daerah terpencil yang dulu harus berjalan kaki puluhan kilometer ke pasar, mudah dibujuk untuk melepaskan tanah secara cuma-cuma, karena sangat mendambakan pembangunan jalan yang dapat meringankan perjalanan ke pasar dan sekolah terdekat. Kelima, pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso serta jalan koridor PT Kebun Sari yang menghubungkan Lembah Napu dengan jalan Palu-Poso. Keenam, pelepasan tanah subsuku Onda’e di Kecamatan Pamona Timur untuk pemukiman kembali korban gusuran PT Inco dari Bungku Tengah dan Bungku Selatan.
Ironisnya, ratusan hektar tanah di sana kemudian dikuasai oleh keluarga-keluarga pejabat Kabupaten Poso, yang dulu meliputi Morowali. Ketujuh, mirip seperti di atas, pelepasan tanah orang Mori secara cuma-cuma, dijual oleh para pejabat asal Morowali kepada PTP untuk perkebunan kelapa sawit (lihat Aditjondro 2006a).

25. Bukan hanya suku-suku yang habitatnya jauh dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah yang mengalami marjinalisasi karena ‘pembangunan’. Suku Kaili yang merupakan penduduk asli Kota Palu dan Kabupaten Donggala, telah mengalami marjinalisasi yang luar biasa, akibat pemekaran kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, yang dibarengi dengan proses urbanisasi yang menggebu-gebu.

Proses marjinalisasi ini paling parah dialami oleh subsuku Kaili Ledo dan Kaili Rai yang turun temurun menghuni dataran rendah seputar Teluk Palu. Lebih tragis dari pada suku-suku asli Poso, orang Ledo sering menjual tanahnya kepada pendatang, sekedar untuk menyambung hidup, sebab di berbagai sektor ekonomi mereka sudah tersingkir oleh pendatang. Ini sering menimbulkan ketegangan antara para migran dari Sulawesi Selatan, dengan orang Ledo yang merasa dirinya ‘tuan tanah’ kota Palu (idem).

26. Sementara orang Kaili di dataran rendah tergusur oleh proses urbanisasi kota Palu, subsuku-subsuku Kaili di Pegunungan Kamalisi – yakni Da’a, Inde, dan Unde – mengalami masalah lain lagi.

Dengan pola hidup mereka sebagai peladang bergilir (rotational farming), serta sistem kepercayaan mereka yang asli dengan ritus-ritusnya yang disesuaikan dengan kalender perladangan mereka, mereka seringkali menjadi korban prasangka masyarakat mayoritas (mainstream). Pertama, mereka seringkali dicap sebagai perusak hutan, dan harus dimukimkan ke dataran rendah, jauh dari pegunungan yang merupakan habitat mereka yang asli. Kedua, setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengipas arus sektarianisme dengan sebelas fatwanya, orang Kaili pegunungan yang masih menghormati adat istiadat
nenek moyang mereka, di samping ajaran agama Islam, sering dicap sebagai penganut “aliran sesat” (idem).

27. Kriminalisasi masyarakat pribumi dan sekaligus kriminalisasi aliran “sesat” ini dapat berpengaruh negatif terhadap kebebasan masyarakat-masyarakat pegunungan itu untuk bercocok tanam berdasarkan kearifan nenek moyang mereka. Kriminalisasi ganda ini dialami oleh kelompok masyarakat Unde di Desa Salena, yang masih termasuk wilayah Kota Palu. Belum lama ini, desa ini diserang oleh sejumlah personil Polsek Palu Barat, akibat informasi yang berlebihan tentang peranan seorang dukun dan guru silat, bernama Madi. Perlawanan kelompok Madi yang menyebabkan tiga orang polisi dan seorang pengikut Madi tewas, menyebabkan penduduk desa itu lari ke hutan, sementara kampung mereka dijarah oleh dua kelurahan tetangganya. Sampai hari Jumat, 6 Januari lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, Desa Salena masih diduduki satu peleton polisi, yang melarang penduduk berkebun di gunung, supaya mereka tidak berkomunikasi dengan Madi, yang masih berhasil mempertahankan kebebasannya (idem).

28. Dalam kasus Salena itu, kriminalisasi ‘aliran sesat’ dan kriminalisasi masyarakat pribumi tampak dengan jelas. Sampai akhir Januari yang lalu, nama MADI tetap dipelintir menjadi MAHDI dalam liputan harian Radar Sulteng edisi 26 Januari 2006, yang dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa dukun dan guru silat suku Unde itu mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Sedangkan nama empat di antara sembilan orang terdakwa, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Polisi sengaja diberi gelar-gelar adat, seolah-olah memang ada komplotan yang terorganisasi di antara masyarakat Unde
untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang’sah’. Sahido (30) diberi gelar PENDEKAT RANUBAYA, Bambang (21) diberi gelar PENDEKAR CAKAR DARAH, Asanudin (25) diberi gelar PENDEKAR PATI NAMBI, dan Nanga yang baru berumur 17 tahun diberi gelar PENDEKAR CENCONG. Jadi, selain kriminalisasi, kini juga terjadi stigmatisasi orang Kaili pegunungan.

29. Nasib orang Kaili diharapkan tidak akan setragis nasib orang Betawi, setelah Banjela Paliuju, yang berdarah Kaili Da’a, terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tengah. Mudah-mudahan ia dapat menghapus stigmatisasi masyarakat-masyarakat pribumi di provinsi ini, yang selama ini hanya menjadi pelengkap penyerta, bahkan tidak jarang menjadi pelengkap penderita, dalam pembanguan.

30. Sementara itu, pembeli tanah yang paling agresif di daerah Sulawesi Tengah adalah para migran Bugis, Makassar, dan Toraja dari Sulawesi Selatan. Sifat kewiraswastaan mereka membuat mereka lebih cepat melihat peluang bisnis di situ, ketimbang penduduk asli, yang tadinya masih merasa masih memiliki tanah luas. Cukup terkenal pemeo orang Bugis, “buat apa mi tinggi sekolahmu, kalau tidak ada sokola’mu [pohon coklatmu]”. Karena itu, hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan terwakili dalam nama toko, warung, dan rumah makan di sepanjang ruas Jalan Trans-Sulawesi, dari Poso sampai ke Palu. Hampir setiap pemilik properti itu memiliki sejumlah batang pohon coklat, yang
penanamannya dirangsang oleh PT Hadji Kalla, sebagai pembeli buah coklat mereka. Kebetulan, peluang bisnis ini cepat dilihat oleh perusahaan milik keluarga M. Jusuf Kalla itu, karena anak perusahaan mereka, PT Bumi Karsa, yang diserahi pemerintah membangun jalan Trans-Sulawesi.

Peranan militer dalam menunjang eskalasi konflik-konflik horizontal:

31. Seperti yang telah disinggung di depan, keragaman etno-linguistik yang tumpang tindih dengan kelas dan agama itu sangat berpotensi menjadi konflik terbuka, keras, dan bersenjata, apabila memang diarahkan ke situ. Indikasinya adalah bahwa penempatan pasukan-pasukan ‘pengamanan’, memang mengarah ke sana. Dengan berbagai cara, pertikaian-pertikaian lokal di antara berbagai komunitas diarahkan untuk dikembangkan ke sana. Dari penelitian saya di Kabupaten Poso, bersama kawan-kawan dari Yayasan Tanah Merdeka dan para pengungsi Poso di perantauan, ada beberapa cara yang ditempuh,
yakni (a) dimulai dengan pembiaran agar kedua kelompok saling curiga danberjaga-jaga, (b) dilanjutkan dengan pembiaran terhadap latihan merakit bom dan senapan, setelah maket pembuatan SS-1 dari PT Pindad tiba-tiba beredar di Poso, lalu (c) pembiaran terhadap peredaran senjata secara gelap, dilanjutkan dengan (d) penjualan atau pembagian senjata dan amunisi, lalu (e) pelatihan terhadap kelompok-kelompok milisi setempat , sampai dengan (f) menjadi eksekutor terhadap tokoh-tokoh dari kedua komunitas, sehingga curiga dan dendam meledak sampai ke ubun-ubun.

32. Pecahnya konflik berdarah di antara dua atau lebih komunitas kemudian memberikan dalih untuk penempatan pasukan, baik dari militer maupun polisi. Pasukan-pasukan non-organik itu kemudian menjadi betah untuk berlama-lama bertugas di daerah konflik, sebab ada pendapatan tambahan yang bisa diperoleh, hanya dalam keadaan konflik. Sementara para atasan menyunat uang operasi para bawahan di lapangan, para bawahan – dengan restu atasan -- mengembangkan 14 jenis ‘bisnis kelabu’ yang telah saya amati di Palu, Poso, Morowali, dan Banggai, yakni (a). pemerasan secara langsung; (b).
perlindungan bagi prostitusi terselubung, khususnya di perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah; (c). perlindungan bagi sabung ayam; (d). bisnis satpam; (e). perburuan dan penyelundupan fauna dan flora langka, seperti kayu hitam dari kawasan Poso Pesisir dan ikan sogili dari Danau Poso; (f). perdagangan hasil hutan hasil illegal logging; (g). pengangkutan barang dan penumpang dengan kendaraan dinas; (h). bisnis pengawalan; (i). penyewaan mobil milik perwira-perwira polisi yang masih bertugas aktif; (j). penyewaan senjata dan ‘jasa’ menteror orang-orang yang menghalangi korupsi dana bantuan pengungsi, atau untuk memelihara iklim ketakutan secara umum di Poso dan Palu, seperti terbukti dari kasus Ray Efendi, Ilo, dan Iskandar Rauf di Poso dan Palu; (k) pungutan di pos-pos penjagaan; (l). proteksi properti milik pengusaha dan eks-pejabat yang sudah jadi pengusaha; (m). bisnis proteksi korporasi, terutama yang melakukan investasi di Sulawesi Tengah bagian Timur; sampai dengan (n). perdagangan ilegal senjata dan amunisi (Aditjondro 2004, 2006c; Sangaji 2005).

33. Bisnis kelabu aparat keamanan di Sulawesi Tengah sudah menjadi penyakit menular. Paling tidak, menular ke Sulawesi Barat. Pengutipan pungutan-pungutan liar di pos-pos penjagaan, yang pernah begitu marak di Kabupaten Poso, telah terjadi pula di di daerah konflik Mambi-Aralle-Tabulahan di Provinsi Sulawesi Barat, di mana rakyat mengeluh karena hewan peliharaan mereka sering diambil paksa oleh anggota-anggota Brimob yang bertugas di sana. Bisnis kelabu itu menyertai bisnis terang, karena belakangan ini, Zipur Kodam Wirabuana mendapat borongan membangun jalan poros yang
menghubungkan Mambi, Aralle dan Tabulahan (Aditjondro 2006a, 2006b).

34. Baik di darat, maupun di laut militer dan polisi berjaya untuk melindungi bisnis berskala besar. Operasi pemutusan tali rumpon nelayan di Bone oleh Dinas Perikanan setempat, Jumat malam, 12 Desember 2005, dikawal oleh 45 orang tentara dan polisi dari Korem, Kodim 1407 Watampone, dan Detasemen Polisi (Denpom) Watampone, dipimpin langsung oleh Dandim Letkol (Art) Yasyid Sulistyo, dengan menggunakan empat perahu nelayan (Tribun Timur, Minggu, 18 Desember 2005).

Korporasi-korporasi yang diuntungkan dari eskalasi konflik-konflik horizontal:

35. Sementara rakyat Poso sangat dirugikan oleh kerusuhan dan gangguan keamanan yang tidak kunjung reda, segelintir korporasi besar telah menancapkan kaki di Kabupaten Poso serta kabupaten-kabupaten lain di sebelah timurnya, di bawah perlindungan dua batalyon: Yoninf 711/Raksatama dan Yoninf 714/Sintuwu Maroso. Soalnya, kalau tadinya di seluruh Sulawesi Tengah hanya ada satu batalyon TNI/AD, yakni Yoninf 711/Raksatama, maka sejak kerusuhan Poso batalyon itu sudah dimekarkan menjadi
dua. Batalyon yang lama bertugas memelihara keamanan para pemodal besar di wilayah Sulteng bagian Barat, dari Toli-toli s/d Donggala, batalyon yang baru, Yoninf 714/Sintuwu Maroso yang berbasis di kota Poso, menjaga keamanan para pemodal besar dari Kabupaten Poso s/d Kabupaten Banggai Kepulauan.

36. Empat kelompok bisnis yang diuntungkan oleh pemekaran Batalyon itu adalah kelompok CCM (Central Cipta Murdaya) milik suami isteri Murdaya Widyawimarta (d/h Poo Tjie Gwan) dan Siti Hartati Tjakra Murdaya (d/h Chow Lie Ing); kelompok Medco milik keluarga Arifin Panigoro; kelompok Artha Graha yang dipimpin oleh Tomy Winata dan melibatkan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD, yang sedang menyiapkan tambang marmer dan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Morowali; serta kelompok Bukaka milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sedang membangun PLTA berkapasitas 780 Mega
Watt di Sungai Poso (Aditjondro 2005).

37. Kelompok CCM tidak sungkan-sungkan merangkul mantan jenderal dan mantan gubernur Sulawesi Tengah dalam bisnis mereka. Dalam perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations seluas 52 ribu hektar di Kabupaten Buol dan Toli-Toli, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN waktu itu, Letjen (Purn) A.M. Hendropriyono duduk sebagai komisaris, bersama mantan Gubernur Sulteng, Azis Lamadjido. Bukan itu saja kepentingan bisnis kelompok CCM di Sulawesi Tengah. Selain konsesi hutan PT Bina Balantak Raya seluas 72.500 hektar di Desa Lamala Balantak, Kabupaten Banggai, yang
didirikan tahun 1980, CCM juga berencana membangun pabrik semen di Kabupaten Donggala, dengan modal Rp 1,5 trilyun, di bawah bendera PT Cipta Central Murdaya Semen (Aditjondro 2006c).

38. Selain CCM, kelompok Medco, maskapai pertambangan migas swasta terbesar di Indonesia milik keluarga Arifin Panigoro sudah mulai menghitung pemasukan mereka. Kelompok ini beroperasi di lepas pantai Kabupaten Morowali serta di daratan Kabupaten Banggai dalam JOB (joint operation body) dengan Pertamina. Kamis, 12 Januari lalu, JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi melakukan pengapalan perdana minyak mentah dari Lapangan Tiaka dengan volume 75 ribu barel. Pengapalan perdana itu membuka sejarah perminyakan di Sulawesi, karena Lapangan Tiaka merupakan lapangan minyak pertama di pulau ini. Lapangan ini mulai berproduksi pada tanggal 31 Juli 2005. Minyak mentahnya dikirim untuk diolah di Kilang UP-III PT Pertamina (Persero) di Plaju, Sumatera Selatan (Kompas, 13 Jan. 2006).

39. Adakah korelasi antara pemekaran batalyon dengan pengamanan konglomerat-konglomerat tersebut? Ada. Di dataran Seseba, Kabupaten Banggai, para petani sudah beberapa kali melakukan protes terhadap perampasan tanah pertanian dan tambak mereka oleh pengusaha-pengusaha setempat. Tanggal 3 Oktober 2002, sekitar 35 orang petani Seseba melakukan mogok makan di gedung DPRD Sulawesi Tengah di kota Palu. Untuk menakut-nakuti mereka, sekitar 125 orang personil TNI dan Polri melakukan
simulasi pelatihan perang-perangan di Batui, dekat dataran Seseba, yang dihadiri Bupati Banggai, Kol. Sudarto, SH waktu itu, Komandan Kodim, Kapolres Banggai, dan sejumlah unsur Muspida. Latihan perang-perangan ini bermaksud menakut-nakuti rakyat Seseba, yang kehilangan 200 hektar lahan perkebunan dan perumahan mereka untuk pemukiman karyawan Pertamina (Gogali t.t.).

40. Kelompok Bukaka milik keluarga Jusuf Kalla, juga menikmati perlindungan militer di Kabupaten Poso. Kalau tadinya militer yang secara organik berkedudukan di Kabupaten Poso hanya meliputi personil Markas Batalyon 714/Sintuwu Maroso di pinggiran kota Poso dan satu kompi di Pendolo, setelah bom Tentena satu kompi tambahan ditempatkan di Desa Saojo, dekat lokasi proyek PLTA Poso-1 dan Poso-2. Personil kompi itu siap membantu 15 pos penjagaan militer, polisi, dan satpam yang berada di lokasi proyek PLTA Poso-2 di Sulewana (Aditjondro 2005a: 11-2).

41. Hubungan yang mesra antara modal dan militer tampak setelah 650 orang anggota FAPS (Front Advokasi PLTA & SUTET) dari sebelas desa di sepanjang Sungai Poso melakukan aksi di Desa Sulewana, Selasa, 18 April lalu. Mereka menuntut pembangunan PLTA itu dihentikan, sampai PT Bukaka Teknik Utama menyelesaikan masalah ganti rugi tanah (Kompas, 19 April 2006). Bukaka meminta waktu dua minggu, untuk membahas tuntutan FAPS. Namun tentara tidak menunggu lama untuk memberikan reaksi. Hari
Kamis, 20 April 2006, Yoninf 714/Sintuwu Maroso menggelar latihan perang-perangan di dekat pusat pemukiman pengungsi Poso di ex lapangan terbang MAF di kota Tentena. Sejak Rabu malam, 19 April lalu, pasukan-pasukan sudah didrop di Tentena, ibukota Kecamatan Pamona Utara, dengan menggunakan mobil PT Bukaka. Malam itu juga diumumkan dengan corong dari mobil yang keliling kota Tentena, agar masyarakat jangan kaget jika mendengar bunyi letusan senjata api, karena TNI sedang latihan perang-perangan (kom. pribadi dengan informan-informan di Palu dan Tentena, 19 April 2006). Perang urat syaraf begini mirip seperti dilakukan penguasa di Seseba. Di mana rakyat menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap dampak sebuah proyek pembangunan, di situ aparat bersenjata melakukan latihan perang-perangan.

So what?

42. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh aktivis-aktivis pro-demokrasi di Sulawesi? Banyak.

Pertama-tama, para aktivis pro-demokrasi di Sulawesi harus mulai membongkar mitos tentang akar-akar penyebab ketidakamanan di Sulawesi yang bersifat sektarian, dengan fokus khusus ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Sebab berbagai mitos tentang ketidakrukunan di antara komunitas agama, yang tersebar ke Jawa lewat berbagai media, termasuk media sektarian, justru tidak menguntungkan penciptaan perdamaian serta penyelesaian konflik-konflik di Sulawesi sendiri.

Kedua, kampanye secara nasional untuk penegakan supremasi sipil, dengan tekanan pada penghapusan komando territorial, dibarengi dengan tekanan ke arah profesionalisasi polisi sehingga lebih terlatih dalam pengendalian kerusuhan tanpa cara-cara membunuh atau melumpuhkan orang secara permanen, sudah saatnya ditingkatkan.

Ketiga, para aktivis pro-demokrasi di aras akar rumput sangat memerlukan bantuan informasi dan investigasi oleh kawan-kawan yang dekat dengan pusat-pusat informasi penanaman modal dan bisnis di Jakarta. Ini sangat perlu untuk membantu kawan-kawan di akar rumput menyiapkan komunitas-komunitas basis menghadapi rencana-rencana investasi itu, termasuk persiapan untuk menggunakan hak mereka menolak proyek dan program yang merugikan rakyat dan merusak lingkungan setempat.

Keempat, perlu kampanye bersama antara kawan-kawan di akar rumput, di kota-kota strategis di Sulawesi, dan di Jakarta, untuk melawan pembangunan bercorak neo-liberalistis, yang didukung oleh rezim komprador SBY-JK.

Selain membongkar sinerji antara modal, militer, dan milisi-milisi di Sulawesi Tengah, kampanye bersama itu perlu difokuskan ke arah legalisasi pendirian partai-partai lokal di Sulawesi, yang lebih berkiblat ke sosialisme ketimbang feodalisme lokal penunjang kapitalisme nasional dan global.

Last but not least, kelima, perlu pengukuhan nilai-nilai demokratis di kalangan kawan-kawan aktivis pro-demokrasi di Sulawesi sendiri, untuk mengcounter nilai-nilai primordial yang mengagung-agungkan peranan politisi atau saudagar asal Sulawesi, melebihi komitmen kepada kepentingan rakyat di aras akar padi.

Yogyakarta, 15 Juli 2006.

Referensi:
Aditjondro, George Junus (2001). Go with the Flow: The Fluctuating and Meandering Nature of Indonesia’s Anti-Large Dam Movement. Makalah untuk Lokakarya dalam rangka Jubileum KITLV dengan tema “Air sebagai Pemberi Kehidupan dan Kekuatan Yang Mematikan serta Hubungannya dengan Negara, Dulu dan Sekarang” di Leiden, Negeri Belanda.
---------------- (2004). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur”, Wacana, Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif, No. 17, Th. III, hal. 137-78.
---------------- (2005). "Setelah Gemuruh Wera Sulewana Dibungkam: Dampak Pembangunan PLTA Poso & Jaringan SUTET di Sulawesi." Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
-----------------(2006a). "Sulawesi, Taman Mini permasalahan agraria di Nusantara." Makalah untuk Seminar Pembaruan Agraria yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Bantaya di Palu, 26 Januari.
-----------------(2006b). "Terlalu Bugis-sentris, kurang ‘Perancis’. Makalah untuk bedah buku karangan Christian Pelras, Manusia Bugis, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis, 16 Maret.
-----------------(2006c). "Bagaikan Gatotkaca, yang terbang di atas saluran udara tegangan (ekstra) tinggi, mereka seperti tak tersentuh oleh hukum di negeri ini." Makalah untuk Seminar dalam rangka Sarasehan Korban SUTET Indonesia, yang diselenggarakan oleh Solidaritas Advokasi Korban SUTET
Indonesia (SAKSI) di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI), Jl, Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat, hari Minggu, 23 April.
--------------- (2006d). "Tibo & penyerangan pesantren Walisongo jilid II: Mengungkap kepentingan ‘tritunggal’ modal, militer, dan milisi di balik pengawetan ketidakamanan di Sulawesi Tengah." Makalah yang sudah diterbitkan secara bersambung di Tabloid Udik di Kupang dan Harian Komentar di Manado.
Alimuddin, Muhammad Ridwan (2005). "Orang Mandar, orang laut: Kebudayaan bahari Mandar mengarungi gelombang perubahan zaman." Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
---------------- (2006). “Rumpon dan Konflik”, Radar Sulbar, 17, 18, 20 Maret 2006.
van Gelder, Jan Willem, Eric Wakker, Matthijs Schuring dan Myrthe Haase (2005). Kutukan Komoditas: Panduan bagi Ornop Indonesia. Amsterdam: Profundo dan AIDEnvironment.
George, Kenneth M. (1996). "Shoswing signs of violence: The cultural politics of a
twentieth-century headhunting ritual."
Berkeley: University of California Press.
Gogali, Nerlian (n.d.). "Marmer, Migas, dan Militer di Ketiak Sulawesi Timur: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Investor." Naskah yang belum diterbitkan.
Sangaji, Arianto (2000). "PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah." Yogyakarta & Palu: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Yayasan Tanah Merdeka & WALHI Sulawesi Tengah.
------------- (2002). "Buruk Inco, Rakyat Digusur: Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia." Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-------------- (2005). “Menimbang Madi secara Obyektif”, Kompas, 29 Oktober.
Sikopa, Suaib Dj. (2006). "Ada ri Tana Kaili." Yogyakarta:PT Pilar Media.
Whitten, Tony, Greg S. Henderson & Muslimin Mustafa (2002). "The Ecology of Sulawesi." Hong Kong: Periplus.


Curriculum Vitae
George Junus Aditjondro

Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.

Pendidikan:
1. 1991: Master of Science (M.S.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.

Pekerjaan:
1. 1971-1979: Jurnalis Majalah TEMPO.
2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
3. 1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Western Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, NSW, Australia).
4. Sejak 1994, meneliti penyebaran harta jarahan keluarga dan kroni Soeharto ke belasan negara di dunia.
5. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
6. Sejak September 2005: ikut mengampu mata-mata kuliah Marxisme, Metodologi Penelitian, dan Gerakan Sosial Baru di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karya Tulis:
Ratusan artikel, buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua Barat, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, lingkungan hidup, HAM, bisnis militer, gerakan sosial baru (new social movements), gerakan kiri di Indonesia dan Amerika Latin, pendidikan radikal, ekologi politik migas, serta korupsi sistemik para Presiden RI.



Baca selengkapnya!