30.8.06

Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara

Vedi R Hadiz

Abstract: The article concerns the tradition of political unionism in Southeast Asia, with reference to the experiences of Indonesia, Malaysia, Thailand and the Philippines. It argues that political unionism was once an important feature of the political landscape of these societies. It also argues that a conjuncture of factors has resulted in the near death of political unionism and that this has been detrimental to the overall strength of organised labour in the region. Specifically, the article discusses the impact of the political defeat of the Left, some of the affects of the timing of industrialisation in these societies, and that of contemporary globalisation. The position of organised labour in the region today is primarily examined in relation to the Asian economic crisis of 1997/1998.

Kata-kata Kunci: Buruh terorganisasi Asia Tenggara, kekuatan buruh, pengorganisasian buruh, tradisi keserikatburuhan politik, industrialisasi, kekalahan politik kelompok Kiri, globalisasi, krisis ekonomi Asia 1997/98.


Tulisan ini mengangkat tema buruh yang terorganisasi di empat negeri Asia Tenggara – Inonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – dalam konteks globalisasi dan dalam situasi konflik sosial di masing-masing negeri. Bersama dengan negeri-kecil Singapura, negeri-negeri ini mewakili Asia Tenggara pertama yang mengikuti jalan industrialisasi kapitalisme pada puncak Perang Dingin, dan yang secara tidak malu-malu menyekutukan dirinya dengan kepentingan AS dan Barat secara umum. Tulisan ini menyajikan latar belakang sejarah mengenai gerakan buruh di masing-masing negeri dalam menghadapi kancah perjuangan politik, khususnya pada saat atau beberapa saat sebelum periode industrialisasi yang pesat, termasuk dalam konteks zaman kampanye anti-komunis selama Perang Dingin. Selain itu, tulisan ini juga mendiskusikan tanggapan-tanggapan mutakhir atas tekanan-tekanan terhadap buruh dan gerakan buruh skala nasional yang diakibatkan krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998.

Inti tulisan ini terutama ingin menentukan posisi buruh Asia Tenggara dalam hubungannya dengan konfigurasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Argumen yang dikembangkan ialah bahwa hasil dari perjuangan politik masa lalu yang melibatkan kekuatan buruh dan anti-buruh, serta beberapa aspek globalisasi, menyatu untuk menjaga agar buruh di negeri-negeri kawasan Asia Tenggara relatif tetap tak berdaya. Krisis ekonomi semakin memperlemah posisi tawar buruh terorganisasi di kawasan ini. Dengan kata lain, masih ada hambatan ekonomi dan politik bagi perkembangan gerakan buruh yang kuat dan efektif di masyarakat Asia Tenggara, meski sebagai wilayah industrialisasi kapitalis kawasan ini telah maju dalam beberapa dasawarsa dan menciptakan kondisi bagi perkembangan organisasi kelas buruh yang lebih substansial.

Buruh dan Kekuasaan

Dalam satu artikel menarik tentang kepentingan modal dan buruh ‘yang tergantung keadaan’ untuk mendukung demokrasi, Bellin (2000) mengamati bahwa dalam konteks apapun yang menentukan jalan perubahan politik ialah hasil perjuangan konkrit antara kekuatan sosial yang saling bersaing. Bellin lalu menyebutkan bahwa alur sejarah yang spesifik tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Posisi Bellin ini melengkapi apa yang telah dijelaskan Rodan, dkk (2001: 15) dalam ‘laporan konflik sosial’ perkembangan Asia Tenggara yang menganggap bahwa pengambilan keputusan tidak hanya merupakan hasil memilih ‘secara rasional’ keputusan-keputusan yang ‘tepat’ dalam suatu cara yang teknokratis dan bebas nilai, tetapi lebih mendasar lagi juga sebagai hasil dari pertarungan antara kepentingan yang bersaing atau hasil dari koalisi kepentingan. Setiap kebijakan secara esensial merupakan indikasi dari bentuk tertentu pembagian kekuasaan. Maksudnya, untuk memahami bahwa kondisi sosial, ekonomi dan politik yang umumnya buruk di mana buruh terorganisasi menjalankan aktivitasnya di Asia Tenggara, tak lain merupakan akibat dari pertarungan kepentingan dalam pembagian kekuasaan semacam ini. Kompetisi tersebut terjadi pada masa-masa sulit, penuh kekerasan dengan kerap kali diiringi konflik berdarah yang sengaja dipelihara, dan pada akhirnya menciptakan rezim politik yang cenderung membatasi pengaruh buruh sebagai satu kekuatan sosial.

Dengan dasar pendekatan seperti di atas kita dapat memahami mengapa buruh terorganisasi di Asia Tenggara relatif tetap lemah meskipun terjadi satu proses industrialisasi yang pesat dalam beberapa dasawarsa lalu, yang sebetulnya menyediakan banyak kondisi potensial bagi tumbuhnya kelas buruh dan organisasi-organisasinya. Pada periode industrialisasi yang pesat ini lapangan kerja di sektor industri digencarkan sebagai kebijakan oleh semua negara. Dalam tingkat yang berbeda-beda, industrialisasi telah mentransformasi lingkungan sosial buruh, kehidupan mereka, kondisi kerja mereka, juga mentransformasi aspirasi sebagian besar masyarakat Asia Tenggara; karena proses industrialisasinya yang tidak begitu pesat, Filipina terkena pengaruh yang paling sedikit. Banyak dari masyarakat ini sebetulnya telah mapan hidup di wilayah pertanian yang berkesinambungan, tetapi terdorong menuju realitas hidup yang suram dan rutin di pabrik-pabrik, kawasan berikat (zona khusus perdagangan bebas/kawasan khusus pemrosesan barang-barang ekspor—penerjemah), dan kawasan-kawasan kumuh kota yang amat luas terhampar di Asia Tenggara. Transformasi demikian dalam basis material dan kultural masyarakat barangkali diharapkan memicu perkembangan gerakan buruh yang lebih efektif, sebagaimana pengalaman sejarah di Eropa dan di wilayah lainnya.

Tetapi secara historis ketiadaan rezim yang secara tegas lebih pro-buruh di Asia Tenggara yang tengah mengalami industrialisasi ini, hingga pada saat dan setelah krisis ekonomi 1997/98, merupakan cerminan dari ketidakmampuan buruh mempertarungkan kekuatan secara efektif. Pada saat yang sama hal ini juga menunjukkan dominasi koalisi kekuatan dan kepentingan sosial di Asia Tenggara yang anti-buruh.

