10.8.08

Tentang Strategi Kiri

Tanggapan Terhadap Stevel Ellner
Marta Harneceker

ARTIKEL Steve Ellner, berargumen bahwa tiga strategi anti-neoliberal kiri muncul di benua kita pada tahun 1990an. Strategi tengah (centrist), yang diasosiasikan dengan Jorge Castaneda; yang diasosiasikan dengan saya sendiri memprioritaskan perjuangan melawan neoliberalisme; dan strategi James Petras di mana proposisi anti-neoliberal tidak menutupi perjuangan anti-imperialis dan anti-kapitalis.

Strategi yang diambil dari tulisan saya diringkas menjadi berikut: Akhir siklus revolusi anti-imperialis telah tiba. Kesulitan mencapai kemenangan dalam periode ultra-konservatif saat ini adalah besar, dan dengan begitu perlu memprioritaskan perjuangan-perjuangan anti-neoliberal, bukannya anti-imperialis atau anti-kapitalis, dan mengutamakan ruang-ruang lokal dengan tujuan memperkuat kiri. Adalah juga perlu membangun aliansi yang lebar. Ellner menyintesis strategi yang saya kedepankan, dalam serangkaian tulisan saya yang hanya sedikit membahas tema tersebut. Ia, walau demikian, tidak mengkonsultasikan buku saya La izquierda despues de Seattle (Harnecker, 2001), di mana saya secara eksplisit mengacu pada subyek tersebut. Sesungguhnya, judul asli buku tersebut adalah "Tugas-tugas Strategis: Mengartikulasikan Partai-partai Kiri dan Tatanan Sosial Kiri dengan Tujuan Membentuk Suatu Front Anti-Neoliberal Yang Besar."

Saya hendak mengambil kesempatan ini untuk mengembangkan lebih lanjut beberapa ide saya dan agar pembaca dapat memahami lebih baik posisi saya dalam topik ini. Saya perlu memulai dengan mengklarifikasi istilah "kiri," karena itu memiliki makna yang berbeda bagi penulis yang berbeda. Saya memahami kiri sebagai konvergensi semua kekuatan yang melawan sistem kapitalis dengan logika profitnya, yang memperjuangkan masyarakat alternatif yang berdasarkan humanisme dan solidaritas dan dibangun atas kepentingan kelas pekerja, yang membebaskan mereka dari kemiskinan materi dan penderitaan spiritual yang dikembangbiakkan oleh kapitalisme. Kiri, dengan demikian, terdiri bukan saja atas partai atau organisasi politik kiri; ia juga menyertakan aktor-aktor sosial dan gerakan.

Imperialisme dan Globalisasi: Memperhitungkan Perkembangan Baru

Sekarang dengan telah diberikannya definisi terhadap istilah "kiri," saya dapat menerangkan posisi saya terkait globalisasi dan imperialisme. Adalah penting bagi kaum kiri untuk menghayati sifat-sifat baru dari hal-hal yang muncul dalam beberapa dekade terakhir.

Kita hidup dalam suatu dunia yang cukup berbeda dengan tahun-tahun awal revolusi Kuba, suatu dunia yang penuh rintangan tapi, juga kesempatan. Adalah krusial bagi kaum kiri, untuk memahami sepenuhnya hal yang pertama dengan tujuan mengelaborasikan strategi yang memungkinkan kita mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, dan untuk memahami yang kedua, agar dapat mengendalikan keuntungan-keuntungan ini dengan memformulasikan alternatif yang didasarkan atas solidaritas. Saya yakin - sebagaimana telah sering kali saya nyatakan - bahwa untuk menghadapi "tantangan-tantangan yang dihadirkan oleh dunia dan untuk memajukan perjuangan bagi transformasi sosial yang mendalam, perlu menghindari nostalgia dan - dengan berbasiskan realitas baru yang kita temui - secara kreatif membangun masa depan" (Harnecker, 1999, 388).

Dalam hal inilah, saya memiliki perbedaan serius dengan tulisan-tulisan James Petras. Petras menunjukkan ketidakpercayaan terhadap semua pihak yang menyatakan, sedang terjadi perubahan-perubahan penting di dunia, dan yang sejalan dengan itu, menunjukkan pentingnya respon-respon baru di pihak kaum kiri.

Tidak dapat dibantah lagi, sesuatu yang baru telah muncul akibat revolusi informasi: sistem komunikasi dunia telah mengalami revolusi. Kapital kini tidak saja telah menjangkau tempat-tempat paling terpencil di dunia - sebagaimana telah dilakukannya sejak abad ke-16 - tapi, sebagaimana dicatat Castells (1997, 120), telah mampu berfungsi sebagai suatu unit tunggal dalam waktu-nyata dalam skala planet (a single unit in real time on a planetary scale). Jumlah uang yang massif ditransfer dalam hitungan detik melalui sirkuit elektronik yang menyatukan dunia finansial. Ini adalah fenomena baru yang telah dimungkinkan dalam dekade terakhir abad 20, berkat infrastruktur baru yang dibangun oleh teknologi informasi dan komunikasi. Chesnais (1997, 20) menambahkan, penjelasan terhadap perkembangan ini dengan kehadiran persyaratan institusional, yang mengeliminir penghalang yang dibangun setelah Perang Dunia Kedua, terutama di Eropa. Dunia kini semakin berfungsi sebagai sebuah unit operatif, sebuah pasar kapital global.

Di luar area finansial, sesuatu yang secara kualitatif baru telah hadir dalam wilayah produksi. Proses produksi yang sama telah terinternasionalisasi. Produk-produk tidak perlu lagi difabrikasi secara keseluruhan dalam satu negeri, melainkan tiap-tiap komponen difabrikasi dalam beragam wilayah di penjuru dunia. Hal yang sama terjadi dalam sektor jasa. Akibatnya, banyak proses yang melibatkan operasi-operasi padat-karya (labour-intensive) memilih negeri-negeri Selatan, di mana buruh murah mendominasi (Harnecker, 1999, 134-135).

Dinamika kapital yang baru, tidak menjadikan negeri-negeri kurang berkembang terserap secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian dari sirkuit ekonomi nasional. Dengan kata lain, persoalannya bukan lagi "dua sirkuit berbasis nasional yang memiliki hubungan yang rumit dengan perdagangan dunia, melainkan sebuah sistem produktif yang saling berhubungan, yang terdiri dari proses produktif dan buruh yang beroperasi secara international, dalam pengertian bahwa mereka bergantung pada kapital transnasional" (Agacino, 1997, 12).

Korporasi besar berupaya untuk membebaskan dirinya dari kekangan negara agar dapat berfungsi tanpa batasan-batasan. Walau demikian, mereka bergantung pada negara yang sama untuk memfasilitasi operasi-operasi bisnisnya, mengubah kementerian luar negeri dan cabang-cabang pemerintahan lainnya menjadi kantor-kantor bisnis, dalam pengertian sesungguhnya untuk melayani kepentingan mereka (Harnecker, 1999, 146).

Walaupun istilah "globalisasi" awalnya diciptakan di Amerika Utara, ia tidak perlu ditolak karena alasan ini. Kita perlu mengembangkan taktik dan strategi baru untuk fenomena baru yang mengkaraterkan kapitalisme dalam era globalisasi. Lebih penting lagi, imperialisme tidaklah hilang tetapi, mengambil bentuk yang baru.

Kita tidak dapat menyamakan tindakan yang dijalankan dalam dunia bipolar, yang ada pada saat kemenangan revolusi Kuba, ketika kubu sosialis memberikan dukungan dari belakang bagi gerakan revolusioner - dan sedemikian rupa berfungsi untuk meredam eksploitasi kapitalis di barat - dengan tindakan dalam dunia unipolar saat ini, yang didominasi Amerika Serikat. Serupa dengannya, kita tidak bisa menyamakan tindakan dalam suatu dunia yang mana kaum buruh memiliki kekuatan yang lebih besar dalam negosiasi karena mampu melumpuhkan produksi, dengan suatu dunia di mana kapital dapat dengan segera merespon peningkatan upah atau pajak apa pun, dengan berpindah ke negeri yang lebih menjanjikan. Hal yang sama terjadi ketika suatu negeri memutuskan untuk lebih menekankan program-program pengembangan sosial dan mengakibatkan pelarian kapital yang jumlahnya sangat besar.

Menurut Noam Chomsky (1998), terdapat semacam "senat virtual" yang terdiri dari spekulator finansial. Bila suatu negeri memutuskan untuk lebih menekankan program-program pengembangan sosial, "senat virtual" ini dapat dengan sekejap mengambil keputusan menentang kebijakan-kebijakan itu, dengan menarik sejumlah besar kapital dari suatu negeri, dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan.

Mendefinisikan Strategi Politik: Akhir dari Era Revolusi Anti-Imperialis

Saya perlu mengklarifikasikan apa yang saya maksudkan dengan "strategi," karena istilah ini biasa mengacu pada fenomena tertentu.

Ia dapat dipergunakan, contohnya, untuk menyinari arah perkembangan dan persatuan kaum kiri. Kita dapat berbicara tentang strategi komunikasional, strategi ekonomi, strategi budaya, dsb. Ketika Ellner bicara tentang strategi kiri, ia mengacu pada strategi politik. Bila kita menggunakan istilah tersebut dalam pengertian ini, janganlah kita menyamakannya dengan tujuan jangka-panjang dari perjuangan politik.

Strategi politik adalah seni mendefinisikan siapa kawan dan musuh kita, maupun sektor-sektor yang dapat dinetralisir dalam tahap atau periode historis tertentu. Strategi tidak dapat diformulasikan di luar konteks historis; adalah perlu memperhitungkan apa yang sedang terjadi di dunia dan di tiap negeri.

Maka, penting bagi pembaca, untuk memiliki informasi tentang latar belakang tesis yang disinggung Ellner yakni, yang terkait dengan akhir dari era revolusi anti-imperialis, yang merupakan respon dari runtuhnya blok sosialis setelah 1989 dan yang saya definisikan dalam buku saya La Izquierda en el umbral del Siglo XXI:

"Uni Soviet secara resmi terdisintegrasi pada 3 Desember 1991. Tidak ada lagi yang dapat mengabaikan bahwa terjadi perubahan drastis dalam perimbangan kekuatan global, dan telah dimulai suatu periode "uni-polarisme" militer serta sentrisme ekonomi, politik dan budaya yang berkiblat ke Utara. Kaum Kiri telah kehilangan kawan strategisnya yang penting.

"Dalam konteks ini, gerakan bersenjata kehilangan garda belakangnya dan kebanyakan dari mereka diharuskan mencari negosiasi untuk solusi terhadap konfrontasi militer yang telah berkecamuk selama lebih dari satu dekade.

"Tesis tentang menutupnya siklus revolusi anti-imperialis - spesifiknya konfrontasi total dalam front militer dan ekonomi melawan imperialisme - muncul sebagai reaksi terhadap korelasi kekuatan baru di tingkat dunia. Tesis ini, yang membingungkan banyak di antara kita, ketika dikedepankan oleh [pimpinan Sandinista] Victor Tirado - dalam konteks kekalahan elektoral Sandinista dan kegagalan Soviet - kini semakin banyak diterima oleh sektor-sektor di Kiri. Menerima itu bukan berarti meninggalkan keyakinan bahwa hanya melalui suatu program anti-imperialislah negeri-negeri kita dapat mencapai kedaulatan penuh dan perkembangan nasional. Tesis ini sekedar suatu pengakuan tentang rintangan yang ada terhadap kemenangan dalam periode ultrakonservatif ini. Barangkali akan lebih akurat untuk mengatakan, dengan korelasi kekuatan di tingkat dunia saat ini, kemungkinan suatu konsolidasi proses anti-imperialis revolusioner di wilayah ini untuk sementara menemui akhirnya. (Harnecker, 1999, 65.)"

Walaupun kini hubungan antara kekuatan politik sedemikian rupa membaik untuk keuntungan kaum kiri, saya tetap meyakini bahwa sangatlah sulit, kalau bukan tak mungkin, bagi proses anti-imperialis revolusioner untuk mengonsolidasikan diri di Amerika Latin. Saya di sini merujuk pada kemungkinan suatu kemenangan anti-imperialis di satu negeri dalam bentuk yang terisolasi. Perjuangan anti-imperialis, yang pada saat ini tak lebih dari perjuangan melawan globalisasi neoliberal, hanya dapat maju bila negara-negara kuat di dunia dihadapkan pada perlawanan global, dan dalam kasus spesifik Amerika Latin, bila berkembang suatu mekanisme artikulasi bersama di antara negeri-negeri yang paling penting, termasuk Brasil, Argentina, Venezuela, dan Kolombia. Dengan demikian, yang telah berakhir adalah era revolusi anti-imperialis nasional, dan bukan perjuangan anti-imperialis itu sendiri.

Memang, kita dapat dengan mudah membayangkan kemunculan suatu kesatuan perjuangan anti-imperialis di penjuru benua ini. Walau demikian, keberadaan korelasi kekuatan yang negatif dalam tingkat dunia, mengharuskan kaum kiri menempatkan batasan-batasan terhadap wilayah tindakannya, suatu keharusan yang tidak diterima oleh beberapa analis.

Memang, seorang penulis telah menentang posisi saya dengan menegaskan bahwa tidak ada revolusi yang dilancarkan di bawah kondisi-kondisi yang mendukung, sambil mengajukan revolusi Kuba sebagai satu contohnya (lihat Ellner, 2004, 29). Saya adalah yang pertama menerima pernyataan ini. Konsep politik yang saya pertahankan dalam karya saya La izquierda en el umbral ... tepatnya berada dalam garis tesis ini. Di situ saya berargumen, seni politik adalah seni membangun kekuatan, dengan kata lain, mengubah korelasi kekuatan melalui suatu cara, sehingga hal-hal yang tampak mustahil saat ini menjadi dimungkinkan di masa depan. Tapi, pernyataan itu tidak berarti bahwa semuanya adalah mungkin. Para pemimpin Kuba sendiri dalam berbagai kesempatan menegaskan, revolusi Kuba tidak akan mungkin terjadi bila kubu Soviet tidak eksis pada saat itu. Korelasi kekuatan di tingkat dunia pada akhir 1950an dan 1960an, ketika kubu sosialis sedang membesar, memungkinkan fenomena Kuba dan proses pembebasan nasional di Asia dan Afrika.

Strategi Politik untuk Periode Saat Ini: Pembangunan Suatu Front Anti-Neoliberal Yang Lebar

Walaupun musuh-musuh kita sangatlah kuat, terdapat semakin banyak penolakan terhadap model globalisasi di antara mayoritas penduduk, dikarenakan ketidakmampuannya memecahkan problem-problem yang paling mendesak. Kebijakan neoliberal yang diterapkan oleh kapital multinasional dengan perlindungan Amerika Serikat - yang memiliki kekuatan militer dan media komunikasi terkuat di dunia - tidak hanya gagal memecahkan problem-problem ini, tapi mereka memperparah penderitaan dan ketersingkiran sosial di saat kekayaan semakin terkonsentrasikan dalam tangan-tangan yang semakin lama semakin sedikit.

Sebagaimana saya nyatakan dalam La izquierda despues de Seattle, "Dalamnya krisis serta luas dan beragamnya sektor-sektor yang terkena dampaknya ... mengarah kepada skenario yang sangat menguntungkan dan kondusif bagi pembangunan suatu blok sosial alternatif yang berbasis sangat luas, dengan kekuatan yang sangat besar berkat sifat dari komponen-komponennya" (Harnecker, 2001, 141). Blok ini dapat melibatkan mayoritas luas penduduk. Selain sektor-sektor tradisional berupa kelas pekerja perkotaan dan pedesaan, dan sektor-sektor yang paling termiskinkan dan terpinggirkan, kita dapat memanfaatkan sektor-sektor menengah yang termiskinkan, pengusaha skala kecil dan menengah, anggota-anggota ekonomi informal, mayoritas kelas profesional, kaum pengangguran, kaum lanjut usia, para anggota koperasi, polisi, dan prajurit militer tingkat rendah dan menengah.

Ke dalam pengelompokkan ini, kita harus tambahkan sektor-sektor kapitalis yang telah memasuki kontradiksi obyektif dengan kapital transnasional. Kita di sini tidak merujuk pada suatu "borjuasi nasional progresif" yang mampu memainkan peran memimpin dalam mengembangkan proyek pengembangan nasionalnya sendiri, tetapi sektor-sektor yang agar dapat bertahan tidak memiliki alternatif selain memasukkan diri ke dalam proyek nasional, kerakyatan. Sektor-sektor ini bergantung pada kredit dari negara dan diuntungkan oleh pasar internal yang besar bagi produk-produk mereka, yang dirangsang oleh kebijakan sosial dari suatu pemerintahan progresif.

Neoliberalisme memiskinkan mayoritas besar penduduk di negeri-negeri kita. Ia melakukannya dalam hal sosio-ekonomi, dan juga dari sudut pandang kondisi-kondisi subyektif. Maka, kita harus berseru tidak hanya kepada mereka yang secara ekonomi dilumpuhkan oleh globalisasi, tapi juga kepada mereka yang menderita diskriminasi dan ditindas oleh sistem: kaum perempuan, pemuda, anak-anak, lanjut usia, penduduk asli, negro, minoritas agama tertentu, homosexual, dll. Blok yang diusulkan ini harus memberikan ruang - sebagaimana dinyatakan tadi - bagi "mereka semua yang menderita akibat konsekuensi dari sistem yang ada dan yang rela mengambil komitmen untuk berjuang menghadang langkah majunya" (Harnecker, 2001, 141-142).

Untuk mengartikulasikan kepentingan aktor-aktor yang beragam tersebut, perlu untuk memformulasi tuntutan-tuntutan kongkrit terbatas yang mempraktekkan strategi konvergensi (Harnecker, 491). Pendeknya, kita butuh mengelaborasi suatu program yang menggabungkan kepentingan dari mereka semua yang menjadi korban neoliberalisme. Platform ini akan menghadang perkembangan proyek neoliberal dan menawarkan alternatif kongkrit, seperti program anti-kelaparan yang diformulasikan oleh Presiden Brasil, Lula.

Bagaimana Mengatasi Rintangan dalam Aturan Sistem Demokratik Saat Ini

Kita harus memahami, betapa rapuhnya demokrasi di Amerika Latin. Rejim-rejim ini berada dalam batasan-batasan atau demokrasi "pengawasan," dimana keputusan penting tidak diadopsi oleh kongres tapi, oleh entitas yang lepas dari kontrolnya: agen keuangan internasional besar (IMF, WB), bank sentral, dan badan keamanan nasional.

Kini semakin tampak bahwa kelas penguasa lebih dapat mentolerasi kemenangan kandidat kiri, karena posisi mereka semakin buruk bila hendak memodifikasi tatanan yang ada. Untuk mengatasi batasan-batasan ini, ide Simon Bolivar tentang pengartikulasian kepentingan bersama negeri-negeri kita semakin mungkin diterapkan. Kita tidak mencapai banyak bila terisolasi, bila bersatu kita membuat negeri-negeri kuat menghormati kita dan kita dapat menemukan solusi ekonomi, politik, dan budaya yang semakin memerdekakan kita dari mereka.

Walaupun Lula memenangkan kepresidenan dengan dukungan elektoral yang, bahkan lebih besar dibandingkan Chavez pada 1998, kita tak dapat melupakan bahwa hasil tersebut merupakan produk dari aliansi politik yang lebar, yang kini diperlukan untuk memerintah negeri itu. Partai Buruh Lula, adalah minoritas di kedua kamar Kongres, dan walaupun mengontrol sejumlah kotapraja dan pemerintahan negara bagian, ia juga minoritas dalam dewan-dewan kotapraja. Terhadap hambatan ini harus ditambahkan juga ketergantungan Brasil terhadap kapital keuangan internasional dalam tingkat yang jauh lebih besar dibanding Venezuela dan industri petroleumnya. Apakah ini berarti pemerintah sepert Lula, tak dapat berbuat apa-apa untuk menghadirkan transformasi sejati?

Kembali kepada konsep politik sebagai pembangunan kekuatan sosial untuk mengubah korelasi kekuatan saat ini sehingga hal-hal yang kini tampak tak mungkin menjadi mungkin di esok hari, masa depan pemerintah Lula sebagi besar bergantung pada kapasitas gerakan rakyat untuk mengorganisir diri dan berkembang. Mentransformasi gerakan rakyat menjadi pengelompokan yang menentukan, akan mengubah perimbangan kekuatan untuk keuntungan blok progresif. Hanya dalam bentuk inilah komitmen programatik yang diambil Lula, dapat berjalan maju. Dinamika ini secara khusus penting karena pemerintah Lula terbelah dua menjadi kekuatan yang menginginkan transformasi masyarakat dan mereka yang menyangkal keberadaan alternatif dari subordinasi terhadap kapital keuangan internasional.

Pemerintah progresif Amerika Latin harus memahami - sebagaimana saya yakin Presidente Chavez memahaminya dengan baik - bahwa tidak ada perubahan riil yang dicapai tanpa suatu sektor rakyat yang terorganisir dan terpolitisir dengan baik, yang melancarkan tekanan untuk memajukan proses dan mampu belajar dari kesalahan dan deviasi-deviasi. Harus dipahami bahwa rakyat kita harus menjadi aktor utama proses transformasi.

Memajukan Pertumbuhan Kekuatan Kiri: Peran Pemerintah Lokal

Kiri harus memperhitungkan transformasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang penting, yang muncul dalam waktu baru-baru ini di dunia. Bentuk baru dominasi kapitalis melampaui wilayah ekonomi dan negara; mereka mempenetrasi serat-serat masyarakat, dengan begitu mengubah persyaratan perjuangan. Pengaruh media komunikasi, contohnya, begitu besar sehingga mampu menarik sektor luas penduduk kepada sikap-sikap kapitalis. Akibatnya, represi semakin tak dibutuhkan dibandingkan sebelumnya, untuk menjamin reproduksi sistem yang ada. Noam Chomsky benar ketika menyatakan, propaganda dibutuhkan oleh demokrasi borjuis sebagaimana halnya represi oleh negara totaliter.

Terhadap kondisi itu, perlu ditambahkan tidak adanya kepercayaan rakyat kebanyakan terhadap politik dan politikus. Rakyat muak dengan janji-janji yang tak dapat dipenuhi dan dengan demikian hanya sekedar berpropaganda tentang masyarakat alternatif tidaklah cukup. Butuh untuk mendemonstrasikan dalam praktek-praktek sehari-hari apa yang dikhotbahkan. Ini hanya mungkin "dengan mengembangkan alternatif kerakyatan terhadap kapitalisme dengan cara membuang motif profit dan hubungan-hubungan yang dipaksakan olehnya dan menggantikannya dengan suatu logika baru yang humanistik dan didasarkan pada solidaritas dalam ruang-ruang yang dikuasai oleh kaum kiri" (Harnecker, 2001, 164-165). Dengan demikian perlu dicapai suatu tipe demokrasi "dari-bawah" yang baru.

Ellner benar saat menunjukkan bahwa saya menolak argumen kaum kiri radikal, yang memandang kontrol terhadap pemerintahan kotaparaja atau negara bagian sebagai "mengelola kapitalisme." Sebaliknya, adalah penting untuk mengambil keuntungan dari ruang-ruang lokal, karena pemerintahan kotapraja yang berada di tangan kaum kiri dapat memainkan peran penting dalam memajukan perkembangan kekuatan kiri dan melaksanakan pembangunan alternatif. Pemerintahan kotapraja harus ditransformasikan menjadi suatu percontohan yang mendemonstrasikan potensi dari proyek politik yang secara sosial berbeda.

"Pemerintahan-pemerintahan ini dapat membuka ruang-ruang yang kondusif bagi pembentukan persyaratan budaya dan politik yang memajukan otonomi organisasional masyarakat dan dalam bentuk ini bergerak menuju konstitusi diri subyek tersebut, yang merupakan basis satu-satunya dimana masyarakat sosialis baru dapat dibangun" (Harnecker, 2001, 171-172)

Saya yakin, sangat perlu untuk mengupayakan, bukan saja transformasi pemerintahan lokal yang dijalankan kaum kiri menjadi percontohan; hal yang sama berlaku bagi ruang-ruang lainnya yang dikuasai kaum kiri - komunitas pedesaan, universitas, front-front komunitas dan buruh dan mahasiswa, koperasi, stasiun radio alternatif, dsb. Lebih jauh lagi, pengalaman ini mewakili suatu medan ideal untuk menguji batasan-batasan yang diciptakan oleh kerangka neoliberal.

Penting bagi kaum kiri untuk menang, agar rakyat memahami kebutuhan untuk melampaui batasan-batasan ini. Hanya melalui pengalaman-pengalaman demikianlah, beragam aktor-aktor sosial mulai memahami bahwa untuk memperluas proyek-proyek humanistik dan berbasiskan solidaritas ini butuh mengakhiri sistem kapitalis, yang mana logika profitnya mewakili rintangan terhadap pembangunan alternatif macam apapun.

Proses Bolivarian Venezuela dan Penciptaan Suatu Subyek Revolusioner

Sehubungan dengan proses revolusioner Bolivarian (pro-Chavez) yang sedang berlangsung di Venezuela, dan perbedaan-perbedaannya dengan Partai Buruh (PT) di Brasil, adalah benar (sebagaimana dinyatakan Ellner) bahwa saya belum mengalamatkan diri saya secara spesifik kepada sektor-sektor yang tersingkirkan. Walau demikian, saya telah tunjukkan dalam berbagai wawancara bahwa Chavez telah tak mampu bergantung pada dukungan suatu gerakan buruh terorganisir yang kuat maupun partai politik yang kuat, sebagaimana halnya kasus Allende di Chile dan Lula di Brasil. Kelemahan ini membuat Chavez mencari dukungan solid Angkatan Bersenjata, satu-satunya struktur yang menjangkau seluruh negeri itu dengan pengecualian Gereja Katolik, yang jelas-jelas diidentikkan dengan kaum oposisi.

Sektor-sektor kunci dari oligarki Venezuela tak memiliki jiwa identifikasi nasional, dan ini menjelaskan deklarasi perangnya terhadap pemerintahan Chavez. Bukan berarti pemerintahan Chavez tidak seharusnya melakukan upaya gabungan untuk meraih dukungan sektor-sektor bisnis dengan suatu kebijakan kredit khusus untuk menggalakkan pengembangan mandiri, yang menjadi tujuan pemerintah.

Proyek anti-neoliberal Chavez terkandung dalam Konstitusi 1999, tapi rintangan institusional dan sosialnya begitu besar sehingga kemajuannya lamban. Barangkali, kemajuan paling signifikan dalam tahun kemarin adalah beragam jenis kampanye (dikenal sebagai Missions) di wilayah pendidikan dan kesehatan. Mission yang terbaru dinamakan "Vuelvan Caras," yang berupaya menciptakan sumber-sumber pekerjaan baru dalam model ekonomi yang humanistik dan berbasiskan solidaritas.

Saya yakin adalah penting untuk melakukan penelitian, sebagaimana dianjurkan Ellner, tentang apa makna sektor-sektor penduduk tersingkirkan terhadap proses Bolivarian dan bagaimana sikap mereka yang biasa mengharap pemberian telah ditransformasi menjadi penentu politik dan pendukung aktif perubahan. Menurut pertimbangan saya, aspek yang paling luas jangkauannya dari proses Venezuela yang dipimpin dengan sangat mahir oleh Chavez, adalah cara-cara yang digunakan untuk menciptakan suatu subyek revolusioner yang telah mempenetrasi kesadaran sektor-sektor yang terpinggirkan maupun kelas pekerja.***

Artikel ini diterjemahkan oleh Data Brainanta, dari judul asli On Leftist Strategy, dan dimuat di jurnal Science & Society, (Vol. 69, No. 2, April 2005, 142–152).


Baca selengkapnya!

2.8.08

Perdebatan Strategi Anti-Neoliberal Di Amerika Latin

Steve Ellner

Abstrak: 


Pada dekade 1990an, tiga strategi muncul di Amerika Latin dalam perjuangan melawan neoliberalisme: pendekatan Jorge Castaneda yang memberikan peran kunci pada kaum tengah (sentris); strategi yang diasosiasikan dengan Marta Harnecker yang mana kaum kiri memprioritaskan anti-neoliberalisme; dan strategi yang dibela oleh James Petras yang mana tuntutan anti-neoliberal tidak menutupi perjuangan anti-imperialisme atau anti-kapitalis. Pengalaman di Venezuela (Rafael Caldera), Argentina (Fernando de la Rua), Chile (Ricardo Lagos) dan Meksiko (Vicente Fox), di mana strategi Castaneda dipraktekkan, mendemonstrasikan bahwa tujuan-tujuan neo-liberal menjadi kabur ketika kaum tengah mendominasi koalisi yang memerintah. Kasus Hugo Chavez di Venezuela dan 'Lula' di Brasil membuktikan pengaruh kaum "borjuasi nasional," buruh terorganisir dan sektor-sektor masyarakat yang terpinggirkan dalam menentukan arah anti-neoliberal yang diambil pemerintah. Bertentangan dengan pemikiran Petras, tokoh pemimpin dan organisasi non kiri sangatlah penting dalam kemenangan Chavez dan Lula dan dalam respon mereka terhadap tantangan awal.

PERISTIWA baru-baru ini di Amerika Latin, mematahkan klaim neoliberal bahwa mengurangi radius aktivitas negara akan memperdalam demokrasi dan mengakibatkan peningkatan penghasilan secara tetap bagi baik kaum kaya maupun miskin. Sepanjang dekade 1990an, hampir semua presiden Amerika Latin menerapkan formula-formula neoliberal, tapi hasilnya dalam front politik maupun ekonomi terbukti mengecewakan. Sementara ekonomi stagnan dan polarisasi sosial semakin dalam, kekuasaan eksekutif yang eksesif, dikenal sebagai hyperpresidensialisme, menyebabkan beberapa ilmuwan politik mengarakterkan sistem politik tersebut hanya sebagai hampir demokratik (O'Donnell, 1994; Oxhorn dan Ducatenzeiler, 1998). Menjelang akhir 1990an, gerakan anti-neoliberal yang mulai muncul berhasil mencatat beberapa kemenangan dalam pemilu presidensial. Pada dekade setelahnya, anti-neoliberalisme melancarkan ofensif, sebagaimana dibuktikan oleh diskursus presiden berhaluan kiri Hugo Chavez (Venezuela) yang dengan keras anti-neoliberal, dan kemenangan pemilu presiden Luiz Inacio Lula da Silva (Brasil), Lucio Gutierrez (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina).

Kebangkrutan neoliberalisme telah mendorong kaum anti-neoliberal untuk mengembangkan strategi politiknya sendiri. Muncullah tiga proposal: pendekatan Kiri-Tengah yang diajukan oleh politikus-akademisi Meksiko Jorge Castaneda, yang mana kaum kiri meminang "kaum tengah" agar menjauh dari kanan dengan berbasiskan program alternatif terhadap neo-liberalisme; strategi yang diasosiasikan dengan teoretikus Marxis dari Chile Marta Harnecker, yang mana kaum kiri memprioritaskan anti-neoliberalisme, sementara menghindari baik tuntutan-tuntutan yang lebih kiri maupun aliansi dengan kaum kanan yang akan secara substansial mencairkan intisari anti-neoliberalisme; dan strategi yang lebih kiri yang dibela oleh James Petras yang mana tuntutan anti-neoliberal dikedepankan tapi tidak menutupi perjuangan anti-imperialis atau anti-kapitalis.

Yang menjadi dasar perdebatan tiga strategi ini adalah tantangan yang dihadapi kaum kiri dalam memformulasikan tuntutan dan tawaran model dalam era globalisasi. Dalam dua dekade terakhir, isu-isu seperti privatisasi, nasionalisasi, tarif proteksi, dan investasi asing di Amerika Latin telah menjadi lebih kompleks dari pada masa lalu, ketika partai-partai sosial demokratik dan kiri masih mengusung peningkatan strategi-strategi kontrol negara terhadap ekonomi. Sedikit kaum Kiri di Amerika Latin yang mengutuk privatisasi atau modal asing per se, dan tak dapat lagi ditemukan pembela autarki, meskipun beberapa kaum kanan menyebut kaum kiri sebagai "dinosaurus" atas tuduhan mengusung model yang sudah usang itu.1 Menghadapi latar baru yang kompleks ini, tidaklah mudah menentukan musuh yang dijadikan target, memformulasikan slogan dan mendefinisikan strategi. Maka, contohnya, para pimpinan anti-neoliberal di Amerika Latin telah gagal menghubungkan tuntutan yang muncul dari berbagai perjuangan seputar privatisasi.2 Dibandingkan masa lalu, kaum kiri Amerika Latin lebih dituntut untuk memperhitungkan mobilitas modal multinasional dan menangani berbagai macam isu yang tak selalu dapat dibingkai dalam gambaran hitam dan putih.

Artikel ini bertujuan memberikan pandangan umum terhadap formulasi yang dikedepankan oleh Castaneda, Harnecker dan Petras. Posisi-posisi ini mewakili titik-titik acuan utama dalam perdebatan tentang strategi kiri di Amerika Latin. Sebagai tambahan, ketiga penggagas strategi ini cukup dikenal di antara kaum kiri dan lingkaran intelektual di Amerika Latin, karena merupakan penulis yang produktif dan memiliki hubungan erat selama tahunan dengan pimpinan politik dan sosial di sisi kiri spektrum politik.

Artikel ini berupaya mengisi celah yang kosong dalam literatur yang ada. Meskipun formulasi-formulasi ini penting, tidak ada tulisan neoliberalisme akademik maupun jurnalistik yang secara jelas mendefinisikan dan membedakan ketiganya, tidak pula menghubungkannya dengan kebangkitan gerakan dan pemerintahan anti-neoliberal. Artikel ini juga mengeksplorasi beberapa implikasi kelas dari tiga tesis ini, terutama dengan meninjau konsep "borjuasi progresif" dan "kelas terpinggirkan," yang keduanya sangat bersandar pada strategi anti-neoliberal.

STRATEGI KIRI-TENGAH

1. Argumen untuk Aliansi Lebar

Selama satu dekade sebelum penunjukkannya sebagai Menteri Luar Negeri Meksiko pada 2000, Jorge Castaneda menggunakan strategi anti-neoliberal untuk Amerika Latin. Dalam karyanya yang terkenal Utopia Tak Bersenjata: Kaum Kiri Amerika Latin setelah Perang Dingin, Castaneda (1993) meletakkan basis bagi proposalnya di kemudian hari tentang aliansi kiri-tengah dengan memformulasikan suatu program untuk mencapai tujuan keadilan sosial dan nasionalis, tapi dengan sepenuhnya dan cermat memperhitungkan paksaan globalisasi. Langkahnya menghindari reformasi-reformasi yang lebih berjangkauan luas, memungkinkannya menarik sektor-sektor di sisi kanannnya ke dalam aliansi. Castaneda mungkin menggebuki kuda mati dalam bagian awal Utopia Tak Bersenjata - suatu serangan terhadap gerakan gerilyawan Fidelista yang sudah musnah - tapi dalam bagian kedua ia mengedepankan proposal kongkrit bagi suatu pendekatan baru untuk merevitalisasi kaum kiri baru di Amerika Latin. Proposal utamanya terdiri dari suatu model neo-Macan Asia, di mana negara memberikan prioritas bantuan khusus kepada sektor-sektor ekspor dan menghindari favoritisme, tapi, berbeda dengan pemerintahan seperti Korea Selatan, mengajukan suatu "piagam sosial ... dan piagam lingkungan hidup yang menciptakan keharmonisan ke atas, bukannya ke bawah" (Castaneda, 1994, 317). Setelahnya, Castaneda berpisah jalan dengan pengusung standard kiri Cuauhtemoc Cardenas, untuk mendukung pencalonan presiden Vicente Fox dan kemudian naik menjadi Menteri Luar Negeri. Bagi banyak pihak, peralihannya ini mempertanyakan kredibilitas Castaneda sebagai seorang kiri yang bona fide.

Walau demikian, Castaneda lebih maju dari "Jalan Ketiga" a la Blair-Clinton, karena proposalnya untuk globalisasi dirancang untuk mereformasi dan memanusiawikan struktur kapitalis yang ada, tapi tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang baru. Castaneda menjadikan modal spekulatif internasional sebagai target dengan menyerukan suatu pajak khusus untuk menghukum investor yang tiba-tiba menarik diri dari suatu negeri, sejalan dengan apa yang dengan sia-sia diusulkan oleh Francois Mitterand dan dijadikan inisiatif oleh Augusto Pinochet (di antara sekian orang lainnya) dalam skala rendah di Chile.

Bermula pada 1994, Castaneda mengajukan suatu strategi aliansi kiri-tengah di penjuru benua itu dan mempertemukan sederetan panjang aktor politik dan intelektual dalam berbagai konferensi untuk mengeksplorasi kemungkinan pendekatannya ini dan mengerjakan perinciannya. Sebagai kelanjutannya, "Konsensus Buenos Aires" (suatu tantangan terhadap "Konsensus Washington" yang neoliberal) dirancang untuk memperkuat demokrasi di Amerika Latin dengan mengkombinasikan penolakan institusi pusat tersebut terhadap populisme yang tak bertanggungjawab dengan kepedulian sosial kaum kiri secara luas.

Pernyataan utama Konsesus itu, dirancang oleh Castaneda dan berjudulkan "Setelah Neoliberalisme: Suatu Jalan Baru," menekankan "misi-misi" kaum kiri dan tengah yang saling melengkapi. Yang kiri adalah untuk "memerangi ketaksamaan," sementara yang kanan adalah untuk "mengarahkan non-konformitas kelas menengah dan memperluas sistem penghargaan (merit system) di seluruh kehidupan sosial." Dokumen tersebut menyerukan penguatan (solidification) kekuasaan negara di hadapan tendensi globalisasi dan kebijakan neoliberal yang mengikisnya. Pendanaan proses semacam ini, yang menyertakan program-program konprehensif bagi sektor-sektor yang tak diistimewakan, akan diambil dari penerapan secara ketat pajak penjualan, bukannya pajak penghasilan progresif yang lebih sulit untuk diterapkan. Untuk memperkuat pembelaannya, Castaneda meniupkan realisme: "Kalau bertindak terlalu jauh, mereka [para kapitalis] hanya akan angkat kaki. Yang akan terjadi adalah pelarian modal, dan pelarian pemodal - mereka akan pergi dan hidup di tempat lain; atau mereka akan menggulingkan pemerintahan, yang ini mereka mampu lakukan" (Castaneda, 2001, 32).

Castaneda mendesak kaum tengah untuk memutus hubungan eratnya dengan kaum kanan yang bersandar pada sekutu dari dalam dan luar negeri yang jauh lebih kuat dari mereka. Dengan memutus hubungan dengan kaum kanan, tersedia dua pilihan bagi kaum tengah: mengajukan kandidatnya sendiri atau beraliansi dengan kiri. Castaneda yakin bahwa pilihan pertama ditakdirkan gagal dengan berlakunya sistem elektoral dua putaran di seluruh benua tersebut, sehingga pembentukan aliansi menjadi suatu keharusan politik.

Bagi Castaneda, anti-neoliberalisme kadang kala cukup terlaksana oleh aksi-aksi mereka yang mengaku berada dalam kubu pro-neoliberal. Dengan begitu Castaneda memuji Presiden Brasil berhaluan tengah Fernando Henrique Cardoso, karena menaikkan tarif untuk melindungi industri nasional dan ia berharap bahwa "dengan mencapai tahap yang sungguh-sungguh redistributif dalam masa jabatannya" ia akan berpisah dengan kaum kanan dan memeluk strategi kiri-tengah. Castaneda juga berargumen bahwa "tema sentral kaum kiri," termasuk perjuangan melawan ketaksamaan dan kemiskinan dan pandangan bahwa model neoliberal sudah berlebihan, telah secara umum semakin diterima bahkan di kalangan Bank Dunia dan lingkaran pimpinan negara-negara berkembang (Castaneda, 1996, 30-32).

Strategi Castaneda melampaui penyatuan partai-partai politik progresif dan moderat karena juga mencoba merangkul kaum borjuis "nasional" atau "progresif". Castaneda menunjukkan bahwa gerakan Komunis sesungguhnya telah mengedepankan pendekatan ini pada tahun 1930an dalam bentuk front kerakyatan (popular frontism), yang di Latin Amerika dimaksudkan untuk menarik kaum yang dicap sebagai "borjuasi nasional progresif" (Ellner, 1988, 25-31). Menurut Castaneda, sebagai akibat revolusi Kuba dan gerakan gerilya pada 1960an, front kerakyatan digantikan oleh tujuan-tujuan yang lebih sayap kiri. Sebagai kelanjutannya, ofensif kanan internasional, yang dihantarkan oleh pemerintahan Reagan dan Thatcher pada 1980an, semakin mempersempit kemungkinan menarik sektor-sektor moderat ke dalam aliansi-aliansi yang diinspirasikan oleh kaum kiri (Castaneda, 1993, 23, 72).

Pendeknya, strategi kiri-tengah Castaneda mencoba merevitalisasi aliansi-aliansi berbasis lebar yang meniru gerakan Komunis tahun 1930an dan 1940an, yang di Amerika Latin dirancang untuk memenangkan dukungan kaum borjuasi nasional. Sesungguhnya, sektor ini adalah yang paling diuntungkan dari anti-neoliberalisme. Mereka tak hanya diuntungkan oleh tarif tinggi untuk meminimalisir import, tapi juga oleh subsidi yang ditujukan untuk pengembangan industri. Maka secara relatif kesuksesan atau kegagalan pemerintahan kiri-tengah merupakan ukuran bagi potensi politik kaum borjuasi nasional "progresif", dan sesungguhnya membantu mengindikasikan apakah formasi kelas tersebut sebenarnya ada.

2. Lapangan Ujian bagi Strategi Kiri-Tengah

Castaneda menunjukkan bahwa walaupun kinerja elektoral kaum kiri secara keseluruhan sejak 1980an telah mengecewakan, strategi kiri-tengah mencatat kesuksesan elektoral yang dramatis: tiga kemenangan calon kandidat Concertacion di Chile (termasuk pimpinan sosialis Ricardo Lagos pada 2000), terpilihnya Rafael Caldera di Venezuela pada 1993; kemenangan Fernando de la Rua di Argentina pada 1999, dan terpilihnya Vicente Fox di Mexico pada 2000. Kini, paska perseteruan ekonomi dan politik dalam pemerintahan de la Rua yang berujung pada pengunduran-dirinya pada Desember 2001, dan pengunduran diri mendadak oleh Castaneda dari jabatan Menteri Luar Negeri setahun kemudian, dibutuhkan suatu evaluasi terhadap strategi itu.

Di Meksiko, Castaneda meyakinkan Fox untuk menerima strategi kiri-tengahnya sejak awal kampanye presiden. Sementara di satu sisi menolak usulan kaum Kiri untuk menggelar pemilihan awal (primaries) untuk menominasikan kandidat bersama, Fox menyerukan "aliansi warga" yang memotong spektrum-spektrum politik. Ini, akibatnya, berarti memposisikan diri sebagai pembela kepentingan rakyat dan menjauhkan diri dari kaum Kanan dengan menarik individu-individu Kiri ke dalam kubunya. Dalam kampanyenya, Fox menunjukkan penghormatan terhadap memori korban mahasiswa dalam pembantaian Olimpiade 1968. Ia juga berkunjung ke Kuba dan bersilaturahmi dengan Fidel. Seakan-akan peralihan sikap ini tidak cukup meyakinkan kaum Kiri tentang niat baiknya, Fox yang dikenal anti-buruh berikrar untuk mengakui otonomi terbatas bagi gerilyawan Zapatista dalam wilayah yang mereka kontrol, dan menelan sentimen anti-serikat-buruhnya dengan memuji gerakan serikat buruh independen Meksiko. Menyusul terpilihnya ia, Fox menawarkan dua hingga tiga jabatan kabinet penting kepada Partai Revolusioner Demokratik (PRD) yang mana Cardenas merupakan anggotanya, namun tawaran ini ditolak. Castaneda dengan sengit mengkritik PRD yang mencibir aliansi kiri-tengah, bahkan meskipun ia mengakui bahwa Fox tak hendak berpisah dengan "paradigma pasar yang berdefinisi luas, yang secara khusus tidak saya suka ... tapi harus saya terima" (Castaneda, 2001, 32).

Dengan kehadiran kaum kiri yang lemah dan tak terorganisir dalam kubu Fox dan komitmen neoliberal sang Presiden, kasus Meksiko dapat dipandang sebagai karikatur model kiri-tengah sebagaimana awalnya menjadi visi Castaneda. Di Argentina dan Chile, perimbangan kekuasaan antara kiri dan tengah cukup jelas dengan keduanya saling berkompetisi melalui persyaratan sama dalam pemilihan awal untuk memilih kandidat presiden. Dalam kedua negeri itu pemenang kontes tersebut meraih kemenangan dalam pemilihan presiden. Namun meskipun bersama-sama menyandang status sebagai mitra kunci dalam aliansi yang berhasil, kaum kiri di Argentina dan Chile gagal menekankan isu-isu yang berhubungan dengan kebijakan neoliberal, dan akibatnya kaum kiri kehilangan kredibilitasnya.

Di Argentina, front kiri FREPASO bersatu dengan Partai Radikal yang moderat pada Agustus 1997 untuk membentuk "Aliansi," yang hanya beberapa bulan kemudian menyapu pemilihan kongres. Partai Radikal dan FREPASO sepertinya memiliki banyak kesamaan. Mereka bersama-sama mengutuk korupsi dan pelanggaran otonomi yudisial oleh eksekutif dalam pemerintahan Carlos Menem. Mereka juga mengkritik hubungan khusus dengan Amerika Serikat yang dibina oleh Menem lewat mengorbankan rencana-rencana integrasi ekonomi dengan negeri-negeri tetangga Argentina. Sebagai tambahan, dalam beberapa tahun belakangan kedua organisasi politik tersebut menolak pendekatan terapi kejut (shock treatment) Menem dalam kebijakan ekonomi. Walau demikian, Aliansi segera mengumumkan dukungannya terhadap Rencana Konvertibilitas oleh Menem, yang berlaku sejak 1991, yang menjamin nilai tukar satu-satu dolar-peso, sehingga mendolarisasi ekonomi. Menolak konvertibilitas akan memicu pelarian mata uang peso, tapi mendukungnya akan membatasi potensi intervensi pemerintahan Aliansi mana pun. Presiden de la Rua, yang merupakan sayap konservatif Partai Radikal, bukan lah kandidat yang akan mengubah jalan neoliberal yang diinisiatifkan Menem. Dengan membandingkan kebijakan pengetatan yang dibela de la Rua dalam kampanye presidennya dengan kebijakan lebih populis yang diusung lawan utamanya, Washington Post bertepatan dengan Wall Street Jurnal dengan menggambarkan kemenangan elektoralnya sebagai "berita baik" (Washington Post, 1999, A-30).

FREPASO gagal memutuskan hubungan dengan kebijakan ekonomi de la Rua, bahkan ini tidak dilakukan ketika ia mengangkat pengusung standar neoliberalisme, Domingo Cavallo, sebagai Menteri Keuangan pada awal 2001. FREPASO memang melepaskan dua posisi Wakil Presiden, tapi atas dasar isu korupsi, bukannya kebijakan ekonomi. Dengan memperparah keadaan, wakil FREPASO lainnya bertahan di pemerintahan, sehingga meninggalkan kesan ke-inkoheren-an organisasional.

Di Chile, prospek untuk perubahan, setidaknya dalam front politik, terlihat lebih menjanjikan. Di sana, kaum Sosial dan Demokrat Kristen menyampingkan permusuhan lama untuk membentuk aliansi Concertacion, yang tak hanya menjadi ujung tombak perjuangan menurunkan Pinochet, tapi juga setelahnya memenangkan tiga pemilu presiden. Ricardo Lagos dari Partai Sosialis, setelah menderita kekalahan di tangan Eduardo Frei dari Partai Demokrat dalam pemilihan awal yang digelar pada 1993, meraih kemenangan pada Januari 2000. Namun yang mempersatukan Concertacion bukanlah anti-neoliberalisme atau kebijakan ekonomi secara umum, melainkan komitmen untuk membersihkan warisan politik Pinochet yang termuat dalam Konstitusi 1980, yang membengkokkan kekuasaan pengambilan keputusan untuk keuntungan kaum kanan. Begitu besarnya kehendak partai-partai Concertacion untuk meninggalkan masa lalu, sehingga mereka mencampurkan penghapusan sisa-sisa unsur yang tak demokratik dengan memaafkan dan melupakan kejahatan yang dilakukan pada masa Pinochet berkuasa. Maka, contohnya, Lagos tidak secara tegas mengkritik solidaritas Presiden Frei dengan Pinochet yang saat itu sedang dipenjara di Inggris, sehingga menunjukkan sikap yang, menurut kata-kata seorang analis politik, "berbolak-balik (oscillate) antara ambiguitas dan oportunisme" (Moulian, 1999, 17).

Masih harus dilihat apakah kaum Sosialis dan Demokrat Kristen memiliki cukup persamaan untuk mempertahankan koalisi, ketika Pinochet dan prerogatif (hak istimewa) Konstitusi 1980 menjadi bab yang ditutup dalam sejarah bangsa itu. Suatu sektor dalam Partai Sosialis yang menyerukan penolakan privatisasi yang diperintahkan Frei, menyalahkan aliansi karena memfasilitasi perkembangan elektoral kaum kanan dan bertanggung jawab terhadap hilangnya identitas kaum Kiri. Bahkan lebih signifikan lagi adalah pergeseran Partai Sosialis ke tengah dalam hal kebijakan ekonomi. Maka, contohnya, antusiasme Presiden Lagos terhadap tergabungnya Chile ke dalam NAFTA menutupi minatnya terhadap usulan Lula tentang integrasi Amerika Selatan yang bertujuan menegosiasikan hubungan komersial dengan Amerika Serikat dari posisi yang kuat. Kaum kiri Chile pada khususnya memandang kritis saran Lagos bahwa pajak nilai tambah (value added tax) yang lebih tinggi atau privatisasi akan mengkompensasikan menurunnya penghasilan akibat reduksi tarif yang diterapkan NAFTA.

Pendeknya, di mana aliansi kiri-tengah mencapai kekuasaan di Amerika Latin, tujuan-tujuan anti-neoliberal telah tersubordinasikan oleh tujuan lainnya, seperti perjuangan melawan korupsi, penerapan efektif program-program sosial, dan demokratisasi. Memang, para anggota koalisi yang Kiri sendiri menurunkan atau sama sekali meninggalkan anti-neoliberalisme dan berkonsentrasi pada tujuan-tujuan non-ekonomi ini. Maka (dalam contoh strategi kiri-tengah lainnya) Gerakan menuju Sosialisme (MAS) di Venezuela mendukung kandidat presiden Rafael Caldera pada 1993 sebagian besar karena ia membela anti-neoliberalisme, namun dua tahun menjabat presiden ia membalikkannya dan memeluk erat program neoliberal. MAS bukan hanya mempertahankan dukungannya terhadap pemerintahannya, tapi memasuki kabinetnya dan memainkan peran penting dalam formulasi legislasi ekonomi. Dalam hal serupa, ketika FREPASO di Argentina melepaskan posisi wapres dalam pemerintahan de la Rua, mereka melakukannya atas isu korupsi dan bukan atas perbedaan dalam kebijakan neoliberal. Pendeknya, bukannya memenangkan kaum tengah untuk secara terbuka mengambil posisi anti-neoliberal, aliansi kiri-tengah memberikan efek terbalik dengan mendomestifikasi komponen-komponen kiri dalam area kebijakan ekonomi.

Dalam beragam kasus yang didiskusikan di atas di mana aliansi kiri-tengah berkuasa, kaum kiri berada di belakang kaum tengah. Presiden De la Rua (Argentina), Patricio Aylwin (Chile), Eduardo Frei (Chile), Caldera (Venezuela) dan Fox (Meksiko) merupakan non-kiri yang bergantung pada dukungan kaum kiri dalam perlombaan yang relatif tipis. Peran kaum kiri yang tersubordinasi mengingatkan pada front kerakyatan dan pemerintahan "front kerakyatan yang diperluas" pada tahun 1930an dan 1940an yang mana Partai Komunis tidak disertakan dalam posisi-posisi kementerian yang penting. Saat itu, faksi-faksi kiri dalam gerakan Komunis berargumen bahwa tujuan jangka panjang dikorbankan untuk hal-hal persatuan yang terdiri dari reformasi-reformasi moderat (Trotsky, 1977)3. Kesalahan kaum kiri dalam mencapai posisi kepemimpinan teratas, khususnya dalam memformulasikan kebijakan ekonomi - dalam pemerintahan yang terinspirasikan oleh front kerakyatan dan strategi kiri-tengah Casteneda - terlihat kontras dengan Venezuela dan Brasil (saat terpilihnya Lula), yang pada 1998 dan 2002 memilih pemerintahan yang benar-benar anti-neoliberal dengan orientasi kiri. Lebih jauh lagi, sebagaimana halnya front kerakyatan mendapat kritik dari faksi-faksi kiri, keampuhan pendekatan kiri-tengah Casteneda juga dipertanyakan oleh Marta Harnecker, James Petras, dan lainnya yang mengedepankan strategi alternatif dengan menekankan muatan kiri anti-neoliberalisme, sebagaimana didiskusikan di bawah ini.

3. Strategi Kiri-Tengah: Penghindaran Ideologis dan Programatik

Dalam jangka pendek, strategi kiri-tengah terbukti instrumental dalam inisiatif konsolidasi demokratik di Amerika Latin. Turunnya Pinochet dari kekuasaan dan hal serupa terhadap PRI [A] di Mexico tidak akan terjadi bila mereka mengambil langkah lain. Tapi dalam jangka panjang, koalisi strategi Castaneda hanya memperparah masalah utama yang dihadapi demokrasi-demokrasi di Amerika Latin dalam era neoliberalisme: semakin kaburnya perbedaan ideologi dan programatik. Benar, Castaneda merancang serangkaian proposal inovatif yang anti neoliberal untuk Konsensus Buenos Aires dengan tujuan mengangkat polarisasi penting yang mempertentangkan kaum neo-liberal melawan anti-neoliberal. Kesalahan fatal pendekatan Castaneda, walau begitu, adalah bahwa partai-partai tengah yang ia upayakan untuk memihaknya tidak sedikitpun menuruti posisi anti-neoliberal yang jelas. Partai Demokratik Kristen di Chile, contohnya, secara historik mendorong program-program sosial termasuk legislasi perburuhan saat ini yang begitu ditentang oleh kaum kanan, namun mereka segera berhenti ketika harus memutuskan hubungan dengan orientasi ekonomi yang didirikan selama masa Pinochet. Partai Radikal Argentina juga gagal secara tegas berpisah dengan kebijakan ekonomi ortodoks, terlepas dari kritiknya terhadap pendekatan terapi kejut (shock therapy) Menem. Kebijakan ekonomi Vicente Fox bahkan lebih jauh dari kubu anti-neoliberal. Kaum kiri, dengan mendukung pemerintahan yang plin-plan, turut menciptakan kesinisan, keputus-asaan dan golput (Riquelme, 1999, 33) atau reaksi berlebihan dalam bentuk kelompok kiri garis keras yang dengan simplistik mengkategorikan semua aktor-aktor politik sebagai kawan atau lawan.

Tidak adanya definisi ideologis dan programatik yang jelas pada umumnya menjadi suatu tanggung jawab besar bagi demokrasi Amerika Latin yang masih "tak terkonsolidasi", dan pada khususnya merongrong upaya mendemokratiskan partai-partai politik. Kelemahan ini telah dibuktikan oleh pemilihan kandidat dalam partai-partai politik, yang menyediakan kesempatan untuk membicarakan perbedaan internal dan merangsang perdebatan internal di antara anggota. Anti-neoliberalisme menantikan definisinya yang tepat, dan pemilihan kandidat dalam partai mewakili area ideal untuk mencapai tujuan ini.

Ketika pada tahun 1980an partai-partai seperti MAS di Venezuela dan Partai Sosialis di Chile adalah di antara yang pertama menyelenggarakan pemilihan untuk menunjuk pengurus partai, dan kemudian "melegalkan" aliran-aliran opini internal, persaingan internal berpusat pada perbedaan ideologi. Dalam upayanya mewakili kandidat presiden dari MAS pada pemilu 1978 dan 1983, teoretikus Teodoro Petkoff berargumen bahwa ia berada dalam posisi lebih baik dibandingkan saingan utamanya - yang juga seorang sosialis tapi bukan anggota partai - untuk berkontribusi terhadap solidifikasi ideologi MAS (Ellner, 1988, 117)

Ideologi sangat memenuhi pikiran anggota MAS di semua tingkatan dan memang merupakan dasar dari diskusi internal partai. Terlepas dari kepeloporan MAS dalam reformasi demokrasi dalam partai, politik internal organisasi tersebut pada tahun 1990an sebagian besar tereduksi menjadi konflik personal tanpa perdebatan seputar isu-isu yang substantif. Akibatnya, partai tersebut kehilangan minat menyelenggarakan pemilihan awal untuk nominasi kandidat di semua tingkatan. Sejak awal kampanye presidensial Hugo Chavez pada 1998, para MASistas tidak siap merespon isu-isu substansial yang mengemuka. Luar biasanya, tidak satu pun pimpinan nasional MAS terlihat mendukung pencalonan Chavez sebagai presiden hingga kemudian tekanan dari bawah meyakinkan mereka untuk turut ikut barisan. Akibatnya, partai tersebut mengalami perpecahan jadi dua sebanyak dua kali (pada 1998 dan 2001) dan pada saat kedua kalinya tidak ada satu pun pimpinan nasional veteran MAS yang bergabung dengan kelompok pecahan yang pro-Chavez. Pengalaman ini mendemonstrasikan bahwa pemilihan awal dalam partai dan praktek demokrasi internal lainnya di tengah absennya perdebatan ideologi dan programatik hanya akan menjadi praktek dungu. Kegagalan partai-partai yang condong ke kiri seperti MAS untuk mengambil posisi yang jelas terhadap neoliberalisme - meskipun mereka mempelopori upaya-upaya demokratisasi internal - membuktikan tantangan khusus yang dihadapi kaum kiri dunia ketiga dalam memformulasikan model anti-neoliberal.

Argumen "menjalankan-sendiri" yang diusung Petkoff dan berpihak pada kejelasan ideologi dan programatik, dapat dipratekkan dalam anti-neoliberalisme Amerika Latin pada kurun waktu saat ini. Sebagian besar gerakan bersentimen anti-neoliberal, tapi tak memiliki kespesifikan dalam hal strategi dan tujuan. Mereka yang menentang pendekatan kiri-tengah Castaneda berargumen bahwa koalisi anti-neoliberal perlu untuk menjadi lebih anti-neoliberal, dan lebih selektif dalam menentukan siapa yang masuk, dibandingkan apa yang diadvokasikan oleh penulis Meksiko tersebut. Pendekatan semacam itu awalnya tidak begitu sukses dalam pemungutan suara dibandingkan strategi Castaneda yang berbuah di Chile, Venezuela (dengan terpilihnya Rafael Caldera pada 1993), dan Argentina. Tapi kegagalan aliansi kiri-tengah dalam menentang kebijakan ekonomi neoliberal, sebagaimana didiskusikan di atas, membuktikan perlunya pendekatan garis keras yang menghindari kompromi dalam isu-isu yang berhubungan dengan neoliberalisme. Hanya dalam bentuk inilah gerakan anti-neoliberal dapat mendemonstrasikan kepada para warga umumnya bahwa terdapat alternatif otentik terhadap neoliberalisme, selain model tersentralisir dan bertumpukan negara (statist) yang ditawarkan kaum kiri tradisional. Yang sama pentingnya adalah, kebijakan pembangunan aliansi yang lebih selektif akan mengharuskan kaum anti-neoliberal sendiri untuk menghasilkan strategi jangka-panjang dan mendefinisikan tujuan-tujuan mereka agar tak sekedar berupa sketsa-sketsa kasar.

ANTI-NEOLIBERALISME DAN ANTI-IMPERIALISME

1. Marta Harnecker vs. James Petras

Kaum kiri yang mengkritik bahwa aliansi kiri-tengah secara bias memihak kaum tengah berargumen bahwa perjuangan anti-neoliberal merupakan hal kunci dalam agenda politik dan tak dapat dicairkan demi memenangkan pemilu. Anti-neoliberal garis keras dibagi menjadi dua aliran. Satu, yang teoretikus terdepannya adalah seseorang yang sejak lama menjadi warga Kuba, Marta Harnecker, mengusulkan pengonsentrasian upaya-upaya perjuangan melawan neoliberalisme hingga keadaan internasional bergeser untuk keuntungan kekuatan-kekuatan kerakyatan. Posisi kedua, dibela oleh James Petras, bersikap lebih optimis dalam mengombinasikan anti-neoliberalisme dengan perjuangan-perjuangan yang lebih berjangkauan luas seperti anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.

Posisi Harnecker pada awalnya diformulasikan oleh pimpinan Sandinista dalam Forum Sao Paulo pada 1990 di awal kekalahan elektoral mereka di Nikaragua dan terjadinya berbagai gangguan dalam blok sosialis Eropa Timur. Para Sandinista berargumen bahwa "menutupnya siklus revolusi-revolusi anti-imperialis" memaksa kaum kiri untuk berkonsentrasi pada tujuan moderat berupa anti-neoliberalisme. Harnecker mengingat ketika para Sandinista pertama kali mempresentesikan tesis ini "kami semua tergetar ... tapi itu kini diterima oleh semakin banyak kaum kiri ... yang memahami sulitnya menang dalam periode ultrakonservatif ini" (Harnecker, 1999, 65). Harnecker menambahkan bahwa posisi dominan yang dinikmati oleh kekuatan konservatif pada tingkat internasional menutup kemungkinan bagi kemenangan kaum kiri melalui perjuangan bersenjata, seperti yang sedang dijalankan di Kolumbia.

Harnecker mengusulkan kepada kaum kiri Amerika Latin untuk mengutamakan kontes-kontes elektoral lokal, sementara itu ia menolak argumen para "ultra-kiri" bahwa kontrol terhadap pemerintahan kotapraja dan negara-bagian sama saja dengan "mengurusi kapitalisme." Harnecker menganggap pertempuran-pertempuran ini sebagai bagian dari perjuangan anti-neoliberal dan suatu kesempatan bagi kaum kiri untuk mendemonstrasikan kemungkinan alternatif terhadap neoliberalisme (NACLA, 1995). Secara spesifik, walikota dan gubernur yang berhaluan kiri sangatlah ideal untuk mereorganisir struktur-struktur publik agar mencapai efisiensi (slogan neoliberal) dan pada saat yang sama menghindari PHK massal yang diasosiasikan sebagai neoliberalisme dengan mensponsori program-program pelatihan kembali (retraining programs). Harnecker menambahkan bahwa pencapaian dua tujuan ini ketika berkuasa disulitkan oleh partai-partai kiri yang melancarkan tekanan dalam menuntut lapangan pekerjaan, sementara melupakan keharusan-keharusan efisiensi (Harnecker, 1995, 69-117).

Kaum kiri telah berhasil menang dalam pemilihan di berbagai ibukota dan kota penting di El Salvador, Nikaragua, Venezuela, Meksiko, Brasil dan Uruguay tanpa bergantung pada pendekatan kiri-tengah Castaneda. Di negeri-negeri ini kaum kiri tak mengikutsertakan kaum tengah dengan meniru aliansi-aliansi antar partai kiri (seperti kasus Front Lebar di Uruguay dan Front Farabundo Marti di El Salvador) dengan menyatukan diri dalam bentuk suatu "front". Harnecker tidak melarang aliansi-aliansi yang menyertakan kaum non-kiri dan justru mengkritik kaum "ultra kiri" karena mengusir mereka (kaum non-kiri, pen.). Contoh terdepan formasi aliansi yang sukses sebagaimana digarisbawahi oleh Harnecker adalah persetujuan yang dicapai di Brasil pada 2002 yang mana Partai Pekerja yang berhaluan kiri memilih partai di sisi kanannya sebagai mitra junior.

Penulis kiri veteran James Petras, membela strategi lain yang mana perjuangan anti-neoliberal membangkitkan formulasi tuntutan dan slogan anti-imperialis dan bahkan anti-kapitalis. Petras menunjukkan bahwa akibat dari proses ini, "perjuangan [di Amerika Latin] tidak hanya meningkat secara kuantitas tapi juga semakin teradikalisir" dan telah "sekali lagi menempatkan sosialisme dalam agenda" (Petras, 2003; Petras, 2002b). Dinamika radikalisasi yang melampaui anti-neoliberalisme ini mengingatkan kita pada karya Trotsky Program Transisional untuk Revolusi Sosialis, yang mengusulkan suatu program minimum yang berfungsi sebagai "jembatan antara tuntutan saat ini dan program-program sosialis dalam revolusi." Dalam karya yang sama, Trotsky menyerang Komintern karena memisahkan program-program minimum dan maksimum dan menggunakan kata sosialisme "hanya untuk menguliahi pada hari libur" (Trotsky, 1974). Kritik Trotsky yang kiri menyerupai kritikan kubu Petras terhadap formulasi Harnecker yang mengesampingkan tujuan-tujuan jangka panjang untuk memprioritaskan tujuan-tujuan anti-neoliberal.

Dalam menekankan tujuan-tujuan yang lebih kiri, Petras mengklaim bahwa gerakan sosial radikal yang tumbuh subur di Amerika Latin (terutama di pedesaan dalam negeri-negeri seperti Meksiko, Colombia, Brasil dan Bolivia), sejalan dengan beberapa partai-partai politik penting seperti Movimiento al Socialismo di Bolivia (dipimpin oleh Evo Morales), telah bergerak ke arah anti-imperialis (Petras, 1999, 13-57; Veltmeyer dan Petras, 2000, 115-121). Proses radikalisasi ini merupakan respon terhadap militerisasi kebijakan luar negeri AS, yang manifestasi terpentingnya di Amerika Latin adalah "Plan Colombia" berupa intervensi militer untuk memerangi gerakan gerilya negeri itu dan lalu-lintas obat terlarang. Namun, Petras menunjukkan bahwa ofensif baru Washington juga telah menekan partai-partai kiri yang besar, seperti Partai Pekerja di Brasil dan Sandinista di Nikaragua, untuk mengadopsi posisi yang lebih moderat (Petras, 2002b).

Petras meyakini bahwa "perang permanen" adalah hasil logis dari kebijakan luar negeri Bush, yang bertentangan dengan pemikiran neoliberal. Ia menyebut model Bush sebagai "Keynesianisme militer" di mana intervensi militer di luar negeri dan intervensi negara dalam ekonomi domestik telah menggantikan model neoliberal berupa kebijakan pasar bebas dan formula-formula yang ditekankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Menurut Petras, negara di bawah Bush sesungguhnya secara rutin bentrok dengan sektor swasta. Garis pemikiran Petras memiliki implikasi yang mengurangi relevansi slogan-slogan anti-neoliberal Harnecker, sementara menjadikan panji-panji anti-imperialis semakin cocok bagi negeri-negeri dunia ketiga.

2. Pemerintahan Chavez dan Lula dan Isu-Isu Kelas

Berkuasanya Chavez dan Lula bertentangan dengan strategi yang diajukan oleh Castaneda, yang mana kaum tengah diberikan peran memimpin dalam koalisi pemerintahan. Kedua presiden tersebut menyerang naoliberalisme dan menerapkan kebijakan ekonomi alternatif. Namun demikian, perbedaan utama antara keduanya dalam strategi politik dan kekuatan sosial yang menopang gerakannya memiliki implikasi penting bagi pendekatan yang dirancang oleh Harnecker dan Petras. Secara spesifik, peranan kaum "borjuasi nasional," kelas pekerja dan sektor-sektor terpinggirkan secara radikal berbeda dalam dua negeri tersebut. Baik Harnecker maupun Petras belum pernah memeriksa dengan cermat efek dan implikasi faktor-faktor kelas ini.

Berbeda dengan Chavez, Lula bertumpu pada dukungan solid organisasi kelas pekerja. Sejak pendiriannya pada 1983, federasi buruh utama di Brasil, Sentral Pekerja Sole (CUT), telah memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja-nya Lula. Dalam hal-hal mendasar, aliansi kelas dalam gerakan Lula juga berbeda dengan kasus Venezuela. Pada pemilu presiden 2002, Lula memilih wakil presidennya dengan menunjuk Jose Alencar, yang dipandang oleh Partai Pekerja sebagai industrialis progresif, dengan begitu menjamin dukungan kaum "borjuasi nasional."

Pemerintahan Lula mengedepankan suatu "pakta sosial" yang melibatkan kaum "borjuasi nasional" dan kelas pekerja terorganisir di Brasil. Karena batasan-batasan dari dalam (built-in) terhadap aliansi maupun kemungkinan nyata berbagai tujuannya, arah pemerintahan Lula lebih dapat diprediksi dan sepertinya akan lebih moderat dibandingkan Chavez. Maka, contohnya, Lula menerima masuk ke dalam Wilayah Perdagangan Bebas di Amerika (walaupun kesepakatannya ditolak oleh 10 juta rakyat Brasil dalam suatu referendum yang disponsori masyarakat sipil), tapi ia mendesakkan modifikasi dan negosiasi tertentu untuk memaksa Amerika Serikat mengangkat pembatasan terhadap import pertanian. Posisi ini mencerminkan prioritas kelas bisnis Brasil, yang mendukung promosi ekspor maupun investasi luar negeri menurut persyaratan yang sesuai dengan kepentingan nasional. Proposal alternatif yang murni bagi penyatuan Amerika Latin untuk menstimulasi industrialisasi yang di kemudian hari nanti berkompetisi secara komersial dengan Amerika Serikat (sebagaimana diusulkan oleh Chavez), menyarankan suatu pendekatan yang berpusat pada negara. Kepentingan bisnis Brasil, seperti rekan-rekan mereka lainnya di Amerika Latin, memandang model ini diinspirasikan oleh kaum kiri, tak realistik dan bertentangan dengan keharusan globalisasi.

Petras memandang pakta antara Partai Pekerja dengan Partai Liberal-nya Alencar sebagai tanda bahwa Lula semakin meninggalkan tujuan-tujuan progresif. Ia memprediksikan bahwa Lula akan harus memilih antara kebijakan anti-kerakyatan oleh Partai Liberal, di satu pihak, dan tuntutan kerakyatan dari jajaran bawah partainya dan kelompok-kelompok sosial (seperti Gerakan Tak Bertanah) yang telah mulai menjaga jarak dengan pemerintahan, di pihak lain. Pernyataan ini kontras dengan pendapat Harnecker (2002a, 8-9), yang mengklaim bahwa Lula dan Chavez mewakili "front anti-neoliberal" terpenting di dunia (walaupun ia mengakui bahwa Venezuela, tidak seperti Brasil, sedang menjalani suatu "proses revolusioner").

Yang implisit dalam kritikan Petras terhadap keputusan Lula memilih Alencar, adalah penolakan terhadap tesis potensi progresif kaum industrialis dan sektor-sektor "borjuasi nasional" lainnya di negeri-negeri dunia ketiga. Beberapa penulis kiri berkeyakinan bahwa sektor independen semacam itu tak pernah ada, sementara lainnya berpendapat bahwa itu telah tersingkirkan dalam era globalisasi ketika modal internasional semakin merajalela (Robinson, 1996). Dalam mempertahankan posisinya, Petras (tak seperti Harnecker) mengabaikan reputasi usahawan kaum industrialis Brasil, dan kegigihan mereka di hadapan tantangan-tantangan yang diakibatkan oleh globalisasi.

Secara kelas, akibat kebijakan tersebut jauh lebih problematik dalam kasus Venezuela. Basis sosial pemerintahan Chavez merupakan pekerja ekonomi informal yang terpinggirkan, yang tak punya jaminan sosial, jaminan legislasi perburuhan, pembayaran phk dan mediator nasional. Integrasi sektor-sektor ini ke dalam kehidupan ekonomi dan politik negeri itu mengakibatkan perubahan ekonomi dan politik yang berjangkauan luas. Sesungguhnya, baik kalangan analis politik maupun aktivis belum memberikan perhatian cukup terhadap kelas-kelas yang terpinggirkan, tidak demikian halnya dengan kelas pekerja terorganisir (Ellner, 2003, 161-162), dan dengan demikian solusi struktural terhadap permasalahan mereka belum terdefinisi dengan jelas. Longgarnya struktur internal Gerakan Republik Kelima (MVR) Chavez dan tiadanya disiplin maupun pengalaman organisasional para anggota yang berasal dari kelas terpinggirkan, yang merupakan mayoritas pengikut Chavez, semakin menambah ambiguitas ini. Sifat-sifat "sui generis" [B] (Harnecker, 2003) dari gerakan Chavista sejak pendiriannya pada 1982 membuat arahnya di masa depan semakin tak pasti.

Faktor kelas yang kedua berkontribusi terhadap ketakpastian prediksi dan desakan radikal fenomena Chavez: oposisi agresif dari sektor swasta Venezuela. Beberapa Chavistas yakin bahwa ketergantungan historik kaum kapitalis Venezuela terhadap negara (yang semakin diintensifkan dengan sistem penjualan dolar bernilai tukar spesial secara diskresioner [pilih kasih, pen.] yang diterapkan pada 2003) akan memaksa kepentingan bisnis untuk mengubah pendirian mereka dan mencapai kesepakatan dengan pemerintah. Mereka menambahkan bahwa ekonomi Venezuela seluruhnya berdasarkan pada industri minyak yang dijalankan negara, dengan demikian pemerintah berada di atas angin (Escarra, 2003).4. Berbagai anggota koalisi yang berkuasa - seperti Partai Patria Para Todo (PPT) - mengadvokasikan perlakuan khusus terhadap kapitalis nasional untuk menghentikan ketergantungan ekonomi negeri itu terhadap modal asing. Walau demikian, tidak dapat dikesampingkan kemungkinan bahwa konfrontasi pemerintah-bisnis akan melepaskan suatu proses radikal berupa pengambilalihan industri oleh negara atau buruh, meskipun aksi-aksi demikian tidak ditemukan dalam doktrin-doktrin Chavista. Selama pemogokan umum sepanjang dua bulan yang dipimpin kaum bisnis pada 2002-2003, pemerintah mengambil langkah menyita komoditas kebutuhan dasar yang disembunyikan oleh para industrialis dan mengancam akan menduduki pabrik untuk menjamin produksi.

Harnecker dan Petras berbeda dalam menilai pemerintahan Chavez, namun keduanya tidak mengangkat tentang situasi genting di Venezuela akibat peran borjuasi dan kelas terpinggirkan, seperti didiskusikan di atas. Sejalan dengan posisinya tentang kelemahan kaum kiri pada tahap saat ini, Harnecker membenarkan konsesi Chavez terhadap Amerika Serikat, seperti kerelaannya untuk tetap membayar hutang luar negeri dan menjamin pasokan minyak secara tetap. Petras, di sisi lain, menyebut Chavez sebagai seorang "nasionalis" dalam kebijakan luar negeri namun "populis" dalam hal-hal dalam negeri, dan memandang kebijakan ekonominya, seperti penolakannya terhadap penghapusan privatisasi, sebagai pada dasarnya berorientasi pasar-bebas.

Petras (maupun Harnecker) dengan akurat menekankan bahwa formulasi ideologis Chavez, yang sebagian besar didasarkan pada pemikiran pemimpin kemerdekaan Simon Bolivar, tidaklah jelas dan tak memiliki kritik komprehensif terhadap kapitalisme. Walau demikian, dengan menekankan komitmen ideologi dan doktrin, Petras menomorduakan dinamika populisme, maupun beberapa karakteristik kelas tertentu, yang efeknya susah diprediksi tapi bisa jadi kondusif bagi proses radikalisasi5. Lagi pula, anggota kelas terpinggirkan yang menjadi tulang punggung gerakan Chavez secara khusus dirugikan oleh globalisasi; dengan ketakmampuan historik mereka dalam membangun organisasi yang mendefinisikan aspirasi mereka, pilihan politik mereka lebih susah diprediksi dibandingkan kelas pekerja. Walau demikian, potensi mereka dalam melakukan aksi yang independen adalah lebih besar dibandingkan setengah abad lalu, ketika sosiologis umumnya menggambarkan mereka sebagai kaum migran pendatang baru dari pedesaan yang mudah terbius oleh daya tarik politikus demagogis (Germani, 1963). Selain itu, peran borjuasi Venezuela juga merupakan subyek perdebatan. Hingga kini, oposisi kerasnya terhadap Chavez tampaknya akan membuat pemerintahannya tak memiliki alternatif lain selain bergerak ke arah anti-kapitalis. Namun, lemahnya sektor bisnis Venezuela dan ketergantungannya yang telah lama kepada negara, bisa saja memungkinkan jalan kompromi, sebagaimana diadvokasikan oleh sekutu PPT Chavez.

Populisme sayap kiri Chavez mungkin menyerupai fenomena revolusi Kuba setelah 1959, ketika pimpinan Movimiento 26 de Julio, bergerak menuju sosialisme bukan karena mereka memeluk slogan-slogan atau tujuan sosialis, tapi sebagai reaksi terhadap permusuhan bebal lawan-lawan mereka. Ketika pimpinan buruh Chavista menyerukan kepada pemerintah untuk mengeluarkan dekrit yang memberikan hak kepada pekerja untuk menduduki perusahaan yang ikut aksi "insureksional" penutupan-pabrik pada Desember 2002 - Januari 2003, mereka dimotivasikan bukan oleh komitmen sosialis melainkan naluri untuk bertahan. Rangkaian kejadian ini, bila berujung pada arah anti-kapitalis, pastinya akan berbeda dari strategi "program transisional" Trotsky yang mana tujuan-tujuan jangka pendek yang telah ditentukan dengan baik dirancang untuk mengarah pada tujuan-tujuan jangka panjang yang telah ditentukan dengan baik. Mereka yang mengkritik Chavez karena ambiguitas doktrinnya luput melihat kenyataan bahwa di era globalisasi, anti-neoliberalisme (tak lagi memiliki panji-panji kiri tradisional seperti nasionalisasi) telah gagal mengembangkan strategi, slogan, dan tujuannya di mana-mana, suatu kelemahan yang merupakan tantangan besar bagi kaum kiri dunia ketiga.

Pendeknya, baik Harnecker maupun Petras menentang dominasi kaum tengah dalam gerakan anti-neoliberal, sebagaimana dikedepankan oleh Castaneda. Harnecker mempertahankan aliansi dengan kaum tengah asalkan kaum kiri menempati posisi pimpinan. Dengan kontras, Petras menolak semua jenis aliansi macam ini dan kemudian memprediksikan bahwa Partai Liberal Brasil yang berhaluan tengah akan pada akhirnya menentukan arah pemerintahaan Lula. Dalam kasus Venezuela, tidak muncul aliansi kiri-tengah semacam itu dan kedua penulis tersebut lebih optimistik dalam evaluasinya. Harnecker membenarkan kehati-hatian Chavez dalam beberapa permasalahan kunci tertentu sebagai suatu respon yang diharuskan oleh kondisi dunia yang tak menguntungkan, sementara Petras menggarisbawahi gebrakan anti-imperialis kebijakan luar negeri Venezuela.

KOMENTAR PENUTUP: KONDISI-KONDISI OBYEKTIF-SUBYEKTIF DAN TIGA STRATEGI ANTI-NEOLIBERALISME

Landasan dari tiga pendekatan anti-neoliberal yang didiskusikan dalam artikel ini merupakan perbedaan pembacaan kondisi obyektif bagi perubahan berjangkauan-luas di Amerika Latin dan dunia. Analisa Castaneda berpusat pada globalisasi. Strategi aliansi kiri-tengahnya yang moderat merupakan hasil logis dari argumennya bahwa kekuatan globalisasi mengekang aktor-aktor nasional dan dengan terkait cenderung menomorduakan perjuangan kerakyatan. Dalam Utopia Tak Bersenjata Castaneda menyerukan kaum kiri untuk menerima globalisasi dan hasil sampingannya (seperti pengawasan internasional terhadap hak asasi manusia dan pemilu dan integrasi ekonomi regional) untuk alasan-alasan pragmatik dan sebagai landasan bagi pembangunan-bangsa (nation-building) dan pembangunan ekonomi. (Castaneda, 1993, 394-305). Walau demikian, seperti halnya partai-partai sosial demokrat di Eropa, penerimaannya terhadap logika globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya konsesi dan kompromi dengan neoliberalisme, yang membuka jalan bagi masuknya ia ke dalam pemerintahan Vicente Fox.

Harnecker beropini bahwa kaum kiri sedang berposisi defensif, tapi untuk alasan yang berbeda, yakni absennya blok sosialis setelah 1991. Ia mengakui bahwa globalisasi telah melemahkan posisi negara berkembang dan gerakan kerakyatan, tapi tidak melihat tendensi ini sebagai sesuatu yang tak dapat dibalikkan. Ia menambahkan bahwa, di hadapan globalisasi kapital, penyatuan negara-negara dunia ketiga merupakan langkah pertama yang sangat diperlukan sebelum memperdalam proses perubahan yang berjangkauan luas. (Harncker, 2003.a)

Tesis Castaneda tentang kemendesakan globalisasi dan tesis Harnecker tentang keruntuhan Soviet membenarkan moderasi tujuan-tujuan kiri, tapi keduanya memiliki implikasi yang berbeda. Struktur dunia yang diletakkan oleh globalisasi, dan yang membentuk pendekatan Castaneda, lebih berlangsung-lama dan mencakup-segala dibandingkan faktor-faktor politik yang diangkat oleh Harnecker, yang strategi anti-neoliberalnya dengan begitu lebih siap tempur dan condong ke kiri dibandingkan Castaneda (Harnecker, 2002b).

Perayaan Petras terhadap perjuangan akar-rumput dan kritiknya terhadap konsep globalisasi menempatkannya pada ujung lain yang berkebalikan dengan strategi defensif Castaneda dan Harnecker. Petras mempermasalahkan kecenderungan paradigma globalisasi yang memandang bahwa aktor-aktor nasional terkurung oleh hubungan-hubungan yang dipaksakan secara internasional dan hanya menyediakan pilihan yang terbatas (Ellner, 2002, 78). Jauh dari karakterisasi hubungan negara berkembang yang harmonis, sebagaimana dilakukan oleh berbagai penulis globalisasi, Petras menekankan persaingan antar-imperialis, yang menurut klaimnya semakin intensif sejak 11 September 2001. Sebagai tambahan terhadap faktor-faktor obyektif, Petras mempermasalahkan penulis tentang globalisasi yang menomorduakan perjuangan sosial dan melarutkan isu kelas secara total (Petras dan Veltmeyer, 2001, 78). Dalam berargumen bahwa kondisi subyektif telah matang untuk menghasilkan perubahan radikal di Amerika Latin, Petras berkebalikan dengan kecenderungan lain dari para penulis tentang globalisasi: menghapus faktor-faktor subyektif sebagai tidak relevan dalam hal keniscayaan munculnya struktur-struktur yang dibawa oleh globalisasi.

Pandangan anti-determinis Petras digunakan secara ekstrim oleh penulis lain yang menentang strategi defensif Castaneda dan Harnecker. Aktivis kiri Venezuela Toby Valderrama, contohnya, mempertanyakan argumen Harnecker bahwa kaum kiri perlu menunda perubahan berjangkauan luas karena tak adanya dukungan internasional dengan mengatakan: "Tak ada revolusi - dan ini adalah hukum - yang terjadi atas inisiatif kaum revolusioner dalam kondisi-kondisi yang menguntungkan; sebaliknya, mereka selalu bertindak [dalam situasi ini] di hadapan kondisi yang genting." Valderrama menekankan bahwa upaya Fidel Castro merebut kekuasaan pada 26 Juli 1953 berlangsung dalam kondisi yang tak diduga, tapi kemenangan revolusi itu (sebagaimana ditekankan oleh Che Guevara) mematahkan anggapan yang dipegang oleh kaum Komunis Ortodox tentang ketidakmungkinan terjadinya revolusi hanya 90 mil dari pantai AS (Valderrama, 2002). Argumen Velderama yang penuh kepeloporan memang dapat juga diterapkan ke dalam kudeta yang dilancarkan Hugo Chavez pada 4 Februari 1992.

Pendeknya, Petras dan lainnya yang mengangkat kemungkinan perubahan berjangka luas dalam kurun waktu saat ini menekankan pentingnya faktor-faktor subyektif per se, dan optimis dalam penilaian mereka terhadap kondisi-kondisi ini. Pada ujung lainnya, Castaneda mengecilkan efektifitas gerakan sosial (sebagaimana dilakukannya saat pemberontakan Zapatista pada 1994) dan sebaliknya mendukung negosiasi dari atas, suatu pendekatan yang dapat dikalahkan oleh gerakan sosial yang militan dan mandiri. Harnecker menempati bagian tengah dari spektrum optimis-pesimis. Di satu pihak ia memandang kondisinya belum matang untuk mengadopsi strategi anti-imperialis. Di lain pihak, ia memandang kaum kiri cukup kuat untuk memainkan peran dominan dalam aliansi anti-neoliberal dengan kelompok di sisi kanannya.

Peristiwa belakangan ini yang didiskusikan dalam artikel ini membantu dalam menilai keampuhan tiga strategi ini. Maka, kegagalan politik kaum kiri di Argentina di bawah de la Rua, dan kegagalan pemerintahan Fox, Caldera dan (dalam tingkat lebih rendah) Lagos dalam mengikuti haluan anti-neoliberal, menempatkan keraguan pada keefektifan pendekatan Castaneda. Selain itu, kebijakan luar negeri Bush mengungkap kebohongan klaim bahwa Amerika Serikat telah membalikkan badannya dari masa lalu yang imperialistik demi mempertahankan tatanan 'global' yang megah. Perkembangan ini dapat mengindikasikan bahwa proklamasi pimpinan Sandinista tentang keakhiran revolusi anti-imperialis, yang mempengaruhi formulasi strategi anti-neoliberal Harnecker, mungkin - paling sedikitnya - masih prematur.

Terakhir, fenomena Chavez dan Lula menunjukkan keuntungan dan bahkan kebutuhan aliansi dengan organisasi-organisasi yang mewakili kaum non-kiri - setidaknya dalam tahap awal - bertentangan dengan pendekatan Petras. Dalam kasus Venezuela, kaum non-kiri yang mendukung Chavez (MAS dan pengikut Luis Miquilena) dengan begitu saja meninggalkan koalisi pemerintahan menjelang kudeta April 2002. Walau begitu, naiknya Chavez ke kekuasaan mungkin tidak akan terjadi sedari awalnya - mungkin pula konstitusi Chavista 1999 tidak akan tersebar luas - kalau tidak tanpa dukungan dan partisipasi kaum non-kiri pada saat itu. Serupa dengan itu, kesepakatan elektoral Lula dengan Partai Liberal, yang mengakibatkannya memeluk reformasi pasar bebas, mungkin bukanlah suatu "penggadaian," sebagaimana diklaim oleh Petras. Aliansi antara Lula dan Presiden Nestor Kirchner dari Argentina (kemudian turut bergabung juga Alan Garcia dari Peru) mungkin memberikan suatu arena bagi formulasi posisi anti-neoliberal yang akan mengurangi tekanan terhadap Venezuela Chavez. Pendirian-pendirian ini dapat menyertakan negosiasi kolektif bagi hutang luar negeri dan kesepakatan tarif Amerika Selatan menjelang pembentukan FTAA. Maka penolakan Petras terhadap dukungan organisasional kaum non-kiri - seperti posisi Trotsky yang mendahuluinya - melucuti kaum kiri dari sekutu-sekutunya, yang - meskipun tidak begitu dapat dipercaya untuk mencapai tujuan jangka panjang - berguna bagi perjuangan melawan neoliberalisme.***

Apartado 485
Barcelona, Anzoategui
Venezuela
esteve73@cantv.net

----------------

Catatan Penerjemah

[A] PRI:Partido Revolucionario Institucional (Partai Revolusioner Institusional) merupakan partai politik terbesar di Mexico yang berkuasa selama 71 tahun hingga tahun 2000, ketika Vicente Fox dari PAN (Partido Accion Nacional - Partai Aksi Nasional) yang berhaluan tengah memenangkan kursi kepresidenan. PRI secara nominal adalah sosial demokrat dan anggota dari Sosialis Internasional, namun haluannya adalah kanan-tengah. Pada paruh akhir 1980an PRI mengalami perpecahan dengan sayap kirinya yang dipimpin oleh Cuauhtemoc Cardenas. Pada tahun 1989, Cuauhtemoc Cardenas, beberapa individu kiri pecahan PRI dan sejumlah partai kiri lainnya membentuk partai berhaluan kiri terbesar di Meksiko, PRD (Partido de la
Revolucion Democratica - Partai Revolusi Demokratik).

[B] sui generis: unik

Catatan Penulis
Penulis berterimakasih pada Miguel Tinker Salas untuk komentarnya.

1Kaum kiri memang telah meninggalkan pembelaan terhadap model yang bertumpukan kekuasaan negara (statist) yang diasosiasikan dengan revolusi Kuba, dan dengan demikian menekankan pentingnya koperasi pekerja dan usaha-usaha berskala kecil dan menengah dalam sektor swasta-sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan Chavez.

2Tuntutan agar pemilik baru perusahaan yang diprivatisasi menerima tanggung jawab membersihkan kerusakan ekologis yang diwarisinya, dikenal sebagai "hutang lingkungan hidup," adalah satu contoh slogan yang dapat diangkat secara universal. Lainnya adalah pembayaran "hutang sosial," yang termasuk kompensasi bagi penyakit dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan, yang asal muasalnya lebih awal dari privatisasi. Pemerintah tuan rumah dapat juga memformulasikan persyaratan mengenai jaminan pekerjaan, tujuan produksi perusahaan, integrasi perusahaan ke dalam ekonomi nasional, dan tekanan perekrutan terhadap tenaga kerja lokal (Ellner, 1999, 130-136).

3Faksi "sayap-kiri" dalam Partai-partai Komunis yang muncul di Venezuela dan negeri Amerika Latin lainnya selama Perang Dunia II mengritik kegagalan organisasinya dalam memainkan peran yang lebih tegas dalam aliansi-aliansi ini (Ellner, 1981, 54-60)

4Beberapa penulis pro-neoliberal menilai kegagalan neoliberalisme di Venezuela bersumber dari kuatnya kepentingan bisnis yang bergantung pada negara (Naim, 1993). Juru bicara AS memang telah mengkambinghitamkan elit lokal di seluruh benua tersebut atas hasil "Konsensus Washington" yang mengecewakan (Tabb, 2003, 28).

5Ernesto Laclau (1977) berargumen bahwa dalam kurun waktu yang kritis ini gerakan populis terbebaskan dari kekangan dan dapat bergerak ke arah kiri yang jauh melampaui tujuan dan komitmen awal mereka.

REFERENSI

Castañeda, Jorge. 1993. Utopia Unarmed: The Latin American Left after the Cold War. New York: Knopf.
———. 1996. “La izquierda en ascuas y en ciernes.” Nueva Sociedad, 141 (January–February), 19–33.
———. 2001. “Mexico: Permuting Power.” (Interview.) New Left Review, 7 (January–February), 17–41.
Ellner, Steve. 1981. “Factionalism in the Venezuelan Communist Movement, 1936–1948.” Science & Society, 45:1 (Spring), 52–70.
———. 1988. Venezuela’s Movimiento al Socialismo: From Guerrilla Defeat to Innovative Politics. Durham, North Carolina: Duke University Press.
———. 1999. “The Impact of Privatization on Labor in Venezuela: Radical Reorganization or Moderate Adjustment?” Political Power and Social Theory, 13:109–145.
———. 2002. “The Tenuous Credentials of Latin American Democracy in the Age of Neoliberalism.” Rethinking Marxism, 14:3 (October), 76–93.
———. 2003. “The Contrasting Variants of the Populism of Hugo Chávez and Alberto Fujimori.” Journal of Latin American Studies, 35:1 (February), 139–162.
Escarrá, Carlos. (Adviser to President Hugo Chávez.) 2003. Personal interview, Puerto Píritu, Venezuela, February 23.
Germani, Gino. 1963. Política y sociedad en una época de transición. Buenos Aires, Argentina: Paidós.
Harnecker, Marta. 1995. Haciendo camino al andar. Second edition. Santiago Chile:LOM/MEPLA.
———. 1999. Haciendo posible lo imposible: la izquierda en el umbral del siglo XXI. Mexico:Siglo XXI.
———. 2002a. Hugo Chávez Frías: Un hombre, un pueblo. Havana, Cuba.
———. 2002b. Sin tierra: construyendo movimiento social. Madrid, Spain: Siglo XXI.
———. 2003a. Personal interview. Caracas, August 6.
———. 2003b. “Venezuela: una revolución sui géneris.” Paper presented at Third World Social Forum held in Porto Alegre, Brazil, January 24.
Laclau, Ernesto. 1977. Politics and Ideology in Marxist Theory. Capitalism, Fascism and Populism. London: Verso.
Moulian, Tomás. 1999. “The Arrest and Its Aftermath.” NACLA: Report on the Americas, 32:6 (May–June), 12–17.
Naím, Moisés. 1993. Paper Tigers and Minotaurs: The Politics of Venezuela’s Economic Reforms. Washington, D. C.: Carnegie Endowment.
North American Congress on Latin America (NACLA). 1995. Special Issue: “Introduction to Hope: The Left in Local Politics.” NACLA: Report on the Americas, 29:1 (July–August).
O’Donnell, Guillermo. 1994. “Delegative Democracy.” Journal of Democracy, 5:1 (January), 55–69.
Oxhorn, Philip D., and Graciela Ducatenzeiler, eds. 1998. What Kind of Democracy? What Kind of Market? Latin America in the Age of Neoliberalism.University Park, Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.
Petras, James. 1999. The Left Strikes Back: Class Conflict in Latin America in the Age of Neoliberalism. Boulder, Colorado: Westview.
———. 2002a. “The Myth of the Third Scientific–Technological Revolution in the Era of Neo-Mercantilist Empires.” Latin American Perspectives, 29:6 (November): 44–58.
———. 2002b. “U. S. Offensive in Latin America: Coups, Retreats, and Radicalization.” Monthly Review, 54:1 (May).
———. 2003. “Lo que empezó como un movimiento antiglobalización, ahora está incluyendo la lucha anticapital, antiimperialista y antiguerrerista.” Interview by Alina Perera Robbio, in Juventud Rebelde (Cuba), February 2. www.rebelion.org.
Petras, James, and Henry Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century. London: Zed Press.
Riquelme, Alfredo. 1999. “Voting for Nobody in Chile’s New Democracy.” NACLA: Report on the Americas, 32:6 (May–June), 31–33.
Robinson, William I. 1996. Promoting Polyarchy: Globalization, U. S. Intervention, and Hegemony. Cambridge, England: Cambridge University Press.
Tabb, William K. 2003. “After Neoliberalism?” Monthly Review, 55:2 (June): 25–33.
Trotsky, Leon. 1974 (1938). Transitional Program for Socialist Revolution: Including the Death Agony of Capitalism and the Tasks of the Fourth International. New York: Pathfinder.
———. 1977. The Crisis of the French Section (1935–36). New York: Pathfinder.
Valderrama, Toby. 2002. “Vanguardia, conciencia, estrategia revolucionaria y la propuesta de Marta Harnecker.” Cuba Siglo XXI (March).
Veltmeyer, Henry, and James Petras. 2000. The Dynamics of Social Change in Latin America. New York: Macmillan.
Washington Post. 1999. October 27.

Artikel ini diterjemahkan oleh Kolektif Nefos.org dari judul asli "Leftist Goals and the Debate over Anti-Neoliberal Strategy in Latin America," yang dimuat di jurnal Science & Society. vol. 68, no. 1 Spring, 2004, pp. 10-32. Terjemahan artikel ini sebelumnya telah dimuat di  http://nefos.org, 2008.


Baca selengkapnya!

2.7.08

Gelombang Baru Reforma Agraria Di Awal Abad ke-21

Noer Fauzi

"… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untuk perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan negeri-negeri Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat yang berhasil.”
(Eric Jacoby 1961:253)

1. Pengantar

Agenda penguatan akses rakyat pada tanah dan kekayaan alam dengan mengubah struktur agraria biasanya dikenal dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia). Agenda Reforma Agraria ini pada mulanya adalah agendanya gerakan rakyat yang berakar pada pengalaman penderitaan petani sebagai mayoritas rakyat (pedesaan) di bawah rezim kolonial dan paska-kolonial. Penderitaan petani yang kronis itu bersumber dari politik agrari penguasa kolonial untuk penguasaan wilayah (negara kolonial), dan perluasan sistem produksi dan ekstraksi komoditas-komoditas baru (untuk perusahaan-perusahaan kapitalis skala dunia). Keresahan agraris hingga berbentuk pemberontakan-pemberontakan lokal dapat dipadamkan dengan operasi-operasi represif singkat, peperangan panjang maupun pengendalian melalui organisasi pemerintahan kolonial yang baru, termasuk dengan bentuk penguasaan tidak langsung (indirect rule) melalui elit-elit feodal pribumi setempat.

Merupakan kenyataan historis di pedesaan Dunia Ketiga dimana saja bahwa sebagian golongan petani mengambil jalan menentang dan menantang hadir dan bekerjanya kuasa-kuasa baru yang menindas mereka. Pada intinya, gerakan-gerakan petani yang hadir baik dahulu maupun saat ini adalah tantangan-tantangan yang relatif berkelanjutan atas kekuasaan yang menindas golongan-golongan tertentu rakyat di pedesaan. Tantangan-tantangan yang mengacaukan dan terus-menerus (disruptive and continuous challanges) itu pada mulanya merupakan suatu tanggapan kolektif atas merosotnya kondisi hidup akibat penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan pihak pemegang kuasa-kuasa ekonomi-politik. Tanggapan itu bukan hanya terhadap masalah lokal, seperti dinyatakan oleh studi Wolf lebih 30 tahun yang lalu dalam buku klasiknya Peasant War in The Twentieth Century (Wolf 1971:273):

… pemberontakan-pemberontakan petani abad kedua puluh tak lagi sederhana merespon masalah-masalah lokal, jika memang benar-benar pernah ada. Tetapi hal itu merupakan reaksi-reaksi yang langsung pada keguncangan sosial yang mengenainya, yang digerakkan oleh perubahan sosial yang lebih besar lagi. Penyebaran pasar telah membongkar manusia dari akarnya, dan mengguncang mereka agar lepas dari hubungan-hubungan sosial dari mana mereka dilahirkan. Industrialisasi dan perluasan komunikasi telah memunculkan tandan sosial baru, sampai sekarang tak percaya pada posisi-posisi dan kepentingan sosial mereka sendiri, tetapi dipaksa oleh ketidakseimbangan kehidupan mereka untuk mencari suatu tambahan baru. Otoritas politik tradisional terkikis atau ambruk; para pesaing baru untuk kekuasaan sedang mencari para pemilih baru untuk dimasukkan ke dalam arena politik yang kosong. Dengan demikian ketika pembela pro-petani menerangi obor pemberontakan, bangunan besar masyarakat telah membara dan siap mengambil api. Ketika perang berakhir, bangunan itu tak akan sama seperti sebelumnya.


Cerita sejarah penindasan atas suatu golongan-golongan rakyat pedesaan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin bukanlah cerita baru, terutama bagi mereka yang meneliti, menulis, membaca dan mengajar sejarah. Tema penindasan dan perlawanan ini telah mengisi wajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasanya di pedesaan, para penguasa negara kolonial dan kapitalis kolonial telah menjadi sumber dari penindasan dan perlawanan itu. Isi dan cara pemerintahan kolonial dan feodal menjalankan politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, dan akibat-akibat khusus dari padanya benar-benar telah mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan banyak negara di Dunia Ketiga. Untuk Indonesia sendiri, ketetapan “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” telah mendasari “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang) berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”

Sesungguhnya di daerah-daerah jajahan, struktur agraria yang tidak adil dan perjuangan konkrit rakyat tani untuk keadilan agraria merupakan basis sosial dari aspirasi kebangsaan. Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama tahun 1960-an, Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang merusak lah yang memberi jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah.”
Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elit negara paska-kolonial, termasuk presiden Soekarno, benar-benar dipengaruhi oleh naskah resmi FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform - Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development yang dikeluarkan pada 1951. Apa yang dilakukan oleh FAO kemudian beresonansi dengan cara bagaimana negara-negara paska-kolonial menjadikan Reforma Agraria bagian dari agenda bangsanya hingga pada puncaknya tahun 1979 pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD), dimana Indonesia mengirim delegasi yang sangat besar (Wiradi 1999). Konferensi dunia yang menghasilkan Peasant Charter (Piagam Petani) itu sayangnya menjadi “upacara kematian” Reforma Agraria, yang digerus oleh model-model Pembangunan Pedesaan (termasuk pertanian) yang baru, seperti revolusi hijau, agroindustri/agribisnis, produksi komoditi untuk ekspor, dan lainnya. Secara gamblang, setelah mengevaluasi praktek pembangunan pertanian di 26 (dua puluh enam) negara, John Powelson and Richard Stock (1987) menyimpulkan bahwa petani telah dikhianati oleh banyak elit negara-negara paska kolonial. Dalam buku yang berjudul The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World itu, kedua peneliti itu sampai pada kesimpulan yang kelam bahwa setelah landreform dijalankan, program-program selanjutnya yang dijalankan rezim/pemerintahan baik yang Kiri maupun Kanan, “telah dan terus menyengsarakan petani daripada menolong mereka”. Lebih penting lagi, setelah kedua peneliti ini menggolongkan dua jenis landreform berdasar (a) kekuatan pemerintahan yang budiman, dan (b) kekuatan petani, mereka menegaskan, bahwa hanya pada kondisi dimana petani bersandar pada kekuatan diri sendiri lah mereka dapat melanjutkan menikmati hasil-hasil land reform yang dijalankan.

2. Kondisi-kondisi global penghidup tiga gelombang reformas agraria

Dalam literatur teori akademik mengenai gerakan sosial telah umum dipahami bahwa kontraksi dalam struktur kesempatan politik (political opportunity structure) di tubuh negara adalah penanggung jawab utama bagi mobilisasi suatu atau sejumlah kelompok gerakan (protes) sosial untuk mengedepankan klaim-klaim baru dan kerangka baru penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya publik yang dipertentangkan, membentuk kembali aliansi kekuatan dalam masyarakat. Apa yang secara akademik dikenal dengan political opportunity structure theories (POST) ini pada mulanya dikembangkan oleh Charles Tilly (1978) dan kemudian secara lebih solid dikembangkan oleh Mc Adam (1982) dan Herbert, Kitschelt (1986). Sidney Tarrow, merumuskan struktur kesempatan politik sebagai “consistent, but not necessarily formal, permanent, or national - dimensions of the political environment which either encourage or discourage people from using collective action” (Tarrow 1994:18).

Dalam usaha memperjelas konsep itu, McAdam (1996) mendaftar empat ciri utama dari padanya yakni, keterbukaan relatif dari sistem politik yang melembaga, kestabilan relatif dari ikatan-ikatan para elit yang menyokong suatu kebijakan tertentu, ketersediaan persekutuan-persekutuan baru yang berpengaruh, dan kapasitas negara untuk meredam mobilisasi kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat. Struktur kesempatan politik ini dapat dipandang sebagai yang bertanggung jawab untuk peningkatan atau penurunan resiko atau keuntungan dari berbagai upaya mobilisasi kekuatan sosial di masyarakat, yang bekerja melalui persepsi para pemimpin kekuatan itu mengenai derajat ancaman dan keuntungan yang berhubungan dengan putusan kebijakan publik, kesempatan berhasilnya mobilisasi, dan bagaimana otoritas negara memfasilitasi atau meredam mobilisasi tersebut (Tilly 1978). Tonggak selanjutnya dari pendekatan ini dimantapkan oleh trio pendekar the political process approach in social movement theory, yakni Charles Tilly, Mc Adam, dan Sidney Tarrow (2001). Perkembangan dari teorisasi ini kemudian telah menjadi suatu aliran pemikiran yang sangat berpengaruh, terutama dalam studi-studi gerakan sosial berbahasa Inggris (Kriesi 1995, 2004; Meyer 2004, Meyer and Minkoff 2004).

Faktor kesempatan politik yang terbuka inilah yang memungkinkan diangkutnya agenda Reforma Agraria ke dalam kebijakan publik di tingkat nasional dan global. Karya tulis Saturnino M Borras Jr., Christóbal Kay and A. Haroon Akram Lodhi, 2007, “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues,” cukup memadai untuk memahami perbedaan kondisi yang menghidupkan Reforma Agraria, pra 1980-an dibandingkan dengan setelah 1990an. Tabel 1 berikut ini adalah matriks yang menyederhanakan analisis dari dari tiga sarjana dari Institute of Social Studies (ISS), the Hague, tersebut (Borras, Kay, and Akram-Lodhi 2007:16-17).

Tabel 1. 
Perubahan dalam dasar-dasar ekonomi dan sosial-politik dari land reform (Perbandingan Pra 1980an dengan Setelah 1990an)




Setelah meredup di akhir 1990-an, di awal abad 21 ini agenda Reforma Agraria telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ragam penjelasan mengenai kondisi yang menjadi alas kehadiran agenda reforma agraria di tingkat global itu telah secara detil dan terpisah-pisah hal itu telah dikemukakan oleh Putzel (2000), Ghimire (2001), FAO (2002), Prosterman and Hanstaad (2001), El-Ghonemy (2003), Moyo, Sam and Yeros (2005), Courville and Patel (2006), Quan (2006) Borras, et.al. (2007), Cousins (2007), and El-Ghonemy (2007).

Seperti pada masa kolonial, agenda Reforma Agraria ini pun bermula dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang menyuarakan penderitaan petani yang kronis. Namun, kita tidak bisa memahami karakter gerakan-gerakan rakyat pedesaan saat ini dengan menggunakan kerangka sebagaimana kita memahami gerakan-gerakan di masa kolonial. Penyelidikan atas aksi-aksi kolektif gerakan sosial saat ini telah sampai pada kesimpulan bahwa karakter umum dari gerakan sosial pedesaan dewasa ini berbeda nyata dengan gerakan-gerakan yang dilakukan dan berkembang pada masa kolonial, maupun di masa ketika land reform berjaya di tahun 1960an-1970an. Petras (1998) menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan terdahulu, yang juga tidak cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak ke mana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster menguatkan, ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakan-gerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya” (Webster, 2004:2).

Dalam buku yang saya tulis sendiri, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Fauzi 2005a) dan karya-karya sarjana agraria dari berbagai negara yang saya sunting dalam buku Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Fauzi 2005b), telah diurai secara detil ciri-ciri baru gerakan pedesaan di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kedua buku tersebut diniatkan untuk mengajak pembaca memperbaiki cara memahami gerakan-gerakan rakyat pedesaan Dunia Ketiga, yakni MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah) di Brazil; EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista) di Mexico; FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo atau federasi organisasi masyarakat adat Napo) di Ekuador; LPM (Landless People’s Movement atau Gerakan Rakyat Tak Bertanah) di Afrika Selatan; gerakan-gerakan pendudukan tanah atau land occupation movements di Zimbabwe; NBA (Narmada Bachao Andolan atau Gerakan Menyelamatkan Narmada) di India; AOP (The Assembly of the Poor atau Dewan Kaum Miskin) di Muangthai; UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan atau yang secara tekstual berarti Koordinasi Nasional Organisasi-organisasi Rakyat Pedesaan Lokal Otonom) di Filipina, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia.

Dari seluruh analisis terhadap dari masing-masing gerakan dan perbandingan antar gerakan, serta rujukan pada pendapat-pendapat para sarjana lainnya, penulis menemukan keragaman pelaku utama dan pendukung dan keragaman jenis aksi kolektif yang diandalkan masing-masing gerakan. Aksi-aksi kolektif dari para pelaku utama dan pendukung dari masing-masing gerakan ini dibentuk dan bekerja berhadapan dengan kekhususan bangunan kekuasaan ekonomi dan politik yang dihadapi gerakan, objek sumber kekuasaan yang dipertarungkan, lingkungan agraria yang dihadapi, kekhususan kesempatan politik yang dimanfaatkan, termasuk arena-arena pertarungan yang dimasukinya.

Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi rangkai aksi kolektif yang dilakukan oleh organisasi-organisasi gerakan sosial pedesaan. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Meski struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu dapat berbeda-beda, namun tersedia suatu kondisi perubahan politik nasional (yang juga beresonansi dengan perubahan politik internasional) yang membuka ruang luas bagi gerakan pedesaan. Misalnya, tumbangnya rezim apartheid (seperti di Afrika Selatan), transisi dari rezim otoritarian atau komunis (seperti yang terjadi di Indonesia, Albania) dan kebijakan politik multi-partai dimana berbagai partai politik baru dan lama (seperti di Indonesia) membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk pedesaan. Hampir semua amatan atas gerakan-gerakan rakyat pedesaan menunjukkan bahwa perubahan politik nasional mempengaruhi bagaimana susunan kekuasaan di pedesaan dipertarungkan, khususnya pertarungan kekuasaan yang berbasis pada penguasaan tanah.

Seperti dinyatakan oleh Jonathan Fox (1990:1) bahwa “distribusi kekuasan pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional”. Dengan adanya perubahan susunan kekuasaan di pedesaan ini, tentu gerakan-gerakan rakyat pedesaan ikut terpengaruh dan mempengaruhinya pula. Oleh perubahan kekuasaan ini, Fox mengemukakan istilah “demokratisasi pedesaan” (rural democratisation) untuk menunjukkan bagaimana pencarian keseimbangan baru terjadi dalam interaksi antara masyarakat sipil dan negara. “Dalam masyarakat sipil, hal ini menyangkut kebangkitan dan konsolidasi lembaga-lembaga sosial dan politik yang sanggup mengemban kepentingan-kepentingan pedesaan berhadap-hadapan dengan (vis-a-vis) negara. Beberapa bisa saja secara khusus bersifat pedesaan, seperti organisasi-organisasi petani, sementara yang lain dapat berupa keorganisasian yang nasional sifatnya, seperti partai-partai politik, yang mengembangkan pengaruhnya sampai pedesaan. Bagi negara, demokratisasi pedesaan membutuhkan adanya penguasa yang efektif didukung oleh mayoritas, juga akuntabilitasnya secara formal maupun informal terhadap warga-warga yang tinggal di pedesaan.” (Fox 1990:1)

Faktor umum yang membuka kesempatan politik untuk reforma Agraria adalah kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme yang berlangsung sepanjang 25 tahun, semenjak dilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paket kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutang yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paket kebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program-program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang impor maupun ekspor. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi, mengubah sumber daya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibat dari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Globalisasi neoliberal tidak bisa menghasilkan pemerataan (equality) tapi justru memperbesar ketimpangan (inequality) itu. Kebijakan-kebijakan neoliberal itu bersenjatakan apa yang sekarang ini diteorisasi oleh Akram-Lodhi (2007) sebagai neoliberal enclosure dengan ragam variasi substansi dan penampakannya. Yang dimaksud dengan neoliberal enclosure dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk enclosure yang klasik seperti perampasan tanah dan kekayaan alam para petani untuk badan-badan usaha raksasa milik negara atau swasta, atau proses “paksa” petani menjadi tenaga kerja bebas buruh upahan, yaitu “untuk memperdalam dan memperkokoh hubungan kepemilikan kapitalistik dengan mengurangi secara relatif kekuasaan rakyat miskin pedesaan”. Hal ini dicapai melalui penggunaan proses-proses pasar yang dikombinasi dengan intervensi pemerintah. Dalam arti ini, neoliberal enclosure adalah hasil-samping dari proses akumulasi kekayaan yang menggunakan rasionalitas ekonomi. Namun pada tingkat permulaan, neoliberal enclosure mensyaratkan pengukuhan status kepemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan alam, lalu kemudian kekayaan modal yang diperoleh dari usaha-usaha produksi maupun perdagangan. Neoliberal enclosure itu telah menguatkan struktur agraria yang ‘terbelah dua’ (bifurcated agrarian structure): Satu sub-sektor berorientasi ekspor, modal yang lebih intensif dan berhubungan dengan TNC (Transnasional Corporation), namun kurang dalam integrasi hubungan hulu-hilir, dan satu sub-sektor lainnya adalah ragam produksi untuk kebutuhan domestik, lebih padat-karya, hubungan hulu-hilir lebih kuat, namun tidak homogen (Akram-Lodhi, 2007:1446).

Neoliberal enclosure ini menguatkan arus penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and depeasantization processes). Setelah meneliti perubahan agraria di Asia, Afrika dan Amerika Latin di akhir abad 20, Bryceson, dkk. menyimpulkan “penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) pada kehidupan petani” (Bryceson et al 2000:29). Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala “meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338). Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin – yang dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” – penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan yang menganggap petani adalah kenyataan masa lampau dan sedang dalam proses melenyap, seperti yang ditulis dalam karya klasiknya Age of Extremes bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui) (Hobsbawm,1994: 288-9, 415).

3. Kebangkitan studi-studi yang mempengaruhi bangkitnya gelombang baru reforma agraria

Seiring dengan bangkitnya agenda Reforma Agraria dewasa ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah kembali menggeliat dalam naskah-naskah akademik berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedar sebagai ilustrasi yang belum lengkap, di awal tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera The UN World Institute for Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public Action (de Janvry, et al., 2001). Buku ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapa pentingnya akses atas tanah, kebijakan land reform dan aksi-aksi kolektif untuk memerangi kemiskinan di pedesaan. Buku ini juga menghadirkan evaluasi terhadap state-led land reform dan untuk sebagian menghadirkan grassroot-initiated land reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasar dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsi market-assisted land reform. Promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction: World Bank Policy Research Report. Walaupun buku ini dinyatakan sebagai karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan buku pegangan The World Bank’s Thematic Group on Land Policy and Administration (sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek perubahan kebijakan, manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, serta badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty. IFAD secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skala kecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yang telah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton 1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan internasional dan negara-negara berkembang di akhir tahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari Griffin, Khan and Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3), yang kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan dan praktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan mengusulkan pentingnya land reform sebagai strategi memerangi urban bias policies itu.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan secara tidak langsung juga pada buku Access to Land di atas, Bernstein (2002) “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4) mengedepankan suatu kritik yang tajam baik terhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan kritis ini dalam Journal of Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengritik argumen utama pendekatan neo-populis dengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, K., A.R. Khan and A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3).

Seiring dengan lingkar debat akademik dan kebijakan lembaga pembangunan internasional di atas, UNRISD (United Nation Research Institute for Social Development) telah mendukung suatu kelompok yang membawa nama masyarakat sipil, The Popular Coalition to Eradicate Hunger and Poverty untuk membuat serangkaian riset pendahuluan, pengembangan jaringan yang kemudian bermuara pada pembuatan buku bunga rampai tentang inisiatif gerakan sosial, ornop, dan negara dalam menghidupkan berbagai agenda land reform di Asia, Afrika dan Amerika Latin (Ghimire 2001a). UNRISD kemudian menyelenggarakan rangkaian penelitian independen di bawah tema “Grassroots Movements and Initiatives for Land Reform” yang keseluruhan naskahnya kemudian ditebitkan dalam buku berjudul Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform in Developing Countries (Ghimire, 2001b). Studi lanjutannya dilakukan UNRISD dengan tema “Civil Society Strategies and Movement for Rural Asset Redistribution and Improved Livelihood” menyambut maraknya gerakan sosial pedesaan menuntut redistribusi dan dan kelompok-kelompok masyarakat sipil bekerja menghadapi ekspansi ideologi dan program kebijakan pertanahan pro-pasar dari Bank Dunia dan badan-badan pembangunan internasional lainnya. Naskah-naskah hasil riset itu diterbitkan dalam buku Civil Society and The Market Question: Dynamics of Rural Development and Popular Mobilization (Ghimire, 2005), Roma: UNRISD dan ITDC. Seiring dengan bangkitnya tema gerakan perjuangan tanah dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di tahun 2002, Moyo dan Yeros mengkoordinasi scholar-cum-activists untuk menulis analisa mengenai gerakan-gerakan sosial pedesaan yang mengandalkan okupasi tanah sebagai taktik utamanya. Usaha ini kemudian dibukukan di bawah judul Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America (Moyo dan Yeros, 2005). Setahun setelah buku itu, suatu lingkaran aktivis yang tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan aktivis gerakan sosial dalam Kampanye Global tentang Pembaruan Agraria menerbitkan buku yang berjudul Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform (Rosset, Patel, dan Courville, 2006). Buku ini mengritik keras pendekatan pro-pasar dan mengedepankan kerangka khusus “Agrarian Reform and Food Sovereignity”.

Kritik pada pendekatan pro-pasar juga dilakukan oleh sejumlah sarjana yang memiliki penelitian mendalam di berbagai negara Asia, Amerika Latin dan Afrika. Sarjana-sarjana yang dikoordinir oleh Institute of Social Studies (ISS) The Hague menyelenggarakan penelitian bertema “Land Policies, Poverty and Public Action” yang disponsori oleh Bureau of Development Policy - UNDP (the United Nations Development Programme). Sepuluh pengalaman implementasi land reform kontemporer diterliti dan disajikan secara analitis dan komparatif, yakni Armenia, Bolivia, Brazil, Egypt, Ethiopia, Namibia, The Philippines, Uzbekistan, Vietnam, dan Zimbabwe. Salah satu muara kebijakan dari penelitian ini ada suatu Policy Brief No. 2/Nov/2006 “The Unresolved Land Reform Debate: Beyond State-Led and Market-Led Model” (Borras and McKinley, 2006). Mereka kemudian menerbitkan hasilnya dalam buku berjudul Land, Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries (Akram-Lodhi, Borras Jr., dan Kay, 2007). Seiring dengan proses pembuatan buku ini, dua dari kelompok sarjana dari Institute of Social Studies (ISS), the Hague ini akan pula yang mengeluarkan buku suntingan berjudul Peasant Livelihoods, Rural Transformation and the Agrarian Question (Akram-Lodhi and Kay 2007).

Untuk melihat dinamika pasang-surut dari kebijakan land reform di dunia semenjak masa keemasa Reforma Agraria di tahun 1960-an, kita tidak bisa untuk mengabaikan jurnal ternama FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform Land Settlement and Cooperatives, yang terbit reguler tiap tahun semenjak tahun 1963. Jurnal yang telah berumur 45 (empat puluh lima) tahun itu sejak awal diterbitkan sebagai suatu medium untuk diseminasi informasi dan berbagai pandangan tentang land reform and topik-topik yang berhubungan, dan diisi oleh ahli-ahli dari badan-badan PBB, pemerintah-pemerintah anggota FAO, maupun ahli dar badan-badan independen. M. Riad El-Ghonemy, salah seorang redaktur awal awal jurnal ini, dan kemudian juga menjadi pekerja intelektual di FAO untuk jangka waktu yang panjang hingga saat ini, menulis suatu buku baru berjudul The Crisis of Rural Poverty and Hunger: An Essay on the Complementarity between Market- and Government-Led Land Reform for its Resolution (El-Ghonemy 2007). Buku yang mencoba mendamaikan dan mencari keseimbangan antara kekuatan pasar dan pemerintah dalam menjalankan land reform ini pun mengisi daftar studi-studi terbaru itu tentunya dapat menjadi sumber bagi mereka yang hendak memiliki pemahaman akademik mengenai kebangkitan agenda reforma agraria itu.

Di salah satu ujung dari kajian atas pengalaman-pengalaman pelaksanaan land reform di berbagai tempat dengan berbagai pelaku, biasanya disusunkan kategori/pengelompokan berbagai tipe Reforma Agraria. Berdasarkan cara bagaimana land reform itu dijalankan, dibedakan tiga tipe ideal, yakni: State-Led Land Reform, Market-Led Land Reform, dan Peasant-Led Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley (2006) mengemukakan model keempat yang merupakan suatu upaya mewujudkan Pro-Poor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok (lihat Tabel 2), yakni:

(i) Pengorganisasian rakyat miskin pedesaan yang otonom; Organisasi ini dibentuk dari kebutuhan dan perjuangan rakyat miskin sendiri, jatuh-bangun menempa dan membangun kepemimpinannya yang mandiri. Mereka harus lah otonom dari kekuatan negara dan pengusaha tanah luas dan mewakili kepentingan strategi dan program buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan serta mampu memenuhi kebutuhan praktis mereka.

(ii) Koalisi politik yang luas dan pro-reforma; Koalisi ini harus kuat, misalnya, untuk menolak berkompromi dengan faksi-faksi politik yang mewakili kepentingan penguasa tanah luas, pengusaha-pengusaha besar industri agrobisnis yang berorientasi ekspor, dan memegang teguh kepentingan strategis dari buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan.

(iii) Investasi publik, kredit pemerintah dan asistensi teknis yang besar; Koalisi di atas harus lah sampai pada keberhasilan mengalokasikan bajet negara dalam jumlah yang substansial. Hal inilah yang akan mampu menciptakan kondisi-kondisi perbaikan produktivitas dan kualitas lingkungan yang menjamin keberlangsungan nilai guna dari tanah yang diredistribusikan.

(iv) Intervensi mikroekonomi maupun wilayah untuk meningkatkan produktivitas dan perbaikan lingkungan itu tidak akan berhasil berkelanjutan tanpa pilar yang keempat, yakni strategi pembangunan pro-poor yang berorientasi pertumbuhan (pro-poor Growth-oriented Development Strategy). Pilar keempat ini memang berhadapan dengan arus besar globalisasi neoliberal, sehingga mau tidak mau elit negara harus berfungsi menjalankan kewajibannya untuk menyediakan berbagai fasilitas yang memproteksi orang miskin pedesaan dari ancaman neoliberal enclosure.

Tabel 2. 
4 (Empat) Tipe Land Reform berdasarkan Aktor Utama Penggeraknya



4. Penutup: menengok sekelebat ke cara reforma agraria kembali ke pentas kebijakan nasional saat ini

Globalisasi dan neoliberalisme di Indonesia telah berpengaruh begitu mendalam dalam masyarakat pedesaan Indonesia sebagaimana telah diurai detil oleh banyak penulis (Cf.: Fauzi, 2001; Wibowo dan Wahono 2003, Setiawan, 2003; Khudori, 2004; Ya’kub, 2004, Herry-Priyono 2006). Seperti juga gerakan-gerakan sosial umumnya di Dunia Ketiga, berbagai organisasi gerakan rakyat pedesaan di Indonesia telah menjadikan Reforma Agraria sebagai agenda tandingan atas globalisasi neoliberal itu.

Agenda “Reforma Agraria” kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana serta aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru (Kasim dan Suhendar, 1996; Bachriadi, et.al., 1997; Suhendar dan Winarni, 1997; Wiradi, 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman, et.al., 1995; Fauzi and Fidro, 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agraria yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto di tahun 1998. Andil dari organisasi-organisasi gerakan agraria lokal maupun ornop-ornop nasional pendukungnya sangat lah besar dalam mengangkat agenda Reforma Agraria saat itu.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal sampai nasional, yang di antaranya ditulangpunggungi oleh aktivis-aktivis agraria. Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promotor reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey, 2002; 2003; Bachriadi, 2002; Wiradi, 2002; Lucas and Warren, 2003; serta Ya’kub, 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi, 2002; Soemardjono, 2002; dan 2006; serta Winoto, 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengimplementasi TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan kemudian juga pada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (Bachriadi, 2004a; dan Tim kerja KNuPKA, 2004). Namun kemudian jawaban datang dari pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di tahun 2005 yang menolak pembentukannya dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria.

Pimpinan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) pada periode 2001-2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono, 2002, 2006, 2008). Hal ini menangguk pro dan kontra yang berkepanjangan, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, seperti halnya berbagai usulan revisi UUPA sebelumnya (untuk sketsa mengenai hal ini lihat Bagan 1 Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengubah UUPA 1960, yang bersumber dari Bachriadi 2004b, 2006, 2007). Aliran energi yang besar dan kontroversi ini diakhiri dengan tercapai kesepakatan antara pimpinan BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPRRI pada Rapat Konsultasi tanggal 29 Januari 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA (Sinar Harapan, 30 Januari 2007). Selanjutnya, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto, 2006).

Bagan 1: 
Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengubah UUPA 1960



Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN RI bersama Menteri Kehutanan RI dan Menteri Pertanian RI, dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya, untuk sektor kehutanan lihat Contreras-Hermosilla and Fay, 2005; Kartodirdjo, 2006; sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani, et.al., 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agraria belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa kita belum menemukan cara bagaimana Reforma Agraria diintegrasikan ke kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif, pembolehan investasi di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunan untuk bahan bakar nabati hingga upaya pelestarian lahan pertanian sawah abadi, belum dapat beresonansi dengan apa yang dikerjakan BPN dengan PPAN itu. Perlu penelitian dan penilaian yang seksama apakah macam-macam inisiatif itu membentuk apa yang tergolong menurut Feder (1970) sebagai counterreform.

Perlu penyelidikan yang mendalam dan seksama bagaimana dinamika perjuangan agraria dan implementasi bentuk-bentuk program pembaruan agraria pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah agraria (agrarian questions) dewasa ini, dengan terutama meletakkannya dalam konteks yang luas yakni (i) berbagai bentuk kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan agraria yang kronis, yang tampak berupa kekurangan bahan makanan dan nutrisi yang cukup, konsentrasi kepemilikan asset, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan lingkungan yang mengguncangkan, konflik agraria yang meledak-ledak, dan – last but not least – ketidakmampuan rakyat pedesaan memiliki tabungan (domestic capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya; (ii) berbagai strategi dan kebijakan pembangunan agraria yang dijalankan secara nasional maupun lokal, termasuk yang yang diidentifikasi oleh Kepala BPN RI sebagai end-pipe policies dan colonial mode of development (Winoto, 2007); dan (iii) berbagai konfigurasi kekuatan politik lokal yang terbentuk akibat warisan sistem politik Orde Baru, transisi demokrasi di tingkat nasional maupun implementasi kebijakan desentralisasi-demokratik yang diterapkan semenjak tahun 2000, yang didalamnya termasuk kekuatan-kekuatan masyarakat sipil berjaringan secara nasional maupun transnasional, dan gerakan sosial yang berakar lokal.

Pengetahuan empiris tersebut, disertai dengan (i) pengetahuan teoritik yang mendalam mengenai debat-debat klasik dan kontemporer tentang masalah-masalah agraria dan agenda Reforma Agraria, dan (ii) pengetahuan pembanding mengenai bagaimana dan konteks Reforma Agraria dijalankan di berbagai negara lain, perlu ditempatkan dalam rangka membangun basis pengetahuan yang otoritatif tentang Reforma Agraria Indonesia. Saat ini karya-karya tulis yang bermutu mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan reforma agraria Indonesia masihlah sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka selain memperbanyak ragam kekuatan sosial-politik yang mengusung agenda Reforma Agraria, yang benar-benar diperlukan juga adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi agraria wilayah, bukan hanya yang bersifat aspek-aspek dari keadaan agraria saat ini, tapi juga disertai dengan menghubungkan keadaan agraria saat ini dengan proses pembentukannya dalam sejarah dan geografi yang khusus pula.. ***)

Wallaahualam bissawab.
Bandung, 31 Maret 2008


Noer Fauzi, Ph.D. Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and Management (ESPM), Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, dan Koordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria 2002-2005.

BIBILIOGRAFI

Abrahamsen, Rita, 2003, “Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa” dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta: Lafald Pustaka.

Akram-Lodhi, A. Haroon and Cristobal Kay. in press¬. Peasant Livelihoods, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge.

Akram-Lodhi, 2007, “Land, Markets and Neoliberal Enclosure: An Agrarian Political Economy Perspective” dalam Third World Quarterly 28:8, pp. 1437-1456.

Araghi, Farshad A., 1995, "Global Depeasantization, 1945-1990", dalam The Sociological Quarterly 36: 337-368

Bachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.), 1997, Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FE Universitas Indonesia dan KPA.

Bachriadi, Dianto, 2002. “Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas, 11 Januari 2002.

______________, 2004a. “Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengubah UUPA 1960”, bahan presentasi di Institute of Global Justice (IGJ), September 2004.

______________, 2004b. “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, pp. 497-521.

______________, 2007, “Reforma Agraria untuk Indonesia:Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY”, download tanggal 28 Maret 2008 dari http://agrarianrc.multiply.com/journal/item/19

______________, (2006), Invasions to the Last (Law) Fortress of Populist Land Reform: Neo-liberal Land Policy and Consolidation of Power in Indonesia, paper presented in a workshop of ‘Land Market Policies: Some Reactions from Below’ in the International Conference on “Land, Poverty, Social Justice and Development: Social Movements Perspectives”, 12-14 January 2006 - Institute of Social Studies (ISS), The Hague, The Netherlands.

____________, (2007) Serbuan ke Benteng Pertahanan Terakhir: Neoliberalism dan Kebijakan Pertanahan Masa Kini di Indonesia, bahan presentasi pada Sekolah Politik Reforma Agraria (SPORA), Bandung, Maret 2007, Pergerakan, Konsorsium Pembaruan Agraria dan Serikat Petani Pasundan. download tanggal 28 Maret 2008 dari
http://agrarianrc.multiply.com/journal/item/11/Serbuan_ke_Benteng_Pertanahan_Terakhir

Bernstein, Henry, 2002, “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2(4): 422-463.

Bey, Idham Samudera, 2002, “Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali - Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001”, Kompas, 10 January 2002.

____________, “UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam”, Kompas, 10 May 2003.

Borras Jr., Saturnino M.; Terry McKinley, 2006, “The Unresolved Land Reform Debate: Beyond State-Led and Market-Led Model”, dalam Policy Research Brief No. 2 November 2006, International Poverty Center-United Nation Development Programme.

Borras Jr., Saturnino M.; Christóbal Kay and A. Haroon Akram Lodhi, 2007, “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues,” dalam Land, Poverty and Livelihoods in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries, Edited by Akram-Lodhi, A.H.; S.M. Borras, Jr. and C. Kay, London: Routledge.

Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, London: Intermediate Technology Publications.

Byers, Terrence J., 2004, “Introduction: Contextualizing and Interogating the GKI Case for Redistributive Land Reform”, dalam Journal of Agrarian Change 4(1 & 2): 1-16.

Clifford, James, and George Marcus (eds), 1986, Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography, Los Angeles & Berkeley: University of California Press.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo and Chip Fay, 2005, Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action, Washington D.C.: Forest Trends.

Cook, 2005, “Positionality/Situated Knowledge”, dalam D. Atkinson et.al. (eds.), Cultural Geography: A Critical Dictionary of Key Concepts halaman 16-26, London: I.B. Tauris.

Cousins, Ben, 2007, “Land and Agrarian Reform in the 21st Century: Changing Realities, Changing Arguments?”, Keynote address on the Global Assembly of Members, International Land Coalition, 24-27 April 2007, Entebbe, Uganda.

Courville, Michael and Raj Patel, 2006, “The Resurgence of Agrarian Reform in the Twenty-first Century”, dalam Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform, Edited by Rosset, Peter; Raj Patel, and Michael Courville, Oakland: Food First.

Deininger, Klaus, 2003, “Land Policies for Growth and Poverty Reduction”, A World Bank Policy Research Report, Oxford: Oxford University Press and the World Bank.

De Janvry, Alain, Gustavo Gordillo and Jean-Philippe Platteau (eds.), 2001, Access to Land, Rural Poverty and Public Action, Oxford: Clarendon Press.

El-Ghonemy, M. Riadh, 2003, “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century”, dalam Land Reform, Land Settlement and Cooperatives No. 2/2003.

______________, 2007, The Crisis of Rural Poverty and Hunger: An Essay on The Complimentary Between Market- and Government-Led Land Reform for Its Resolution, New York: Routledge.

Fakih, Mansour, 2003, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST Press, 2003.

Fauzi, Noer dan Boy Fidro (Eds.), 1998, Pembangunan Berbuah Sengketa: Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara.

Fauzi, Noer, 1997, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia p.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA..

______________, 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

______________, 2003, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Karsa.

______________, 2005a, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Insist Press.

______________, 2005b, Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Resist Book.

FAO, 1951, Land Reform - Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development.

FAO (2002) “The Continuing Need for Land Reform: Making the Case for Civil Society”, FAO Land Tenure Series: Concept Paper Vol. 1, Rome: FAO.

Feder, Ernest, 1970, “Counterreform”, dalam Stavenhagen, Rudolfo (ed.), Agrarian Problems and Peasant Movements in Latin America, New York: Doubleday Anchor.

Fox, Jonathan, 1990, “Editor’s Introduction”, dalam The Journal of Development Studies, Special Issue on The Challenges of Rural Democratization: Perspectives from Latin America and the Philipines, Vol. 26, July 1990.

Ghimire, Khrisna B., 2001a, “Regional Perspectives on Land Reform: Considering the Role of Civil Society Organization”, dalam Whose Land: Civil Society Perspectives on Land Reform and Rural Poverty Reduction, London: ITDG; Geneva: UNRISD.

_____________, 2001b, “Land Reform at the End of the Twentieth Century: An Overview of Issue, Actors and Processes”, dalam Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform, Edited by Krishna B. Ghimire, London: ITDG; Geneva: UNRISD.

_____________, 2005, “Markets and Civil Society in Rural Transformation: An Overview of Principal Issues, Trends, and Outcomes”, dalam Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform in Developing Countries, Edited by Krisna Ghimire, Roma: UNRISD dan ITDC.

Griffin, Keith; Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz, 2002, “Poverty and The Distribution of Land”, dalam Journal of Agrarian Change 2(3): 279-330.

____________, 2004, “In Defense of Neo Clasical Neo Populism” dalam Journal of Agrarian Change 4(3): 361-386.

Herry-Priyono, B. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan”, naskah refleksi yang disampaikan dalam acara Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006.

Haraway, Donna, 1988, "Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and Privilege of Partial Perspective", dalam Feminist Studies 14, p.575-99.

Harman, Benny K., Paskah Irianto, dan Noer Fauzi (eds.), 1995, Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Pertanahan, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Hartsock, Nancy, 1987, “The Feminist Standpoint” dalam Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology, Milton Keynes: Open University Press.

Hobsbawm, Eric, 1985, Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-1991, London: Abacus Books, Little, Brown and Co.

Harsono, Boedi, 1994, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Penerbit Jambatan.

Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.

_________. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_________. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Kartodirdjo, Hariadi, 2006, Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan. Menguak Masalah institusi dan Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Indonesia, Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB.

Kitschelt, Herbert, 1986, “Political Opportunity Structures and Political Protest: Antinuclear Movement in four Democracies,” dalam British Journal of Political Science 16: 57-85.

Kriesi, Hanspeter, 1995, “The Political Oportunity Structure of New Social movement: Its Impact on their Mobilization”, dalam J. Craigh Jenkins and Bert Klandermans (Eds.), The Politics of Social Protest, Comparatice Perspectives on States and Social Movements, London: University College London.

__________, 2004, “Political Context and Opportunity”, David. A. Snow, Sara A. Soule, dan Hanspeter Kriesi (Eds.), The Blackwell Companion to Social Movement, Oxford: Blackwell Publishing.

Kasim, Ifdhal dan Suhendar, 1996, Tanah sebagai Komoditas Strategis: Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Jakarta: ELSAM.

IFAD, 2001, IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, Rome: International Fund for Agricultural Development.

Jacoby, Eric, 1961, Agrarian Unrest in Southeast Asia p.50.

Khudori, 2004, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: Resist Book.

Lipton, M., 1974, ‘Toward A Theory of Land Reform”, dalam Agrarian Reform and Agrarian Reformism: Studies in Peru, Chile, China and India, diedit oleh D. Lehmann, London: Faber.

_____________, 1977, Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development, Cambridge: Harvard University Press.

Lucas, Anton and Carol Warren, 2003, “The State, The People and Their Mediators, The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, Indonesia No. 76 (October 2003).

McAdam, Dough, 1982 [1999], Political Process and the Development of Black Insurgency, 1920-1970, Chicago: University of Chicago Press.

_____________, 1986, “Conceptual Origins, Current Problems, Future Directions”, dalam McAdam, D., J.D. McCarty, and M.N. Zald (Eds)., Comparative Perspective on Social Movement, Political opportunity Structure, Mobilizing Structures, and Cultural Framings, Cambridge: Cambridge University Press.

McAdam, Doug, Sidney Tarrow, and Charles Tilly, 2001, Dynamic of Contention, Cambridge: Cambridge University Press.

Meyer, David S., 2004, “Protest and Political Opportunities”, Annual Review Sociology 30:125–45

Meyer, David S. and Debra C. Minkoff, 2004, “Conceptualizing Political Opportunity”, dalam Social Forces, 82(4):1457-1492.

Mayrowani, Henny, 2004, “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian”, dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Departemen Pertanian.

Moyo, Sam and Paris Yeros, 2005, Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America, London: Zed Book.

Powelson, John and Richard Stock, 1987, The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World, Cambrige: The Lincoln Institute of Land Policy.

Prosterman, Roy L. and Tim Hanstad, 2001, “Land Reform in the 21st Century: New Challenges, New Responses”, dalam A Rural Development Institute (RDI) Reports on Foreign Aid and Development No. 117.

Putzel, James, 2000, “Land Reform in Asia: Lessons from the Past for the 21st Century”, dalam LSE Development Studies Institute-London School of Economics and Political Science, Working Paper Series No 00-04.

Rosset, Raj Patel, dan Michael Courville, 2006, Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform, Oakland: Food First

Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian, Jakarta: The Institute for Global Justice.

Soemardjono, Maria S.W., 2002, “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.

____________, 2006, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi revisi, Jakarta: Penerbit Kompas.

____________, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Kompas.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni, 1997, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga.

Tarrow, Sidney, 1998, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, New York: Cambridge University Press.

Tilly, Charles, 1978, From Mobilization to Revolution, New York: Random House.

Tim Kerja KNuPKA, 2004, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria”, hasil lokakarya Persiapan Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), Maret 2004, Jakarta: KOMNAS HAM, KPA, HUMA, WALHI, BINA DESA.

Quan, Julian, 2006, “Land Access in the 21st Century: Issues, Trends, Linkages and Policy Options”, dalam Food and Agriculture Organization - Livelihood Support Program(FAO- LSP) Working Paper No. 24.

Webster, Neil, 2004, “Understanding the Evolving Diversity and Originalities in Rural Social Movements in the Age of Globalization: Civil Society and Social Movements”, Paper No. 7, United Nation Research Institute for Social Development (UNRISD).

White, Benjamin, 2002, “Agrarian Debates and Agrarian Research in Java, Past and Present”, dalam Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds.), Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Bandung, Halaman 41-83, Bandung: Yayasan Akatiga.

_____________, 2005. “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalam Veri R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia, Halaman 107-142, Jakarta: Equinox and ISEAS.

Wibowo. I. And Francis Wahono (Eds.), 2003, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Winoto, Joyo, 2007, Reforma Agraria dan Keadilan Sosial, Orasi Ilmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 September 2007.

Wiradi, Gunawan, 2001, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Noer Fauzi (Ed.), Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.

______________, 2002, “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria ‘Post’ TAP-MPR No. IX/2001”, Jurnal Analisis Sosial 7(3):1-10, Bandung: Yayasan Akatiga.

Wolf, Eric, 1971, Peasant Wars of the Twentieth Century, New York: Harper and Row.

Ya’kub, Ahmad, 2004, “Agenda Neoliberal menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1):47-64, Bandung: Yayasan Akatiga.



Baca selengkapnya!