27.2.07

Papua Harus Ber-Swadeshi

David Chan

Kebebasan politik tidaklah cukup. Perjuangan rakyat Papua Barat hanya mungkin meraih keberhasilan jika seluruh rakyat Papua bersatu. Dan mereka hanya bisa bersatu jika mereka memikul bersama beban dan nasib mereka. Mereka harus memiliki kepentingan bersama, dan perspektif bersama tentang tujuan perjuangan mereka.

Saya menyerukan agar para pemimpin dan tokoh intelektual Papua Barat belajar dari Mahatma Gandhi tentang Prinsip Dasar Perlawanan Tanpa-Kekerasan. Selanjutnya, mereka harus menyampaikan prinsip-prinsip itu ke lapisan bawah masyarakat. Nelson Mandela (berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan) dan Martin Luther King Jr. (berjuang melawan diskriminasi rasial di Amerika Serikat), keduanya belajar banyak dari Gandhi.

Mahatma Gandhi memulai SWADESHI dengan satu SUMPAH. Ia membakar semua pakaian impornya dan mulai mengenakan pakaian yang ditenun oleh perempuan-perempuan India. Mulai dari pakaian, kemudian garam, dan berlanjut ke barang-barang kecil lainnya. Semua ini sepertinya tidak penting atau remeh. Tetapi karena rakyat India melaksanakannya dengan tekad penuh, pada akhirnya Inggris kolonial menyerah.

India mencapai kemerdekaannya tanpa kekerasan. Para korban, baik dari pihak India maupun Inggris, jumlahnya hanya beberapa ribu (terutama mereka yang mengabaikan prinsip-prinsip non-kekerasan yang disarankan Gandhi). Bandingkan, misalnya, dengan Aljazair dan Prancis, yang kehilangan 900 ribu orang dalam ajang konfrontasi. Sebabnya, Aljazair menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Kini, India dan Inggris, adalah dua negara yang bersahabat (karena sukses melakukan rekonsiliasi). Sementara hubungan antara Prancis dan Aljazair bermasalah terus.

SWADESHI bisa dimulai dari kekuatan yang saat ini dimiliki rakyat Papua:

SWADESHI Bahan Makanan Pokok:

Tinggalkan beras dan kembali ke sagu atau umbi-umbian. Dengan kembali ke sagu dan umbi-umbian ini, ada sejumlah ratusan milyar rupiah yang bisa kita hemat, karena uangnya tidak mengalir ke Jawa [untuk membeli beras]. Jumlah uang yang sangat besar ini bisa dimanfaatkan rakyat Papua untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak mereka. Jadi, sagu bukan hanya sekadar masalah kebiasaan makan, sagu juga harus digunakan sebagai alat perjuangan (silahkan baca artikel lain saya yang berjudul “RASKIN” di www.westpapua.ca). Ketergantungan pada beras sama dengan ketergantungan pada para pendatang (transmingran). Setelah bebas dari beras, kita bisa naik ke jenjang lebih tinggi pada tangga kemerdekaan.

SWADESHI Kebutuhan Dapur:

Setiap tahun, rakyat Papua mengonsumsi ratusan metrik ton garam impor dari pulau Madura (pulau di sebelah timur laut Jawa). Jika Anda berlayar di sepanjang Selat Madura, Anda akan melihat air yang berwarna coklat-kehitaman, penuh limbah industri. Sebaliknya, ribuan kilometer pantai rakyat Papua air lautnya murni, bebas dari pencemaran. Sayangnya, tak ada sejengkal pun yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Rakyat Papua harus memproduksi garam sendiri, juga gula aren, kopi, dan barang-barang kecil lainnya.

SWADESHI Tas:

Buang tas kulit dan kantong plastik buatan Bandung dan Tanggulangin (kota dan desa yang menjadi pusat produksi tekstil dan barang-barang dari kulit di Jawa). Orang Papua mesti kembali menggunakan NOKEN. Noken adalah tas tradisional orang Papua. Jika ratusan ribu pelajar/mahasiswa, buruh, pelayan publik (pegawai negeri), dan intelektual kembali menggunakan NOKEN atau tas tenunan daun pandan (pandanus leave) dan dibuat 100 persen oleh ibu-ibu Papua maka, ada ratusan atau bahkan milyaran rupiah yang bisa diselamatkan oleh rakyat Papua dari mengalir ke Jawa. Uang ini juga bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan sehari-hari rakyat Papua.

SWADESHI Tekstil:

Ketika Belanda masih berada di Papua, ada usaha-usaha untuk memampukan rakyat Papua untuk memproduksi kebutuhan tekstil mereka sendiri. Para biarawati Katolik dulu memperkenalkan alat pemintal benang wol di wilayah pengunungan tengah. Gereja Katolik di wilayah Kepala Burung, dulu biasa mengirim ibu-ibu Papua ke Pulau Timor untuk belajar menenun. Hasilnya, mereka sanggup menenun dan memproduksi pakaian sendiri. Ini berlangsung hingga akhir dasawarsa 1980-an. Tetapi, kini keahlian itu telah dilupakan. Rakyat Papua harus bangun kembali untuk memproduksi tekstil sendiri. Memang tidak mudah untuk melaksanakan SWADESHI di bidang tekstil, tapi jika ada keinginan pasti ada jalan.

SWADESHI Sumberdaya Manusia (SDM):

Kita salah, jika masalah SDM dipahami sebagai seluruh rakyat Papua harus meraih gelar universitas seperti B.A atau B.Sc, Master, Doktor atau profesor. Seorang penjahit adalah SDM, demikian juga dengan penjual mie keliling, tukang pangkas rambut, atau seorang tukang tambal ban, Bapak Yohanes yang menyadap zat tepung dari pohon sagu di hutan, adalah SDM, Ibu Bonay yang mencangkul tanah dan menanam keladi di desa Arso adalah SDM, Jakobus Mandacan, seorang mahasiswa yang juga bekerja sebagai sopir taksi adalah SDM, dan seterusnya.

Dan, masih banyak sektor dalam kehidupan rakyat Papua yang membutuhkan penerapan Swadeshi.

Bagaimana memulai SWADESHI?

- Mulailah dari diri sendiri
- Mulailah dari hal-hal yang kecil
- Mulailah sekarang juga.

Jangan meremehkan laki-laki lemah tak berdaya ini, Mahatma Gandhi. Walaupun tulangnya hanya dilapisi kulit (karena kegiatan puasa dan doa), gagasannya tentang Swadeshi tetap hidup di India. Goldman Sach, suatu lembaga riset global terkenal melaporkan, ekonomi India akan melampaui ekonomi Amerika Serikat pada 2050. Ini karena kesungguhan rakyat India dalam menerapkan Swadeshi. Bagaimana dengan Papua?***

David Chan, seorang warganegara yang peduli, tinggal di Papua Barat.

Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli “PAPUA MUST GO SWADESHI,” dari the east-timor news list. Terjemahan ini diperiksa oleh Nug. Katjasungkana.


1 comment:

Anonymous said...

Sedikit masukan dari sudut padang hukum internasional.

Salah satu prinsip hukum internasional adalah uti poseditis yang pada prinsipnya mengakui batas wilayah negara berdasarkan batas pada jaman kolonial. Berdasarkan hal itu, maka Indonesian punya "hak" yang kuat atas Papua. Memang ada detail yang lebih jauh lagi yang harus dibuktikan dalam konteks prinsip uti poseditis tersebut, misal soal pembuktian di waktu tertentu seberapa jauh pemerintah Indonesia telah secara efektif menguasai wilayah tersebut, tapi bukti-bukti sertafakta bahwa referendum di Irian Barat sudah di "supervisi" oleh UN, sangat kuat dimiliki oleh negara Indonesia.

Jadi dari sisi hukum internasional sangat kecil kemungkinan pengakuan Papua sebagai negara tersendiri.

Karenanya mungkin lebih baik agar fokus kepada "pembangunan yang adil" daripada menghabiskan energi untuk isu kemerdekaan.

Memang merdeka mungkin isu yang lebih penting buat sebagian orang. Saya hanya share kemungkinan merdeka dari sudut pandang hukum internasional.

salam baik,