Bentuk sejarah perjuangan politik di Asia Tenggara, yang dibahas secara rinci oleh Mark Berger (2004: 30-49), menghasilkan naiknya koalisi anti-komunis yang secara umum juga anti-buruh – faktor penting yang menentukan langkah pasti perkembangan Asia Tenggara. Koalisi seperti itu biasanya akan memasukkan kepentingan modal lokal dan internasional, sekelompok masyarakat-menengah kota yang bergaji dan sederet birokrat-politik, dan terkadang juga militer. Bukan suatu kebetulan bahwa dalam banyak kasus koalisi-koalisi ini memiliki kaitan dan berasal dari koalisi pada periode akhir penjajahan yang melihat bangkitnya gerakan kelompok pejuang kemerdekaan yang kerap saling berhubungan dengan ragam upaya kelompok sosialis, dan karenanya merupakan ancaman bagi kelompok kaya dan pemilik tanah. Satu contoh bagus untuk hal ini ialah kasus Malaysia di mana penghancuran oleh Inggris terhadap gerakan buruh Malaysia terutama dengan cara mengasosiasikan gerakan buruh negeri itu sebagai kekuatan komunis dan kekuatan sayap Kiri, yang karenanya menanamkan stigma permanen bagi perjuangan buruh. Di lain pihak, penting dicatat di sini ialah bahwa asal mula “keserikatburuhan politik” di Asia Tenggara lebih berakar pada masa perjuangan anti-penjajahan yang biasanya menggabungkan isu perburuhan dengan agenda sosial dan politik yang lebih luas ketimbang pada keserikatburuhan dengan bentuk pluralis-liberal yang saat ini didukung oleh organisasi-organisasi buruh internasional arus utama. Model keserikatburuhan pluralis-liberal cenderung membatasi perjuangan buruh hanya pada tingkat kesejahteraan ekonomi. Menurut logika model ini, pengabaian tujuan-tujuan sosial dan politik yang lebih luas adalah indikator bagi sebuah langkah menuju ‘modernitas’ (lihat Hutchison dan Brown, 2001: 5-6).

Penting dicatat di sini bahwa tidak dilibatkannya buruh dalam pertarungan yang lebih luas mencapai kekuasaan yang terjadi di Asia Tenggara tidak berkaitan langsung dengan upaya masing-masing negara melakukan pencarian strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor berdasarkan industri manufaktur berupah murah sejak 1970-an atau 1980-an. Tentu merupakan penyederhanaan ketika kita menghubungkan secara langsung antara munculnya rezim politik yang anti-buruh dan dimulainya industrialisasi yang berorientasi ekspor (IOE) di kawasan ini (lihat Hagaard: 1989; Kuruvilla, 1995) – dengan misalnya mencatat seberapa sering tekanan terhadap buruh terkait dengan kepentingan mengembangkan sektor manufaktur-ringan yang kompetitif. Sebetulnya, bagi keempat negeri ini tidak dilibatkannya buruh secara politik jelas merupakan warisan perjuangan politik sebelum dimulainya strategi industrialisasi berorientasi ekspor. Tidak dilibatkannya buruh dalam politik telah menandai periode pertama industrialisasi yang berlanjut, dalam kerangka industrilisasi subtitusi impor (ISI), yang sebaliknya di beberapa negeri Amerika Latin justru menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan gerakan buruh yang lebih berpengaruh (lihat Deyo, 1989).

Faktor kedua yang semakin penting ialah globalisasi. Meski konsep gobalisasi dan juga cakupan serta keunikan fenomenanya masih sengit diperdebatkan (lihat misalnya Hirst dan Thompson, 1996; Petrella, 1996; Higgott, 1999), tidaklah sulit untuk melihat kenyataan bahwa gerak modal yang secara dramatis meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir yang berhadapan dengan negara yang tak bergerak dan tenaga kerja nasional yang umumnya statis, telah menjadikan modal memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik. Perubahan tersebut lebih lanjut telah memperkuat modal yang secara internasional bergerak menuntut iklim investasi yang kondusif, termasuk dengan menekan negara agar membatasi arena yang tersedia bagi buruh terorganisasi. Namun demikian, dampak globalisasi ini mesti dipahami sebagai pertentangan atau kontradiksi. Misalnya, globalisasi telah membantu ‘menyebarkan’ relasi produksi kapitalis dan karenanya basis material di mana perkembangan kegiatan organisasional buruh-berupah yang baru memungkinkan untuk berkembang.

Tetapi pada masyarakat industri awal dampak dari lebih mengglobalnya ekonomi dunia telah dengan kuat menekan negara kesejahteraan dan berwujud dalam bentuk tantangan yang nyata yang ditujukan untuk melawan gagasan penting soal nilai serikat buruh. Pernah pula ada diskusi serius mengenai penghapusan serikat buruh di masyarakat yang disebut sebagai masyarakat ‘pascaindustri’. Karenanya, kemenangan-kemenangan yang pernah diraih buruh terorganisasi pada perjuangan terdahulu sangat rawan untuk dinafikan (lihat Kapstein, 1996; Moody, 1997). Pada masyarakat Asia Tenggara yang mengalami industrialisasi saat ini, posisi buruh terorganisasi, yang telah dilemahkan oleh kemenangan absolut koalisi kekuatan dan kepentingan anti-buruh hanya sesaat atau pada saat dimulainya industrialisasi yang pesat, kini terancam diperparah oleh proses globalisasi yang, misalnya, saat ini telah menawarkan suatu sistem produksi yang lentur (fleksibel).

Dengan kata lain, globalisasi telah turut mementahkan apa yang barangkali disebut sebagai kompromi penting antara modal dan buruh pada masyarakat kapitalis lanjut, yakni konsep negara kesejahteraan. Di negeri-negeri industri baru saat ini, globalisasi secara kompleks terkait dengan munculnya angkatan kerja-berupah baru. Namun, kini gerakan buruh yang saat ini umumnya lebih lemah harus menghadapi tantangan ganda: menghadapi pemerintah yang terkadang represif yang berpijak pada kebijakan liberalisasi dan privatisasi, sementara itu perusahaan-perusahaan multinasional menelikung melalui strategi sumber daya manusia yang menekankan aktualisasi, normalisasi dan kelenturan (Deyo, 2001), bahkan di negeri dengan kondisi perekonomian yang berkelebihan (surplus) buruh.

Tetapi tentu tidak semua buruh berada dalam kerentanan demikian. Buruh yang bekerja di industri dengan modal yang bergerak secara global adalah mereka yang terutama sangat rawan (Winters, 1996: 195). Industri seperti ini – garmen, alas kaki, tekstil dan semacamnya – amat penting bagi industrialisasi pesat di keempat negeri ini, meskipun wacana tentang transisi menuju ‘ekonomi berbasis pengetahuan’ mulai masuk di beberapa tempat di kawasan ini. Untuk itu, keempat negeri yang akan dipaparkan di bawah ini menyajikan studi kasus yang sangat bagus yang menggambarkan karakter kontradiktif industrialisasi kapitalis dalam kaitan dengan munculnya gerakan buruh nasional yang efektif. Negeri-negeri tersebut memperlihatkan bagaimana industrialisasi yang pesat yang biasanya melahirkan lingkungan sosial yang kondusif bagi pengembangan organisasi buruh, tetapi konstelasi kekuatan ekonomi dan politik, warisan sejarah, dan tekanan globalisasi, telah memastikan bahwa kebanyakan gerakan buruh tetap terhambat untuk berperan sebagai sebuah kekuatan sosial yang efektif.

Indonesia

Organisasi-organisasi buruh Indonesia – terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan – memerankan bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh kekerasan (Tedjasukmana, I958; Ingleson, 1986; Shiraishi, 1990). Dibentuk pertama kali pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh ini mendahului partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Seperti juga dilakukan penjajah Malaya, otoritas Hindia Belanda banyak memberangus tumbuhnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kasus ini, setelah dibungkam oleh pemerintahan penjajah Belanda sebagai dampak dari pemberontakan yang gagal yang didorong oleh PKI pada 1926, buruh terorganisasi kembali muncul dalam perjuangan kemerdekaan bersenjata yang tak lama disusul dengan berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang didukung PKI adalah organisasi buruh yang paling aktif dan kuat di antara banyaknya organisasi buruh yang memiliki kaitan dengan partai politik. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950-an. Namun, keadaan darurat militer dan kendali manajerial pada perusahaan-perusahaan tersebut menempatkan tentara pada posisi yang kemudian malah berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok militan gerakan buruh yang biasanya dipimpin oleh kelompok komunis (Hawkins, 1963).

Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menangah kota, juga kepentingan kaum pemilik tanah kota dan desa setelah tahun 1965 mengakibatkan lenyapnya tradisi politik keserikatburuhan, dan warisan ini terus menghambat buruh terorganisasi di Indonesia. Sejak 1970-an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh dihambat oleh sistem korporatis yang sangat otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah, dan yang secara maya (virtual) melarang aksi industrial atas nama kesatuan dan persatuan nasional (lihat Hadiz, 1997). Aspek kunci dari strategi ini ialah penyebaran kebijakan satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah yang sangat terkontrol, dan juga penyebaran sistem hubungan industrial yang berpola menghindari konflik sebagai satu hal yang prinsipil – karena dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia.

Indonesia adalah bangsa Asia Tenggara yang paling parah tertimpa Krisis Asia dan juga negeri yang buruh terorganisasinya paling keras dibungkam. Terutama, hanya krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian memunculkan satu krisis politik yang mendasar. Seluruh bangunan sistem rezim yang telah lama mapan akhirnya melonggar ketika krisis tak kunjung teratasi yang itu berarti terbukanya kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh.

Tetapi kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kapasitas buruh untuk mempengaruhi kebijakan negara tergantung pada posisinya dalam konstelasi kekuatan sosial yang lebih luas. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya sang diktator Soeharto pada Mei 1998 membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian hambatan hukum yang telah lama ada. Namun, ketika elite lama dan elite baru kembali terbentuk dalam satu format politik demokratis, buruh terorganisasi umumnya tetap saja tidak terlibat meskipun terdapat banyak sarana-sarana pengorganisasian yang baru. Dari kekuatan-kekuatan utama yang bertarung membentuk kembali kekuasaan pasca-Orde Baru, tak satupun yang memiliki dukungan konstituensi dari buruh; satu kenyataan yang banyak diakibatkan oleh disorganisasi sistematik dan marjinalisasi buruh di bawah Soeharto (Hadiz, 2001).

Harus juga diingat bahwa krisis ekonomi Indonesia yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998 (Far Eastern Economic Review, 4 Maret 1999: 44), juga berdampak meningkatkan angka pengangguran dalam jumlah besar. Dalam kondisi perekonomian dengan tingkat pengangguran yang sangat kronis, tentu hal ini semakin memperlemah posisi tawar organisasi buruh. Stagnasi ekonomi Indonesia merobohkan ratusan perusahaan, termasuk di sektor manufaktur berorientasi ekspor yang sangat penting bagi pertumbuhan Indonesia pasca-bom minyak dan sebelum krisis (kira-kira sejak awal tahun 1980-an hingga tahun 1997). Para buruh perkotaan yang jumlahnya tak terhitung pun tidak memiliki pilihan selain pulang ke kampung-kampung halaman mereka di pedesaan (Manning, 2000), mencari perlindungan dari bencana krisis – tentu saja termasuk beberapa aktivis dan organiser buruh akar rumput yang berpengalaman.

Selain itu, ketika sejumlah serikat buruh baru bermunculan, saat ini tak ada organisasi buruh tingkat nasional yang atas nama buruh dapat bernegosiasi dengan kepentingan lain yang kebanyakan terbentuk dalam aliansi-aliansi yang rakus di partai-partai politik baru. Bekas organisasi buruh yang ‘resmi’ di tingkat pusat, FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), mulai tercerai-berai nyaris secepat ketika Soeharto jatuh, akan tetapi praktis tidak ada satu pun kemungkinan untuk menggantikan organisasi itu.

Adalah kelemahan organisasional buruh secara mendasar yang sudah ada sejak sebelum krisis ekonomi dan kejatuhan Soeharto yang menghambat buruh untuk dapat menggunakan sepenuhnya momen keterbukaan yang diciptakan peristiwa Mei 1998. Gambaran tentang terus melemahnya pengaruh buruh terlihat saat undang-undang perburuhan yang baru tentang serikat buruh akhirnya disahkan pada pertengahan tahun 2000. Walau terdapat protes dari mayoritas organisasi buruh, tetapi masih memungkinkan bagi pemerintah memecah-belah serikat buruh yang baginya berbahaya bagi ‘kepentingan nasional’ (Jakarta Post, 11 Juli 2000). Ketika organisasi buruh mampu menuntut kenaikan upah minimum – yang terus meningkatkan angka pengangguran dan protes para pengusaha – kenaikan harga yang kian melonjak dan berkurangnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang secara terus-menerus akhirnya melenyapkan nilai riil kenaikan upah tersebut. Suatu ujian atas kekuatan serikat buruh terjadi pada 2002, dengan terus dilontarkannya gagasan kontroversial tentang undang-undang hubungan industrial yang baru yang ketika itu para aktivis buruh memilih bersikap brutal terhadap pelbagai hambatan, di antaranya mengenai implementasi hak mereka melakukan aksi.

Barangkali tidak ada gambaran mengenai lemahnya posisi buruh terorganisasi Indonesia yang lebih jelas daripada ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, juga dari sekelompok pengusaha lokal, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia (lihat misalnya Jakarta Post, 26 Agustus 2002). Para investor ini menganggap kenaikan upah dan masalah-masalah yang ditimbulkan buruh belakangan membuat iklim investasi Indonesia kurang kondusif dibanding negeri pesaing seperti Cina, Vietnam atau Myanmar. Pejabat pemerintah menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh dan mengontrol serikat buruh, sementara mereka jarang sekali membenahi sumber-sumber lain yang mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, termasuk prosedur dan biaya birokrasi yang tidak sedikit. Sudah sangat sering dilaporkan di media nasional bahwa hal ini akan menyediakan banyak senjata bagi kepentingan-kepentingan yang hendak mencegah munculnya gerakan buruh Indonesia yang lebih efektif.

Malaysia

Gerakan buruh pada masa penjajahan Malaya berfokus terutama pada kaum imigran Cina dan India yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan Inggris akan buruh untuk dipekerjakan di perkebunan yang tengah tumbuh dan industri pertambangan di abad ke-19. Perkembangan ini terkait dengan kemunculan suatu pola pembagian kerja kolonial di mana kaum pribumi Melayu, yang umumnya telah hidup mapan di wilayah pertanian, tidak ikut beralih ke sektor ekonomi modern. Seperti disebutkan Hirschman dalam artikelnya yang berpengaruh, bahwa sangat masuk akal dalam pandangan para petani ini untuk tidak beralih dari basis pertanian ke lapangan kerja di sektor modern era kolonial yang tengah tumbuh, yang umumnya memiliki kondisi kerja amat buruk (Hirschman, 1986).

Komposisi kelas buruh Malaysia berubah hanya dengan adanya industrialisasi pesat pada kurun tahun 1970-an dan 1980-an saat perempuan-perempuan muda Melayu dalam jumlah yang sangat besar terserap dalam angkatan kerja-berupah (Wee Siu Hui, tt.).

Gerakan buruh di Malaya tentu kemudian memiliki ciri dasar etnik dan kelas. Perkembangan di luar Malaya, terutama di Cina, juga mempengaruhi gerakan buruh awal negeri ini. Kemunculan nasionalisme Cina pada pergantian abad (terutama setelah kejatuhan dinasti Qing) meningkatkan sentimen kebangsaan di antara kelompok migran Cina di Malaya (dan juga di Hindia Belanda), sementara itu kekuatan Partai Komunis Cina yang tengah tumbuh dan akhirnya menang memiliki sumber penting dalam pengaruh ideologi. Karenanya pada masa penjajahan Malaya kelompok nasionalis Cina dan Partai Komunis Malaya (MCP) mampu memobilisasi buruh, terutama yang berada di sektor perkebunan, untuk masuk ke dalam satu sumber penting perlawanan terhadap pemerintahan penjajah (Jomo dan Todd, 1994; mengenai sejarah MCP, lihat Yong, 1997). Pada awal periode pascaperang kekuatan serikat buruh yang disokong kelompok komunis cukup kuat untuk memukul balik pemerintahan penjajah yang hendak mengebiri pertumbuhan serikat buruh lebih lanjut dan akhirnya mengikisnya habis (Arudsothy dan Littler, 1993: 112). Organisasi buruh anti-komunis yang didukung pemerintah, Dewan Serikat Buruh Malaya (MTUC—Malayan Trade Union Council), didirikan dengan dukungan Inggris pada awal babak ancaman bahaya laten komunis pada 1948 hingga 1960 dalam rangka mengurangi dukungan bagi kelompok Kiri. Dengan merefleksikan kecenderungan yang sama, buruh perkebunan etnis India juga diarahkan untuk mendukung satu serikat buruh yang moderat di sektor perkebunan, yaitu National Union of Plantation Workers (Serikat Buruh Perkebunan Nasional) (Ramachandran, 1994: bab 7). Dengan kekalahan kelompok komunis dan arus radikal gerakan buruh, negara Malaysia pascapenjajahan pun akhirnya terbebas dari tekanan yang berarti dari kelas buruh.

Meski undang-undang perburuhan dibuat pada awal 1940-an yang sebagian merupakan respon atas tumbuhnya kelompok Kiri, namun undang-undang tersebut menjadi sekadar sebuah ‘komitmen’ pada ide ‘keserikatburuhan yang dikontrol negara’ (Jomo dan Todd, 1994: 65-6). Ada sedikit perubahan di awal periode pascapenjajahan pada 1967, undang-undang perburuhan baru dikeluarkan yang melarang serikat buruh melakukan negosiasi kesepakatan kerja bersama (KKB) dan aksi atas hal-hal yang berkaitan dengan promosi jabatan, pengetatan, pemecatan (PHK—pemutusan hubungan kerja) atau pembagian kewajiban. Di bawah ketetapan ini, serikat buruh bahkan tak memiliki hak untuk melakukan aksi jika perselisihan dilakukan di pengadilan industrial (Rasiah, 2001: 92).

Kasus Malaysia juga menarik karena memperlihatkan sederet strategi yang dibuat untuk memelihara penjinakan politik buruh. Hal ini mencakup adopsi konsep serikat buruh lokal tingkat pabrik (SBTP) dengan menekankan kekeluargaan gaya Jepang sebagai alat untuk menghambat perkembangan solidaritas kelas buruh tingkat nasional dan serikat buruh yang lebih kuat (lihat misalnya, Jomo dan Todd, 1994: 170). Tetapi tidak seperti di Jepang, keserikatburuhan lokal ini tidak menghasilkan hubungan kerja yang kolaboratif pada tingkat pabrik dan kelenturan dalam hubungan antara manajemen dan buruh. Karenanya Rasiah menyimpulkan bahwa tak ada demokratisasi pada undang-undang perburuhan di Malaysia, sementara itu negara ‘tetap memelihara kontrol represif atas buruh agar upah mereka tetap rendah dan membatasi masalah-masalah dalam hal produksi sehingga tetap dapat mempertahankan daya saing’ (Rasiah, 2001: 95). Model keserikatburuhan lokal tingkat pabrik ini juga muncul dalam kasus negeri Asia Tenggara lainnya, namun barangkali model tersebut paling berhasil dijalankan di Malaysia dan paling gagal diterapkan di Indonesia.

Perkembangan penting lainnya di Malaysia ialah lahirnya perundang-undangan yang menawarkan status ‘pelopor’ bagi perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor. Hal ini antara lain berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut diberi pilihan untuk menolak kehadiran serikat buruh, khususnya di zona-zona bebas ekspor.

MTUC (Malaysian Trade Union Congress—Kongres Serikat Buruh Malaysia) sendiri – sebagai organisasi buruh tertinggi di Malaysia – berada pada posisi mendua terhadap negara. MTUC tak pernah tumbuh menjadi sekadar alat kendali terhadap kelas buruh seperti dilakukan FSPSI di Indonesia,, tetapi ia jelas menolak menjadi satu sumber penting bagi perlawanan politik melawan pemerintah. Meskipun politisi-politisi oposisi lahir dari MTUC, hubungan organisasi ini dengan pemerintah kini kian dekat. Kedekatan ini paling tampak saat presiden MTUC bergabung dengan partai yang tengah memerintah, UMNO (United Malay National Organization) pada tahun 1998 dan menjadi salah seorang anggota parlemen (Rasiah, 2001: 94). Presiden ini, Zainal Rampak, belakangan mendukung revisi kebijakan yang kontroversial tentang penggunaan dana pensiun oleh pemerintah, meski tanpa kesepakatan banyak masyarakat dan buruh akar rumput (New Straits Times, 15 September 2000).

Efek dari sejarah panjang penjinakan politik buruh dengan sangat bagus ditunjukan dengan kurangnya pengaruh buruh terorganisasi pada kebijakan negara terkait dengan krisis ekonomi di Asia saat ini. Memang benar bahwa saat ekonomi Malaysia terpuruk secara signifikan pada 1998 dan angka pengangguran meningkat bersama dengan meningkatnya PHK – terutama di sektor manufaktur, konstruksi dan keuangan – krisis di negeri ini tidak seburuk Indonesia atau Thailand (Chandran, 1998). Penting dicatat di sini bahwa sektor angkatan kerja yang paling tak dilindungi, yakni buruh migran (berasal dari Indonesia, Bangladesh dan lainnya), adalah yang paling buruk tertimpa dampak krisis. Gerakan buruh di Malaysia tidak banyak melindungi para buruh ini. Fakta tersebut menunjukkan bahwa rendahnya solidaritas internasional tidak hanya merupakan fenomena Utara-Selatan tetapi juga fenomena Selatan-Selatan. Tentu peran gerakan buruh Malaysia akhirnya hanya bisa mendukung kebijakan represif pemerintah terhadap ratusan ribu (kebanyakan dari Indonesia) buruh imigran gelap yang telah lama menjadi basis penopang industri seperti konstruksi.

Pada puncak krisis ekonomi, MTUC mendesak pemerintah mengambil langkah mengurangi inflasi, menambah lapangan kerja dan membuat skema jaring pengaman sosial yang baru. Organisasi ini juga mendesak pemerintah untuk tidak menurunkan upah dengan meratifikasi dan melaksanakan standar perburuhan yang diakui secara internasional dan memberikan kebebasan berserikat yang lebih besar bagi serikat buruh untuk bernegosiasi dan hak melakukan aksi (Chandran, 1998). Namun demikian buruh bukanlah kekuatan sosial yang harus segera direspon oleh pemerintahan Mahathir, dan ‘saran-saran’ ini pun dengan gampang diabaikan. Penting untuk dicatat bahwa meski gerakan oposisi berpusat pada mantan calon penggantinya yang muncul pada 1998-2000, Anwar Ibrahim, tetapi ia pun tak banyak memiliki kaitan dengan gerakan buruh.

Thailand

Sebelum peristiwa kudeta pada 1932 yang melahirkan sistem monarki konstitusional, industrialisasi di Thailand berjalan tidak begitu pesat. Namun demikian, para buruh upahan mulai hadir dalam lanskap sosial dengan tumbuhnya perusahaan pengolahan kayu dan padi abad ke-19, juga perkebunan, pembangunan rel kereta, jalan raya dan pelabuhan-pelabuhan, serta beberapa perusahaan tekstil skala kecil (Brown dan Frenkel, 1993: 83-4). Meski Partai Komunis Thailand berbasis di desa-desa, pengaruh komunisme masuk melalui gerakan buruh yang tengah tumbuh dan setelah Perang Dunia II kelompok komunis ini mampu membangun satu serikat tingkat nasional, Central Labour Union (Serikat Buruh Pusat). Namun, sebagaimana terjadi di Malaya era kolonial, Thailand yang bersistem kerajaan dan tak pernah terjajah itu juga menganggap keumunculan komunisme sebagai ‘asing’ dan bukan khas Thai, terlebih karena dominannya etnis Cina di tubuh Partai Komunis Thailand (TCP) yang akhirnya tumbang pada 1980-an setelah periode perjuangan panjang di pedesaan. Namun demikian, gerakan buruh yang dimotori kelompok komunis juga melibatkan masyarakat Thai bukan keturunan Cina, sekurang-kurangnya sejak 1940-an (Tejapira, 2001:57).

Di Thailand, terdapat sebuah gerakan buruh yang relatif independen yang konstituensinya tumbuh bersamaan dengan kemajuan industri walau terdapat dominasi militer dalam politik, terutama adanya asumsi bahwa kekuasaan diktator oleh rezim Sarit yang sangat anti-Kiri pada 1958 berarti merupakan periode panjang penindasan serikat buruh. Bahkan sebelum Sarit muncul dalam kekuasaan, undang-undang anti-komunis disahkan pada 1952 yang menghancurkan kegiatan serikat buruh yang sah (Tejapira, 2001:94).

Bagi Brown (2001), tahun 1970-an merupakan momen yang menentukan bagi gerakan buruh di Thailand. Menurutnya periode awal industrilisasi subtitusi impor (ISI) berdampak pada perluasan industri dan meningkatnya kaum proletariat perkotaan yang mengekspresikan kemunculannya melalui beragam bentuk pengorganisasian dan aksi kolektif yang kuat. Ini merupakan satu tipe politik keserikatburuhan yang menggabungkan perjuangan buruh dengan isu yang lebih luas tentang hak-hak sosial dan politik. Dalam konteks hubungan industrial, dampak dari semua itu ialah satu perubahan: dari kendali langsung oleh negara dan represi menjadi ‘konsultasi dan mediasi’ dalam lembaga tripartit, di mana negara, modal dan buruh bekerja sama. Ketika akhirnya militansi buruh mulai menurun, jumlah organisasi buruh justru bertambah banyak (Brown, 2001: 128).

Dalam perkembangan ini Brown melihat munculnya strategi baru pengendalian buruh yang didasarkan pada upaya mencerai-beraikan kekuatan buruh terorganisasi. Dampaknya ialah disorganisasi buruh dan perusakan kemampuan serikat untuk mewakili kepentingan buruh. Di Thailand pada 1990-an terdapat 18 federasi serikat buruh dan 8 serikat buruh tingkat nasional yang karenanya memungkinkan masuknya satu strategi menghambat pengaruh buruh dengan mendorong persaingan antarmereka, khususnya terkait dengan hak untuk duduk di lembaga-lembaga tripartit (Brown, 1997: 172-3). Selain itu, serikat-serikat yang disukai negara cenderung memonopoli posisi di lembaga-lembaga tripartit ini. Dengan kemampuan pemerintah mempengaruhi serikat buruh ini maka pertumbuhan pesat jumlah serikat di Thailand pada 1980-an tidak lantas menunjukkan semakin kuat atau efektifnya gerakan buruh negara itu (Brown, 2001: 130). Ungpakorn (1999) menganggap bahwa perkembangan tersebut sebagian terkait dengan ulah ‘pemimpin serikat buruh preman’, yakni orang-orang ‘yang mendirikan serikat untuk mendapat uang perlindungan dari pengusaha dengan mengancam melakukan aksi’ (1999: 14).

Situasi ini jelas turut berperan membatasi kemampuan buruh terorganisasi untuk merespon krisis ekonomi Asia yang mulanya terjadi di Thailand. Krisis tersebut segera menyebabkan tenaga kerja manufaktur berkurang separuhnya akibat kapasitas produksi di industri-industri manufaktur utama menurun hingga 30 persen (Deyo, 2000). Segala rasionalisasi turut mengikuti perkembangan ini dan telah terjadi PHK bahkan di perusahaan-perusahaan milik negara yang biasanya aman. Pada saat yang sama, krisis ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk kembali menjalankan strategi ‘aktualisasi’ dan ‘normalisasi’, yang ditata untuk memangkas biaya dan menerapkan kelenturan dalam manajemen ketenagakerjaan (Deyo, 2000). Menurut Ungpakorn, pada saat krisis buruh cenderung menerimanya secara pasif karena takut kehilangan pekerjaan dan mereka juga kurang meyakini nilai-nilai aksi kolektif (Ungpakorn, 1999: 52-4).

Bagaimanapun, penting dicatat bahwa meski dalam masa-masa suram – termasuk masa tidak diakuinya serikat-serikat buruh sektor publik yang penting pada era 1990-an – gerakan buruh di Thailand tak pernah sungguh-sungguh tersubordinasi sebagaimana terjadi di Indonesia. Karenanya, meski penilaian Ungpakorn menunjukan sebaliknya, buruh di Thailand berada pada satu posisi yang lebih baik dibanding saudara-saudara mereka di Indonesia untuk berupaya melakukan beberapa respon atas krisis ekonomi, walau dengan terbatas. Mereka, misalnya, segera melakukan aksi dan demonstrasi terhadap isu-isu seperti keamanan kerja, hak-hak dasar buruh dan tingkat upah. Selain beberapa keberhasilan mereka dalam menentang pemotongan upah yang drastis, aksi-aksi gerakan serikat buruh berperan menyebabkan tertundanya rencana privatisasi yang saat itu akhirnya menjadi perdebatan panas. Seperti yang terjadi di Filipina dan Indonesia, privatisasi merupakan isu yang sangat politis dan mengundang aksi protes yang lebih besar menentang agenda reformasi neoliberal (Deyo, 2000: 272).

Pertanyaannya kemudian, mengapa organisasi-organisasi buruh Thailand, dengan segala keterbatasannya, mampu menjadi lebih kuat khususnya dibanding dengan mereka di Indonesia? Dapat dikatakan, jawabannya terletak pada kenyataan bahwa tekanan terhadap buruh tidak pernah berdampak terjadinya penghancuran total atas tradisi militansi buruh. Seperti dalam kasus Filipina di bawah ini, militansi buruh di Thailand mampu membuat mereka bertahan, khususnya karena fakta bahwa kendali negara yang terpusat tak mungkin mampu mencerai-berai serikat buruh akibat kekuasaan negara yang juga memiliki karakter fragmentatif sendiri. Bahkan pada puncak rezim diktator militer di Thailand, bentuk pemerintahan terpusat yang otoritarian seperti Orde Baru Indonesia tidak pernah dicapai. Karenanya, organisasi-organisasi buruh berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk dapat merespon krisis ekonomi untuk berupaya melindungi kepentingan-kepentingan buruh.

Filipina

Meskipun ada upaya keras membendung perjuangan buruh dari pemerintahan kolonial dan pascakolonial, tradisi militansi para buruh yang dimulai dengan pendirian serikat buruh yang dimotori kelompok komunis pada dasawarsa awal abad ini (Ofreneo, 1993: 98-128) terus mempengaruhi bagian-bagian penting dari gerakan buruh Filipina. Seperti di Thailand, hal ini di antaranya dimungkinkan karena ciri fragmentatif kekuasaan negara. Secara berarti kelompok Kiri sebagai kekuatan tak pernah hancur-lebur, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia, dan bahkan Thailand.

Gerakan buruh di Filipina bermula di serikat-serikat buruh yang dibentuk di industri-industri seperti percetakan dan pembuatan rokok pada 1899. Beberapa tahun kemudian federasi serikat buruh dibentuk dan meningkatnya aksi-aksi pemogokan akhirnya membuat administrasi koloni Amerika mendirikan satu kantor urusan perburuhan. Saat industri perlahan-lahan berkembang, Partai Komunis menjadi kian berpengaruh dalam gerakan buruh yang akhirnya menyebabkan Departemen Perburuhan era kolonial menekan kelompok komunis ini pada tahun 1930-an. Kongres Organisasi Buruh (Congress of Labour Organization/CLO) didirikan menyusul Perang Dunia II untuk menyatukan gerakan buruh, namun pendirian Konfederasi Nasional Serikat Buruh (National Confederation of Trade Unions) buatan pemerintah memicu persaingan dan perseteruan di kalangan aktivis serikat. Berbagai upaya juga dibuat untuk memutus kaitan gerakan buruh dengan pemberontakan petani Hukbalahap pada 1950-an di mana CLO dilarang dengan alasan bahwa ia merupakan satu organisasi front komunis (Hutchison, 1993: 203-4; 2001: 73).

Pada umumnya, pembuatan hukum perburuhan di Filipina selalu saja relatif liberal yang di antaranya diakibatkan oleh warisan kolonialisme Amerika. Industrial Peace Act tahun 1953 dibuat untuk mencegah pengaruh komunis, di antaranya dengan mendorong keserikatburuhan ‘ekonomi’ yang dihubungkan dengan model pluralis-liberal dan untuk menolak keserikatburuhan ‘politik’ yang lebih disukai organisasi-organisasi buruh yang lebih militan dan radikal. Kelompok militan dan radikal ini, meski ada upaya menghambat ruang bagi keserikatburuhan politik, membangun basis untuk menumbuhkan keserikatburuhan akar rumput yang kuat yang dapat memelihara ‘gerakan oposisi berbasis komunitas yang tersembunyi’ (Deyo, 1997: 219-20) bahkan pada masa represi di bawah keadaan darurat militer kekuasaan Marcos.

Dengan sangat baik Hutchison (2001: 74) menunjukkan bahwa ‘ruang bagi pengorganisasian buruh’ di Filipina ‘dibikin sulit oleh krisis ekonomi nasional yang berulang-ulang, menurunnya kegiatan produksi di sektor manufaktur, dan tingkat pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup yang sangat tinggi’. Meski terdapat legislasi liberal mengenai perburuhan, Hutchison berpendapat bahwa ‘kemampuan mengorganisir selalu terus-menerus dihancurkan oleh keengganan dan atau ketakmampuan negara untuk menegakkan dengan baik hukum yang memuat hak pembuatan kesepakatan kerja bersama di wilayah dengan struktur masyarakat yang sangat timpang dalam kepemilikan dan kekuasaan’. Seperti terjadi di Malaysia, kegiatan pengorganisasian ditekan, khususnya di zona-zona bebas ekspor (Deyo, 2001: 266). Selain itu, upaya-upaya untuk menekan tumbuhnya keserikatburuhan yang militan terus dilakukan di bawah lingkungan demokratis yang mencirikan masa-masa pasca-Marcos (Hutchison, 2001: 72, 75). Namun demikian, seperti di Thailand, bertahannya tradisi militansi buruh meskipun mendapat tekanan negara memungkinkan satu respon kuat oleh serikat buruh saat krisis ekonomi menerpa pada 1997/98. Tetapi, sebaliknya, gerakan buruh di Filipina dan Thailand gagal memanfaatkan dengan optimal upaya demokratisasi seperti sekarang ini terjadi di Indonesia.

Dampak krisis Asia bagi perekonomian Filipina tidak seburuk yang menimpa negeri-negeri tetangganya. Hal ini karena ekonomi Filipina tidak merasakan tahun-tahun ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan ini pada 1980-an dan 1990-an. Dengan kata lain, tanpa ‘ledakan’ tak akan ada banyak ‘kehancuran’. Produk Nasional Brutto riil Filipina, misalnya, berubah drastis dari 1980 ke 2000 (Balisacan dan Hill, 2002: 237). Akan tetapi sama sekali keliru jika dengan fakta ini ada anggapan bahwa krisis tersebut tidak berdampak bagi kelas pekerja Filipina. Krisis tersebut cukup keras mengakibatkan PHK massal dan berdampak tutupnya perusahaan-perusahaan. Seperti kasus Indonesia, banyak buruh perkotaan terpaksa untuk sementara kembali ke kampung halaman mereka di pedesaan. Mereka yang masih bekerja pun merasa bahwa daya beli mereka sangat berkurang karena turunnya nilai mata uang peso (Ranald, 2000: 314), meskipun tidak separah mata uang Indonesia, rupiah.

Dalam menanggapi krisis, dalam situasi inflasi yang tinggi serikat-serikat berhasil melakukan beberapa kampanye soal upah (Ranald, 2000: 318). Selain itu, seperti di Thailand, buruh di Filipina mengambil peran dalam kampanye-kampanye anti-privatisasi yang mencapai keberhasilan yang penting karena privatisasi diyakini akan menyebabkan PHK lebih lanjut. Lagi seperti di Thailand, bagaimanapun adalah tidak mungkin menyarankan agar program-program liberalisasi dan privatisasi dihentikan. Tentu pemerintahan Arroyo akan lebih memilih program-program neoliberal tersebut dibanding Thaksin yang tampak populis. Secara esensial, seluruh pemerintahan Filipina pasca-Marcos loyal terhadap perluasan program liberalisasi dan privatisasi, dan ini akan menghambat keberhasilan kampanye-kampanye serupa oleh buruh di masa mendatang.

Namun gerakan buruh yang relatif lebih kuat di Filipina mesti dipahami berkaitan dengan posisi buruh terorganisasi dalam konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial sebelum krisis ekonomi. Patut dicatat bahwa Filipina memiliki sejarah panjang perjuangan buruh yang tak pernah sepenuhnya terhenti, bahkan lebih lama dibandingkan kasus Thailand di mana masa-masa pemerintahan militer yang bertahun-tahun merupakan hambatan yang sangat sulit. Meskipun rezim Marcos berupaya melakukan kontrol lebih ketat atas buruh terorganisasi dengan mendukung sebuah federasi serikat buruh nasional pada 1970-an, Kongres Serikat Buruh Filipina (Trade Union Congress of the Philipines), tetapi strategi ini tidak berhasil sebagaimana yang terjadi di Indonesia atau di Malaysia. Upaya Marcos sangat keras ditentang oleh federasi serikat buruh yang lebih radikal, KMU (Kilusang Mayo Uno – Gerakan Satu Mei) (Muntz, 1992: 266), yang dalam kondisi sulit tetap menghidupkan tradisi keserikatburuhan politik. Sekarang tradisi ini barangkali masih hidup meski pada akhirnya terdapat perpecahan di tubuh KMU karena persaingan internal.

Jadi, mengapa di Filipina buruh terorganisasi selama krisis ekonomi dapat relatif kuat? Jawabannya, antara lain, ialah bahwa seperti di Thailand, koalisi-koalisi kepentingan anti-buruh di Filipina tak pernah dapat menjinakkan buruh negeri itu dan dapat benar-benar mensubordinasi mereka di bawah kepentingan negara atau modal. Namun demikian, seperti di Thailand, suatu gerakan buruh terorganisasi yang sangat tercerai-berai tidak bisa dikatakan mampu mempertarungkan kekuatannya secara efektif dan dapat mempengaruhi kebijakan negara secara terus menerus walau dalam kondisi pemerintahan demokratis pasca-Marcos.

Perjuangan Politik lawan Perjuangan Kesejahteraan Ekonomi dalam Konteks Globalisasi

Kasus-kasus yang didiskusikan di atas menunjukkan betapa berartinya konflik sosial dan dampak-dampaknya bagi pengorganisasian buruh di Asia Tenggara. Kasus-kasus tersebut bahkan memperlihatkan bahwa dampak tersebut lebih penting dari kondisi ketersediaan dan permintaan (supply and demand) akan buruh dalam menentukan kekuatan dan pengaruh buruh. Pada akhirnya, gerakan buruh yang terorganisasi di Thailand dan Filipina, dua negeri dengan jumlah buruh berlebih, telah mampu menjadi lebih kuat dibanding di Malaysia yang memiliki pasar tenaga kerja yang umumnya ketat. Di Indonesia buruh terorganisasi dihambat oleh dua hal, yaitu dampak melimpahnya angkatan kerja dan, hingga tahun 1998, hadirnya negara otoritarian yang sangat tersentralisasi dan represif.

Sebagaimana sudah ditunjukkan, satu variabel kunci di sini ialah kekalahan kelompok Kiri dengan tingkat yang bermacam-macam telah memberikan ruang bagi upaya-upaya elite mendepolitisasi perjuangan buruh. Secara esensial, hal ini telah memberikan peluang bagi sekurang-kurangnya beberapa aspek dari model pluralis-liberal yang membatasi ruang gerak keserikatburuhan hanya pada soal kesejahtaraan ekonomi. Model tersebut terkait dengan pengalaman negeri-negeri Barat/Utara yang telah terindustrialisasi dan dengan konteks penyusunan kelembagaan negara kesejahteraan. Tentu bukanlah kebetulan bahwa aktivitas-aktivitas buruh terorganisasi di keempat negeri yang dibahas di sini semuanya didesak untuk mengadopsi satu konsep keserikatburuhan yang menekankan perjuangan ekonomi yang lepas dari agenda sosial dan politik yang lebih luas. Konsep ini kurang mengancam koalisi-koalisi anti-buruh yang dominan. Konsep tersebut barangkali tercermin dalam satu kasus di Asia Tenggara yang tidak dibahas di sini – yaitu negeri-kecil Singapura (lihat misalnya, Leggett, 1993) – di mana gerakan buruhnya telah sangat dikontrol sejak sebelum ‘berpisah’ dengan Malaysia pada tahun 1965 dan di mana struktur tertinggi organisasi buruhnya, NTUC (Kongres Serikat Buruh Nasional) masuk dalam kekuasaan negara.

Pada saat yang sama, globalisasi telah menciptakan tekanan lebih lanjut terhadap gerakan buruh di masyarakat Asia Tenggara yang baru mengindustri ini. Akan tetapi, Wood (1998) berargumen bahwa saat ini modal lebih membutuhkan negara dibanding pada masa-masa sebelumnya, dan hal ini akan membantu menstimulasi gerakan buruh di pelbagai penjuru dunia. Hal yang menjadi kunci menurut Wood ialah semakin meningkatnya kedekatan identitas antara kepentingan negara dan modal. Karena modal membutuhkan negara ‘untuk meretas jalan’ menuju ekonomi global dengan mengusung kebijakan perdagangan bebas yang neo-liberal, negara menjadi target perjuangan buruh. Hal ini menurutnya telah ‘mendorong rakyat turun ke jejalanan menentang kebijakan negara di berbagai negeri seperti Kanada dan Korea Selatan’ (1998: 13-15).

Namun demikian, posisi Wood ini tampak agak tidak sensitif pada kenyataan adanya hambatan-hambatan ekonomi dan politik yang dihadapi buruh di negeri-negeri Asia Tenggara yang dibahas di sini. Posisi ini juga mengabaikan implikasi sejarah yang berbeda yang berlaku pada kondisi politik yang otoriter atau semi-otoriter atau demokratik-liberal, untuk tidak menyebutkan warisan yang masih ada dari hasil perjuangan masa lalu terhadap masa sekarang. Ia juga menafikan pentingnya pengaturan dan ketepatan waktu dalam proses industrialisasi yang pesat. Sebagaimana yang diamati Winters (1996), saat industrialisasi terjadi di Utara tak ada dari negeri-negeri lainnya yang dilibatkan kecuali negeri terjajah penyedia bahan baku atau para konsumen barang-barang impor. Hal ini membuat buruh di Utara mampu berjuang ‘melawan kemelimpahan produksi’, membentuk kembali kondisi politik yang lebih luas dalam proses industrialisasi mereka ‘tanpa terhambat oleh persaingan langsung dari ketersediaan yang nyaris tak terbatas’ dari buruh di negeri-negeri jajahan yang secara politik jauh lebih lemah dan miskin. Maka, dalam beberapa hal, buruh negeri-negeri penjajah dan terjajah tersekat satu sama lain. Seperti dikemukakan Winters lebih lanjut, sekat itu memungkinkan ‘langkah besar para buruh di negeri Utara baik secara ekonomi maupun politik...’ di masa lalu (Winters, 1996: 218-19).

Karena langkah besar ke depan tersebut sekarang berada dalam bahaya untuk didorong mundur kembali, beberapa aktivis serikat buruh di berbagai penjuru dunia mungkin mulai berpikir bahwa merupakan ‘kekeliruan untuk membatasi’ diri mereka hanya ‘pada visi ekonomi’ (Da Silva, 1998: 47). Ini merupakan pengakuan implisit bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak-hak ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara esensial juga merupakan sebuah perjuangan politik. Walaupun begitu, belum ada satu strategi yang mendasar yang telah ditemukan oleh buruh terorganisasi, di Utara maupun di Selatan, untuk menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Langkah awal yang perlu dilakukan barangkali ialah memunculkan kembali tradisi keserikatburuhan politik dan meraih kembali ruang politik sebagai satu sasaran perjuangan buruh yang sah.***

*)Vedi R. Hadiz, adalah asisten profesor di Universitas Nasional Singapura.

Naskah ini pernah dipublikasikan di Jurnal SEDANE Vol.3 No.2, 2005. Dimuat kembali untuk IndoProgress, atas ijin penulis.


No comments: