27.7.06

Dinamika Politik Dan Modal Di Sulawesi

Apa yang dapat dilakukan oleh para aktor pro-demokrasi?

George Junus Aditjondro


1. ADA lima faktor yang sangat berpengaruh terhadap dinamika ekonomi-politik di Sulawesi, yakni: (a). dominasi Partai Golkar dan satelit-satelitnya di hampir semua provinsi di Sulawesi; (b). ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam di pulau ini; (c). dominasi korporasi-korporasi milik keluarga dan konco-konco Wakil Presiden Jusuf Kalla dan korporasi-korporasi yang dekat dengan tokoh politik nasional yang lain di pulau ini; (d). keragaman etno-linguistik yang tinggi di pulau ini, yang sering tumpang-tindih dengan keragaman agama, sehingga konflik-konflik ekonomi politik berbasis kelas dengan mudah dapat ditransformasikan menjadi konflik-konflik komunal atau sektarian; (e). siasat faksi-faksi militer untuk mengawetkan konflik-konflik komunal untuk menghancurkan resistensi penduduk setempat bagi masuknya modal besar di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan, serta pembangunan proyek-proyek infrastruktur besar seperti PLTA.


Dominasi Golkar:

2. Dominasi Partai Golkar dan partai-partai satelitnya di hampir semua provinsi di Sulawesi, masih merupakan warisan dari era Soeharto, ketika A.A. Baramuli berhasil memenangkan Golkar di hampir semua provinsi di Indonesia bagian Timur lewat blok IRAMASUKA (Irian Maluku, Sulawesi, Kalimantan). Di masa transisi dari Soeharto ke B.J. Habibie, yang asal kepresidenannya juga karena diorbitkan oleh Soeharto, Golkar tetap berhasil mempertahankan hegemoninya dalam kepemimpinan politik di Sulawesi. Selanjutnya, dalam era pasca-Soeharto, kepemimpinan politik di Sulawesi di-share oleh Golkar dengan PDI-P dan partai-partai kecil yang boleh dikata merupakan satelit Golkar, seperti PKPI dan Partai Demokrat, sementara partai-partai berbasis agama, seperti PDS dan PKS hanya berjaya di beberapa tempat saja, seperti Poso (PDS). PDI-P sendiri, susah dibedakan dari Golkar, akibat banyaknya ‘kutu loncat’ dari Golkar yang masuk ke PDI-P. Begitu pula Partai Demokrat, yang di Sulawesi Selatan menokohkan Fanny Habibie, adik kandung mantan Presiden B.J. Habibie, yang tidak pernah dituntut pertanggungjawabannya atas tragedi tenggelamnya kapal Tampomas dengan korban jiwa yang luar biasa. Sehingga secara de facto, kader-kader Golkar dari ketiga poros baru – A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar, dari tiga poros terdahulu, yakni Kosgoro, MKGR, dan Korpri) – tetap mendominasi elit politik di kelima provinsi di Sulawesi. Apalagi sistem pemilu dan undang-undang kepartaian kita belum memungkinkan munculnya partai-partai lokal yang berbasis pada aspirasi rakyat setempat yang spesifik, sebab yang cabang-cabang partai di luar Jawa praktis merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan elit partai di Pusat.

Ekspansi modal dari luar Sulawesi:

3. Ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam di Sulawesi, paling tampak di sektor pertambangan. Di bidang pertambangan mineral, mulai dari nikel s/d emas, kita bisa melihat dominasi maskapai-maskapai tambang dari Amerika Utara, yakni Inco di pertambangan nikel serta Newmont di pertambangan emas, serta Rio Tinto, maskapai tambang raksasa yang bermodal Australia dan Inggris. Wilayah kontrak karya PT Inco Indonesia seluas 6,6 juta hektar meliputi tiga provinsi yang meliputi busur timur Pulau Sulawesi, yakni Sulawesi Tengah (16,76%), Sulawesi Selatan (54,17%), dan Sulawesi Tenggara (29.06%) (Sangaji 2002: 136).

4. Kenyataan bahwa PT Inco sedang bersiap-siap untuk membangun PLTA Karebbe di Desa Laskap, Kecamatan Malili, Luwu Timur, yang memerlukan izin pemerintah pusat untuk pelepasan kawasan hutan lindung (Investor Indonesia, 5 Juli 2006), dan juga sedang menanti pasokan listrik dari PLTA Poso (Aditjondro 2005), dapat dijadikan indikator bahwa dalam waktu dekat perusahaan tambang bermodal Kanada itu juga mau membuka Blok Bahudopi di Sulawesi Tengah dan Blok Pomala’a di Sulawesi Tenggara. Namun perlu dicatat bahwa penyerobotan lahan penduduk seputar Sorowako di awal Orde Baru (Sangaji 2002: 146-50) masih ditentang oleh rakyat setempat, dengan dukungan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Untuk Korban Masyarakat Tambang (FSKMT). Mereka berdemonstrasi di gedung DPRD Sulawesi Selatan, 15 September tahun lalu (Radar Sulteng, 16 Sept. 2005). Sehingga potensi penggalangan solidaritas antara rakyat setempat, buruh, dan mahasiswa di Palu dan Makassar, harus diperhitungkan oleh maskapai tambang itu dalam rencana ekspansinya.

5. Soal Newmont di Teluk Buyat, kita juga sudah banyak membaca. Yang masih kurang diperhatikan orang adalah kemungkinan masuknya perusahaan-perusahaan tambang raksasa di pegunungan antara Polewali dan Mamasa, di mana pertikaian soal tapal batas kedua kabupaten hasil pemekaran, tampaknya sudah (atau sedang?) reda, untuk menambang bijih emas yang memang tersebar secara sporadis di seantero ‘pinggang’ Pulau Sulawesi, khususnya di daerah Sulawesi Barat, Toraja bagian Utara, serta Kabupaten Donggala dan Poso bagian Selatan. Dua perusahaan yang banyak disebut-sebut adalah Rio Tinto, yang bermodal Inggris dan Australia, serta Newmont yang bermodal AS. Menurut informan kunci saya di Mamasa, Bupati Mamasa telah memberikan izin prinsip bagi Newmont. Sedangkan Rio Tinto membekingi salah seorang calon Gubernur Sulawesi Barat. Sementara itu, satu perusahaan dari Jepang yang baru mulai melakukan survei di Kecamatan Aralle, di daerah sengketa antara Polewali dan Mamasa.

Kemungkinan juga, elit Jakarta juga punya kepentingan ekonomi di sana, sebab di sebelah utara daerah itu, terdapat konsesi tambang batubara kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla. Bosowa juga memiliki konsesi tambak udang seluas 10 ribu hektar di Kabupaten Mamuju (Aditjondro 2006b).

