2.11.07

Propaganda, Kuasa, Dan Pengetahuan

Genealogi Ilmu Komunikasi di Indonesia, Suatu Penelusuran Awal
Ignatius Haryanto

Pengantar

PERKEMBANGAN ilmu komunikasi di Indonesia dan berbagai kegiatan penerapannya sangat berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini. Ada beberapa indikasi yang bisa ditunjuk untuk melihat perkembangan tersebut. Pertama, adalah makin banyaknya dibuka program-program pendidikan komunikasi (terutama dalam ilmu terapannya) yang diselenggarakan baik oleh perguruan tinggi (mulai dari program sarjana, diploma, hingga kelas extention) ataupun kelembagaan pendidikan non perguruan tinggi lain (ada berbagai pendidikan non degree yang menawarkan program-program komunikasi terapan ini).

Kedua, hasil lebih lanjut dari berbagai program ini adalah tentu saja, semakin banyak lulusan-lulusan berbagai program tadi yang memiliki latar belakang pendidikan komunikasi. Ketiga, hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan bisnis dan berbagai kelembagaan lain yang berurusan dengan publik, pastilah memiliki suatu departemen yang diberi nama Hubungan Masyarakat (Humas) / Public Relations, ataupun kelembagaan konsultan Humas. Keempat, salah satu hasil lain dari program terapan ilmu komunikasi adalah bidang periklanan atau advertising yang juga menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam dua dekade belakangan ini.

Tak ada yang salah dengan fenomena yang telah disebutkan di atas, karena bagaimanapun juga perkembangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan hal yang istimewa jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain, terutama negara yang sudah termasuk dalam sebutan negara Industri (ataukah negara industri advanced ataupun negara industri baru), apalagi dengan kemajuan teknologi informasi telah membuat berbagai rangkaian hubungan antar manusia atau lembaga kini menjadi makin kompleks, sehingga ada kebutuhan untuk sebagian pihak untuk mengadakan suatu kelembagaan khusus yang berurusan dengan masalah komunikasi – terutama – dengan pihak luar.

Yang hendak ditulis di sini adalah suatu kritik atas pemahaman ataupun perkembangan ilmu dominan yang terjadi dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kritik lebih luas terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang menunjukkan kemandegan atas cara berpikir yang telah diterapkan sekian lama, lewat suatu cara yang spesifik dalam pelanggengan suatu mazhab tertentu yang diyakini untuk diajarkan, dan diterapkan, tanpa ada suatu dimensi kritik epistemology atas perkembangan ilmu itu sendiri.

Tesis utama yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama diajarkan oleh universitas-universitas dominan di Indonesia, lebih membela suatu paradigma tunggal, atau katakanlah lebih membela paradigma yang lebih pragmatis, cenderung positivistik, mengabaikan konteks perkembangan ilmu dalam wilayah dimana ia berkembang, serta tak pernah mempertanyakan keabsahan asumsi-asumsi yang terletak di balik penggunaan paradigma dominan dalam perkembangan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

Dengan menyebut ‘paradigma tunggal’, posisi binner adalah paradigma plural, dimana ada berbagai mazhab lain yang dikenal dalam ilmu komunikasi atau ilmu lain yang kini sering berinteraksi secara metodologis dengan ilmu-ilmu komunikasi. Dengan membela posisi paradigma yang plural, maka tulisan ini pun hendak membela suatu pendekatan interaksi antar bidang ilmu yang untuk sebagian pihak masih dianggap suatu tabu.1

Tulisan ini barulah sekedar tulisan awal untuk melacak akar-akar perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama sangat berorientasi pada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama dalam kacamata paradigma positivistik, berakar pada mashab Chicago School, dan juga dengan pendekatan yang sangat pragmatis, dengan asumsi-asumsi yang sudah diterima begitu saja dan cenderung menggunakan statistik untuk peneguhan tesis yang sudah dipegang awalnya. Dari sini, secara tidak langsung, hendak mencoba menjawab mengapa terjadi kemandekan dalam perkembangan ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial lainnya di Indonesia.

Tulisan ini juga hendak melacak bagaimana ilmu komunikasi di Amerika sendiri berkembang menjadi suatu disiplin yang lebih mapan terutama pada tahun 1950-an atau dekade awal setelah selesainya perang dunia II. Hal tentang perang dunia II, di sini disinggung karena ini terutama berkait dengan fakta bahwa sejumlah ahli ilmu komunikasi Amerika – yang teorinya dipergunakan oleh para mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi tanpa daya kritis, dan dianggap sebagai the founding fathers of communication science - punya andil besar dalam penerapan dan pengembangan metode-metode ilmu komunikasi untuk membela kepentingan Amerika dalam perang yang terjadi sejak masa perang dunia II hingga masa perang dingin tahun 1960-an. 2

Dari pelacakan sejarah awal di Amerika, diharapkan tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran, bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tak bisa juga dilepaskan dari perkembangan kepentingan ekonomi dan politik Amerika terhadap negara dunia ketiga, seperti Indonesia – terutama yang jaman Sukarno dikenal dengan nasionalisme dunia ketiga dengan mendirikan gerakan non blok dengan negara-negara Asia dan Afrika – dan perkembangan posisi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tak juga bisa dilepaskan dari perkembangan pendekatan developmentalis yang dianut para penyusun kebijakan sosial pada masa awal orde baru, terutama dengan menggandeng ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi dalam kekuasaan birokrasi negara.

Tulisan ini hendak dimulai dengan pelacakan perkembangan ilmu komunikasi di Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat3
dan juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman. Kemudian tulisan ini berlanjut pada perkembangan metode perang psikologis (psychological warfare) yang digunakan para ahli komunikasi Amerika yang bekerja pada 6 kelembagaan perang Amerika untuk membela kepentingan ekonomi dan politik Amerika.4

Kemudian setelah itu tulisan ini menyoroti sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dengan terutama menyoroti bagaimana dekatnya hubungan para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia dengan ilmu komunikasi asal Amerika,5
serta menunjuk pada luasnya pengaruh ‘mazhab Amerika’ ini dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.6 Di bagian akhir tulisan ini, akan sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66, dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66 tersebut.7

Membuka Selubung Ideologis: Sumbangan Christopher Simpson dalam memahami konteks perkembangan studi komunikasi di Amerika

Sebelum masuk dalam pembahasan lebih jauh terhadap Lasswell, Lippman dan model teori Propaganda, ada baiknya sedikit mengulas suatu buku yang sangat relevan dalam topik bahasan ini, yaitu buku yang ditulis oleh Christopher Simpson, yang berjudul Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960 (Oxford University Press, 1994).

Buku ini membedah secara tajam bagaimana keterkaitan para ahli ilmu komunikasi di Amerika (termasuk di dalamnya sejumlah anggota peneliti dari Institut fur Sozialforschung, seperti Herbert Marcuse8 dan Leo Lowental yang bermigrasi ke Amerika ketika para sarjana ‘critical school’ ini terpaksa pergi dari Jerman ketika mulai dalam kekuasaan Hitler) dengan penggunaan perang psikologis yang dikembangkan mereka pada masa antara tahun 1945 dan 1960, dan kalangan militer Amerika yang memiliki kepentingan besar dalam perkembangan metode atau paradigma tertentu dalam studi komunikasi dan mereka ini juga yang punya kuasa untuk menentukan ‘apakah studi komunikasi’ itu, tentunya dengan paradigma yang mereka anggap ‘objektif,’ mencari ‘kebenaran ilmiah.’ Pengembangan pendekatan ini pun didukung dengan besarnya bantuan dana yang diberikan untuk proyek-proyek penelitian yang berkait dengan soal ini.

Perang psikologis di sini diartikan sebagai “serangkaian strategi dan taktik yang didisain untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan militer dari organisasi yang membiayainya lewat eksploitasi atribut-atribut sosial dan psikologis, serta sistem komunikasi masyarakat yang dibidik.” Atau dengan kata lain, perang psikologis juga bisa diartikan sebagai “aplikasi pendekatan komunikasi massa dalam konflik-konflik social, dimana ia memfokuskan pada penggabungan antara penggunaan kekerasan atau bentuk komunikasi konvensional lain untuk mencapai kepentingan politik dan militer” 9

Untuk kalangan militer Amerika, ‘komunikasi’ dimengerti tidak lebih dari suatu bentuk transmisi pesan dimana pesannya bisa berupa apa saja untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan membela kepentingan militer.10 Tidak cuma itu, agen-agen keamanan Amerika juga melihat propaganda dan perang psikologis sebagai “alat untuk memperluas pengaruh pemerintah Amerika di wilayah-wilayah lain yang kemudian bisa dikuasai oleh tentara-tentara Amerika, dengan biaya yang murah.”11 Sebagai suatu contoh dikemukakan bahwa radio CIA di negara-negara Eropa Timur telah menjadi “sarana yang paling murah, aman, dan efektif bagi kepentingan politik luar negeri Amerika”.

Dan menurut Simpson, perkembangan metode perang psikologis dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika saat itu harus dilihat dalam kaitannya dengan konteks politik dan ekonomi antara tahun 1940 hingga 1950-an, dimana tujuan utama dari operasi perang psikologis tersebut adalah “untuk membuat frustasi ambisi dari negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam, yang memiliki gerakan massa yang radikal, serta memiliki problem-problem besar seperti masalah kemiskinan, ketergantungan, dan korupsi yang hebat.”12

Dari sisi keuangan, hal ini juga menjadi jelas, bahwa antara tahun 1945 hingga 1960, badan-badan seperti Departemen Pertahanan Amerika, kemudian US Information Agency, dan CIA memberikan banyak dana untuk proyek-proyek penelitian komunikasi. Pada tahun 1950-an saja diumumkan, budget untuk penelitian tersebut mencapai $ 1 milyar per tahun, dan di antara dana itu antara $ 7 hingga $ 13 juta disisihkan untuk universitas, untuk kelompok-kelompok think thank, khususnya untuk bidang-bidang: komunikasi yang erat kaitannya dengan psikologi sosial, studi-studi efek komunikasi, studi antropologi dari system komunikasi negara-negara luar, studi tentang pemirsa (audience) di negara-negara luar, dan juga survey-survey opini publik di negara luar.13 Bidang ini semua adalah bidang-bidang yang kini mendominasi pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia dan hampir semua berasal dari latar belakang kondisi perang tersebut.

Sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, ilmu komunikasi memang punya peran penting dalam kebijakan politik luar negeri Amerika. Seperti dikemukakan oleh salah satu tokoh penting dalam ilmu komunikasi Amerika, Ithiel de Sola Pool, “partisipasi aktif dari para sarjana sosial dalam politik luar negeri Amerika adalah karena mereka adalah birokrat-birokrat atau elite penentu kebijakan di masa mendatang, dan satu-satunya harapan untuk pemerintahan yang humanis (humane government) di masa mendatang adalah dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial secara meluas oleh pemerintah.”14

Dengan membaca buku ini maka terbukalah tabir gelap yang selama ini banyak dilupakan banyak sarjana komunikasi di Indonesia, yaitu membuka selubung hubungan antara pengetahuan dan kuasa, atau membuka selubung asumsi-asumsi berbagai pendekatan ilmu komunikasi yang diajarkan di Indonesia, tanpa memeriksa bagaimana konteks kehadiran dan perkembangan ilmu tersebut secara kritis. 15 Ilmu dan metode komunikasi asal Amerika yang berkembang di Indonesia diterima begitu saja (taken for granted) dan dibayangkan bisa diterapkan dalam konteks di Indonesia sebagaimana hal itu bisa diterapkan di Amerika. 16

Buku ini disusun terutama dengan menggunakan bahan dasar dari dokumen-dokumen yang telah di-declassified untuk menggali bagaimana hubungan antara para ahli ilmu komunikasi Amerika dan kepentingan militer pada saat itu. Suatu catatan kecil di sini misalnya bahwa proyek-proyek penelitian yang dilakukan oleh Wilbur Schramm masih ada dalam kategori classified, dan yang agak mengherankan di sini adalah keterlibatan Wilbur Schramm dalam berbagai proyek rahasia militer ini tak pernah disebut – paling tidak dalam catatan kaki – pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, walaupun dalam terjemahan profil Schramm di jurnal ISKI pernah disebutkan secara sepintas bahwa Schramm punya keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer Amerika lainnya. 17

Lasswell, Lippman & Teori Propaganda: Cikal bakal studi komunikasi di Amerika

Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to whom, to which channel and with what effect.” Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua.

Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in the World War,” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi simbol yang diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.

Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa Latin “to sow” yang secara etimologi berarti: “menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide” (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya, kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak.18 Pada perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting dibahas pada masa itu, namun anehnya, setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu sosial di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi. 19

Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajemen dari tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah simbol signifikan”. Untuknya definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya. Sementara itu ahli lain (Petty & Cacioppo, 1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang bertentangan dengannya.” Dalam pengertian ilmu komunikasi, baik propaganda maupun persuasi adalah kegiatan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu (intentional communication), dimana si sumber menghendaki ada perilaku yang berubah dari orang lain untuk kepentingan si sumber tapi, belum tentu menguntungkan kepada orang yang dipengaruhi tersebut. Jadi propaganda lebih menunjuk pada kegiatan komunikasi yang satu arah, sementara persuasi lebih merupakan kegiatan komunikasi interpersonal (antar individu), dan untuk itu mengandalkan adanya tatap muka berhadap-hadapan secara langsung. Dengan demikian sebenarnya propaganda adalah persuasi yang dilakukan secara massal.20

Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II, dengan melakukan analisa isi terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa tersebut, Lasswell bermaksud meningkatkan kemampuan dan metodologi propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.21

Sementara itu, tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah Walter Lippman, yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang kemudian menjadi buku teks book berbagai universitas beberapa dekade kemudian, Public Opinion (1922) dan The Phantom Public (1925).22 Lippman menulis kedua bukunya berdasarkan pengalamannya sebagai kepala penulis dan editor untuk leaflet bagi kepentingan unit propaganda Amerika. 23

Lippman dalam bukunya mengambil contoh apa yang dilakukan oleh tentara Perancis dalam perang melawan Inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu mengumumkan penghitungannya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap minggu jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu; 300.000, 400.000, 500.000 dan seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis dan menurut Lippman, hal ini merupakan bagian dari propaganda.

Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda ini: “Bila sekelompok orang dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda, haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi.”24 Rogers kemudian mengomentari, semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari pemerintah menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa penting, dan untuk Lippman propaganda kemudian dimengerti sebagai situasi dimana arus komunikasi menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk mendistorsi berita.

Buat Lippman, komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara elitis. Menurutnya lagi, ilmu-ilmu sosial menawarkan alat yang bisa membuat administrasi struktur social macam apapun yang tidak stabil menjadi lebih rasional dan efektif. Lippman percaya, propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa yang lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol lainnya. Dalam artikel lainnya pada tahun 1933, Lasswell pun menambahkan preposisinya, bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya. 25

“Bias Amerika” dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia

Sekarang saya akan mencoba menggeser tulisan ini ke soal lain, yaitu menelusuri sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia, setelah sebelumnya saya membahas kritik ideologi terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama pada dekade antara tahun 1940-60an.

Di Indonesia kemunculan jurusan komunikasi berawal dari perkembangan jurusan jurnalistik atau publisistik yang tercatat dimulai sejak tahun 1953, ketika didirikannya STP (Sekolah Tinggi Publisistik) yang kini bernama IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), dan lima tahun kemudian Jurusan Publistik dibuka di Universitas Gadjah Mada (kini bernama Jurusan Ilmu Komunikasi, di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik). Sementara itu di Jakarta, lewat keputusan presiden tahun 1959, didirikanlah Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, dimana ada jurusan Publisistik. Angkatan pertama dari sekolah ini kebanyakan adalah para wartawan, lalu juga dari ABRI (termasuk intel, Puspen dan Tentara Pelajar), departemen-departemen seperti Penerangan dan Luar Negeri, Ikatan Pers Mahasiswa, percetakan dan penerbitan.26 Sementara itu di Bandung, pada tanggal 18 September 1960 didirikan Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, yang saat itu diketuai langsung oleh Rektor Unpad, Prof. Iwa Kusumah Sumantri.27 Di Jakarta pada tahun 1956 juga didirikan Akademi Penerangan dan sementara itu di Ujung Pandang, pada tahun 1961 berdiri jurusan Publisistik, pada Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Hasanuddin. 28

Penamaan ‘publisistik’ pada awal dimulainya jurusan ini menunjukkan, pengaruh yang dibawa dari kosa kata Belanda, sebagai masyarakat bekas jajahan Belanda, untuk menunjuk pada studi tentang kemampuan teknis untuk pencarian dan penulisan berita (Cek lagi dari kamus Belanda). Kemudian padaan kata publisistik adalah jurnalistik, yang lebih dikenal dalam kosa kata Inggris, dan kemudian memang jurusan ini lebih banyak berkembang di universitas-universitas di Amerika, karena di sana pulalah industri jurnalistik berkembang dengan pesat, dan didukung pula oleh berbagai jurnal, penghargaan jurnalistik serta prasarana lain yang mendukung perkembangan jurnalistik.

Perubahan penamaan jurusan publisistik menjadi ‘jurusan komunikasi’ pada dekade 1980-an, menunjuk pada evolusi lebih lanjut dari studi ini yang mengarah pada perkembangan yang pararel di Amerika, di mana sejak tahun 1950-60an studi ilmu komunikasi mulai dianggap suatu disiplin ilmu sendiri. Hal itu ditandai oleh hadirnya berbagai jurusan ilmu komunikasi di universitas-universitas di Amerika, diangkatnya sejumlah guru besar komunikasi, terbitnya puluhan buku teks komunikasi, diterbitkannya berbagai jurnal, serta asosiasi sarjana komunikasi yang membuat ilmu ini dianggap suatu ilmu yang mandiri.

Mengenai perubahan orientasi dan nama jurusan atau departemen ini, Djajusman memberikan penjelasan bahwa Publisistik atau Journalism agak mengesankan lebih sebagai craftsmanship (ilmu pertukangan) ketimbang sebagai disiplin ilmu, kemudian dalam perkembangannya, disadari oleh para pengajar bahwa ilmu tersebut tidaklah memadai. Sementara itu di Jerman, ada perkembangan rumpun ilmu yang cukup luas yang meliputi pengetahuan-pengetahuan umum soal kenegaraan seperti hukum, ekonomi dll. “Pendeknya apa saja yang dapat disebarkan kepada masyarakat yaitu Publisistik sebagai suatu Staatswissenchaft tetapi kemudian diperkhusus lagi menjadi ilmu yang disebarkan kepada masyarakat hanya melalui mass media”. Sementara itu dalam perkembangan di Amerika, “mengingat kepentingan dunia industrinya, di samping journalism, merekahkan dan meluncurkan pandangan-pandangan ini menjadi pengetahuan tentang proses komunikasi massa di mana studi intensitas pemasaran ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga massa sebagai pengunjah konsumsi terakhir senantiasa dapat merupakan massa yang secara terus menerus dapat diaktivir oleh kegiatan tadi.”29

Yang menarik, perubahan nama jurusan Komunikasi ini dilakukan lewat suatu Keputusan Presiden, yaitu Keppres nomor 107/1982, dan Keppres itu menurut Anwar Arifin, “membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.”30 Sebelumnya beberapa kampus ada yang masih menggunakan nama Jurusan Publisistik dan ada yang kemudian menggunakan nama Jurusan Komunikasi Massa.

Perkembangan ilmu komunikasi ini tentu saja kembali menunjuk pada fakta yang ditunjukkan oleh Christopher Simpson di depan, bahwa perkembangan ilmu komunikasi pada masa setelah Perang Dunia disokong sepenuhnya oleh berbagai kelembagaan militer Amerika yang memberikan banyak dana untuk pengembangan studi dan penelitian komunikasi dalam rangka kepentingan Amerika mengenali karakter berbagai negara dan bangsa lain di luar Amerika. Tetapi, hal itu tak lepas dari usaha Amerika untuk menghegemoni dunia, dan menjaga posisi Amerika dalam konteks dunia. 31

Simpson menyebut, dengan adanya program perang urat syarat yang dilancarkan Amerika, telah mendorong penelitian ilmu komunikasi menjadi suatu bidang yang khas, memberikan pengaruh kuat kepada para pemimpin dan akan pula menentukan dari paradigma komunikasi yang saling berebut pengaruh, yang mana yang akan lebih diberi dana, mana yang akan lebih dikembangkan dan dirangsang untuk maju. Memang, negara tidak secara langsung menentukan apa yang bisa atau tidak bisa dikatakan oleh seorang sarjana tapi, negara melakukan pengaruh yang signifikan untuk menyeleksi siapa yang otoritatif (memiliki otoritas) dalam bidang tersebut. 32

Sayangnya tak ada artikel yang bisa menjelaskan bagaimana persebaran ilmu komunikasi ini terjadi, sehingga kemudian memunculkan berbagai fakultas atau jurusan ilmu komunikasi di berbagai wilayah di Indonesia.33 Juga tak bisa dirujuk data resmi, yang bisa menunjuk pada pertumbuhan jumlah lulusan jurusan komunikasi ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Tetapi, lebih dari soal jumlah lulusan komunikasi, yang lebih menarik adalah menelusuri bagaimana persebaran ilmu ini terjadi, dan mengapa terjadi persebaran yang demikian cepat. Apa hal yang membuat ada ‘kebutuhan’ jurusan dan lulusan ilmu komunikasi dalam waktu yang dekat ini? Adakah ini berkaitan dengan tumbuhnya industri pers, kemudian industri periklanan, dan industri kehumasan yang berkembang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk bidang kerja ini.

Kalau saja secara spekulatif dibayangkan bahwa pergeseran pers politik menjadi pers industri terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an sebagaimana disinyalir oleh Daniel Dhakidae,34 maka kita bayangkan pula bahwa kebutuhan akan adanya lulusan-lulusan ilmu komunikasi ini juga meningkat sejak pertengahan tahun 1980-an tersebut. Di sini tak bisa pula diingkari pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan Orde Baru yang membuat industrialisasi bergema di berbagai sector kehidupan, termasuk sektor industri komunikasi ini.

Dengan membaca kembali jurnal-jurnal lama atau laporan karya ilmiah yang diproduksi antara tahun 1970-80an, kita akan melihat betapa dominannya cara pandang tentang komunikasi pembangunan yang merupakan turunan dari pengertian modernisasi yang diterapkan di Indonesia, dengan fokus terutama adalah bagaimana menggiatkan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan komunikasi pembangunan terutama lewat program-program pemerintah, dan mengukur bagaimana efektivitas program tersebut dijalankan oleh pemerintah. Banyak riset yang dilakukan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UI pada tahun-tahun tersebut, adalah riset yang didanai oleh pemerintah. Inilah beberapa contoh riset yang pernah dilakukan pada decade 1970-80an tersebut:

1. Kerjasama dengan Proyek Pedesaan UI dengan topik masalah, pemecahan masalah pembangunan desa seperti misalnya peranan pemuka masyarakat desa dalam pembangunan, masalah penyebaran informasi KB, KUD, BIMAS.
2. Kerjasama dengan Departemen Penerangan RI tentang pengaruh TV, penonton TV, pendengar radio, pengaruh film, Pusat Penerangan Masyarakat di daerah-daerah.
3. Kerjasama dengan BKKBN, dengan menerbitkan buku panduan untuk siaran KB melalui radio, TV dan media lainnya. 35

Sementara itu dari Litbang Deppen, ada sejumlah penelitian yang telah dihasilkan pada decade yang sama yaitu: penelitian tentang efektivitas media tradisional, penelitian tentang pengaruh social budaya dari siaran televisi dan radio lewat SKSD, penelitian tentang pengaruh perfilman di daerah pedesaan, penelitian tentang interaksi antara pers dan decision makers, dan sebagainya. 36

Sekarang secara khusus saya ingin menguraikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ronny Adhikarya, seorang doktor komunikasi asal indonesia yang meraih Master dari Cornell University dan PhD dari Stanford University. Mungkin Adhikarya, sampai saat ini baru satu-satunya orang yang mencoba menelusuri persoalan transfer pengetahuan komunikasi dari paradigma komunikasi dominan di Amerika dengan para sarjana komunikasi asal negara-negara ASEAN.

Studinya ini ia terbitkan pada tahun 1983,30 dan inilah beberapa point kesimpulan hasil penelitiannya:

- Adhikarya menyebutkan walaupun ada peningkatan tajam dari kehadiran para sarjana dari ASEAN ke universitas Amerika, namun para professor di Amerika tidak cukup berusaha untuk mengaitkan apa yang mereka ajarkan untuk menghubungkan dengan apa yang terjadi di negara dunia ketiga (h.2) dan para professor tersebut memiliki pandangan yang lebih Amerika-etnosentris dan lebih tertarik dengan fenomena yang berkembang dalam media komersial Amerika dan isu-isu teknologi canggih dalam komunikasi

- ketergantungan para sarjana komunikasi ASEAN dengan Amerika karena lebih banyak orang mendapatkan pendidikan komunikasi di Amerika dan juga karena tidak tersedianya bahan yang cukup dari karya non-Amerika. Bahkan untuk isu soal komunikasi pembangunan sekalipun, lebih banyak buku atau artikel jurnal ditulis oleh sarjana asal Amerika ketimbang oleh sarjana dari negara dunia ketiga.

- Tak adanya pendekatan kritis dalam pengajaran ilmu komunikasi37 – sebagaimana berkembang misalnya di Amerika Latin – dikarenakan universitas di Amerika banyak yang tidak mengajarkan masalah itu, dan lebih menggunakan pendekatan mainstream.

- Adhikarya pun menyebut sejumlah universitas di Eropa yang dianggap bagus dalam memberikan pemahaman atas pendekatan kritis dalam studi komunikasi: Universitas Leicester di Inggris, Universtias Tampere di Finland, University of Frankfurt di Jerman dan tidak ada sarjana ASEAN yang pernah sekolah di sana.38

- Problem dengan knowledge transfer (note: Adhikarya menulis bahwa “ketergantungan besar terhadap pengetahuan komunikasi Amerika di antara para sarjana ASEAN bukanlah merupakan hal yang sistemik dibuat oleh para sarjana Amerika tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, politik dan budaya dari negara-negara ASEAN tersebut” (h.5) dari US-ASEAN. Hal itu lebih disebabkan oleh dominannya paradigma ‘empirical school’ dalam pengembangan ilmu di ASEAN yang akan mengabdi pada kepentingan status quo negara ataupun untuk kepentingan industri media komersial (h.7).

Karya Adhikarya, walaupun punya sumbangan untuk memahami bagaimana pengaruh ilmu komunikasi Amerika terhadap sarjana komunikasi di ASEAN (dan Indonesia juga), tidak cukup menggambarkan bagaimana proses itu berjalan, mengapa Amerika pada kesempatan pertama lebih dipilih ketimbang misalnya Eropa, padahal jika lihat sejarahnya sejumlah negara di ASEAN lebih memiliki kedekatan historis dengan Eropa, sebagai bekas jajahan Eropa (Inggris dan Belanda), ketimbang misalnya Amerika (mungkin hanya Filipina yang bisa dimasukkan dalam kategori ini). Mengapa ini terjadi? Mengapa perjumpaan dengan Amerika lebih dianggap bisa berkembang, ketimbang dengan negara-negara Eropa Barat? Apakah sentimen anti kolonial menjadi salah satu jawaban berpalingnya para sarjana ASEAN dari negara Eropa Barat ke Amerika?

Artinya oleh Adhikarya, keterkaitan sarjana ASEAN dengan universitas di Amerika lebih dianggap sebagai suatu yang ‘taken for granted’ dan tak perlu dipersoalkan lagi. Padahal, sebagaimana ditunjukkan pada bagian awal tulisan ini, justru perkembangan studi komunikasi di Amerika ini bukan tanpa persoalan.

Juga ketika Adhikarya menyebut tentang dominasi pendekatan empiris dalam pemahaman studi komunikasi oleh para sarjana ASEAN, tidak dielaborasi lebih jauh, mengapa pendekatan lain di luar empiris jadi penting? Apakah pendekatan non-empiris lalu bisa lebih menjelaskan fenonema yang banyak diabaikan oleh para professor Amerika tadi? Atau bagaimana sesungguhnya posisi dua pendekatan besar ini untuk mengerti konteks yang berkembang untuk negara-negara dunia ketiga seperti ASEAN (atau juga bisa disebut sebagai negara industri baru, kalau istilah ‘negara dunia ketiga’ dianggap ketinggalan jaman)?

Harusnya Adhikarya bisa mengelaborasi lebih jauh dimana pentingnya pendekatan lain non-empiris dengan memperhatikan dimensi bahwa struktur masyarakat yang ada di ASEAN (ataupun Indonesia) adalah struktur masyarakat yang berbeda, lalu proses formasi social masyarakat paska kolonial di Indonesia juga berbeda, dan perkembangan kapitalisme (yang tak terhindarkan) juga menghasilkan pola yang berbeda, dan hasilnya suatu kapitalisme yang crony, yang predator, juga akan menambah penting perlunya kajian lain yang lebih komprehensif daripada sekedar menyebut “perlunya pendekatan lain di luar tradisi empiris.”38

Kosongnya tradisi Marxisme dalam ilmu Komunikasi di Indonesia

Hilangnya tradisi Marxisme dalam ilmu-ilmu sosial dan juga dalam ilmu komunikasi, bisa diduga sebagai salah satu akibat mandeknya perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Hilangnya tradisi Marxis ini tentu saja berkait erat dengan regulasi yang dilakukan Negara untuk membatasi percakapan akademis menyangkut pemikiran yang mengambil pokok pada filsuf Karl Marx. Regulasi dilakukan lewat Tap MPRS no 25/1966 yang kemudian sempat kembali ramai ketika Presiden Abdurrachman Wahid, mengusulkan agar Tap tersebut cabut. Namun reaksi yang muncul justru adalah pengerasan penolakan terhadap Tap tersebut.

Implikasi dari hilangnya tradisi Marxis tersebut, memberikan kontribusi kemandekan bagi ilmu sosial sehingga, paradigma dominan, yaitu paradigma modernisasi atau developmentalis menguasai penuh cara berpikir sebagian besar para pengajar di kampus-kampus jurusan komunikasi.

Setidaknya dari pengalaman penulis ketika studi di Universitas Indonesia, nama Marx sesekali disebut dalam ruang kuliah, tapi lebih merupakan informasi singkat atau cenderung misleading, atau disebut sebagai materi yang kira-kira harus dihindari untuk dibahas lebih jauh. Padahal, tradisi Marxis sendiri sudah makan ratusan tahun telah banyak mengritik pendekatan awal Marx dan dalam derivasinya – terutama dari para pemikir dari Eropa Barat, mulai dari Jerman, Inggris, Perancis atau Italia – sudah memunculkan berbagai perdebatan menarik yang punya implikasi terhadap perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.39

Hilangnya tradisi Marxis ini pun secara luas bisa dilihat dari reaksi yang muncul ketika Presiden Wahid, melontarkan ide pencabutan Tap MPRS 25/1966 tersebut. Sejumlah respon yang muncul kala itu adalah sebentuk pengertian tentang Marxisme yang dibekukan atau direduksi menjadi diktum: Marxisme = Leninisme = Komunisme. Pembekuan pengertian tersebut mengejutkan, karena menunjukkan betapa tertinggalnya wacana yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan saat ini tak ada kelompok yang cukup serius mengkaji pengembangan ilmu ini.

Dalam buku babon yang dipergunakan oleh para mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di beberapa tempat (setidaknya di Universitas Indonesia, yang kebetulan penulis mengetahuinya), yaitu buku yang ditulis oleh Stephen Littlejohn, ….. (kini memasuki edisi revisi ke …tahun ) disebutkan beberapa paradigma teori yang punya pengaruh terhadap ilmu komunikasi dan di antaranya disinggung tentang tradisi neo-Marxis dan juga tradisi British Cultural Studies sebagai beberapa derivasi tradisi Marxis, dalam perkembangan di Eropa Barat. Namun, bagian ini lebih disinggung sepintaslalu dalam banyak perkuliahan tersebut. Mungkin ada beberapa sebab hal ini disinggung secara sepintas: Pertama, karena pengajar tidak memahami materi yang diajarkan dalam tradisi itu; kedua, tidak tersedia suatu contoh penelitian yang menggunakan pendekatan teori tersebut di Indonesia; ketiga, tidak tersedia literature yang cukup untuk membahas materi tersebut, atau keempat, phobi atas Marxisme memang kuat baik di antara staf pengajar maupun para mahasiswanya. 40

Sementara itu, tanpa harus menjadi fanatik dengan Marx, sejumlah negara dunia ketiga lain seperti India dan negara-negara Amerika Latin, memiliki sejumlah kritik keras terhadap pendekatan ilmu komunikasi dominan ala Amerika ini. Tradisi sebagai masyarakat post-kolonial dieksplorasi betul oleh para sarjananya untuk menaruh posisi mereka dalam suatu dunia baru paska perang dunia II. Bahkan, sejumlah sarjana India, misalnya, menjadi sangat kritis terhadap perkembangan ilmu sosial di Barat dan menyelenggarakan kelompok studi yang membahas secara serius dalam persoalan penulisan sejarah dari dalam.41

Dengan memeriksa berbagai karya penelitian para dosen komunikasi di Indonesia, ataupun kajian yang muncul di berbagai jurnal antara tahun 1970-an hingga 1990-an, terlihat betapa kosongnya pendekatan Marxis ini dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia. 42

Propaganda dalam praktek awal Orde Baru: aliansi TNI AD dan CIA?

Sekarang saya agak sedikit melompat untuk bicara tema lain yang masih berkaitan dengan tema utama soal Propaganda. Bagian ini sekedar menguraikan bagaimana metode Propaganda dipergunakan untuk menjungkalkan Sukarno pada tahun 1965/6, sebagai bagian dari konspirasi Angkatan Darat dan CIA. Hal ini merupakan sekedar ilustrasi tentang bagaimana beroperasinya metode Propaganda yang kemudian diadopsi oleh Negara Orde Baru dan kelompok bisnis untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan dan glorifikasi industri-industri baru di Indonesia.

Saskia Wieringa ketika menulis studinya soal Gerwani43 pada tahun 1965 menunjukkan dengan rinci, bagaimana proses propaganda dilakukan oleh pihak Angkatan Darat untuk memanipulasi dan mendiskreditkan PKI, dan organisasi lain seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, sebagai pelaku pembunuhan para jendral.

Propaganda yang dilakukan oleh kelompok Angkatan Darat, memang sangat efektif. Terbukti setelah mereka menguasai kembali Radio Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1965 senjahari, sebelumnya mereka pun telah menebar jaringan Koran atas nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di berbagai kota di Indonesia, dengan menerbitkan kedua Koran tersebut dengan berbagai edisi, misalnya edisi Jawa Barat, Jawa Timur, edisi Sumatera, edisi bahasa Inggris, dan bahasa Cina.44

Bahwa CIA punya peran penting di balik propaganda untuk menjatuhkan Sukarno, buktinya menjadi makin jelas dari hari ke hari. Dengan membaca artikel yang ditulis oleh Maruli Tobing, wartawan harian Kompas,45 terlihat makin jelas beberapa bukti keterlibatan CIA, terutama dari sisi bagaimana suatu propaganda dilakukan.46 Dengan mengutip Roland G. Simbulan, seorang professor dari University of Philippines, disebutkan bahwa pada tahun 1965, ada suatu pemancar radio yang sangat kuat, yang bernama Suara Indonesia Bebas, yang getol melancarkan propaganda untuk memberontak dari Sukarno, yang kekuatan pemancarnya bisa ditangkap oleh seluruh radio gelombang pendek di Indonesia, dan sumber pemancar itu ada di markas Jendral Soeharto, yang diangkut lewat sebuah pesawat pengangkut US Air Force C-130 atas perintah langsung dari William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.

Dengan mengutip Peter Dale Scott, juga digambarkan bagaimana trik disinformasi CIA yang begitu canggih menimbulkan ketegangan yang luar biasa, khususnya antara PKI dan kelompok Jendral Nasution, misalnya, dengan memproduksi berbagai leaflet atau pamflet. Ralph McGehee, anggota CIA dari bagian Counterintelligence seksi Komunisme International, juga menyebut bahwa proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA di Indonesia pada tahun-tahun krusial tersebut. Proses disinformasi merupakan ‘prosedur baku dalam operasi rahasia CIA’, terutama untuk negara-negara yang pemimpin atau kelompok politiknya dianggap menghalangi kepentingan Amerika, di antaranya adalah Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Sukarno di Indonesia tahun 1965-66, Allende di Chile tahun 1973, Juan Torres di Bolivia tahun 1971, Arosemana di Dominika tahun 1963, dan Joao Goulart di Brasil tahun 1964. 47

Propaganda yang dilakukan pada awal Orde Baru ini, kemudian diadopsi oleh institusi Negara dan kemudian dikembangkan dalam suatu paradigma baru, paradigma pembangunan ekonomi atau juga bisa disebut sebagai paradigma modernisasi. Berbagai program pemerintah dilakukan dengan cara propaganda, mulai dari soal trilogy pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila ala Orde Baru, dibuatnya institusi-institusi pendukung propaganda ini, misalnya BP7 dan kemudian penerapannya dalam berbagai program pendidikan formal, pembuatan film-film yang menggaungkan kemenangan tentara dan jasa-jasa mereka di masa lalu. 48

Dan para pendukung proyek propaganda negara ini, sebagian adalah sarjana-sarjana komunikasi yang kemudian menjadi birokrat negara, karena sebagian dari mereka percaya bahwa program komunikasi pembangunan terutama harus diterapkan lewat jaring-jaring birokrasi yang ada.

Sementara itu di kalangan kelompok bisnis, terutama misalnya industri periklanan dan juga industri public relations, metode propaganda juga dipakai untuk kepentingan mengkampanyekan berbagai produk konsumtif kepada masyarakat lewat iklan-iklan yang diproduksi di berbagai media. Angka belanja iklan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan dan para perusahaan iklan dan humas internasional pun perlahan-lahan masuk ke Indonesia yang dianggap sebagai “sebuah pasar yang luas dan (pernah) dianggap sebagai salah satu negara industri baru di Asia”.

Noam Chomsky,49 menulis, “State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect.” Chomsky mengutip Walter Lippman yang berpendapat bahwa demokrasi yang berjalan dengan baik mengandaikan adanya suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki fungsi yang aktif dalam menjalankan berbagai hal, dan mereka merupakan kelas yang khusus (specializes class), yang melakukan analisa, mengeksekusi, memutuskan kebijakan dan menjalankan sistem politik, ekonomi dan ideologi.

Buat Chomsky, ada pertanyaan implisit atas bagaimana kelompok kelas khusus ini mencapai posisinya, dan saat dimana mereka menjadi kelompok yang memutuskan kebijakan publik. Jawabannya, cara mereka untuk sampai pada posisi tersebut adalah dengan melakukan politik kekuasaan. Pun kalau mereka tidak menguasai keahlian khusus, mereka tidak akan menjadi anggota kelas khusus tersebut, dan mereka juga harus merupakan kelompok yang telah mengalami indoktrinasi yang dalam tentang nilai-nilai dan kepentingan dari kelompok bisnis atau negara yang mereka wakili.

Menurut Chomsky, Perkembangan industri PR di Amerika bertujuan untuk “mengontrol pikiran publik” seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin bisnis ini. Mereka belajar banyak dari sukses yang diraih oleh Komisi Creel dan sukses untuk menakut-nakuti bahaya Merah/komunis dan kelanjutannya. Industri PR Amerika berkembang pesat pada tahun 1920-an dalam menciptakan subordinasi total kepada masyarakat demi kepentingan bisnis.50

Penutup

“Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan suatu ketika pengetahuan tidak lagi tergantung pada kekuasaan. Mustahil menyelenggarakan kekuasaan tanpa pengetahuan, sebagaimana halnya mustahil pengetahuan tak mengandung kekuasaan.”51

Hubungan resiprokal antara kuasa dan pengetahuan sebagaimana dilansir Foucault tersebut, menjelaskan banyak hal tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam perkembangan ilmu Komunikasi di Indonesia. Ada kepentingan kekuasaan yang hendak mencari legitimasi dari pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan sendiri memiliki dimensi kekuasaan yang akan bisa dipakai kekuasaan manapun.

Sekali lagi tulisan ini barulah pengantar untuk memasuki wilayah baru dalam mengenali genealogi perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Dan setidaknya tulisan ini hendak mencoba mengungkit-ungkit legitimasi ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia, yang sering diterima tanpa melakukan kritik terhadap konteks-konteks yang mengikuti perkembangan pengetahuan itu sendiri.***

Akhir Januari – awal Maret 2001

Paper ini pernah didiskusikan di Forum Diskusi Bulan Purnama, Jaringan Kerja Budaya (JKB), Maret 2001.

Catatan Kaki:
1Inilah bentuk pertanyaan yang paling ditakuti oleh para mahasiswa komunikasi tingkat akhir kala ia menyiapkan skripsi: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa skripsi ini adalah skripsi komunikasi?” Persoalannya di sini bukanlah bagaimana ilmu komunikasi bisa menerima bidang kajian tertentu atau topik bahasan tertentu masuk dalam ruang lingkupnya, namun persoalannya lebih menjadi “siapa yang mendefinisikan ‘ilmu komunikasi’ di sini, dalam paradigma apa ilmu komunikasi didefinisikan dan dalam batas mana pula ilmu komunikasi ditentukan”.

2Christopher Simpson,
"Science of Coercion: Mass Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960," Oxford University Press, 1994.

3Lihat Jay G. Blumler, “Mass Communication Research in Europe: Some Origins and Prospects”, in Michael Burgoon (ed.)
"Communication Year Book 5," 1982, h.145-156.

4Seorang sarjana komunikasi kritis asal Belanda, Cees Hamelink, bahkan menyebut bahwa “perkembangan penelitian komunikasi bukanlah hasil perkembangan ilmiah, tapi hasil dari perkembangan kapitalisme Amerika Utara. Dikutip dari Everett Rogers, “The Empirical and The Critical School of Communication Research”, dalam Michael Burgoon,
"Communication Yearbook 5," 1982. lihat h.135. Penggunaan lebih lanjut dari perang psikologis yang dikembangkan pada masa perang tersebut kini pada masa modern banyak diterapkan dalam kepentingan-kepentingan bisnis, misalnya dengan strategi pemasaran atau strategi periklanan yang dilakukan untuk menjual suatu produk tertentu. Lihat James E. Combs & Dan Nimmo, "Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kini," (terj.), Bandung: Rosdakarya, 1994 (judul aslinya: New Propaganda: The Dictatorship of Palaver in Contemporary Politics).

5Lihat Ronny Adhikarya,
"Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: The US-ASEAN case," Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre, 1983.

6Tentu saja istilah ‘mazhab Amerika’ ini jauh dari tepat untuk digunakan, tapi sekedar untuk memberikan pengertian yang lebih mudah dengan mengacu pada tradisi perkembangan ilmu komunikasi yang cenderung positivistic yang berkembang di Amerika terutama yang berakar pada ‘bapak-bapak pendiri ilmu komunikasi’ seperti Wilbur Schramm (1907-1987), lalu Ithiel de Sola Pool, Harold Lasswell dan lain-lain. Ini sekedar membedakan dengan tradisi Eropa yang lebih berkutat dengan persoalan-persoalan konteks dimana ilmu komunikasi itu berkembang, kaitannya dengan perkembangan masyarakat dan lain-lain. Secara khusus tentang perkembangan ‘mashab kritis’ di Amerika – dengan tokoh intelektual Amerika juga – lihat pada karya-karya seperti Noam Chomsky, Robert W. McChesney, intelektual Canada, Dallas W Smyte, deretan tokoh ini bisa dilihat lebih jauh pada Vincent Mosco,
The Political Economy of Communication, London: Sage, 1994. Di Indonesia, karya McChesney pernah diterjemahkan yang berasal dari tulisan pamfletnya yang berjudul Konglomerasi Media dan Ancaman Terhadap Demokrasi (Corporate Media and The Threat to Democracy), Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1998. Sekian nama yang disebut di sini, boleh jadi sangat tidak popular dibandingkan dengan nama ‘para pendiri ilmu komunikasi’ atau para ilmuwan komunikasi ‘mainstream’ tersebut. (perluas namanya dan karyanya..) Khusus tentang perkembangan aliran ekonomi politik dalam menelaah media, selain karya Vincent Mosco yang sangat komprehensif, juga bisa lihat antologi 2 volume yang dikumpulkan oleh Peter Golding & Graham Murdock, keduanya pengajar di Loughborough University, UK, The Political Economy of the Media, Chentelham: Edward Elgar Publishing Ltd., 1997. Dalam antologi ini ada nama-nama sarjana seperti Nicholas Garnham, Oscar Gandy, Ben Bagdikian, Edward S. Herman, Herbert I. Schiller, Thomas Guback, Jeremy Tunstall, Cees Hamelink, Armand Mattelart, untuk menyebut sebagian ahli media yang berada di luar jalur ‘komunikasi mainstream’.

7Bagian ini belum bisa banyak memberikan kesimpulan kecuali sekedar memaparkan beberapa fakta bahwa pengaruh Amerika sangat kuat dalam proses pembentukan citra tentang kelompok yang kemudian dikorbankan, dan di sini sekali lagi memperteguh dugaan bahwa CIA punya peran besar dalam proses menjatuhkan presiden Sukarno pada pertengahan 1960-an tersebut lewat berbagai agennya yang bekerja di Indonesia. Bagian ini harusnya dielaborasi tersendiri secara lebih luas. Namun untuk saat ini penulis masih belum sanggup mengelaborasinya sendiri dalam keterbatasan waktu dan tempat.

8Belakangan Marcuse keluar dari grup ini karena adanya perbedaan pendapat antaranya dengan Harold Laswell dalam masalah menanggapi perkembangan politik masa perang dingin. Lihat Simpson (1994) h.29.

9Simpson (1994) h.11

10Simpson (1994) h.6.

11ibid.

12Simpson (1994) h.7

13Simpson (1994) h.9 Di sini kita pun akan ingat dengan beberapa karya yang punya pengaruh besar dalam perkembangan ilmu social di Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan developmentalis, seperti Daniel Lerner,
"The Passing of Traditional Society (1958), atau juga karya Wilbur Schramm (1954) "Process and Effect of Mass Communication" atau juga Mass Media and National Development (1964) Atau juga karya seperti Samuel Huntington (1967) Political Order in a Changing Societies. Tesis-tesis dasar dari karya-karya ini menjadi fondasi dari bangunan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

14Simpson (1994) h.8

15Hal ini mungkin mirip dengan kasus Indonesia pada masa penjajahan Belanda, ketika sejumlah pejabat yang hendak dipekerjakan di Netherland East Indies, harus masuk dulu dalam sekolah Indologi untuk memperkuat pengetahuan mereka tentang tanah jajahan.

15Inilah prinsip ‘objektivitas’ dan ‘bebas nilai’ dari para sarjana yang percaya akan tesis ini, bahwa suatu metode yang ‘objektif’ bisa diterapkan dimana dan kapan saja, dan karena itu ia memperoleh legitimasi sebagai suatu ilmu.

16Di salah satu jurnal Audentia yang dikelola oleh ISKI Jawa Barat pernah ada terjemahan artikel biografi Schramm ini. Di situ pun disinggung bagaimana keterkaitan Schramm dengan proyek-proyek perang dunia II, namun tak pernah ada respon apapun terhadap artikel tersebut dan khususnya yang menyangkut fakta tersebut. Suatu karya lain yang dibuat oleh Everett M. Rogers, (
"A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut. Lihat bab 1 ”Wilbur Schramm and the Founding of the Communication Study” h.1-32. Salah satu karya Schramm yang menjadi klasik dan masih dianggap mewakili paradigma utama dalam ilmu komunikasi adalah karya kolektifnya bersama Fred S. Siebert dan Theodore Peterson yaitu "Four Theories of the Press," yang aslinya diterbitkan pada tahun 1952, dan diIndonesiakan sejak tahun 1986. Pandangan klasik terhadap tipologi sistem pers di dunia ini dengan sederhana dikategorikan para penulisnya sebagai: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers tanggungjawab social, dan teori pers Soviet Komunis. Schramm menulis bagian tentang pers Soviet Komunis. Berbagai kritik terhadap teori ini sudah dikemukakan banyak ahli di Barat, tapi anehnya seringkali kritik ini tidak dijadikan tolak berpikir para penulis yang mengutip masalah ini di Indonesia, padahal ada kecurigaan besar bahwa penulisan buku ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan/lawannya dalam kondisi perang dingin. Selain itu, teori Pers Komunis Soviet sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir tahun 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai Sejarah saja ketimbang suatu Ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.

17Everett Rogers,
"A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994, bab “Harold Lasswell and Propaganda Analyis” hal.210-211.

18Rogers (1994:212) dengan mengutip Delia (1987).

19Rogers, h.214.

20Rogers, h.224.

21Buku ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1996 oleh Yayasan Obor Indonesia, dengan judul
Opini Publik.

22Lihat Simpson (1994) h.16-30.

23Rogers, h.236

24Simpson (1994) h.18

25Ina Mariani Suparto, “Mass Communication and Journalism Education in Indonesia”, in Crispin C. Maslog,
"Communication Education in Asia: Status and Trends in India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Philippines and Thailand," Press Foundation of Asia & Communication Assistance Foundation, the Netherlands, 1990, h.37. Data tentang mahasiswa publisistik bisa dilihat pada tulisan R. Djajusman, “Sepuluh Tahun Publisistik: Suatu Pengaliran Kesan dan Kenangan”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Djajusman pada saat itu adalah bekas ketua jurusan Publisistik, dan bekas ketua Lembaga Research Publisistik.Lihat juga pidato Sukarno pada pembukaan jurusan Publisistik, Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, tanggal 12 Desember 1959 (Deppen 1959)

26Oemi Abdurrachman, “Lembaga Pendidikan Publisistik sebagai Fakultas Penuh di Universitas Negeri Padjadjaran”, dalam
Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Oemi saat itu menjabat sebagai Dekan Fakultas Publisistik Unpad, dan buku ini merupakan peringatan 10 tahun berdirinya Jurusan Publisistik di UI.

27Anwar Arifin,
Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998 (cet ke-4), h.2. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1988.

28Djajusman (1969) hal.12-13.

29Arifin (1998) hal.1. Di sini akan muncul pertanyaan kritis, mengapa urusan nama jurusan saja harus diatur oleh Negara, dan atas dasar apa penyeragaman nama tersebut dilakukan. Tapi tentu saja dengan mengenai karakter Negara Orde Baru di Indonesia ini, hal-hal yang seragam lebih merupakan pilihan daripada hal-hal yang plural sifatnya.

30Isu penting yang harus disebut di sini adalah masalah National Security yang dirasakan oleh pemerintah Amerika yang kemudian berimplikasi juga pada pengembangan ilmu social di Amerika. Ada perbedaan pandangan di antara para ahli menyangkut soal ini, terutama berkaitan dengan munculnya studi-studi kawasan yang gencar dibuat di Amerika. Hal yang sangat menarik ini dibahas dalam suatu edisi khusus terbitan Bulletin of Concerned Asian Scholars vol.29 no.1, January-Maret 1997 yang bertemakan: Asia, Asian Studies and the National Security State: A Symposium. Terima kasih kepada Hilmar Farid yang menunjukkan edisi ini kepada penulis.

31Simpson (1994) hal.3.

32Misalnya saja jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan telah belasan tahun memiliki jurusan ini dan setidaknya ada dua orang guru besar dari Unhas yang dikenal secara nasional, yaitu Prof. Abdul Muis dan Prof. Anwar Arifin.

33Lihat tesisnya,
"The State, the Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry," Cornell University, 1991.

34Lihat Harsono Suwardi, “Pengantar Dari Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Massa, FIS-UI”, dalam
Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa Universitas Indonesia, terbitan dalam rangka 20 tahun Pendidikan Ilmu Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1981. hal.7.

35Lihat F. Rachmadi, “Pendidikan dan penelitian Komunikasi Massa: sebuah tinjauan dari sudut kacamata pemakai hasil”, dalam
Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa UI, 1981 hal.70. Jika diperiksa lebih lanjut hasil karya tulis (skripsi) yang dibuat antara tahun 1963-1979 sebagaimana tercantum dalam buku yang sama, maka ada jumlah yang cukup signifikan untuk menunjuk bahwa studi tentang propaganda banyak mendapat sambutan dari kalangan mahasiswa komunikasi kala itu walau menunjuk periodisasi waktu yang berbeda-beda (jaman Jepang, jaman Demokrasi Terpimpin).

36
Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: the US-ASEAN case, Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre(AMIC), 1983.

37Lihat lagi pembagian yang dilakukan Rogers (1982) antara pendekatan empiris dan pendekatan kritis di atas.

38Di antara para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia, setidaknya ada 2 nama yang dikenal sebagai ‘lulusan Jerman’ yaitu Astrid Soesanto dan Bachtiar Aly (kini keduanya anggota parlemen). Yang perlu diberi catatan di sini adalah, ‘lulusan Jerman’ sekalipun bukanlah jaminan bahwa karya yang dihasilkannya akrab dengan pemikiran kritis yang dimulai dari tradisi neo-Marxis. Astrid Soesanto yang pada tahun 1980-an aktif menulis buku lebih menunjukkan pendekatan pada sosiologi yang agak konservatif, dan cenderung lebih menjadi birokrat, sementara Bachtiar Aly yang menulis disertasi soal sejarah media massa di Indonesia juga tidak cukup kenal dengan tradisi kritis tersebut. Disertasi Aly ini berjudul
Geschichte und Gegenwart der Kommunikationssysteme in Indonesien, eine Untersuchung zur publizistischen Entwicklung, Peter Lang: Frankfurt am Main, 1984. Ruang waktu yang dibahas oleh Aly di sini adalah antara tahun 1596-1983. Tesis ini dikomentari oleh Daniel Dhakidae (1991:14) sebagai “It sets itself an impossible task for a communication’s study with the impossible term of, 1596-1983… Despite, or rather because of, its author’s statement that it takes a historical-descriptive metode, it is more a repository of loosely connected events and figures seen in a highly electic way, a hodgepodge of variety of ways of seeing – journalistic, political, cultural and legal – looking into a vast array of communications media such as newspapers, radios, televisions, films, shadow plays, literature, music, all treated in one big stroke”

39Pada decade 80-an perkembangan ilmu sosial masih banyak dipengaruhi oleh dua paradigma besar yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan modernis (developmentalis) dan pendekatan dependensi. Tanpa harus terjebak pada dikotomi tajam kedua pendekatan ini, kajian-kajian mikro dalam komunikasi bisa juga menunjukkan bahwa ada proses yang tak seimbang dari produksi dan distribusi produk industri komunikasi di dunia ini. Kita akan ingat gagasan besar yang dikemukakan oleh Komisi MacBride dari UNESCO pada tahun 1974 yang menulis risalah soal tata komunikasi dan informasi dunia baru. Tapi kemudian sarjana lain seperti misalnya Ronald V Bettig, salah satu generasi baru dari tradisi kritis ilmuwan komunikasi di Amerika menulis kajiannya soal industri copyright di dunia yang juga dengan jelas menunjukkan bahwa ada struktur yang tak adil dalam dunia ini dan menempatkan negara dunia ketiga dalam posisi yang terus kalah dengan negara industri maju. Lihat
Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property, Boulder: Westview Press, 1996.

40Misalnya saja perdebatan penting soal industri kebudayaan yang dikemukakan oleh Horkheimer dan Adorno mendapat kritik tajam oleh para sarjana lain, terutama yang berkait dengan persoalan imperialisme budaya yang terjadi lewat industri kebudayaan. Topik ini menjadi penting karena merupakan salah satu isu sentral ketika membahas soal komunikasi internasional ketika bicara perimbangan informasi yagn didapat oleh negara dunia ketiga, yangkemudian memunculkan gerakan pada tahun 1974 yaitu New International Information Order dan dibentuknya Komisi Sean MacBride dari UNESCO.

41Lihat footnote no.6 di depan dimana saya menyebut sejumlah tokoh pendekatan ekonomi politik komunikasi muktahir. Nama-nama tersebut banyak terdengar asing di telinga para pengajar atau mahasiswa komunikasi di Indonesia.

42Yang saya maksud di sini adalah kelompok Sub-Altern Studies yang dipelopori oleh Ranajit Guha, lalu Dipesh Chakravarty dan lain-lain. Tiap tahun kelompok ini menerbitkan buku khusus kajian baru atas sejarah India dari versi ‘orang dalam.’

43Saya memeriksa setidaknya beberapa jurnal bernama Publisistik (madjalah ilmiah bidang komunikasi massa, diterbitkan oleh Lembaga Pulibsistik, Fakultas Ilmu Sosial UI) pada tahun 1970-an, lalu jurnal ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) dan juga jurnal Audentia (diterbitkan oleh ISKI Jawa Barat), keduanya terbit pada decade 1990-an. Juga saya melihat 2 buku penerbitan ulang tahun jurusan Ilmu Komunikasi, FIS UI pada tahun 1969 dan 1981.

44Tentang proses kampanye mencitrakan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa G 30 S lihat mulai dari halaman 511-549.

45Dengan memeriksa daftar koran yang terbit antara tahun 1965-67 yang dilakukan oleh Roger K. Paget, maka saya menemukan tak kurang dari 13 koran yang ada di Indonesia dengan nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di beberapa kota di Indonesia. Silakan periksa pada artikel “Indonesian Newspaper 1965-67”, Indonesia no.4, 1967. Tigabelas Koran ini belum termasuk dengan Koran lain yang juga berafiliasi secara tidak langsung dengan Angkatan Darat. Lalu yang juga menarik adalah apa yang terjadi pada Koran Pikiran Rakjat di Bandung. Koran ini pada periode awalnya (1951-1965) dikenal sebagai Koran pendukung Sukarno, yang dipimpin oleh Djamal Ali dan Asmarahadi. Namun ketika gejolak politik tahun 1965 naik ke permukaan, Koran ini sempat ditutup dan baru kembali terbit pada tahun 1966 “setelah mendapat bantuan dari tentara Siliwangi” yang hendak menerbitkan Koran Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat. Jadilah kemudian Koran ini memiliki afiliasi tidak langsung dengan Angkatan Darat, yang sejak tahun 1983 dipimpin oleh Atang Ruswita. Lihat Suwirta, “Wacana Kritik Media: Kajian atas harian Pikiran Rakyat”, Wacana vol.1, no.2, Oktober 1999.

46Ada tiga tulisan yang dimuat
Kompas tanggal 9 Februari 2001, “Bung Karno di Tengah Jepitan CIA” (hal.25), “Perang Urat Syaraf yang Mematikan” (hal.26) dan “Ketika CIA menggusur ‘Diktator Komunis’” (hal.28)

47Lihat terutama tulisan “Perang Urat Syaraf yang Mematikan”

48Kalau membandingkan dengan tulisan Simpson (1994) ada sejumlah negara yang pernah jadi target operasi rahasia CIA, misalnya Indonesia, Chile, Puerto Rico, Italy, Perancis, Kuba, dan negara bekas Uni Soviet.

49Tentang hal ini bisa dilihat pada skripsi seorang sarjana komunikasi dari UGM, Budi Irawanto, yang kemudian dibukukan
Film, Ideologi dan Milite: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Analisis Semiotik terhadap ‘Enam Djam di Jogja’,’ Janur Kuning’, dan ‘Serangan Fajar’, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999.

50Dalam tulisan “Media Control”, diambil dari situs: http://www.worldmedia.com/archive/talks/9103-media-control.html. Diringkas dari artikel Alternative Press Review, Fall 1993

51Lihat juga kritik yang diajukan oleh Herbert I. Schiller,
Culture Inc.: The Corporate Takeover of Public Expression, Oxford University Press, 1989.

52Tulisan ini merupakan pendapat Michel Foucault dalam buku Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, sebagaimana dikutip oleh George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-pengetahuan Lokal yang Tertindas”, Jurnal
Kalam no.1, 1994.


Baca selengkapnya!

3.7.07

Utang Negara-negara Utara Kepada Negara-negara Selatan

Paulo Nakatani dan Remy Herera

Utang Eksternal Negara-negara Berkembang

Selatan telah membayar kembali utang eksternalnya kepada Utara. Pernyataan ini perlu kita kumandangkan kuat-kuat.

Cerita ini dimulai ketika terjadi krisis utang global yang terjadi pada 1979, melalui peningkatan tajam tingkat suku bunga Federal Reserve yang dilakukan oleh gubernur Paul Volcker. Hasil dari kebijakan ini, perkembangan/kebangkitan ekonomi pasar secara keseluruhan harus dibayar dalama mata uang dollar, dimana secara kumulatif layanan utang eksternal mencapai $7.673 trilyun.1

Akibatnya, berdasarkan data yang diterbitkan IMF (International Monetary Fund), dalam periode yang sama, utang Selatan meningkat dari $618 milyar pada 1980, menjadi $3.159 trilyun pada 2006. Utang dari kelompok Selatan ini, yang terdiri dari 145 negara anggota, semakin meningkat hingga tahun 2007, yang masih menurut IMF, mencapai lebih dari $3.350 trilyun. Utang negara-negara Asia saja, meninigkat menjadi $955 milyar. Namun demikian, mereka telah membayar kembali utang-utangnya dalam bentuk suku bung dan kapital, lebih dari jumlah semula pada 1980, dimana negara-negara itu kini harus menanggung beban utang yang jauh lebih besar dibanding yang mereka hadapi pada periode-periode awal.

Berdasarkan data dari IMF yang tercermin dalam dollar saat ini, posisi utang negara-negara Selatan kian menyulitkan mereka dibandingkan dengan periode-periode waktu yang berbeda. Yang pasti, utang eksternal negara-negara berkembang atau negara-negara yang ekonomi pasarnya sedang bertumbuh, jika diukur melalui rasio pelayanan utang (debt service ratio/DSR)/GDP (bersama dengan layanan utang.ekspor), terus meningkat sejak awal 1980an. Total layanan utang eksternal dari negara-negara tersebut, meningkat dari 2.8 persen GDP pada 1980, menjadi 4.0 persen pada 1989, dan 6.9 persen pada 1999, sebelum menurun lambat menjadi 5.2 persen pada 2006, atau hanya 5.1 persen di atas rata-rata setiap periodenya.

Banjir keluar sumberdaya ini beroperasi lebih dari seperempat abad, dan sama sekali tidak mengubah status dari ekonomi negara-negara tergantung. Tidak juga watak hubungan dari negara-negara berkembang dengan negara-negara maju di Utara. Sebaliknya, menyumbang pada kian meningkatnya konsentrasi kekayaan kelas dominan di negara-negara Selatan dan pada level internasional di kalangan negara-negara Utara.

Dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi peningkatan dramatis tingkat kesenjangan baik pada level intra maupun level internasional, sebagaimana peningkatan dalam kemiskinan relatif dan absolut. Pembayaran utang internasional merupakan salah satu bentuk transfer surplus yang dihasilkan oleh negara-negara Selatan kepada negara-negara Utara – dan juga surplus yang diproduksi oleh buruh di Selatan kepada para kapitalis di negara mereka dan para kapitalis di Utara. Hal ini menyebabkan terjadinya kecenderungan meningkatnya tingkat eksploitasi tenaga kerja di Selatan. Dalam konteks ini, negara-negara berkembang dan negara-negara yang pasarnya sedang bertumbuh (emerging market), telah melakukan transfer ekonomi kepada para kreditor mereka, dengan besaran rata-rata 3.68 persen dari GNP selama dekade krisis utang (1980-19890). Dalam sepuluh tahun terakhir (1997-2006), yang ditandai oleh serangkaian krisis keuangan dan meningkatnya polarisasi sistem kapitalis dunia, transfer ekonomi ini meningkat menjadi 6.2 persen dari GNP.2

Pada tahun-tahun terakhir ini, dalam konteks kian meningkatnya integrasi pasar dan deregulasi pergerakan kapital secara umum, telah terjadi transformasi utang kepada Bonds pasar keuangan, dan konversi utang eksternal menjadi utang internal. Terus berlangsungnya evolusi bertahap ini, telah menyembunyikan sejumlah dampak yang merugikan, khususnya tingkat suku bunga tinggi pada utang internal. Pengurangan pembayaran kembali layanan utang eksternal, menyebabkan makin sulitnya mengkalkulasi secara tepat besaran aliran yang berkaitan dengan utang eksternal. Hal ini lebih lanjut kian mempersulit dan memperburuk situasi dimana transfer surplus dari Selatan ke Utara, terus beroperasi melalui banyak sekali saluran seperti, pengiriman kembali (repatriasi) keuntungan investasi asing langsung, keuntungan dari re-evaluasi bonds yang dicatat sebagai investasi porfolio dalam neraca pembayaran, dan bentuk-bentuk lain pertukaran yang tidak seimbang.

Utang eksternal bisa ditafsirkan baik dalam pengertian pembiayaan maupun sebagai pemaksaan pada pembiayaan formasi kapital. Tetapi, besaran dan dinamika utang menunjukkan, pinjaman tidak menyumbang pada pembiayaan pembangunan. Disamping itu, peningkatan utang itu sendiri dimaksudkan untuk menutupi pembiayaan kembali suku bunga dan kapital. Jadi, utang berfungsi sebagai mekanisme pengekalan kemiskinan yang menyakitkan, eksploitasi kerja, dan menghalangi pembangunan di negara-negara kapitalis pinggiran.

Utang sebagai masalah keuangan, ekonomi, sosial, dan politik

Ketidakseimbangan utang negara-negara berkambang saat ini dan masa lalu sistem moneter dan keuangan international, tidak menunjukkan adanya indikasi dimungkinkannya penyelesaian krisis utang kecuali, melalui mobilisasi usaha dan sumberdaya yang dikandung negara-negara pengutang.

Satu-satunya cara adalah reorganisasi secara mendasar hubungan ekonomi, perdagangan, dan keuangan antara negara-negara pusat (the North) dan negara-negara pinggiran (the South) dalam sistem kapitalis dunia. Yang selanjutnya disusul dengan prinsip-prinsip baru hubungan yang saling menguntungkan. Perubahan ini harus secara ketat memaksakan pembatasan dinamika akumulasi kapital, yang berdasarkan pada maksimisasi keuntungan dari hasil jarahan dan kemudian, mempromosikan solidaritas dan kerjasama di antara para partner. Ini adalah salah satu kondisi esensial bagi pembangunan tata ekonomi yang adil.

Utang eksternal negara-negara berkembang, tidak hanya menyangkut masalah keuangan. Dalam banyak kasus, kemajuan diukur menurut kondisi dan kepentingan kelas kapitalis dominan di Utara, yang berhubungan sangat erat dengan para elite di negara-negara pinggiran. Aliansi ini sering menghasilakn situasi yang kompleks, misalnya, utang “najis” (tidak sah dan atau melanggar hukum), transformasi utang eksternal menjadi utang publik – yang sering dilihat sebagai bentuk-bentuk utang “najis” dan “utang lingkungan (ecological debt).” Utang najis yang dilakukan oleh elie lokal ini, dalam banyak kasus - digunakan untuk membiayai gaya hidup mewah mereka, korupsi, atau penindasan terhadap kelas pekerja – seringkali melahirkan pembunuhan dan kekerasan massal.

Konversi utang swasta menjadi utang publik, berarti menuntut negara untuk mengelola utang demi kepentingan borjuis lokal. Ketika Amerika Serikat memutuskan untuk meningkatkan tingkat suku bunga – dengan harapan hal itu bisa menyelesaikan krisis – banyak pemerintah di negara-negara kapitalis pinggiran pada awal 1980-an, menasionalisasi sebagian besar utang eksternal swasta dari borjuis lokal dan memaksakan pertanggungjawaban dengan resiko yang harus ditanggung oleh rakyat. Lebih dari itu, utang juga digunakan untuk membiayai pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan transnasional, yang menyebabkan terjadinya serangkaian degradasi lingkungan dan dampak eksternalitas negatif yang sangat tinggi baik di level nasional maupun internasional.

Utang tersebut juga menyumbang pada meningkatnya kemiskinan dalam skala besar populasi di negara-negara Selatan, khsususnya di Afrika. Antara 1980 dan 2006, sebesar $675 milyar hilang untuk membiayai layanan aliran utang dari benua Afrika, sementara negara-negara di kawasan tersebut merupakan negara termiskin di dunia.3 Jumlah ini melebihi jumah utang eksternal seluruh negara-negara berkembang pada permulaan krisis. Jumlah rata-rata tahunan selama periode ini, berkorespondensi dengan $25 milyar. Sebagai perbandingan, menurut perkiraan organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO), lebih dari setengah total jumlah ini cukup untuk menghapus kemiskinan. Terima kasih kepada persyaratan rasio pangan yang berkaitan dengan pertimbangan level nutrisi yang cukup bagi setiap penduduk miskin di Selatan. Kita masih ingat, menurut Bank Dunia, ada lebih dari empat milyar penduduk di dunia, lebih dari 850 juta orang tetap menderita kekurangan pangan hari ini, dan lima juta anak-anak mati akibat kelaparan setiap tahunnya. Maka, tak salah jika kita mengatakan, “kekayaan yang berhasil diakumulasi oleh negara-negara Utara, adalah hasil dari eksplotasi buruh dan penghancuran alam di negara-negara Selatan.”

Solusi yang ditawarkan untuk masalah utang

Banyak kalangan organisasi non-pemerintah (NGO) seperti, Committee for the Cancellation of Third World Debt (Comite pour l’Annulation de la Dette du Tiers Monde (CADTM), atau Jubille South, mengatakan, satu-satunya metode yang tersedia untuk membuka jalan bagi pembangunan adalah dengan membatalkan pembayaran utang. Alasannya, negara-negara berkembang telah membayar lunas utang eksternal mereka kepada kreditor di Utara secara keseluruhan. Mereka bahkan menyatakan, “kini saatnya negara-negara kaya secara efektif berutang pada negara-negara miskin.”4

Namun demikian, negara-negara pusat dari sistem kapitalis dunia serta lembaga—lembaga keuangan dan pembiayaan internasional yang dikontrolnya – di atas semuanya adalah IMF, Bank Dunia, dan Paris Club – tidak memiliki kepentingan untuk menyelesaikan masalah utang eksternal. Sebabnya, karena itu merupakan mekanisme terbaik untuk tetap menempatkan negara-negara Selatan dalam posisi ketergantungan yang buruk. Konsekuensinya, rakyat di negara-negara Selatan, dengan didukung oleh gerakan sosial (di Selatan dan juga di Utara), harus mengambilalih tugas pembebasan dari jerat utang ini ke dalam tangannya.

Dengan demikian, kampanye bagi pembatalan utang negara berkembang harus didukung – khususnya inisiatif yang dilakukan oleh negara kreditor seperti Norwegia. Negara ini memahami bahwa harus ada pertanggungjawaban bersama terhadap “utang yang tidak sah” di sejumlah negara (Ekuador, Mesir, Jamaika, Peru, dan Sierrra Leon), dan secara unilateral memutuskan untuk membatalkan 62 juta Euro kredit yang telah diberikan.5

Dalam kasus Ekuador, sebuah komisi pemberantasan korupsi yang didukung oleh beberapa asosiasi, berdasarkan hasil audit pada 2002, menemukan adanya penjualan kapal Norwegia kepada pemerintah Ekuador pada 1970. Komisi ini menyimpulkan bahwa kredit “pinjaman untuk bantuan pembangunan” dalam kasus ini tidak sah (dalam pengertian mereka tidak membantu Ekuador tapi, lebih untuk membantu industri di Utara) karena tidak memiliki evaluasi teknik maupun keuangan, yang semestinya dilakukan oleh negara-ngara kreditor (tidak juga oleh agen-agen kerjasama pembangunan atau agen-agen bagi kredit ekspor).

Akibat proses yang tidak transparan ini, terjadi peningkatan utang Ekuador sehingga menyebabkan terjadinya kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan selama proses negosiasi ulang. Lebih celaka lagi, tidak ada satupun yang tahu dimana keberadaan kapal tersebut dan berapa banyak utang yang dihasilkannya. Setelah komisi memberikan rekomendasi penghentian pembayaran pada Oktober 2006, dan disusul dengan kampanye intensif oleh rakyat Ekuador dan gerakan sosial di Norwegia, pemerintah Norwegia mengumumkan pembatalan utang ini, dalam pengertian bahwa dampak dari utang tersebut merupakan tanggung jawab bersama.6

Mobilisasi untuk membatalkan atau menghapus utang eksternal, juga membutuhkan insiatif di dalam negara-negara pengutang dan pemerintahnya. Walaupun hanya tampak kemajuan kecil saat ini, bahkan oleh negara yang dikategorikan progresif, sejauh ini, keputusan paling berani berkaitan dengan diputuskannya pembayaran kembali dalam rangka negosiasi ulang utang eksternal, adalah yang dilakukan Argentina pada 2002.

Proyek The Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) Inintiative, yang digagas oleh negara-negara G7 di Lyon pada 1996, dan selanjutnya diperkuat dalam pertemuan di Cologne, September 1999, terbukti gagal menyelesaikan masalah utang. Kepedulian dari inisiatif ini sangat terbatas pada sejumlah negara miskin saja, dan tujuannya adalah membuat beban utang tetap “lestari,” tanpa mempertanyakan masalah legalitas atau legitimasi.

Proposal lain dalam bentuk pertukaran utang dengan aset-aset (debt equity swaps), juga tidak bersinggungan dengan penyelesaian masalah. Sebabnya, inisiatif ini sering digunakan untuk mendukung program-program privatisasi dan perubahan struktur kepemilikan kapital di tingkat nasional, guna kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional asing. Proposal pembelian ulang (buyback) utang antara negara-negara berkembang dalam kerangka kerjasama alternatif Selatan-Selatan, juga sangat terbatas. Hal ini tidak lain karena proposal ini melulu menyangkut transfer beban utang dari satu negara ke negara lainnya di Selatan.

Dalam kondisi ini, solusi yang paling efektif adalah menuntut dilaksanakannya audit utang. Yakni, dengan mendesak negara untuk mengidentifikasi setiap komponen utang, termasuk mengkualifikasikannya sebagai “najis,” dan menuntut, jika dibutuhkan, pembatalan pembayaran.7 Bahkan, pemerintahan progresif di Dunia Ketiga, tidak terlepas dari kewajiban ini. Mereka harus melakukan negosiasi ulang utang mereka, di bawah kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan guna memutus aliran pembayaran kembali utang.

Kadang-kadang, layanan pembayaran kembali utang kepada IMF bisa dijadwalkan ulang. Tapi, tentu saja, tidak ada solusi yang pasti di sini, selama kebijakan ekonomi yang tergantung yang dipaksakan oleh IMF terus berlanjut. Lebih dari itu, mata uang asing yang dipinjam melalui pasar keuangan untuk pembayaran kepada IMF, bunganya sangat tinggi. Negara yang tergantung kemudian disingkirkan dari pasar keuangan sehingga keadaannya makin parah.

Proposal bagi audit, sebaiknya ditingkatkan statusnya dalam bentuk undang-undang tentang utang eksternal dan pembatalan utang, yang secara efektif diletakkan dalam pengertian kebijakan pembangunan. Ini jika kita mau bersungguh-sungguh mengubah sistem keuangan dan moneter internasonal melalui perubahan peran IMF, Bank Dunia, dan WTO. Di antara tindakan-tindakan mendesak itu, marilah kita daftar: modifikasi pengaturan akses pada pasar dan sistem keuangan dan moneter internasional; pembangunan sistem regional untuk menstabilisasi tingkat pertukaran; pengontrolan dan pemajakan pergerakan kapital (khususnya praktek spekulasi), dihapuskannya wilayah bebas pajak (tax havens), dan dibentuknya pengadilan internasional yang bertanggung jawab sebagai hakim yang memutuskan implikasi sosial, ekonomi, dan budaya dari utang Dunia Ketiga, termasuk utang ekologi.

Hukum internasional mengenai utang ini sangat penting keberadaannya. Dan ini mendesak diletakkan sebagai kewajiban bagi perusahaan transnasional dan aliansi lokalnya, untuk membayar kepada negara-negara Selatan sebagai bagian dari usaha memperbaiki “utang ekologi.”***

Catatan kaki:

1.Data dari tahun 1980-2006. Perhitungan dilakukan oleh penulis yang didasarkan pada data yang disediakan oleh "IMF: IMF, 2006, World Economic Outlook Database," September, Washington D.C. Ini merupakan jumlah total nilai yang tergambar dari pada “External Debt: Total Debt Service” from the group “Other Emerging Market and Developing Countries,” http://www.imf.org.
2.Dihitung oleh penulis, berdasarkan data IMF yang sama.
3.Dihitung oleh penulis berdasarkan pada data IMF yang sama
4.CETIM et al., "Menons l’Enquete sur la dette" (Geneve: Editions du CETIM, 2006).
5.CADTM, “CADTM Apaluds Norway’s Initiative Concerning the Cancellation of Odious Debt and Calls on All Creditor Countries to Go Even Further,” (October 10, 2006), http://www.cadtm.org.
6.CADTM, “CADTM Apaluds Norway’s Initiative.”
7.CETIM et al., Menons l’Enquete sur la dette.

Paulo Nakatani, pengajar di Federal University of Espiritu Santo, Vitoria, Brazil.
Remy Herera, peneliti di CNRS - Centre of Economics of the Sorbonne, France.

Artikel ini diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh, dari judul asli, "The South Has Already Repaid its External Debt to the North but the North Denies its Debt to the South," yang dimuat di Monthly Review An Independent Socialist Magazine, Vol. 59, No. 2, June 2007.


Baca selengkapnya!

17.6.07

Strategi-strategi Perjuangan

Pentingnya Gerakan Tani di Amerika Latin
James Petras

Selama lebih dari satu abad, para analis baik dari sebelah kiri maupun kanan, memperkirakan hilangnya kekuatan gerakan tani seturut perkembangan kapitalisme. Bahkan, hingga kini, beberapa penulis kiri terkemuka, misalnya, Eric Hobsbawn, menulis tentang kian berkurangnya jumlah petani, berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari data-data kuantitatif perkembangan jumlah penduduk.

Dalam bidang kebijakan, terutama dari kalangan neoliberal kanan seperti Presiden Brasil Ignacio "Lula" Da Silva dan menteri pertaniannya, memberlakukan kebijakan yang menyediakan sumberdaya seluas-luasnya kepada sektor agribisnis berorientasi ekspor, merusak tatanan ekologi, mengabaikan hak asasi manusia, dan menempatkan petani kecil dan buruh tani tak bertanah pada prioritas terendah.

Menghadapi kenyataan tentang konsensus di antara para akademisi dan politisi ini, petani menolak untuk disepelekan atau dianggap hanya memainkan peran pinggiran. Di tengah-tengah kejatuhan prosentase jumlah pedesaan, kaum tani, setelah lebih dari 20 tahun, kembali bangkit sebagai aktor sejarah untuk memainkan peran sentral dalam perubahan rejim, menentukan agenda-agenda nasional, memimpin perjuangan menentang perjanjian perdagangan internasional (ALCA atau wilayah perdagangan bebas Amerika/Free Trade Area of the Americas), dengan mendirikan kekuasaan yang berbasis lokal dan regional. Di banyak negara, koalisi buruh tani tak bertanah (coalitions of landless farm workers), keluarga petani kecil (small family farmers) dan kaum tani (peasants), mengambil peran sentral dalam perjuangan nasional menentang neoliberalisme dan kebijakan perdagangan bebas. Dalam beberapa kasus, gerakan pedesaan meletupkan perjuangan yang lebih besar, mengaktifkan kelas perkotaan, serikat buruh, kelompok-kelompok sipil dan organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia.

Data dari banyak negara Amerika Latin, dalam seperempat dekade lalu menunjukkan, petani dan gerakan pedesaan lainnya dengan sangat cepat menjadi pusat dari seluruh proses perubahan sosial dan perlawanan terhadap kaum neoliberal. Paradoksnya, ketika populasi penduduk perkotaan meningkat level organisasi kelas dan kekompakan internal kelas buruh industri justru melemah secara substansial. Setidaknya, dalam beberapa waktu terakhir, lemahnya jaringan aliansi potensial buruh-tani lebih disebabkan oleh melemahnya militansi dan kemampuan organisasional di antara pemimpin-pemimpin serikat buruh industrial, bukan oleh organisasi pedesaan.

Pada masa lalu, para penulis tentang petani sangat menekankan sifat mereka yang "lokal," parokial," atau memiliki kepentingan "sektoral" yang kuat, sebagai lawan dari yang berwatak nasional, universalistik dan memiliki kepentingan kelas. Versi terakhir dari persepsi ini ditemukan dalam banyak penulis, pemimpin-pemimpin organisasi non pemerintah (NGO dan wartawan) yang memfokuskan perhatiannya pada "kepentingan mikro," partisipasi lokal dan proyek-proyek komunitas petani dan "identitas politik" mereka. Berlawanan dengan aliran pemikiran lainnya yang menekankan pada potensi revolusioner petani, sebuah persepsi umum yang banyak ditemukan saat-saat ini.

Namun hingga sejauh itu, tidak ada "pemikiran" yang sanggup menangkap kompleksitas, perubahan, dan dialektika perjuangan yang melibatkan gerakan tani. Padahal, hampir seluruh gerakan tani besar di Amerika Latin, terlibat dalam perjuangan dan kampanye yang bersifat lokal, nasional bahkan internasional. Pertama, dalam banyak kasus, perjuangan lokal yang disebabkan oleh kekerasan terhadap hak asasi manusia menjadi dasar bagi mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional. Kedua, sebagian besar gerakan membangun basis "lokal" bagi hegemoni politiknya sebagai batu loncatan (pringboard) menuju kekuasaan nasional dan menantang kekuasaan negara. Sebagai contoh adalah kasus CONAINE (National Confederation of Indigenous Nationalities) di Ekuador dan Cocaleros (Petani koka) di Bolivia. Ketiga, ketika kelompok-kelompok Etnis, atau Indian/African American mempertahankan hak-hak asasi dan pusat otonominya, banyak gerakan tani memiliki hubungan yang kuat dengan kepentingan kelas dan aliansi horisontal dengan kelas-kelas terhisap lainnya.

Baik konsepsi mikro dan makro perjuangan petani berwatak mekanis, satu sisi, dan memiliki persepsi yang tercerai-berai dengan aktivitas dialektik gerakan tani yang mengombinasikan perjuangan lokal dan nasional, tuntutan sosial dan politik, kelas dan kesadaran etnis. Yang satu tidak bisa menjabarkan pola aktivitas petani dari waktu dan tempat yang khusus. Sebagai contoh, dalam beberapa penindasan politik atau kekecewaan politik, gerakan tani mungkin mengganti agenda-agenda tuntutan mereka menjadi bersifat lokal, khusus dan aktivitasnya lebih pada pembelaan diri. Sebaliknya, pada masa-masa perluasan keanggotaan dan kemenangan perjuangan, gerakan tani cenderung menaikkan isu-isu berskala nasional dan menantang otoritas kekuasaan politik pusat. Sebagian besar gerakan tani secara langsung terlibat dalam satu atau lain bentuk tindakan politik.

Dengan satu pengecualian khusus, seluruh pemimpin-pemimpin utama petani berpikir dan bertindak untuk mengakumulasi kekuasaan politik dan berharap untuk mengubah, membagi atau mengambilalih kekuasaan negara. Gerakan tani mengubah perilaku mereka ke arah tindakan langsung dan strategi elektoral. Dalam beberapa kasus, gerakan bisa mengubah strategi perjuangan, tergantung pada kondisi eksternal dan perubahan internal. Secara umum, gerakan tani kebanyakan sangat percaya pada strategi "tindakan langsung," menduduki lahan-lahan besar, menutup jalan raya, atau mengambilalih kantor kotamadya, dst. Aktivitas elektoral merupakan sebagian bentuk dari penciptaan organisasi politik baru, atau menjadi pendukung keberadaan gerakan "kiri" perkotaan atau mendukng partai "populis."

Sebuah analisis yang berhati-hati terhadap pengalaman gerakan tani selama 25 tahun terakhir dengan perbedaan strategi politik, telah mendorong saya pada kesimpulan, bahwa metode tindakan langsung jauh lebih efektif dan positif ketimbang strategi elektoral dalam mengamankan tujuan-tujuan petani dalam jangka pendek dan menengah, tanpa mengabaikan pernyataan identitas "formal" partai peserta pemilu. Sebagai contoh, di Ekuador, CONAINE melalui tindakan langsung sanggup menggulingkan dua presiden neoliberal yang korup, mengamankan reform-reform sosial yang positif, dan memperkuat dukungan massa mereka di kalangan masyarakat sipil. Ketika CONAINE berbalik ke arah politik elektoral, dipengaruhi oleh sikap kekeluargaan dalam partai dan mendukung Presiden Gutierrez, yang terjadi adalah seluruhnya negatif: turunnya belanja sosial, penindasan politik besar-besaran, perpecahan dan kekecewaan di kalangan gerakan. Contoh yang sama terjadi di Bolivia, Brazil dan tempat lainnya, dimana gerakan tani menyandarkan diri pada strategi tindakan langsung terbukti sanggup mengambilalih lahan-lahan luas melalui pendudukan dan blokade jalan (Brazil) dan menggulingkan presiden neoliberal yang korup (Bolivia).

Di sisi lain. ketika gerakan berbelok menjadi politisi-politisi elektoral "kanan-tengah," hasilnya secara keseluruhan adalah negatif: Di Brazil, MST (gerakan buruh pedesaan tak bertanah), di bawah rejim Lula, terbukti secara signifikan turun dalam pengambilalihan lahan. Sebaliknya, tekanan dan penggusuran yang dilakukan oleh elite-elite agro-ekspor dan pejabat tinggi militer semakin meningkat. Di Bolivia, Cocaleros yang berinisiatif mendukung presiden Messa, menderita akibat pemangkasan program koka.

Negara Dan Gerakan

Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan, memblok kebijakan perdagangan babas yang menghancurkan dan bahkan menjatuhkan rejim yang korup. Dalam konteks nasional, baik di tingkat federal maupun provinsi, gerakan tani telah menjadi musuh bersama. Di Meksiko, kerap dilakukan penindasan yang luarbiasa terhadap gerakan tani di Chiapas, Guerrero, Oaxaca dan di sepanjang Meksiko Tengah-Selatan. Di Kolombia, ribuan pemimpin tani dibunuh oleh kelompok-kelompok paramiliter yang bekerjasama dengan Angakatan Darat, yang menyebabkan lebih dari tiga juta petani kehilangan tempat tinggal akibat politik bumi hangus yang diterapkan negara. Di Brasil, sebelum dan selama presiden Lula berkuasa, jumlah aktivis tani, pembela hak-hak asasi manusia dan agamawan yang mati terbunuh oleh kelompok bersenjata lokal dengan keterlibatan hakim provinsi, kepala polisi, dan kesengajaan yang dilakukan oleh pemerintah federal, tidak pernah surut. Bahkan di Venezuela di bawah presiden Chavez, lebih dari 110 pemimpin tani dan ahli waris pembagian tanah, mati terbunuh antara 2001-2003 oleh tuan tanah yang memiliki "senjata pribadi" diimbuhi oleh keterlibatan pejabat lokal.

Dengan kata lain, dengan pengecualian yang aneh, gerakan tani sukses melakukan perubahan positif di samping negara dan bukan sebaliknya. Perubahan mana terjadi dalam perlawanannya terhadap aparatus negara. Ini tidak berarti negara selalu dan dimanapun menjadi musuh bagi setiap tuntutan petani. Revolusi Kuba menjadi ilustrasi yang memungkinkan sinergi antara mobilisasi petani dan intervensi negara yang positif. Di Venezuela, kemungkinan yang sama eksis jika struktur birokrasi pertanian yang tidak kompeten dan sudah lapuk direformasi agar bisa beroperasi. Bahkan dalam kasus dimana respon awal negara adalah negatif, tekanan organisasi massa petani yang berkoalisi dengan masyarakat perkotaan, termasuk gereja, universitas, gerakan hak asasi manusia dan serikat buruh (dan termasuk beberapa deputi parlemen yang progresif), bisa memaksa rejim untuk membiayai pengambilalihan tanah dan koperasi pertanian, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Brasil.

Dalam sejarah kontemporer Amerika Latin, ada dua model pembangunan pertanian yang dijalankan: model Venezuela dan model Brazil. Presiden Chavez menyebutnya sebagai program landreform yang ekstensif, pengambilalihan lahan-lahan perkebunan dan tanah kosong dan pemindahan mereka yang tak bertanah dan petani-petani subsisten dan terakhir, mereka yang pindah ke kota-kota. Sebaliknya di Brazil, Lula malah mempromosikan perluasan perusahaan-perusahaan agro-eksport skala besar, mengonsentrasikan tanah, dan membiayai perusahaan-perusahaan agrobisnis yang mengongkosi petani kecil dan buruh tak bertanah.

Apa yang krusial dari diskusi mengenai hubungan antara "negara" dan gerakan tani adalah karakter kelas dari negara dan orientasi ideologi para eksekutifnya. Dalam kasus Venezuela di bawah Chavez, kita menemukan hubungan yang saling menguntungkan antara aktivis tani dengan pemerintah yang didasarkan pada kepemimpinan yang populis. Dalam kasus Brazil di bawah Lula, kita temukan rejim neoliberal yang dipimpin oleh dan untuk agrobisnis.

Sentralisasi Gerakan Tani

Di banyak negara (tapi tidak semuanya) Amerika Latin, gerakan petani memainkan peran politik utama dalam memengaruhi kebijakan nasional sepanjang abad ke-21. Di Bolivia, Brazil, Kolombia, Ekuador, Peru, Amerika Tengah, Paraguay dan Meksiko, , petani, tukang kebun dan organisasi-organisasi petani-Indian, secara instrumental memiliki momen yang berbeda dalam seting agenda nasional. Agar menjadi jelas, di semua negara persentasi penduduk pedesaan kian menurun namun, dalam banyak kasus kualitas organisasi sosial dan kepemimpinan mereka semakin meningkat, paling tidak jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi penduduk perkotaan.

Ada beberapa alasan subyektif dan "obyektif" yang menyebabkan gerakan tani saat ini begitu maju. Secara obyektif, kebijakan "neoliberal" demikian menjepit kehidupan petani: di satu sisi membanjirnya barang-barang impor sebagai pengganti makanan dan di sisi lain produk-produk agrikultur lainnya harganya melorot drastis sehingga menyebabkan petani penghasil jatuh bangkrut; di sisi lain terdorong untuk mengakumulasi keuntungan dari pertukaran luar negeri, rejim neoliberal menempuh kebijakan untuk memperluas sektor agroekspor, serta memimpin pengusiran paksa petani penghasil dari tanahnya. Kebangkrutan dan pengusiran tidak hanya berarti meningkatnya angka pengangguran atau merosotnya jumlah pendapatan tapi, juga penduduk yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan komunitas dan keluarganya yang terdekat. Itu juga berarti, "kehancuran," sebuah pengalaman keterasingan yang mendalam. Ancaman dan kenyataan yang diakibatkan oleh neoliberalisme secara khusus ditemukan di wilayah pedesaan, dimana tidak ada alternatif untuk tempat tinggal, komunitas dan pekerjaan. Dampak yang paling menghancurkan dari neoliberalisme semakin terasa kuat di wilayah pinggiran ketimbang di perkotaan.

Secara subyektif, pemimpin tani yang baru lahir memiliki pendidikan yang lebih baik, terpolitisasi dan independen dari pengaruh elite perkotaan dan mesin partai, lebih mengerti tentang politik nasional dan internasional dan bebas dari pengaruh hegemoni pengacara provinsi dan pemimpin-pemimpin petani profesional lainnya di masa lalu. Selain itu, tidak seperti serikat buruh lama dan kepemimpinannya yang terbirokratisasi dan menjadi bagian yang menyatu dengan komisi "tri-partite," gerakan tani yang baru lahir di atas basis kelas yang independen dan perjuangan etnis, menentang persetujuan dagang antara kelas penguasa lokal dan negara imperial.

Untuk kedua alasan subyektif dan obyektif ini, gerakan tani diasumsikan pada waktu dan tempat yang tepat untuk menjadi "pelopor/vanguard," sebagai pemicu ledakan perubahan sosial besar-besaran dalam menentang elite neoliberal.

Pembangunan Gerakan Tani dan Perjuangannya

Secara khusus, kita bisa membedakan tiga level perjuangan dan organisasi tani berdasarkan dampaknya pada kebijakan politik dan sosial ekonomi secara nasional.

Pada "tahap tertinggi" kita lihat di Brazil, Bolivia dan Ekuador, dimana gerakan tani terlibat dalam waktu lama, dalam perjuangan skala besar, yang sanggup menduduki sejumlah lahan besar dan atau menjatuhkan rejim. Pada "tahap menengah" perjuangan dan organisasi, Guatemala, Meksiko, Kolumbia, Paraguay, Peru dan El Salvador adalah negara-negara dimana aktivitas dan militansi gerakan taninya sangat kuat berhadapan dengan kekuasaan regional. Gerakan itu akan semakin kuat jika saja tidak direpresi oleh aparatus negara. Sebagai contoh, lebih dari 200 ribu petani, sebagian besar Mayas, dibunuh oleh rejim kediktatoran Rios Mont yang didukung Amerika Serikat pada 1980an di Guatemala. Hal serupa terjadi di Kolumbia, dimana ribuan aktivis tani terbunuh dan lebih dari tiga juta petani kehilangan tempat tinggal akibat taktik teror yang dilakukan oleh negara Kolumbia beberapa dekade lalu. Pada "tahap terendah" aktivitas dan organisasi gerakan tani adalah yang tampak di Chile, Uruguay, Argentina dan Venezuela.

Namun demikian klasifikasi ini membutuhkan kualifikasi. Karena kebijakan presiden Hugo Chavez yang menguntungkan mengenai arah reformasi agraria, dan kebijakan yang positif tentang arah distribusi tanah dan organisasi tani serta koperasi, gerakan tani secara signifikan bangkit sejak awal 2000. Lebih dari itu, di Argentina, dimana gerakan tani hanya memiliki pengaruh kecil di tingkat nasional, mereka membanguna pengaruh yang kuat di daerah seperti, di Northeast, Santiago de Estero, Formosa dan beberapa propinsi lainnya.

Gerakan dan organisasi tani yang sangat kuat muncul dengan sebab yang berbeda-beda. Misalnya, mereka tumbuh karena cenderung berkorelasi dengan komunitas Indian yang sangat kohesif (ini terlihat di Bolivia, Ekuador dan Guatemala); buruh pedesaan tak bertanah (Brazil) dan petani (Kolumbia); dimana kepentingan agrobisnis skala besar menyebabkan bangkrutnya produser kecil (Paraguay); dan dimana klien imperialis AS meluncurkan program penghancuran koka tanpa menyiapkan alternatif yang berarti (Peru, Kolombia dan Bolivia).

Pada akhir 1970an, banyak "pakar" berpendapat bahwa gerakan tani bersifat anakronistik (saling bertentangan), kekuatannya dihancurkan atas nama transformasi sosial. Dengan bertitik-tolak dari gambaran demografis (perbandingan kota-desa) dan hancurnya gerakan gerilya yang berbasiskan petani, serta dibantu oleh retorika "modernisasi" yang dipopulerkan oleh klien-klien imperial lokal dan Bank Dunia, para pengamat itu gagal untuk melihat atau memahami kebangkitan generasi baru pemimpin-pemimpin petani yang berbasis pada organisasi massa dan sanggup menghadapi perubahan demografis melalui organisasi yang besar dan pembangunan koalisi bersama organisasi-organisasi keluarga miskin perkotaan dan serikat buruh. Organisasi-organisasi tani secara kualitatif terbukti lebih mampu berkembang, baik secara organisasi, kepemimpinan, maupun strategi dan taktik di tengah-tengah berkurangnya secara relatif jumlah populasi petani.

Kebangkitan dan Kehancuran Relatif Gerakan: 1990-2005

Kebangkitan sosial gerakan tani dari pertengahan 1980an hingga awal 2000, secara umum diikuti oleh kelemahan dari 2003 hingga pertengahan 2005. Kebangkitan itu didorong oleh kesadaran etnis-kelas yang sangat besar, khususnya di kalangan komunitas Indian yang disebabkan oleh pemberontakan besar-besaran. Misalnya, di Ekuador (CONAINE), perlawanan bersenjata di Meksiko (the EZLN The Zapatista Army of National Liberation) dan gerakan tani di Guerrero, Cocaleros di Cochabomba dan Alto Plano di Bolivia serta petani koka di Peru.

Di Brazil, pada awal 1985 dan berlanjut pada 2002, gerakan buruh pedesaan tak bertanah (the the Rural Landless Workers Movement), menduduki ribuan perkebunan besar dan memindahkan lebih dari 350 ribu keluarga pedesaan dalam pertanian keluarga dan koperasi.

Sukses gerakan tani memang tidak seragam. Di Guatemala, Peru, El Salvador dan Kolombia, gerakan tani menderita penindasan yang dilakukan - dalam beberapa kasus dimaksudkan untuk melemahkan aktivitas massa. Namun demikian, sukses besar gerakan tani ini berlanjut pada agenda pedesaan mereka seperti otonomi luas dan pemerintahan sendiri bagi komunitas Indian, reformasi agraria, perlindungan oleh negara, pembiayaan dan perlawanan terhadap ALCA, menarik perhatian dari seluruh sektor politik. Washington di bawah Bush (ayah dan anak) dan Clinton kemudian mempromosikan neoliberalisme melalui militerisasi Amerika Latin lewat Plan Colombia, Plan Andinoa, dan kebijakan "anti-teroris." Pemisahan dan pencemaran yang dilakukan oleh rejim neoliberal dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang disebut "kanan-tengah/center-left" dan koalisi elektoral. Hingga akhir 1990an, gerakan tani sukses karena mendasarkan dirinya pada politik kelas yang independen dan menggunakan tindakan langsung, serta melakukan taktik koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Namun demikian, kebangkitan politisi-politisi elektoral "kanan-tengah" dan janji-janji mereka untuk "menentang" neoliberalisme telah menyebabkan kehancuran aliansi di gerakan tani.

Di Ekuador, Bolivia, Brazil dan tempat-tempat lainnya, gerakan tani yang bersekutu dengan presidennya (Guteirrez, Mesa dan Lula) dan partai, dengan cepat setelah pemilu, merangkul kebijakan neoliberal, strategi-strategi kebijakan agribisnis yang represif terhadap gerakan tani. Dampak dari pembalikkan ini adalah hancurnya aliansi elektoral dengan gerakan tani dan kemunduran dalam aktivitas dan organisasi. Di Ekuador, CONAINE menderita krisis kepercayaan di kalangan basis, pembeda-bedaan dalam organisasi dan melemahnya kemampuan untuk mobilisasi pada basis nasional. Di Bolivia, Evo Morales dan organisasi cocalero-nya mendukung kebijakan neoliberal dari Carlos Mesa, memperpanjang umur rejim reaksioner dengan memberinya kesempatan untuk melakukan rekonsilidasi dan melemahkan partai-partai tradisional. Di Brazil, dukungan MST terhadap rejim neoliberal Lula da Silva selama dua tahun lebih bersamaan waktunya dengan tersendatnya agenda reformasi agraria, terhambatnya pendudukan tanah dan semakin menguatnya agrobisnis yang membiayai buruh tak bertanah, keluarga petani, penghancuran hutan Amazon dan brutalitas ekspansi pertanian genetik oleh eksportir-eksportir pertanian. Pada 2005, pengalaman politik dalam politik elektoral telah menyebabkan (untuk sementara) tiga tahun kelemahan gerakan-gerakan tani-Indian yang paling kuat. Pelajarannya jelas: politik elektoral tidak efektif sebagai kendaraan bagi perubahan di pedesaan, dengan Venezuela sebagai pengecualian.

Aliansi Ekstra-Parlementer

Di bawah kondisi-kondisi dan konteks politik yang melahirkan aliansi petani dan penduduk perkotaan, apa hasil positifnya bagi kaum miskin pedesaan? Pengalaman sejarah lebih dari 25 tahun lalu menunjukkan bahwa aliansi yang sangat efektif dan tindakan-tindakan yang memerlukan "koalisi horisontal" terlibat dalam tindakan-tindakan ekstra parlementer. Sejumlah contoh sukses dan sebaliknya kegagalan sejumlah aliansi elektoral akan dipaparkan di bawah ini.

Di Ekuador, CONAINE dengan dukungan seribat buruh-serikat buruh utama (perminyakan, buruh lilstrik, bangunan dan guru) berhasil menjatuhkan dua rejim neoliberal (Bucaram dan Mahuad) dan untuk sementara, berhasil membatasi agenda neoliberal. Sebaliknya, ketika CONAINE berkoalisi dengan kekuatan elektoral yang dipimpin Lucio Gutierrez, mereka kehilangan dukungan sosial dan harus menghadapi arus balik program IMF. Hal yang sama terjadi di Bolivia, gerakan tani, cocaleros dan organisasi-organisasi Indian, yang berbasiskan pada koalisasi "horisontal" yang luas dengan pekerja tambang, kaum miskin perkotaan dan serikat buruh di La Paz dan Cochabamba, sukses menggulingkan rejim neoliberal represif Sanchez de Losada. Selanjutnya, gerakan tani mengalami beberapa kemunduran ketika salah satu pemimpin kuncinya, deputi parlemen Evo Morales, mendukung presiden Carlos Mesa yang menerapkan kebijakan neoliberal guna memenuhi ambisi elektoralnya (menjadi presiden pada pemilu 2007).

Ketika koalisi horisontal antara petani dan organisasi-organisasi perkotaan mendatangkan hasil-hasil yang positif, mereka tidak mudah untuk memperolehnya kembali. Di Brazil, MST kembali harus mencoba membangun aliansi perkotaan yang telah dilakukannya selama 20 tahun terakhir dengan hasil yang beragam. Selama dekade 1980an, ketika konfederasi serikat buruh (CUT=General Workers of Confederation) terbentuk dan didasarkan atas delegasi-delegasi pabrik dalam dewan umum, mereka secara tetap melakukan mobilisasi massa dengan MST. Selama 1990an dan sesudahnya, ketika CUT menjadi terbirokratisasi dan tergantung pada pakta sosial tripartit, mereka menjadi enggan atau tidak mau lagi melakukan mobilisasi bersama dengan MST. Ketika CUT's mengklaim memiliki 15 juta pengikut dan deklarasi "radikal"nya, padahal sebaliknya hanya beberapa ribu demonstran, sebagian besar adalah fungsionaris-fungsionaris penuh waktu, sebaliknya MST mampu memobilisasi puluhan ribu. Faktanya, pemimpin-pemipin MST berasal datang dari sektor-sektor progresif seperti Gereja (Pastoral Rural), menunjukkan praktek solidaritas yang lebih besar ketimbang CUT!

Venezuela adalah satu-satunya negara dimana gerakan tani memikili aliansi "vertikal" dan horisontal. Faktanya sebagian besar pertumbuhan organisasi gerakan tani adalah produk kebijakan pemerintahan Chavez dan kebijakan-kebijakan reformasi agrarianya. Ketika sebagian besar negara-negara Amerika Latin, berdiri di samping elite agrobisnis dan mendukung pakta perdagangan neoliberal, ALCA dengan dukungan imperialisme AS, di Venezuela, pemerintahannya bergerak ke arah promosi koperasi dan pertanian keluarga untuk membuat Venezuela mampu memenuhi kebutuhannya pangannya secara mandiri. Faktor kunci yang membedakan hubungan negara-petani ini adalah komposisi kelas negara dan para pemimpinnya: Chavez membangun blok popular untuk mempromosikan ideologinya yakni sebuah gabungan antara ekonomi yang berbasis pada pembiayaan kesejahteraan sosial melalui pendapatan minyak.

Dari beragam contoh konkret ini, saya mencatat sejumlah masalah dalam pembangunan "alinasi horisontal" dan penciptaan koalisi "buruh-tani:"

a. Serika buruh dan organisasi komunitas perkotaan berhasil dilemahkan oleh kebijakan neoliberal yang sukses menciptakan fragmentasi besar dalam "sektor informal;"

b. Di luar kelemahan atau "birokratisasi" (atau keduanya), serikat buruh, dalam banyak kasus, fokus mereka sangat "terbatas" pada isu-isu pekerjaan dan upah yang mendesak, ketimbang tantangan politik yang lebih luas yang berdampak pada perjuangan nasional (semacam reformasi agraria);

c. Beberapa pemimpin serikat buruh memiliki sikap yang rasis, ketika bekerja dengan pemimpin-pemimpin dan organisasi-organisasi Indian yang berdasarkan pada persamaan atau menerima kepemimpinan dari gerakan-gerakan petani-Indian yang sangat besar;

d. Banyak dari keluarga miskin perkotaan dikontrol oleh partai politik tradisional melalui mesin patronase elektoral, yang membatasi partisipasinya dalam tindakan bersama dengan gerakan tani. Namun, itu tidak menggambarkan praktek keseluruhan karena sering gambaran yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya, dalam kasus Bolivia, dimana komunitas perkotaan (organisasi bario) di El Alto membagi kepemimpinannya dengan gerakan tani.

Memang tidak semua masalah yang melilit aliansi "buruh-tani" disebabkan oleh kekuatan sosial perkotaan. Dalam beberapa kasus, seperti di Peru dan Kolumbia, tuntutan petani yang hanya terfokus pada isu tunggal pertumbuhan koka, sehingga membatasi ketertarikan sebagian produser petani. Dalam kasus lain, organisasi tani terbelah karena kesetiaannya terhadap strategi elektoral, dalam kasus ini adalah cocaleros di Chapare, Bolivia yang berakibat rusaknya aksi bersama dengan serikat buruh.

Dengan memahami kendala-kendala yang membatasi aliansi horisontal kota-desa, sebagian besar pemimpin-pemimpin tani menyadari bahwa koalisi nasional dengan sekutu perkotaannya adalah tujuan strategis yang mendesak guna mengalahkan neoliberalisme dan memformulasikan kebijakan yang pro-petani.

Strategi-strategi Perjuangan

Banyak kaum kiri menulis bahwa minimnya peran strategis petani dan dampak politik dari gerakan tani, disebabkan oleh sumbangan mereka yang kecil terhadap prosentase GNP. Begitu banyak laporan-laporan yang menulis soal "terpinggirnya" atau "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, meskipun fakta menunjukkan, sebagian besar pemain kunci dalam sektor agro-ekspor membutuhkan mata uang yang kuat untuk kepentingan impor dan pembayaran utang. Dan itu semua tak lepas dari sumbangsih kaum tani. Faktanya, gerakan tani dan produser tetap menyediakan sumber-sumber langsung bagi pertukaran internasional melalui koka dan komoditi ekspor lainnya, dan pentingnya suplai bagi konsumsi makanan lokal.

Lebih dari itu, bukti substansial menunjukkan, taktik tindakan langsung yang menyebabkan "terpinggir" dan "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, memberi dampak strategis pada realisasi keuntungan yang bisa diakumulasi oleh sebagian besar sektor kunci dari kelas berkuasa.

Teori Marxis berpendapat, sentralisasi proletariat industri dalam perjuangan revolusioner menjadi basis bagi posisi strategis mereka dalam sektor produksi dan dalam "organisasi sosial" dalam sistem pabrik. Petani, sebagaimana kita ketahui, "tersisih" dari pusat operasi kapital dan pemilikan pribadi. Sebagai individu, mereka bersifat atomistik. Sebagai subyek, perilaku petani bersifat "individualistik.

Data dari gerakan-gerakan kontemporer, menantang asumsi-asumsi ini. Di banyak negara, petani mendemonstrasikan kemampuannya yang luar biasa untuk bertindak secara kolektif dan bersolidaritas, ketimbang buruh perkotaan. Secara tetap, fokus dari aksi-aksi mereka semakin meluas ke tingkat nasional. Atau isu-isunya bukan semata tuntutan upah yang sempit sebagaimana yang dilakukan oleh serikat buruh industrial. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya (municipal), long-march besar-besaran, pemogokan dan boikot oleh produser, serta barikade dan blokade jalan. Dalam banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan, dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik elektoral. "Kohesi" petani datang dari struktur komunitas habitat pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas, dan ancaman bencana yang ditiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.

Persamaan yang signifikan, bentuk-bentuk khusus dari kerugian struktural akibat aksi petani sangat berdampak dalam model kapitalis neoliberal. Lebih khusus lagi, jika aksi-aksi itu bertujuan mencegah sirkulasi ekspor komoditi oleh pengusaha-pengusaha pertanian-tambang dan manufaktur dan pencapaian keuntungan. Dengan kata lain, petani mungkin tidak memainkan peran yang esensial dalam produksi kapital tetapi, mereka memainkan peran esensial dalam sirkulasi komoditi dan dalam proses pertukaran. Peran strategis petani dalam mengguncang sirkulasi sama pentingnya dengan buruh pabrik yang mematikan alat-alat kerjanya dan menghentikan produksi: mereka tidak saja merusak keuntungan kaum kapitalis tetapi, juga memimpin perjuangan ketika terjadi disakumulasi dan krisis. Intervensi politik pada lokasi-lokasi strategis dalam sirkuit reproduksi kapitalis, menyebabkan gerakan tani secara dinamis memainkan peran strategis dalam proses transformasi sosial.

Kesimpulan

Monograf, pengakuan, riset-riset lapangan dan catatan visual menyediakan mosaik yang sangat kaya dan luar biasa mengenai aktivitas massa tani selama lebih dari dua dekade lalu, menyediakan bukti-bukti yang tak terbantah bahwa gerakan tani merupakan penggerak dan berperan dinamis di seluruh Amerika Latin dalam momentum yang berbeda-beda. Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa terjadi tarikan keseimbangan antara kesuksesan dan keterbatasan perjuangan petani.

Pertama-tama, gerakan tani memainkan peran menentukan dalam memaksa penguasa-penguasa korup untuk mundur dari jabatannya, sebagai wujud tanggung jawab atas pemiskinan negara, memberikan sumberdaya alam dan sektor-sektor strategis kepada perusahaan multinasional, dan menjerumuskan negara ke dalam jebakan utang luar negeri.

Di Ekuador, Bolivia dan lebih luas lagi di Peru, gerakan tani berperan sebagai pemimpin dalam perubahan rejim. Gerakan tani menjadi pemimpin dalam perang melawan ALCA di Brazil, Amerika Tengah (khususnya Guatemala), Ekuador, Paraguay, Bolivia, Peru, Colombia dan Meksiko.

Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan menentang modifikasi genetik dan kimiawi berbasiskan pertanian yang dipromosikan oleh Monsanto. Sebaliknya, mereka mempromosikan lingkungan yang ramah bagi pengelolaan tanah. Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan melawan pengasapan (fumigation) tanaman pangan, juga sebaliknya, aktif membela petani koka sebagai sumber penting bagi pendapatan keluarga, dengan efek berganda pada ekonomi sebagai keseluruhan.

Pemimpin-pemimpin tani menuntut Washington, untuk memerangi perdagangan obat-obatan melalui elite-elite pengadilan yang berkoalisi dengan mereka yang memroses dan mengedarkan barang tersebut dan bank-bank AS, yang secara ilegal "mencuci" keuntungan dari perdagangan obat itu. Gerakan tani menjadi bagian dari koalisi nasional melawan legislasi (pengundangan) privatisasi, basis militer AS, dan pembayaran utang luar negeri yang ilegal.

Tindakan langsung oleh gerakan tani, mampu menunda atau memblokade program-program "ikat pinggang/austerity" yang dipromosikan oleh IMF. Hal yang sama pentingnya, gerakan tani menginisiatifi gerakan yang "meledakkan" aktivitas perkotaan yang lebih besar seperti, pemberontakan yang terjadi di Bolivia pada Oktober 2003, Zapatistas Januari 1994, pengambilalihan Kongres di Ekuador pada 2000, dan gerakan pendudukan tanah di Brazil selama milenium baru.

Yang jelas, tanpa petani yang menduduki lahan tak mungkin ada proses reformasi agraria di Venezuela hari ini (2005), karena perubahan dalam birokrasi sangat lambat dan tidak jelas. Dengan adanya fakta bahwa tidak adanya legislasi agraria yang progresif atau level eksekutif yang setuju pada proses itu di seluruh negara Amerika Latin pada 20 tahun terakhir, (kecuali Venezuela di bawah Chavez), tindakan langsung oleh gerakan tani memainkan peran yang sangat signifikan, tidak hanya sebagai kendaraan bagi petani untuk membela klaim mereka atas tanah, kredit pasar, dan perlindungan atas dumping.

Sukses positif gerakan tani ini bukan tanpa biaya: luka dan penindasan dengan kekerasan. Di Kolumbia, lebih dari 20 ribu aktivis tani, para pemimpin dan pendukung hak-hak asasi manusia dibunuh oleh teroris yang didukung militer AS dan gang-gang paramiliter. Selain itu, lebih dari tiga juta orang kehilangan tempat tinggal akibat penindasan oleh negara. Di Brazil, di bawah Cardoso dan Lula, lebih dari lima ratus petani dan pemimpin-pemimim buruh tak bertanah, dan aktivis gereja dibunuh oleh polisi militer dan pembunuh bayaran yang disewa oleh pemilik tanah. Lebih dari 90 persen pelaku kejahatan itu tidak dihukum.

Masalahnya, apakah negara, politik kekuasaan, dan strategi politik yang pada akhirnya mendorong gerakan tani sebagai pemimpin dalam perubahan? Kekuasaan petani yang termanifestasi dalam wujud penyangkalan (negation) terhadap penguasa yang ada pada akhirrnya melemah, ketika mereka bersepakat pada strategi untuk pengambillihan kekuasaan. Bahkan, dalam kasus dimana gerakan tani sukses menjatuhkan rejim sebagaimana di Ekuador (2000) dan Bolivia (Oktober 2003), mereka tidak menyiapkan diri untuk berkuasa. Lebih dari itu, ketika mereka berhasil mengambilalih kekuasaan ke dalam tangannya dari para demagog neoliberal seperti Carlos Mesa di Bolivia dan Lucio Gutierrez di Ekuador, gerakan tani terbukti tidak siap berkuasa.

Petani memang sanggup melakukan protes yang signifikan dan bahkan mendorong reformasi. Tetapi, mereka sangat lemah dalam hal kekuasaan negara. Akibatnya, reformasi mengalami kemunduran bahkan kegagalan ketika gerakan melemah. Janji-janji reformasi selama perjuangan panas dihancurkan oleh penguasa kanan-tengah. Yang terjadi malah penyusunan (reconstitution) kembali kekuasaan borjuis untuk melakukan serangan balik dengan strategi 'counter-terrorist' yang kejam. Tanpa strategi untuk kekuasaan negara, para pemimpin militan cenderung untuk berhenti dan membiarkan ambisi-ambisi politis borjuis kecil mengambilalih tempat mereka. Setelah itu, periode demagog dan konsesi-konsesi simbolis sukses dalam mennapaki jejak langkah para pendahulunya.

Beberapa teoritisi revolusioner berpendapat, masalah pengambialihan kekuasaan negara mengharuskan pembangunan gerakan massa dari bawah, pembentukan koalisi dengan kelompok-kelompok perkotaan dan organisasi massa dan pembangunan serangkaian perjuangan konkret untuk reformasi yang mengarah pada terciptanya "kekuasaan ganda/dual power." Ini sangat sulit dan prosesnya sangat kompleks, tergantung pada situasi lokal dimana mereka merealisaikan hal-hal yang dianggap konkret. Pemerintah lokal dan pemimpin-pemimpin politik dalam perjuangan massa adalah "pembangun kepercayaan/confidence building) yang tindakannya: Ketika bertanya mengapa petani tidak "mengambilalih kekuasaan" di Bolivia dan Ekuador saat pemberontakan meningkat, para pemimpin tani itu mengatakan kepada saya bahwa mereka "belum siap" dan mereka "tidak percaya diri untuk memimpin." Dimanapun, ketika pemimpin-pemimpin tani dan para aktivis secara tegas hendak mendirikan sebuah rejim oleh dan untuk petani dan menentang imperialisme, hal ini merupakan masalah hidup dan mati, perjuangan dan pertumbuhan atau kehilangan tempat dan hidup melarat.***

James Petras, adalah mantan profesor sosiologi di Binghamton University, New York. Ia adalah penasehat bagi kaum tani tak bertanah dan tak memiliki pekerjaan di Brazil dan Argentina dan menulis bersama buku Globalization Unmasked (Zed). Buku barunya bersama Henry Veltmeyer, Social Movements and the State: Brazil, Ecuador, Bolivia and Argentina, akan diterbitkan pada Oktober 2005.

Catatan dan bibliografi:

Artikel ini merupakan refleksi dari penelitian lapangan, termasuk wawancara dan observasi terlibat dengan mengikuti gerakan antara 1992-2005: CONAIE (Ekuador 2002, 2003); Cocaleros (Bolivia 1993, 1996, 2003); EZLN (Mexico 1995, 1996); MST (Brazil setiap tahun 1992-2005); Federacíon Nacional Campesino (Paraguay 1998, 1999); MOCASE (Argentina 1995); Confederacíon Campesina (Peru 2004); Federacíon Campesino (El Salvador 1999); Federacíon Ezquiel Zamora (Venezuela 2004); Via Campesina (Brasilia 1997).

Artikel ini juga adalah ringkasan dari buku kami : James Petras and Henry Veltmeyer, "Social Movements and the State: Brazil, Ecuador, Bolivia and Argentina" (London: Pluto 2005, October); James Petras and Henry Veltmeyer, "Movimientos Sociales y el Estado: Brazil, Ecuador, Bolivia y Argentina," (Buenos Aires: Lumen, Noviembre 2005).

Bibliografi:
1) James Petras and Henry Veltmeyer, "Are Latin American Peasant Movements Still a Force for Change? Some New Paradigms Revisited" The Journal of Peasant Studies vol 28, #2. January 2001 pp 83-118.

2) Wilder Robles, "The Landless Rural Workers Movement (MST) in Brazil" The Journal of Peasant Studies vol 28, #2. January 2001 pp 146-161.

3) Roger Batra, "Agrarian Structure and Political Power in Mexico," (Baltimore: Johns Hopkins University 1993).

4) Luis Macas, "Diez Años del levantamiento del Inti Raymi de Junio 1990: un balance preliminary Boletin Mensual Instituto Cientifico de Culturas Indigenas: Quito 2000.

5) Joao Pedro Stedile and Sergio Frei, "A luta pele terra no Brazil," (Sao Paola, Scritta 1993).

6) Tom Brass (ed), "Latin American Peasants ," (special issue) Journal of Peasant Studies vol 29, no 3 and 4, April-July 2002.

7) James Petras and Henry Veltmeyer, "The Peasantry and the State in Latin America: A Troubled Past, an Uncertain Future" in Tom Brass, ed. Latin American Peasants (2002).


Judul asli artikel ini "Strategies of Struggle The Centrality of Peasant Movements in Latin America," dipublikasikan di (http://www.counterpunch.org/petras06042005.html).

Penerjemah Coen Husain Pontoh.



Baca selengkapnya!