6. Tidak jelas, perusahaan mana saja yang akan dapat konsesi tambang di daerah itu. Tapi yang jelas, semua kegiatan pertempuran maupun eksplorasi kekayaan alam daerah itu semakin memporakporandakan daerah pegunungan yang dulu terkenal dengan federasi ‘tujuh hulu sungai’ (pitu ulunna salu), yang pernah menjadi sekutu dagang dari federasi ‘tujuh muara sungai’ (pitu ba’bana binanga) dari kerajaan-kerajaan Mandar di pesisir Sulawesi Barat (George 1996: 26-30; Alimuddin 2005: 4-7). Di samping itu, pertambangan di hulu sungai pasti akan punya dampak sampai ke muara, seperti terbukti dari tambang Freeport McMoRan di Papua Barat dan tambang BHP Billiton di Ok Tedi, PNG.

7. Di bidang pertambangan migas, kita melihat munculnya korporasi-korporasi domestik, seperti Medco milik Arifin Panigoro dan keluarganya di Teluk Tolo dan daratan Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), serta PT Elnusa, anak perusahaan Pertamina, yang sudah memulai eksplorasi di Selat Malaka dan Teluk Bone. Untuk mengfasilitasi pengeboran minyak bumi di Teluk Tolo, terumbu karang Tiaka telah ditimbun oleh perusahaan kongsi Pertamina dan kelompok Medco menjadi “pulau buatan”.

Pengapalan perdana minyak mentah produksi Lapangan Tiaka dari pulau buatan itu berlangsung hari Kamis, 12 Januari lalu. Sehingga untuk pertama kali dalam sejarah perminyakan Indonesia, Sulawesi mencatatkan diri sebagai daerah penghasil minyak mentah. Lapangan minyak Tiaka diperkirakan dapat memproduksi minyak mentah sebanyak sepuluh juta barrel. Produksi minyak mentah lapangan tersebut sudah mencapai 2.000 barrel per hari (bph), yang akan terus ditingkatkan menjadi 5.000 bph. Selain minyak
mentah, potensi gas di daratan Banggai yang juga dikelola oleh kongsi yang sama, berpotensi menghasilkan 3,7 trilyun kaki kubik gas alam. Untuk itu akan dibangun fasilitas kilang gas alam cair (LNG) di Luwuk (Kompas, 13 Jan. 2006).

8. Sayangnya, pers jarang mencatat kerugian para nelayan akibat boom migas di lepas pantai Sulawesi, khususnya di Selat Makassar dan Teluk Bone. Di lepas pantai Mamuju, Sulawesi Barat, roppong-roppong (rumpon-rumpon) milik nelayan Mandar tahun lalu dipotong belayang (tali pengikat batu pemberat) oleh kapal survei PT Elnusa Geosains. Alasan pemutusan secara sefihak itu adalah bahwa rumpon-rumpon itu mengganggu pelayaran kapal survei tersebut. Sedangkan di Teluk Bone, lebih banyak lagi rumpon nelayan yang jadi korban kegiatan eksplorasi PT Elnusa Geosains, yang dilakukan untuk
PT Minyak & Gas (Migas) RI. Jumlah rumpon yang rusak sebanyak 102 unit, milik 85 orang nelayan, dengan nilai kerugian mencapai milyaran rupiah. Saking lamanya menunggu turunnya ganti rugi yang tak kunjung tiba dari pimpinan perusahaan itu dari Jakarta, yang telah berjanji akan datang ke Bone tanggal 3 Januari lalu, para nelayan yang sudah habis kesabarannya berdemonstrasi ke DPRD Kabupaten Bone dan merusak pagar gedung itu (Tribun Timur, 18-19 Des. 2005, 6 & 8 Februari 2006; Fajar, 28
Desember 2005; komunikasi pribadi dengan Muh. Ridwan Alimuddin di Mamuju, 14 Juli 2006; tentang teknologi tradisional penangkapan ikan orang Mandar dengan roppong, serta adopsi teknologi tradisional itu oleh nelayan Pinrang dan Bone, lihat Alimuddin 2005: 79-90, 2006).

9. Sementara itu, kerugian nelayan di ketiga desa sekitar (eks) terumbu karang Tiaka di Teluk Tolo, yakni Baturube, Kolo Bawah, dan Pandauke, sama sekali tidak diberitakan oleh pers. Nelayan di ketiga desa itu ada 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari setiap hari 10 kg, sementara satu kg ikan dijual kepada pedagang penampung ikan setinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke Pasar Luwuk setinggi Rp 17 ribu per kg, maka kerugian mereka selama setahun = 365 x 300 x 10 x Rp 15 ribu = Rp 16,
425 milyar! Ini bukan kerugian yang kecil bagi para nelayan di Kecamatan Bungku Atas, atau bagi nelayan pondok di manapun di Indonesia (Gogali t.t.).

10. Makanya, tidak mustahil kalau korporasi-korporasi domestik lain akan mulai melakukan eksplorasi migas di Teluk Tomini serta di lepas pantai Sulawesi Barat dan Pantai Barat Sulawesi Tengah. Soalnya, sumur minyak pertama dibor di tahun 1902 di dekat muara Sungai Lariang di Pasangkayu, sekarang ibukota Kabupaten Mamuju Utara, provinsi Sulawesi Barat. Sementara itu, suatu ladang gas telah ditemukan oleh maskapai migas Inggris, BP, di timur laut Danau Tempe, yang memungkinkan
produksi amoniak untuk sebuah pabrik pupuk urea (Whitten, Henderson & Mustafa 2002: 11).

11. Berbicara soal pupuk berarti bicara soal pertanian dalam arti luas, termasuk perkebunan. Berbicara soal perkebunan, perhatian kita tidak bisa lepas dari Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, yang telah jadi ajang dua konflik antara korporasi perkebunan, yang didukung oleh aparat bersenjata, dan rakyat setempat. Konflik pertama menyangkut introduksi kapas transgenic oleh Monsanto, salah satu maskapai agrobisnis terbesar di dunia, tanpa melalui AMDAL. Maskapai itu telah divonis denda US$ 1,5 juta di kandangnya sendiri, AS, karena terbukti menyuap 140 orang pejabat di Indonesia dalam kurun waktu 1997 hingga 2002 (Gatra, 3 April 2004: 64-65, 29 Jan. 2005: 84-85).

Anehnya, tidak terdengar bahwa Menteri Pertanian dan Menteri Lingkungan dalam era yang dipersoalkan itu, yakni Soleh Solahuddin, Bungaran Saragih, Nabiel Makarim, dan Sony Keraf dikenakan sanksi apa-apa. Para petani di Bulukumba dan enam kabupaten lain, yakni Gowa, Takalar, Bantaeng, Bone, Soppeng dan Wajo, bahkan ditinggal dengan ribuan ton kapas busuk.

12. Berbeda dengan konflik kapas transgenic yang berjalan secara ‘damai’, konflik antara PT London Sumatra (LonSum) soal ekspansi kebun karet mereka di Bulukumba berjalan secara keras. Perlawanan petani membuahkan korban jiwa ketika pasukan Brimob secara sewenang-wenang memukuli dan menembaki petani yang berusaha merebut tanah mereka kembali. Akibat tindakan kekerasan Brimob pada hari Senin, 21 Juli 2003 itu, empat orang meninggal dunia, banyak orang menderita luka-luka, 14 orang dimasukkan ke penjara, dan sejumlah aktivis pro-demokrasi yang selama itu mendampingi perjuangan
rakyat Bulukumba, terpaksa ‘tiarap’ karena dimasukkan di daftar pencarian orang (DPO (van Gelder dkk 2005: 49; Tempo, 10 Agustus 2003: 36).

13. Sementara itu, sejarah perlawanan rakyat pedesaan di Sulawesi Tengah terhadap kebijakan pemerintah yang memihak investor, dimulai dengan perlawanan rakyat di dataran Seseba seluas 400 hektar di Kabupaten Banggai, menghadapi gelombang-gelombang penggusuran oleh berbagai perusahaan. Masyarakat Seseba sejak dulu mengenal klasifikasi lahan dataran itu sesuai dengan fungsinya, yakni hutan rakyat yang dimiliki secara komunal; tanah adat, yang difungsikan masyarakat untuk menanam
palawija (milik komunal, di mana warga masyarakat secara bergantian menanam dan memanen hasil) dan tanaman tahunan (milik perorangan); serta perkebunan masyarakat yang digunakan warga masyarakat untuk menanam tanaman tahunan dalam skala besar, seperti kelapa, coklat, kemiri, dan kopi (Gogali t.t.).

14. Sejak 1982, rakyat Seseba silih berganti ‘dirayu’ dan diancam untuk menyerahkan lahannya oleh PT Delta Subur Permai, dengan melibatkan militer dari Koramil Batui, serta dengan mengeksploitasi wibawa tradisional Raja Banggai, Hideo Amir. Rakyat Seseba tetap melawan dengan merebut kembali tanah mereka dan menanaminya dengan padi ladang dan palawija. Perlawanan mereka diorganisir oleh Forum Persaudaraan Petani Miskin, yang lima pimpinannya sempat dihukum penjara di tahun 2003 selama lima bulan. Sampai pertengahan 2004 rakyat Seseba terus melawan, walaupun tekanan semakin berat.
Soalnya, daerah mereka diincar oleh kelompok Medco yang sedang melakukan eksplorasi minyak bumi di daratan dan lepas pantai Banggai, untuk dijadikan pusat pemukiman karyawan mereka. Lokasi Seseba juga dekat dengan rencana pelabuhan Pertamina dan rencana pelabuhan samudera untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui (idem).

15. Perlawanan rakyat Seseba, segera disusul perlawanan rakyat desa di daerah Bungku Tengah dan Selatan (dulu di Kabupaten Poso, kini masuk Kabupaten Morowali) menghadapi PT Tamaco Graha Krida, yang mendapat konsesi kelapa sawit seluas 13.230 hektar, sehingga 1743 orang petani kehilangan lahan. Mereka mengorganisasi diri menjadi Forum Petani Plasma Kelapa Sawit. Tahun 1999, sebanyak 5000 orang anggota Forum itu mendatangi kantor pusat perusahaan perkebunan tersebut. Mereka memprotes kebijakan perusahaan dalam pembagian lokasi plasma, memprotes luas Lahan Inti Plasma yang
melebihi 40% dari luas plasma, serta memprotes perusahaan yang memprioritaskan transmigran dari NTT, NTB dan Jawa. Aksi itu dibalas dengan demo tandingan oleh para petani transmigran peserta plasma, yang diorganisasi oleh perusahaan dan pemerintah setempat. Aksi massa para anggota Forum dilanjutkan dengan aksi massa besar di Poso, ibukota Kabupaten Poso yang waktu itu masih meliputi Kabupaten Morowali (idem).

Dominasi bisnis keluarga JK & tokoh nasional lain:

16. Setelah melihat gambaran di atas betapa kencangnya arus ekspansi modal dari Jakarta dan mancanegara ke Sulawesi, marilah sekarang kita lihat betapa dominannya korporasi-korporasi milik keluarga Jusuf Kalla dan kroni-kroninya di Sulawesi. Ini terlihat paling jelas di sektor infrastruktur, khususnya lagi dalam pembangunan proyek-proyek pembangkitan listrik tenaga air (PLTA) berikut saluran udara tegangan tinggi dan ekstra tinggi (SUTT /SUTET)nya.

Sejak Jusuf Kalla dilantik sebagai Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004, dan terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, dua bulan kemudian, PT Bukaka Teknik Utama milik Jusuf Kalla dan adik-adikna mulai kebanjiran order membangun PLTA di Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu, bekas pusat kerajaan Luwu’ di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp 1,44 trilyun di Pinrang; sebuah PLTA kecil berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobutu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai; sebuah PLTA berskala menengah berkapasitas 8 MW di Bantaeng; serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabupaten Luwu’ Utara. Saat ini, Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW.

Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW, dibantu pembangunan jalan sepanjang 10 KM oleh Pemerintah Kabupaten (Aditjondro 2006c).

17. Menurut rencana, Bukaka juga akan membangun PLTA berkapasitas 200 MW dengan investasi sebesar US$ 300 juta di Sungai Saddang, sekitar 4 Km dari Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang diharapkan bisa rampung pada tahun 2010. Untuk itu, Pemprov Sulawesi Selatan telah menandatangani nota kesepakatan dengan konsultan rekayasa Jepang, Nippon Koei, dua tahun lalu (6 Febr. 2004). Untuk itu fihak konsultan berharap agar Pemprov Sulsel dan Pemkab Tana Toraja dapat
mendukung pembebasan tanah di lokasi proyek yang dikenal dengan nama “PLTA Malea”, yang meliputi satu kelurahan (Awa Tiromanda) dan dua lembang (Randanbatu dan Talion) di Kecamatan Makale Selatan dan Kecamatan Saloputti. Selain berdampak terhadap perladangan-hutan (agroforestry ) penduduk yang terdiri dari campuran kayu, kopi, kemiri, coklat, enau, bamboo, sengon, dan vanili, pembendungan Sungai Saddang itu juga punya efek sosio-psikologis. Di badan sungai di Lembang Randanbatu terdapat
tempat yang dalam legenda orang Toraja diyakini sebagai tempat munculnya putri Sandabilik, isteri Datu Pamula Tana (idem).

18. Itu baru order pembangunan PLTA buat Bukaka, belum lagi order pembangunan pembangkit listrik lain buat kelompok Bosowa milik saudara ipar Jusuf Kalla, Aksa Mahmud yang kini Wakil Ketua MPR-RI. Kelompok itu sedang membangun PLTU berkapasitas 20 MW di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan akan menelan biaya Rp 1,6 trilyun dan seluruh biayanya didanai oleh kelompok itu sendiri. Tahap pertama PLTU berkapasitas 100 MW yang menggunakan batubara diharapkan selesai tahun 2007 dan tahap kedua yang juga berkapasitas 100 MW direncanakan selesai tahun 2008, atau
paling lambat awal 2009. Dari total 200 MW yang dibangkitkan, PT Semen Bosowa di Maros mendapat jatah listrik 70 MW dengan harga 60 sen dollar AS per MW. Sisa energi sekitar 130 MW dijual kepada PLN Wilayah Sulselra dengan harga 4,3 – 4,4 sen dollar AS per MW (idem).

19. Namun bukan hanya bisnis keluarga besar Jusuf Kalla-Aksa Mahmud yang berjaya di Sulawesi. Di Manado, Mall di Boulevard, hasil reklamasi pantai Teluk Manado, melibatkan Theo Syafei sebagai Presiden Komisaris, dan anak Theo, Nano, sebagai direktur.

20. Seperti juga di Indonesia bagian Barat, pembangunan proyek-proyek pembangkitan listik skala besar di Sulawesi juga sering menghadapi resistensi masyarakat petani yang tergusur atau terancam lingkungan hidupnya. Di Sulawesi Selatan berturut-turut dikenal konflik antara petani di tepi Danau Towuti dengan PLTA Larona yang dibangun oleh maskapai pertambangan nikel bermodal Kanada, PT Inco, serta perlawanan petani terhadap pencabutan hak-hak atas tanahnya untuk pembangunan PLTA Bakaru dan bendungan Bili-bili (lihat Aditjondro 2001). Sedangkan di Sulawesi Tengah dikenal perlawanan petani di tepi Danau Lindu terhadap pembangunan PLTA Lore Lindu (Sangaji 2000), serta kini perlawanan rakyat di hulu Sungai Poso terhadap pembangunan PLTA Poso. Perlawanan ini akan segera disusul perlawanan terhadap pembangunan SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) dari Sungai Poso ke Soroako (Sulawesi Selatan) dan Pomala’a (Sulawesi Tenggara), yang dikoordinasi oleh Front Advokasi PLTA & SUTET (FAPS).

Keragaman etno-linguistik di Sulawesi & potensi konflik horizontal yang tinggi:

21. Resistensi rakyat setempat terhadap berbagai proyek ‘pembangunan’ lain yang padat-lahan, seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan dan pengolahan kayunya, serta PLTA ikut dipengaruhi oleh keragaman etno-linguistik di Sulawesi, di mana hak ulayat masing-masing kelompok etno-linguistik (= suku) masih jauh lebih dihormati ketimbang di Jawa. Berbeda dengan di Jawa, keragaman etno-linguistik di Sulawesi jauh lebih tinggi dari pada di Jawa, dengan keragaman
paling tinggi di Sulawesi Tengah, dengan sekitar 50 kelompok etno-linguistik. Keragaman etno-linguistik itu juga seringkali tumpang tindih dengan keragaman agama, di mana suku tertentu cenderung dominan beragama Islam dan yang lain Kristen, tergantung dari sejarah perjumpaannya dengan ‘agama-agama dunia’ tersebut. Akibatnya, konflik kelas di kantong-kantong masyarakat petani (peasant) dan peladang di gunung (hilltribes) di Sulawesi Tengah – dan juga di Sulawesi Barat – mudah dibelokkan
menjadi konflik horizontal yang berdarah-darah, akibat tumpang tindihnya kategori “kelas”, “etnisitas” dan “agama”.

22. Selama tiga tahun terakhir, di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sering tercetus konflik berdarah antara migran Bugis dengan dua subsuku asli Kabupaten Donggala, yakni orang Kaili Ledo yang menghuni dataran rendah dan orang Kaili Da’a yang habitat aslinya di pegunungan. Untuk mengurangi tekanan penduduk di pegunungan, banyak orang Da’a dipindahkan oleh pemerintah ke dataran rendah untuk menggarap tanah pertanian di sana. Namun kedua subsuku asli Donggala itu sulit bersaing dengan para migran, yang lebih tinggi tingkat kewiraswastaannya dan lebih mudah memperoleh sertifikat buat tanah persawahan dan perkebunan mereka di dataran rendah. Sementara itu, orang Da’a dengan sistem hak adat mereka tidak terbiasa mengurus sertifikat tanah. Begitu pula orang Ledo, yang secara tradisional merasa “tuan tanah” di sana. Akibat kesenjangan ekonomi dan perbedaan persepsi tentang pemilikan tanah, sering terjadi apa yang dianggap oleh petani Bugis sebagai “pencurian” tanaman mereka. Reaksi mereka paling keras, yakni membunuh para “pencuri”, apabila yang “dicuri” adalah tanaman coklat, komoditi primadona di Sulawesi Tengah. Di bulan Oktober 2004, terjadi dua kali pembunuhan di Kecamatan Biromaru, yakni di Desa Jono-oge dan di desa Sidondo, yang diduga berlatarbelakang konflik agraris begini, yakni awal Oktober dan tanggal 31 Oktober (lihat Aditjondro 2006a).

23. Tadi telah disinggung tentang kewiraswastaan orang Bugis. Ini berkaitan dengan suatu permasalahan bagi banyak masyarakat petani di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Luwu, dan Sulawesi Tengah, yakni penjualan tanah. Proses pelepasan tanah di kedua daerah ini telah berjalan dengan gencar selama dua dasawarsa terakhir, akibat ‘penjeblosan’ masyakatnya ke dalam ekonomi uang, yang merupakan ‘paspor’ ke banyak bidang lain. Buat yang beragama Islam, penjualan tanah dilakukan menjelang musim haji, agar mereka dapat menunaikan ibadah haji. Sedangkan secara lintas agama,
penjualan tanah dilakukan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Lalu, setelah anak-anak itu mencapai jenjang pendidikan tertentu, tanah orang tua dijual lagi untuk membayar sogokan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini telah saya amati mulai dari Kabupaten Luwu Utara (Sulawesi Selatan), sampai dengan di Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah). Seorang pegawai Departemen Agama di Kabupaten Luwu Utara menjual tanahnya untuk membiayai kuliah anak-anak puterinya di STAIN Datokarama di Palu. Setelah puteri tertuanya tamat, ia menjual tanahnya lagi untuk membayar ‘biaya masuk’ agar puterinya itu bisa diangkat menjadi dosen STAIN tersebut. Tragisnya, tidak lama setelah diterima menjadi dosen STAIN, puteri kesayangannya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang ayah dan sang ibu menyusul anaknya ke alam baka (idem).

24. Di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali (hasil pemekaran dari Kabupaten Poso), pelepasan tanah adat tiga suku asli di sana - To Pamona, To Lore, dan To Mori -- berjalan paling gencar dengan dampak marjinalisasi penduduk asli pegunungan (indigenous highlander) yang paling parah di seantero Pulau Sulawesi, dibandingkan dengan orang Toraja dan Minahasa. Ada tujuh faktor penyebab marjinalisasi tersebut. Pertama, melunturnya ketaatan pada hukum adat menyangkut tanah menyebabkan banyak tanah komunitas pribumi beralih ke tangan para pendatang. Kedua, pergeseran orientasi dari petani ke pegawai negeri atau pegawai gereja mendorong para orang tua menjual tanah keluarga untuk membiayai pendidikan anak mereka, serta selanjutnya, setelah anak mereka lulus S-1, menyogok para petugas penerimaan PNS baru. Ketiga, tanah juga dijual untuk membiayai pesta pernikahan di kalangan orang Pamona, di mana gengsi keluarga besar dianggap semakin terangkat kalau dapat menjamu sebanyak mungkin tamu. Keempat, masyarakat di daerah terpencil yang dulu harus berjalan kaki puluhan kilometer ke pasar, mudah dibujuk untuk melepaskan tanah secara cuma-cuma, karena sangat mendambakan pembangunan jalan yang dapat meringankan perjalanan ke pasar dan sekolah terdekat. Kelima, pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso serta jalan koridor PT Kebun Sari yang menghubungkan Lembah Napu dengan jalan Palu-Poso. Keenam, pelepasan tanah subsuku Onda’e di Kecamatan Pamona Timur untuk pemukiman kembali korban gusuran PT Inco dari Bungku Tengah dan Bungku Selatan.
Ironisnya, ratusan hektar tanah di sana kemudian dikuasai oleh keluarga-keluarga pejabat Kabupaten Poso, yang dulu meliputi Morowali. Ketujuh, mirip seperti di atas, pelepasan tanah orang Mori secara cuma-cuma, dijual oleh para pejabat asal Morowali kepada PTP untuk perkebunan kelapa sawit (lihat Aditjondro 2006a).

25. Bukan hanya suku-suku yang habitatnya jauh dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah yang mengalami marjinalisasi karena ‘pembangunan’. Suku Kaili yang merupakan penduduk asli Kota Palu dan Kabupaten Donggala, telah mengalami marjinalisasi yang luar biasa, akibat pemekaran kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, yang dibarengi dengan proses urbanisasi yang menggebu-gebu.

Proses marjinalisasi ini paling parah dialami oleh subsuku Kaili Ledo dan Kaili Rai yang turun temurun menghuni dataran rendah seputar Teluk Palu. Lebih tragis dari pada suku-suku asli Poso, orang Ledo sering menjual tanahnya kepada pendatang, sekedar untuk menyambung hidup, sebab di berbagai sektor ekonomi mereka sudah tersingkir oleh pendatang. Ini sering menimbulkan ketegangan antara para migran dari Sulawesi Selatan, dengan orang Ledo yang merasa dirinya ‘tuan tanah’ kota Palu (idem).

26. Sementara orang Kaili di dataran rendah tergusur oleh proses urbanisasi kota Palu, subsuku-subsuku Kaili di Pegunungan Kamalisi – yakni Da’a, Inde, dan Unde – mengalami masalah lain lagi.

Dengan pola hidup mereka sebagai peladang bergilir (rotational farming), serta sistem kepercayaan mereka yang asli dengan ritus-ritusnya yang disesuaikan dengan kalender perladangan mereka, mereka seringkali menjadi korban prasangka masyarakat mayoritas (mainstream). Pertama, mereka seringkali dicap sebagai perusak hutan, dan harus dimukimkan ke dataran rendah, jauh dari pegunungan yang merupakan habitat mereka yang asli. Kedua, setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengipas arus sektarianisme dengan sebelas fatwanya, orang Kaili pegunungan yang masih menghormati adat istiadat
nenek moyang mereka, di samping ajaran agama Islam, sering dicap sebagai penganut “aliran sesat” (idem).

27. Kriminalisasi masyarakat pribumi dan sekaligus kriminalisasi aliran “sesat” ini dapat berpengaruh negatif terhadap kebebasan masyarakat-masyarakat pegunungan itu untuk bercocok tanam berdasarkan kearifan nenek moyang mereka. Kriminalisasi ganda ini dialami oleh kelompok masyarakat Unde di Desa Salena, yang masih termasuk wilayah Kota Palu. Belum lama ini, desa ini diserang oleh sejumlah personil Polsek Palu Barat, akibat informasi yang berlebihan tentang peranan seorang dukun dan guru silat, bernama Madi. Perlawanan kelompok Madi yang menyebabkan tiga orang polisi dan seorang pengikut Madi tewas, menyebabkan penduduk desa itu lari ke hutan, sementara kampung mereka dijarah oleh dua kelurahan tetangganya. Sampai hari Jumat, 6 Januari lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, Desa Salena masih diduduki satu peleton polisi, yang melarang penduduk berkebun di gunung, supaya mereka tidak berkomunikasi dengan Madi, yang masih berhasil mempertahankan kebebasannya (idem).

28. Dalam kasus Salena itu, kriminalisasi ‘aliran sesat’ dan kriminalisasi masyarakat pribumi tampak dengan jelas. Sampai akhir Januari yang lalu, nama MADI tetap dipelintir menjadi MAHDI dalam liputan harian Radar Sulteng edisi 26 Januari 2006, yang dapat memberikan kesan kepada pembaca bahwa dukun dan guru silat suku Unde itu mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Sedangkan nama empat di antara sembilan orang terdakwa, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Polisi sengaja diberi gelar-gelar adat, seolah-olah memang ada komplotan yang terorganisasi di antara masyarakat Unde
untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang’sah’. Sahido (30) diberi gelar PENDEKAT RANUBAYA, Bambang (21) diberi gelar PENDEKAR CAKAR DARAH, Asanudin (25) diberi gelar PENDEKAR PATI NAMBI, dan Nanga yang baru berumur 17 tahun diberi gelar PENDEKAR CENCONG. Jadi, selain kriminalisasi, kini juga terjadi stigmatisasi orang Kaili pegunungan.

29. Nasib orang Kaili diharapkan tidak akan setragis nasib orang Betawi, setelah Banjela Paliuju, yang berdarah Kaili Da’a, terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tengah. Mudah-mudahan ia dapat menghapus stigmatisasi masyarakat-masyarakat pribumi di provinsi ini, yang selama ini hanya menjadi pelengkap penyerta, bahkan tidak jarang menjadi pelengkap penderita, dalam pembanguan.

30. Sementara itu, pembeli tanah yang paling agresif di daerah Sulawesi Tengah adalah para migran Bugis, Makassar, dan Toraja dari Sulawesi Selatan. Sifat kewiraswastaan mereka membuat mereka lebih cepat melihat peluang bisnis di situ, ketimbang penduduk asli, yang tadinya masih merasa masih memiliki tanah luas. Cukup terkenal pemeo orang Bugis, “buat apa mi tinggi sekolahmu, kalau tidak ada sokola’mu [pohon coklatmu]”. Karena itu, hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan terwakili dalam nama toko, warung, dan rumah makan di sepanjang ruas Jalan Trans-Sulawesi, dari Poso sampai ke Palu. Hampir setiap pemilik properti itu memiliki sejumlah batang pohon coklat, yang
penanamannya dirangsang oleh PT Hadji Kalla, sebagai pembeli buah coklat mereka. Kebetulan, peluang bisnis ini cepat dilihat oleh perusahaan milik keluarga M. Jusuf Kalla itu, karena anak perusahaan mereka, PT Bumi Karsa, yang diserahi pemerintah membangun jalan Trans-Sulawesi.

Peranan militer dalam menunjang eskalasi konflik-konflik horizontal:

31. Seperti yang telah disinggung di depan, keragaman etno-linguistik yang tumpang tindih dengan kelas dan agama itu sangat berpotensi menjadi konflik terbuka, keras, dan bersenjata, apabila memang diarahkan ke situ. Indikasinya adalah bahwa penempatan pasukan-pasukan ‘pengamanan’, memang mengarah ke sana. Dengan berbagai cara, pertikaian-pertikaian lokal di antara berbagai komunitas diarahkan untuk dikembangkan ke sana. Dari penelitian saya di Kabupaten Poso, bersama kawan-kawan dari Yayasan Tanah Merdeka dan para pengungsi Poso di perantauan, ada beberapa cara yang ditempuh,
yakni (a) dimulai dengan pembiaran agar kedua kelompok saling curiga danberjaga-jaga, (b) dilanjutkan dengan pembiaran terhadap latihan merakit bom dan senapan, setelah maket pembuatan SS-1 dari PT Pindad tiba-tiba beredar di Poso, lalu (c) pembiaran terhadap peredaran senjata secara gelap, dilanjutkan dengan (d) penjualan atau pembagian senjata dan amunisi, lalu (e) pelatihan terhadap kelompok-kelompok milisi setempat , sampai dengan (f) menjadi eksekutor terhadap tokoh-tokoh dari kedua komunitas, sehingga curiga dan dendam meledak sampai ke ubun-ubun.

32. Pecahnya konflik berdarah di antara dua atau lebih komunitas kemudian memberikan dalih untuk penempatan pasukan, baik dari militer maupun polisi. Pasukan-pasukan non-organik itu kemudian menjadi betah untuk berlama-lama bertugas di daerah konflik, sebab ada pendapatan tambahan yang bisa diperoleh, hanya dalam keadaan konflik. Sementara para atasan menyunat uang operasi para bawahan di lapangan, para bawahan – dengan restu atasan -- mengembangkan 14 jenis ‘bisnis kelabu’ yang telah saya amati di Palu, Poso, Morowali, dan Banggai, yakni (a). pemerasan secara langsung; (b).
perlindungan bagi prostitusi terselubung, khususnya di perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah; (c). perlindungan bagi sabung ayam; (d). bisnis satpam; (e). perburuan dan penyelundupan fauna dan flora langka, seperti kayu hitam dari kawasan Poso Pesisir dan ikan sogili dari Danau Poso; (f). perdagangan hasil hutan hasil illegal logging; (g). pengangkutan barang dan penumpang dengan kendaraan dinas; (h). bisnis pengawalan; (i). penyewaan mobil milik perwira-perwira polisi yang masih bertugas aktif; (j). penyewaan senjata dan ‘jasa’ menteror orang-orang yang menghalangi korupsi dana bantuan pengungsi, atau untuk memelihara iklim ketakutan secara umum di Poso dan Palu, seperti terbukti dari kasus Ray Efendi, Ilo, dan Iskandar Rauf di Poso dan Palu; (k) pungutan di pos-pos penjagaan; (l). proteksi properti milik pengusaha dan eks-pejabat yang sudah jadi pengusaha; (m). bisnis proteksi korporasi, terutama yang melakukan investasi di Sulawesi Tengah bagian Timur; sampai dengan (n). perdagangan ilegal senjata dan amunisi (Aditjondro 2004, 2006c; Sangaji 2005).

33. Bisnis kelabu aparat keamanan di Sulawesi Tengah sudah menjadi penyakit menular. Paling tidak, menular ke Sulawesi Barat. Pengutipan pungutan-pungutan liar di pos-pos penjagaan, yang pernah begitu marak di Kabupaten Poso, telah terjadi pula di di daerah konflik Mambi-Aralle-Tabulahan di Provinsi Sulawesi Barat, di mana rakyat mengeluh karena hewan peliharaan mereka sering diambil paksa oleh anggota-anggota Brimob yang bertugas di sana. Bisnis kelabu itu menyertai bisnis terang, karena belakangan ini, Zipur Kodam Wirabuana mendapat borongan membangun jalan poros yang
menghubungkan Mambi, Aralle dan Tabulahan (Aditjondro 2006a, 2006b).

34. Baik di darat, maupun di laut militer dan polisi berjaya untuk melindungi bisnis berskala besar. Operasi pemutusan tali rumpon nelayan di Bone oleh Dinas Perikanan setempat, Jumat malam, 12 Desember 2005, dikawal oleh 45 orang tentara dan polisi dari Korem, Kodim 1407 Watampone, dan Detasemen Polisi (Denpom) Watampone, dipimpin langsung oleh Dandim Letkol (Art) Yasyid Sulistyo, dengan menggunakan empat perahu nelayan (Tribun Timur, Minggu, 18 Desember 2005).

Korporasi-korporasi yang diuntungkan dari eskalasi konflik-konflik horizontal:

35. Sementara rakyat Poso sangat dirugikan oleh kerusuhan dan gangguan keamanan yang tidak kunjung reda, segelintir korporasi besar telah menancapkan kaki di Kabupaten Poso serta kabupaten-kabupaten lain di sebelah timurnya, di bawah perlindungan dua batalyon: Yoninf 711/Raksatama dan Yoninf 714/Sintuwu Maroso. Soalnya, kalau tadinya di seluruh Sulawesi Tengah hanya ada satu batalyon TNI/AD, yakni Yoninf 711/Raksatama, maka sejak kerusuhan Poso batalyon itu sudah dimekarkan menjadi
dua. Batalyon yang lama bertugas memelihara keamanan para pemodal besar di wilayah Sulteng bagian Barat, dari Toli-toli s/d Donggala, batalyon yang baru, Yoninf 714/Sintuwu Maroso yang berbasis di kota Poso, menjaga keamanan para pemodal besar dari Kabupaten Poso s/d Kabupaten Banggai Kepulauan.

36. Empat kelompok bisnis yang diuntungkan oleh pemekaran Batalyon itu adalah kelompok CCM (Central Cipta Murdaya) milik suami isteri Murdaya Widyawimarta (d/h Poo Tjie Gwan) dan Siti Hartati Tjakra Murdaya (d/h Chow Lie Ing); kelompok Medco milik keluarga Arifin Panigoro; kelompok Artha Graha yang dipimpin oleh Tomy Winata dan melibatkan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD, yang sedang menyiapkan tambang marmer dan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Morowali; serta kelompok Bukaka milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sedang membangun PLTA berkapasitas 780 Mega
Watt di Sungai Poso (Aditjondro 2005).

37. Kelompok CCM tidak sungkan-sungkan merangkul mantan jenderal dan mantan gubernur Sulawesi Tengah dalam bisnis mereka. Dalam perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations seluas 52 ribu hektar di Kabupaten Buol dan Toli-Toli, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN waktu itu, Letjen (Purn) A.M. Hendropriyono duduk sebagai komisaris, bersama mantan Gubernur Sulteng, Azis Lamadjido. Bukan itu saja kepentingan bisnis kelompok CCM di Sulawesi Tengah. Selain konsesi hutan PT Bina Balantak Raya seluas 72.500 hektar di Desa Lamala Balantak, Kabupaten Banggai, yang
didirikan tahun 1980, CCM juga berencana membangun pabrik semen di Kabupaten Donggala, dengan modal Rp 1,5 trilyun, di bawah bendera PT Cipta Central Murdaya Semen (Aditjondro 2006c).

38. Selain CCM, kelompok Medco, maskapai pertambangan migas swasta terbesar di Indonesia milik keluarga Arifin Panigoro sudah mulai menghitung pemasukan mereka. Kelompok ini beroperasi di lepas pantai Kabupaten Morowali serta di daratan Kabupaten Banggai dalam JOB (joint operation body) dengan Pertamina. Kamis, 12 Januari lalu, JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi melakukan pengapalan perdana minyak mentah dari Lapangan Tiaka dengan volume 75 ribu barel. Pengapalan perdana itu membuka sejarah perminyakan di Sulawesi, karena Lapangan Tiaka merupakan lapangan minyak pertama di pulau ini. Lapangan ini mulai berproduksi pada tanggal 31 Juli 2005. Minyak mentahnya dikirim untuk diolah di Kilang UP-III PT Pertamina (Persero) di Plaju, Sumatera Selatan (Kompas, 13 Jan. 2006).

39. Adakah korelasi antara pemekaran batalyon dengan pengamanan konglomerat-konglomerat tersebut? Ada. Di dataran Seseba, Kabupaten Banggai, para petani sudah beberapa kali melakukan protes terhadap perampasan tanah pertanian dan tambak mereka oleh pengusaha-pengusaha setempat. Tanggal 3 Oktober 2002, sekitar 35 orang petani Seseba melakukan mogok makan di gedung DPRD Sulawesi Tengah di kota Palu. Untuk menakut-nakuti mereka, sekitar 125 orang personil TNI dan Polri melakukan
simulasi pelatihan perang-perangan di Batui, dekat dataran Seseba, yang dihadiri Bupati Banggai, Kol. Sudarto, SH waktu itu, Komandan Kodim, Kapolres Banggai, dan sejumlah unsur Muspida. Latihan perang-perangan ini bermaksud menakut-nakuti rakyat Seseba, yang kehilangan 200 hektar lahan perkebunan dan perumahan mereka untuk pemukiman karyawan Pertamina (Gogali t.t.).

40. Kelompok Bukaka milik keluarga Jusuf Kalla, juga menikmati perlindungan militer di Kabupaten Poso. Kalau tadinya militer yang secara organik berkedudukan di Kabupaten Poso hanya meliputi personil Markas Batalyon 714/Sintuwu Maroso di pinggiran kota Poso dan satu kompi di Pendolo, setelah bom Tentena satu kompi tambahan ditempatkan di Desa Saojo, dekat lokasi proyek PLTA Poso-1 dan Poso-2. Personil kompi itu siap membantu 15 pos penjagaan militer, polisi, dan satpam yang berada di lokasi proyek PLTA Poso-2 di Sulewana (Aditjondro 2005a: 11-2).

41. Hubungan yang mesra antara modal dan militer tampak setelah 650 orang anggota FAPS (Front Advokasi PLTA & SUTET) dari sebelas desa di sepanjang Sungai Poso melakukan aksi di Desa Sulewana, Selasa, 18 April lalu. Mereka menuntut pembangunan PLTA itu dihentikan, sampai PT Bukaka Teknik Utama menyelesaikan masalah ganti rugi tanah (Kompas, 19 April 2006). Bukaka meminta waktu dua minggu, untuk membahas tuntutan FAPS. Namun tentara tidak menunggu lama untuk memberikan reaksi. Hari
Kamis, 20 April 2006, Yoninf 714/Sintuwu Maroso menggelar latihan perang-perangan di dekat pusat pemukiman pengungsi Poso di ex lapangan terbang MAF di kota Tentena. Sejak Rabu malam, 19 April lalu, pasukan-pasukan sudah didrop di Tentena, ibukota Kecamatan Pamona Utara, dengan menggunakan mobil PT Bukaka. Malam itu juga diumumkan dengan corong dari mobil yang keliling kota Tentena, agar masyarakat jangan kaget jika mendengar bunyi letusan senjata api, karena TNI sedang latihan perang-perangan (kom. pribadi dengan informan-informan di Palu dan Tentena, 19 April 2006). Perang urat syaraf begini mirip seperti dilakukan penguasa di Seseba. Di mana rakyat menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap dampak sebuah proyek pembangunan, di situ aparat bersenjata melakukan latihan perang-perangan.

So what?

42. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh aktivis-aktivis pro-demokrasi di Sulawesi? Banyak.

Pertama-tama, para aktivis pro-demokrasi di Sulawesi harus mulai membongkar mitos tentang akar-akar penyebab ketidakamanan di Sulawesi yang bersifat sektarian, dengan fokus khusus ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Sebab berbagai mitos tentang ketidakrukunan di antara komunitas agama, yang tersebar ke Jawa lewat berbagai media, termasuk media sektarian, justru tidak menguntungkan penciptaan perdamaian serta penyelesaian konflik-konflik di Sulawesi sendiri.

Kedua, kampanye secara nasional untuk penegakan supremasi sipil, dengan tekanan pada penghapusan komando territorial, dibarengi dengan tekanan ke arah profesionalisasi polisi sehingga lebih terlatih dalam pengendalian kerusuhan tanpa cara-cara membunuh atau melumpuhkan orang secara permanen, sudah saatnya ditingkatkan.

Ketiga, para aktivis pro-demokrasi di aras akar rumput sangat memerlukan bantuan informasi dan investigasi oleh kawan-kawan yang dekat dengan pusat-pusat informasi penanaman modal dan bisnis di Jakarta. Ini sangat perlu untuk membantu kawan-kawan di akar rumput menyiapkan komunitas-komunitas basis menghadapi rencana-rencana investasi itu, termasuk persiapan untuk menggunakan hak mereka menolak proyek dan program yang merugikan rakyat dan merusak lingkungan setempat.

Keempat, perlu kampanye bersama antara kawan-kawan di akar rumput, di kota-kota strategis di Sulawesi, dan di Jakarta, untuk melawan pembangunan bercorak neo-liberalistis, yang didukung oleh rezim komprador SBY-JK.

Selain membongkar sinerji antara modal, militer, dan milisi-milisi di Sulawesi Tengah, kampanye bersama itu perlu difokuskan ke arah legalisasi pendirian partai-partai lokal di Sulawesi, yang lebih berkiblat ke sosialisme ketimbang feodalisme lokal penunjang kapitalisme nasional dan global.

Last but not least, kelima, perlu pengukuhan nilai-nilai demokratis di kalangan kawan-kawan aktivis pro-demokrasi di Sulawesi sendiri, untuk mengcounter nilai-nilai primordial yang mengagung-agungkan peranan politisi atau saudagar asal Sulawesi, melebihi komitmen kepada kepentingan rakyat di aras akar padi.

Yogyakarta, 15 Juli 2006.

Referensi:
Aditjondro, George Junus (2001). Go with the Flow: The Fluctuating and Meandering Nature of Indonesia’s Anti-Large Dam Movement. Makalah untuk Lokakarya dalam rangka Jubileum KITLV dengan tema “Air sebagai Pemberi Kehidupan dan Kekuatan Yang Mematikan serta Hubungannya dengan Negara, Dulu dan Sekarang” di Leiden, Negeri Belanda.
---------------- (2004). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur”, Wacana, Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif, No. 17, Th. III, hal. 137-78.
---------------- (2005). "Setelah Gemuruh Wera Sulewana Dibungkam: Dampak Pembangunan PLTA Poso & Jaringan SUTET di Sulawesi." Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
-----------------(2006a). "Sulawesi, Taman Mini permasalahan agraria di Nusantara." Makalah untuk Seminar Pembaruan Agraria yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Bantaya di Palu, 26 Januari.
-----------------(2006b). "Terlalu Bugis-sentris, kurang ‘Perancis’. Makalah untuk bedah buku karangan Christian Pelras, Manusia Bugis, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis, 16 Maret.
-----------------(2006c). "Bagaikan Gatotkaca, yang terbang di atas saluran udara tegangan (ekstra) tinggi, mereka seperti tak tersentuh oleh hukum di negeri ini." Makalah untuk Seminar dalam rangka Sarasehan Korban SUTET Indonesia, yang diselenggarakan oleh Solidaritas Advokasi Korban SUTET
Indonesia (SAKSI) di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI), Jl, Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat, hari Minggu, 23 April.
--------------- (2006d). "Tibo & penyerangan pesantren Walisongo jilid II: Mengungkap kepentingan ‘tritunggal’ modal, militer, dan milisi di balik pengawetan ketidakamanan di Sulawesi Tengah." Makalah yang sudah diterbitkan secara bersambung di Tabloid Udik di Kupang dan Harian Komentar di Manado.
Alimuddin, Muhammad Ridwan (2005). "Orang Mandar, orang laut: Kebudayaan bahari Mandar mengarungi gelombang perubahan zaman." Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
---------------- (2006). “Rumpon dan Konflik”, Radar Sulbar, 17, 18, 20 Maret 2006.
van Gelder, Jan Willem, Eric Wakker, Matthijs Schuring dan Myrthe Haase (2005). Kutukan Komoditas: Panduan bagi Ornop Indonesia. Amsterdam: Profundo dan AIDEnvironment.
George, Kenneth M. (1996). "Shoswing signs of violence: The cultural politics of a
twentieth-century headhunting ritual."
Berkeley: University of California Press.
Gogali, Nerlian (n.d.). "Marmer, Migas, dan Militer di Ketiak Sulawesi Timur: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Investor." Naskah yang belum diterbitkan.
Sangaji, Arianto (2000). "PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah." Yogyakarta & Palu: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Yayasan Tanah Merdeka & WALHI Sulawesi Tengah.
------------- (2002). "Buruk Inco, Rakyat Digusur: Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia." Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-------------- (2005). “Menimbang Madi secara Obyektif”, Kompas, 29 Oktober.
Sikopa, Suaib Dj. (2006). "Ada ri Tana Kaili." Yogyakarta:PT Pilar Media.
Whitten, Tony, Greg S. Henderson & Muslimin Mustafa (2002). "The Ecology of Sulawesi." Hong Kong: Periplus.


Curriculum Vitae
George Junus Aditjondro

Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.

Pendidikan:
1. 1991: Master of Science (M.S.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.

Pekerjaan:
1. 1971-1979: Jurnalis Majalah TEMPO.
2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
3. 1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Western Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, NSW, Australia).
4. Sejak 1994, meneliti penyebaran harta jarahan keluarga dan kroni Soeharto ke belasan negara di dunia.
5. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
6. Sejak September 2005: ikut mengampu mata-mata kuliah Marxisme, Metodologi Penelitian, dan Gerakan Sosial Baru di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karya Tulis:
Ratusan artikel, buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua Barat, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, lingkungan hidup, HAM, bisnis militer, gerakan sosial baru (new social movements), gerakan kiri di Indonesia dan Amerika Latin, pendidikan radikal, ekologi politik migas, serta korupsi sistemik para Presiden RI.


No comments: