17.6.07

Strategi-strategi Perjuangan

Pentingnya Gerakan Tani di Amerika Latin
James Petras

Selama lebih dari satu abad, para analis baik dari sebelah kiri maupun kanan, memperkirakan hilangnya kekuatan gerakan tani seturut perkembangan kapitalisme. Bahkan, hingga kini, beberapa penulis kiri terkemuka, misalnya, Eric Hobsbawn, menulis tentang kian berkurangnya jumlah petani, berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari data-data kuantitatif perkembangan jumlah penduduk.

Dalam bidang kebijakan, terutama dari kalangan neoliberal kanan seperti Presiden Brasil Ignacio "Lula" Da Silva dan menteri pertaniannya, memberlakukan kebijakan yang menyediakan sumberdaya seluas-luasnya kepada sektor agribisnis berorientasi ekspor, merusak tatanan ekologi, mengabaikan hak asasi manusia, dan menempatkan petani kecil dan buruh tani tak bertanah pada prioritas terendah.

Menghadapi kenyataan tentang konsensus di antara para akademisi dan politisi ini, petani menolak untuk disepelekan atau dianggap hanya memainkan peran pinggiran. Di tengah-tengah kejatuhan prosentase jumlah pedesaan, kaum tani, setelah lebih dari 20 tahun, kembali bangkit sebagai aktor sejarah untuk memainkan peran sentral dalam perubahan rejim, menentukan agenda-agenda nasional, memimpin perjuangan menentang perjanjian perdagangan internasional (ALCA atau wilayah perdagangan bebas Amerika/Free Trade Area of the Americas), dengan mendirikan kekuasaan yang berbasis lokal dan regional. Di banyak negara, koalisi buruh tani tak bertanah (coalitions of landless farm workers), keluarga petani kecil (small family farmers) dan kaum tani (peasants), mengambil peran sentral dalam perjuangan nasional menentang neoliberalisme dan kebijakan perdagangan bebas. Dalam beberapa kasus, gerakan pedesaan meletupkan perjuangan yang lebih besar, mengaktifkan kelas perkotaan, serikat buruh, kelompok-kelompok sipil dan organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia.

Data dari banyak negara Amerika Latin, dalam seperempat dekade lalu menunjukkan, petani dan gerakan pedesaan lainnya dengan sangat cepat menjadi pusat dari seluruh proses perubahan sosial dan perlawanan terhadap kaum neoliberal. Paradoksnya, ketika populasi penduduk perkotaan meningkat level organisasi kelas dan kekompakan internal kelas buruh industri justru melemah secara substansial. Setidaknya, dalam beberapa waktu terakhir, lemahnya jaringan aliansi potensial buruh-tani lebih disebabkan oleh melemahnya militansi dan kemampuan organisasional di antara pemimpin-pemimpin serikat buruh industrial, bukan oleh organisasi pedesaan.

Pada masa lalu, para penulis tentang petani sangat menekankan sifat mereka yang "lokal," parokial," atau memiliki kepentingan "sektoral" yang kuat, sebagai lawan dari yang berwatak nasional, universalistik dan memiliki kepentingan kelas. Versi terakhir dari persepsi ini ditemukan dalam banyak penulis, pemimpin-pemimpin organisasi non pemerintah (NGO dan wartawan) yang memfokuskan perhatiannya pada "kepentingan mikro," partisipasi lokal dan proyek-proyek komunitas petani dan "identitas politik" mereka. Berlawanan dengan aliran pemikiran lainnya yang menekankan pada potensi revolusioner petani, sebuah persepsi umum yang banyak ditemukan saat-saat ini.

Namun hingga sejauh itu, tidak ada "pemikiran" yang sanggup menangkap kompleksitas, perubahan, dan dialektika perjuangan yang melibatkan gerakan tani. Padahal, hampir seluruh gerakan tani besar di Amerika Latin, terlibat dalam perjuangan dan kampanye yang bersifat lokal, nasional bahkan internasional. Pertama, dalam banyak kasus, perjuangan lokal yang disebabkan oleh kekerasan terhadap hak asasi manusia menjadi dasar bagi mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional. Kedua, sebagian besar gerakan membangun basis "lokal" bagi hegemoni politiknya sebagai batu loncatan (pringboard) menuju kekuasaan nasional dan menantang kekuasaan negara. Sebagai contoh adalah kasus CONAINE (National Confederation of Indigenous Nationalities) di Ekuador dan Cocaleros (Petani koka) di Bolivia. Ketiga, ketika kelompok-kelompok Etnis, atau Indian/African American mempertahankan hak-hak asasi dan pusat otonominya, banyak gerakan tani memiliki hubungan yang kuat dengan kepentingan kelas dan aliansi horisontal dengan kelas-kelas terhisap lainnya.

Baik konsepsi mikro dan makro perjuangan petani berwatak mekanis, satu sisi, dan memiliki persepsi yang tercerai-berai dengan aktivitas dialektik gerakan tani yang mengombinasikan perjuangan lokal dan nasional, tuntutan sosial dan politik, kelas dan kesadaran etnis. Yang satu tidak bisa menjabarkan pola aktivitas petani dari waktu dan tempat yang khusus. Sebagai contoh, dalam beberapa penindasan politik atau kekecewaan politik, gerakan tani mungkin mengganti agenda-agenda tuntutan mereka menjadi bersifat lokal, khusus dan aktivitasnya lebih pada pembelaan diri. Sebaliknya, pada masa-masa perluasan keanggotaan dan kemenangan perjuangan, gerakan tani cenderung menaikkan isu-isu berskala nasional dan menantang otoritas kekuasaan politik pusat. Sebagian besar gerakan tani secara langsung terlibat dalam satu atau lain bentuk tindakan politik.

Dengan satu pengecualian khusus, seluruh pemimpin-pemimpin utama petani berpikir dan bertindak untuk mengakumulasi kekuasaan politik dan berharap untuk mengubah, membagi atau mengambilalih kekuasaan negara. Gerakan tani mengubah perilaku mereka ke arah tindakan langsung dan strategi elektoral. Dalam beberapa kasus, gerakan bisa mengubah strategi perjuangan, tergantung pada kondisi eksternal dan perubahan internal. Secara umum, gerakan tani kebanyakan sangat percaya pada strategi "tindakan langsung," menduduki lahan-lahan besar, menutup jalan raya, atau mengambilalih kantor kotamadya, dst. Aktivitas elektoral merupakan sebagian bentuk dari penciptaan organisasi politik baru, atau menjadi pendukung keberadaan gerakan "kiri" perkotaan atau mendukng partai "populis."

Sebuah analisis yang berhati-hati terhadap pengalaman gerakan tani selama 25 tahun terakhir dengan perbedaan strategi politik, telah mendorong saya pada kesimpulan, bahwa metode tindakan langsung jauh lebih efektif dan positif ketimbang strategi elektoral dalam mengamankan tujuan-tujuan petani dalam jangka pendek dan menengah, tanpa mengabaikan pernyataan identitas "formal" partai peserta pemilu. Sebagai contoh, di Ekuador, CONAINE melalui tindakan langsung sanggup menggulingkan dua presiden neoliberal yang korup, mengamankan reform-reform sosial yang positif, dan memperkuat dukungan massa mereka di kalangan masyarakat sipil. Ketika CONAINE berbalik ke arah politik elektoral, dipengaruhi oleh sikap kekeluargaan dalam partai dan mendukung Presiden Gutierrez, yang terjadi adalah seluruhnya negatif: turunnya belanja sosial, penindasan politik besar-besaran, perpecahan dan kekecewaan di kalangan gerakan. Contoh yang sama terjadi di Bolivia, Brazil dan tempat lainnya, dimana gerakan tani menyandarkan diri pada strategi tindakan langsung terbukti sanggup mengambilalih lahan-lahan luas melalui pendudukan dan blokade jalan (Brazil) dan menggulingkan presiden neoliberal yang korup (Bolivia).

Di sisi lain. ketika gerakan berbelok menjadi politisi-politisi elektoral "kanan-tengah," hasilnya secara keseluruhan adalah negatif: Di Brazil, MST (gerakan buruh pedesaan tak bertanah), di bawah rejim Lula, terbukti secara signifikan turun dalam pengambilalihan lahan. Sebaliknya, tekanan dan penggusuran yang dilakukan oleh elite-elite agro-ekspor dan pejabat tinggi militer semakin meningkat. Di Bolivia, Cocaleros yang berinisiatif mendukung presiden Messa, menderita akibat pemangkasan program koka.

Negara Dan Gerakan

Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan, memblok kebijakan perdagangan babas yang menghancurkan dan bahkan menjatuhkan rejim yang korup. Dalam konteks nasional, baik di tingkat federal maupun provinsi, gerakan tani telah menjadi musuh bersama. Di Meksiko, kerap dilakukan penindasan yang luarbiasa terhadap gerakan tani di Chiapas, Guerrero, Oaxaca dan di sepanjang Meksiko Tengah-Selatan. Di Kolombia, ribuan pemimpin tani dibunuh oleh kelompok-kelompok paramiliter yang bekerjasama dengan Angakatan Darat, yang menyebabkan lebih dari tiga juta petani kehilangan tempat tinggal akibat politik bumi hangus yang diterapkan negara. Di Brasil, sebelum dan selama presiden Lula berkuasa, jumlah aktivis tani, pembela hak-hak asasi manusia dan agamawan yang mati terbunuh oleh kelompok bersenjata lokal dengan keterlibatan hakim provinsi, kepala polisi, dan kesengajaan yang dilakukan oleh pemerintah federal, tidak pernah surut. Bahkan di Venezuela di bawah presiden Chavez, lebih dari 110 pemimpin tani dan ahli waris pembagian tanah, mati terbunuh antara 2001-2003 oleh tuan tanah yang memiliki "senjata pribadi" diimbuhi oleh keterlibatan pejabat lokal.

Dengan kata lain, dengan pengecualian yang aneh, gerakan tani sukses melakukan perubahan positif di samping negara dan bukan sebaliknya. Perubahan mana terjadi dalam perlawanannya terhadap aparatus negara. Ini tidak berarti negara selalu dan dimanapun menjadi musuh bagi setiap tuntutan petani. Revolusi Kuba menjadi ilustrasi yang memungkinkan sinergi antara mobilisasi petani dan intervensi negara yang positif. Di Venezuela, kemungkinan yang sama eksis jika struktur birokrasi pertanian yang tidak kompeten dan sudah lapuk direformasi agar bisa beroperasi. Bahkan dalam kasus dimana respon awal negara adalah negatif, tekanan organisasi massa petani yang berkoalisi dengan masyarakat perkotaan, termasuk gereja, universitas, gerakan hak asasi manusia dan serikat buruh (dan termasuk beberapa deputi parlemen yang progresif), bisa memaksa rejim untuk membiayai pengambilalihan tanah dan koperasi pertanian, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Brasil.

Dalam sejarah kontemporer Amerika Latin, ada dua model pembangunan pertanian yang dijalankan: model Venezuela dan model Brazil. Presiden Chavez menyebutnya sebagai program landreform yang ekstensif, pengambilalihan lahan-lahan perkebunan dan tanah kosong dan pemindahan mereka yang tak bertanah dan petani-petani subsisten dan terakhir, mereka yang pindah ke kota-kota. Sebaliknya di Brazil, Lula malah mempromosikan perluasan perusahaan-perusahaan agro-eksport skala besar, mengonsentrasikan tanah, dan membiayai perusahaan-perusahaan agrobisnis yang mengongkosi petani kecil dan buruh tak bertanah.

Apa yang krusial dari diskusi mengenai hubungan antara "negara" dan gerakan tani adalah karakter kelas dari negara dan orientasi ideologi para eksekutifnya. Dalam kasus Venezuela di bawah Chavez, kita menemukan hubungan yang saling menguntungkan antara aktivis tani dengan pemerintah yang didasarkan pada kepemimpinan yang populis. Dalam kasus Brazil di bawah Lula, kita temukan rejim neoliberal yang dipimpin oleh dan untuk agrobisnis.

Sentralisasi Gerakan Tani

Di banyak negara (tapi tidak semuanya) Amerika Latin, gerakan petani memainkan peran politik utama dalam memengaruhi kebijakan nasional sepanjang abad ke-21. Di Bolivia, Brazil, Kolombia, Ekuador, Peru, Amerika Tengah, Paraguay dan Meksiko, , petani, tukang kebun dan organisasi-organisasi petani-Indian, secara instrumental memiliki momen yang berbeda dalam seting agenda nasional. Agar menjadi jelas, di semua negara persentasi penduduk pedesaan kian menurun namun, dalam banyak kasus kualitas organisasi sosial dan kepemimpinan mereka semakin meningkat, paling tidak jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi penduduk perkotaan.

Ada beberapa alasan subyektif dan "obyektif" yang menyebabkan gerakan tani saat ini begitu maju. Secara obyektif, kebijakan "neoliberal" demikian menjepit kehidupan petani: di satu sisi membanjirnya barang-barang impor sebagai pengganti makanan dan di sisi lain produk-produk agrikultur lainnya harganya melorot drastis sehingga menyebabkan petani penghasil jatuh bangkrut; di sisi lain terdorong untuk mengakumulasi keuntungan dari pertukaran luar negeri, rejim neoliberal menempuh kebijakan untuk memperluas sektor agroekspor, serta memimpin pengusiran paksa petani penghasil dari tanahnya. Kebangkrutan dan pengusiran tidak hanya berarti meningkatnya angka pengangguran atau merosotnya jumlah pendapatan tapi, juga penduduk yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan komunitas dan keluarganya yang terdekat. Itu juga berarti, "kehancuran," sebuah pengalaman keterasingan yang mendalam. Ancaman dan kenyataan yang diakibatkan oleh neoliberalisme secara khusus ditemukan di wilayah pedesaan, dimana tidak ada alternatif untuk tempat tinggal, komunitas dan pekerjaan. Dampak yang paling menghancurkan dari neoliberalisme semakin terasa kuat di wilayah pinggiran ketimbang di perkotaan.

Secara subyektif, pemimpin tani yang baru lahir memiliki pendidikan yang lebih baik, terpolitisasi dan independen dari pengaruh elite perkotaan dan mesin partai, lebih mengerti tentang politik nasional dan internasional dan bebas dari pengaruh hegemoni pengacara provinsi dan pemimpin-pemimpin petani profesional lainnya di masa lalu. Selain itu, tidak seperti serikat buruh lama dan kepemimpinannya yang terbirokratisasi dan menjadi bagian yang menyatu dengan komisi "tri-partite," gerakan tani yang baru lahir di atas basis kelas yang independen dan perjuangan etnis, menentang persetujuan dagang antara kelas penguasa lokal dan negara imperial.

Untuk kedua alasan subyektif dan obyektif ini, gerakan tani diasumsikan pada waktu dan tempat yang tepat untuk menjadi "pelopor/vanguard," sebagai pemicu ledakan perubahan sosial besar-besaran dalam menentang elite neoliberal.

Pembangunan Gerakan Tani dan Perjuangannya

Secara khusus, kita bisa membedakan tiga level perjuangan dan organisasi tani berdasarkan dampaknya pada kebijakan politik dan sosial ekonomi secara nasional.

Pada "tahap tertinggi" kita lihat di Brazil, Bolivia dan Ekuador, dimana gerakan tani terlibat dalam waktu lama, dalam perjuangan skala besar, yang sanggup menduduki sejumlah lahan besar dan atau menjatuhkan rejim. Pada "tahap menengah" perjuangan dan organisasi, Guatemala, Meksiko, Kolumbia, Paraguay, Peru dan El Salvador adalah negara-negara dimana aktivitas dan militansi gerakan taninya sangat kuat berhadapan dengan kekuasaan regional. Gerakan itu akan semakin kuat jika saja tidak direpresi oleh aparatus negara. Sebagai contoh, lebih dari 200 ribu petani, sebagian besar Mayas, dibunuh oleh rejim kediktatoran Rios Mont yang didukung Amerika Serikat pada 1980an di Guatemala. Hal serupa terjadi di Kolumbia, dimana ribuan aktivis tani terbunuh dan lebih dari tiga juta petani kehilangan tempat tinggal akibat taktik teror yang dilakukan oleh negara Kolumbia beberapa dekade lalu. Pada "tahap terendah" aktivitas dan organisasi gerakan tani adalah yang tampak di Chile, Uruguay, Argentina dan Venezuela.

Namun demikian klasifikasi ini membutuhkan kualifikasi. Karena kebijakan presiden Hugo Chavez yang menguntungkan mengenai arah reformasi agraria, dan kebijakan yang positif tentang arah distribusi tanah dan organisasi tani serta koperasi, gerakan tani secara signifikan bangkit sejak awal 2000. Lebih dari itu, di Argentina, dimana gerakan tani hanya memiliki pengaruh kecil di tingkat nasional, mereka membanguna pengaruh yang kuat di daerah seperti, di Northeast, Santiago de Estero, Formosa dan beberapa propinsi lainnya.

Gerakan dan organisasi tani yang sangat kuat muncul dengan sebab yang berbeda-beda. Misalnya, mereka tumbuh karena cenderung berkorelasi dengan komunitas Indian yang sangat kohesif (ini terlihat di Bolivia, Ekuador dan Guatemala); buruh pedesaan tak bertanah (Brazil) dan petani (Kolumbia); dimana kepentingan agrobisnis skala besar menyebabkan bangkrutnya produser kecil (Paraguay); dan dimana klien imperialis AS meluncurkan program penghancuran koka tanpa menyiapkan alternatif yang berarti (Peru, Kolombia dan Bolivia).

Pada akhir 1970an, banyak "pakar" berpendapat bahwa gerakan tani bersifat anakronistik (saling bertentangan), kekuatannya dihancurkan atas nama transformasi sosial. Dengan bertitik-tolak dari gambaran demografis (perbandingan kota-desa) dan hancurnya gerakan gerilya yang berbasiskan petani, serta dibantu oleh retorika "modernisasi" yang dipopulerkan oleh klien-klien imperial lokal dan Bank Dunia, para pengamat itu gagal untuk melihat atau memahami kebangkitan generasi baru pemimpin-pemimpin petani yang berbasis pada organisasi massa dan sanggup menghadapi perubahan demografis melalui organisasi yang besar dan pembangunan koalisi bersama organisasi-organisasi keluarga miskin perkotaan dan serikat buruh. Organisasi-organisasi tani secara kualitatif terbukti lebih mampu berkembang, baik secara organisasi, kepemimpinan, maupun strategi dan taktik di tengah-tengah berkurangnya secara relatif jumlah populasi petani.

Kebangkitan dan Kehancuran Relatif Gerakan: 1990-2005

Kebangkitan sosial gerakan tani dari pertengahan 1980an hingga awal 2000, secara umum diikuti oleh kelemahan dari 2003 hingga pertengahan 2005. Kebangkitan itu didorong oleh kesadaran etnis-kelas yang sangat besar, khususnya di kalangan komunitas Indian yang disebabkan oleh pemberontakan besar-besaran. Misalnya, di Ekuador (CONAINE), perlawanan bersenjata di Meksiko (the EZLN The Zapatista Army of National Liberation) dan gerakan tani di Guerrero, Cocaleros di Cochabomba dan Alto Plano di Bolivia serta petani koka di Peru.

Di Brazil, pada awal 1985 dan berlanjut pada 2002, gerakan buruh pedesaan tak bertanah (the the Rural Landless Workers Movement), menduduki ribuan perkebunan besar dan memindahkan lebih dari 350 ribu keluarga pedesaan dalam pertanian keluarga dan koperasi.

Sukses gerakan tani memang tidak seragam. Di Guatemala, Peru, El Salvador dan Kolombia, gerakan tani menderita penindasan yang dilakukan - dalam beberapa kasus dimaksudkan untuk melemahkan aktivitas massa. Namun demikian, sukses besar gerakan tani ini berlanjut pada agenda pedesaan mereka seperti otonomi luas dan pemerintahan sendiri bagi komunitas Indian, reformasi agraria, perlindungan oleh negara, pembiayaan dan perlawanan terhadap ALCA, menarik perhatian dari seluruh sektor politik. Washington di bawah Bush (ayah dan anak) dan Clinton kemudian mempromosikan neoliberalisme melalui militerisasi Amerika Latin lewat Plan Colombia, Plan Andinoa, dan kebijakan "anti-teroris." Pemisahan dan pencemaran yang dilakukan oleh rejim neoliberal dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang disebut "kanan-tengah/center-left" dan koalisi elektoral. Hingga akhir 1990an, gerakan tani sukses karena mendasarkan dirinya pada politik kelas yang independen dan menggunakan tindakan langsung, serta melakukan taktik koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Namun demikian, kebangkitan politisi-politisi elektoral "kanan-tengah" dan janji-janji mereka untuk "menentang" neoliberalisme telah menyebabkan kehancuran aliansi di gerakan tani.

Di Ekuador, Bolivia, Brazil dan tempat-tempat lainnya, gerakan tani yang bersekutu dengan presidennya (Guteirrez, Mesa dan Lula) dan partai, dengan cepat setelah pemilu, merangkul kebijakan neoliberal, strategi-strategi kebijakan agribisnis yang represif terhadap gerakan tani. Dampak dari pembalikkan ini adalah hancurnya aliansi elektoral dengan gerakan tani dan kemunduran dalam aktivitas dan organisasi. Di Ekuador, CONAINE menderita krisis kepercayaan di kalangan basis, pembeda-bedaan dalam organisasi dan melemahnya kemampuan untuk mobilisasi pada basis nasional. Di Bolivia, Evo Morales dan organisasi cocalero-nya mendukung kebijakan neoliberal dari Carlos Mesa, memperpanjang umur rejim reaksioner dengan memberinya kesempatan untuk melakukan rekonsilidasi dan melemahkan partai-partai tradisional. Di Brazil, dukungan MST terhadap rejim neoliberal Lula da Silva selama dua tahun lebih bersamaan waktunya dengan tersendatnya agenda reformasi agraria, terhambatnya pendudukan tanah dan semakin menguatnya agrobisnis yang membiayai buruh tak bertanah, keluarga petani, penghancuran hutan Amazon dan brutalitas ekspansi pertanian genetik oleh eksportir-eksportir pertanian. Pada 2005, pengalaman politik dalam politik elektoral telah menyebabkan (untuk sementara) tiga tahun kelemahan gerakan-gerakan tani-Indian yang paling kuat. Pelajarannya jelas: politik elektoral tidak efektif sebagai kendaraan bagi perubahan di pedesaan, dengan Venezuela sebagai pengecualian.

Aliansi Ekstra-Parlementer

Di bawah kondisi-kondisi dan konteks politik yang melahirkan aliansi petani dan penduduk perkotaan, apa hasil positifnya bagi kaum miskin pedesaan? Pengalaman sejarah lebih dari 25 tahun lalu menunjukkan bahwa aliansi yang sangat efektif dan tindakan-tindakan yang memerlukan "koalisi horisontal" terlibat dalam tindakan-tindakan ekstra parlementer. Sejumlah contoh sukses dan sebaliknya kegagalan sejumlah aliansi elektoral akan dipaparkan di bawah ini.

Di Ekuador, CONAINE dengan dukungan seribat buruh-serikat buruh utama (perminyakan, buruh lilstrik, bangunan dan guru) berhasil menjatuhkan dua rejim neoliberal (Bucaram dan Mahuad) dan untuk sementara, berhasil membatasi agenda neoliberal. Sebaliknya, ketika CONAINE berkoalisi dengan kekuatan elektoral yang dipimpin Lucio Gutierrez, mereka kehilangan dukungan sosial dan harus menghadapi arus balik program IMF. Hal yang sama terjadi di Bolivia, gerakan tani, cocaleros dan organisasi-organisasi Indian, yang berbasiskan pada koalisasi "horisontal" yang luas dengan pekerja tambang, kaum miskin perkotaan dan serikat buruh di La Paz dan Cochabamba, sukses menggulingkan rejim neoliberal represif Sanchez de Losada. Selanjutnya, gerakan tani mengalami beberapa kemunduran ketika salah satu pemimpin kuncinya, deputi parlemen Evo Morales, mendukung presiden Carlos Mesa yang menerapkan kebijakan neoliberal guna memenuhi ambisi elektoralnya (menjadi presiden pada pemilu 2007).

Ketika koalisi horisontal antara petani dan organisasi-organisasi perkotaan mendatangkan hasil-hasil yang positif, mereka tidak mudah untuk memperolehnya kembali. Di Brazil, MST kembali harus mencoba membangun aliansi perkotaan yang telah dilakukannya selama 20 tahun terakhir dengan hasil yang beragam. Selama dekade 1980an, ketika konfederasi serikat buruh (CUT=General Workers of Confederation) terbentuk dan didasarkan atas delegasi-delegasi pabrik dalam dewan umum, mereka secara tetap melakukan mobilisasi massa dengan MST. Selama 1990an dan sesudahnya, ketika CUT menjadi terbirokratisasi dan tergantung pada pakta sosial tripartit, mereka menjadi enggan atau tidak mau lagi melakukan mobilisasi bersama dengan MST. Ketika CUT's mengklaim memiliki 15 juta pengikut dan deklarasi "radikal"nya, padahal sebaliknya hanya beberapa ribu demonstran, sebagian besar adalah fungsionaris-fungsionaris penuh waktu, sebaliknya MST mampu memobilisasi puluhan ribu. Faktanya, pemimpin-pemipin MST berasal datang dari sektor-sektor progresif seperti Gereja (Pastoral Rural), menunjukkan praktek solidaritas yang lebih besar ketimbang CUT!

Venezuela adalah satu-satunya negara dimana gerakan tani memikili aliansi "vertikal" dan horisontal. Faktanya sebagian besar pertumbuhan organisasi gerakan tani adalah produk kebijakan pemerintahan Chavez dan kebijakan-kebijakan reformasi agrarianya. Ketika sebagian besar negara-negara Amerika Latin, berdiri di samping elite agrobisnis dan mendukung pakta perdagangan neoliberal, ALCA dengan dukungan imperialisme AS, di Venezuela, pemerintahannya bergerak ke arah promosi koperasi dan pertanian keluarga untuk membuat Venezuela mampu memenuhi kebutuhannya pangannya secara mandiri. Faktor kunci yang membedakan hubungan negara-petani ini adalah komposisi kelas negara dan para pemimpinnya: Chavez membangun blok popular untuk mempromosikan ideologinya yakni sebuah gabungan antara ekonomi yang berbasis pada pembiayaan kesejahteraan sosial melalui pendapatan minyak.

Dari beragam contoh konkret ini, saya mencatat sejumlah masalah dalam pembangunan "alinasi horisontal" dan penciptaan koalisi "buruh-tani:"

a. Serika buruh dan organisasi komunitas perkotaan berhasil dilemahkan oleh kebijakan neoliberal yang sukses menciptakan fragmentasi besar dalam "sektor informal;"

b. Di luar kelemahan atau "birokratisasi" (atau keduanya), serikat buruh, dalam banyak kasus, fokus mereka sangat "terbatas" pada isu-isu pekerjaan dan upah yang mendesak, ketimbang tantangan politik yang lebih luas yang berdampak pada perjuangan nasional (semacam reformasi agraria);

c. Beberapa pemimpin serikat buruh memiliki sikap yang rasis, ketika bekerja dengan pemimpin-pemimpin dan organisasi-organisasi Indian yang berdasarkan pada persamaan atau menerima kepemimpinan dari gerakan-gerakan petani-Indian yang sangat besar;

d. Banyak dari keluarga miskin perkotaan dikontrol oleh partai politik tradisional melalui mesin patronase elektoral, yang membatasi partisipasinya dalam tindakan bersama dengan gerakan tani. Namun, itu tidak menggambarkan praktek keseluruhan karena sering gambaran yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya, dalam kasus Bolivia, dimana komunitas perkotaan (organisasi bario) di El Alto membagi kepemimpinannya dengan gerakan tani.

Memang tidak semua masalah yang melilit aliansi "buruh-tani" disebabkan oleh kekuatan sosial perkotaan. Dalam beberapa kasus, seperti di Peru dan Kolumbia, tuntutan petani yang hanya terfokus pada isu tunggal pertumbuhan koka, sehingga membatasi ketertarikan sebagian produser petani. Dalam kasus lain, organisasi tani terbelah karena kesetiaannya terhadap strategi elektoral, dalam kasus ini adalah cocaleros di Chapare, Bolivia yang berakibat rusaknya aksi bersama dengan serikat buruh.

Dengan memahami kendala-kendala yang membatasi aliansi horisontal kota-desa, sebagian besar pemimpin-pemimpin tani menyadari bahwa koalisi nasional dengan sekutu perkotaannya adalah tujuan strategis yang mendesak guna mengalahkan neoliberalisme dan memformulasikan kebijakan yang pro-petani.

Strategi-strategi Perjuangan

Banyak kaum kiri menulis bahwa minimnya peran strategis petani dan dampak politik dari gerakan tani, disebabkan oleh sumbangan mereka yang kecil terhadap prosentase GNP. Begitu banyak laporan-laporan yang menulis soal "terpinggirnya" atau "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, meskipun fakta menunjukkan, sebagian besar pemain kunci dalam sektor agro-ekspor membutuhkan mata uang yang kuat untuk kepentingan impor dan pembayaran utang. Dan itu semua tak lepas dari sumbangsih kaum tani. Faktanya, gerakan tani dan produser tetap menyediakan sumber-sumber langsung bagi pertukaran internasional melalui koka dan komoditi ekspor lainnya, dan pentingnya suplai bagi konsumsi makanan lokal.

Lebih dari itu, bukti substansial menunjukkan, taktik tindakan langsung yang menyebabkan "terpinggir" dan "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, memberi dampak strategis pada realisasi keuntungan yang bisa diakumulasi oleh sebagian besar sektor kunci dari kelas berkuasa.

Teori Marxis berpendapat, sentralisasi proletariat industri dalam perjuangan revolusioner menjadi basis bagi posisi strategis mereka dalam sektor produksi dan dalam "organisasi sosial" dalam sistem pabrik. Petani, sebagaimana kita ketahui, "tersisih" dari pusat operasi kapital dan pemilikan pribadi. Sebagai individu, mereka bersifat atomistik. Sebagai subyek, perilaku petani bersifat "individualistik.

Data dari gerakan-gerakan kontemporer, menantang asumsi-asumsi ini. Di banyak negara, petani mendemonstrasikan kemampuannya yang luar biasa untuk bertindak secara kolektif dan bersolidaritas, ketimbang buruh perkotaan. Secara tetap, fokus dari aksi-aksi mereka semakin meluas ke tingkat nasional. Atau isu-isunya bukan semata tuntutan upah yang sempit sebagaimana yang dilakukan oleh serikat buruh industrial. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya (municipal), long-march besar-besaran, pemogokan dan boikot oleh produser, serta barikade dan blokade jalan. Dalam banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan, dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik elektoral. "Kohesi" petani datang dari struktur komunitas habitat pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas, dan ancaman bencana yang ditiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.

Persamaan yang signifikan, bentuk-bentuk khusus dari kerugian struktural akibat aksi petani sangat berdampak dalam model kapitalis neoliberal. Lebih khusus lagi, jika aksi-aksi itu bertujuan mencegah sirkulasi ekspor komoditi oleh pengusaha-pengusaha pertanian-tambang dan manufaktur dan pencapaian keuntungan. Dengan kata lain, petani mungkin tidak memainkan peran yang esensial dalam produksi kapital tetapi, mereka memainkan peran esensial dalam sirkulasi komoditi dan dalam proses pertukaran. Peran strategis petani dalam mengguncang sirkulasi sama pentingnya dengan buruh pabrik yang mematikan alat-alat kerjanya dan menghentikan produksi: mereka tidak saja merusak keuntungan kaum kapitalis tetapi, juga memimpin perjuangan ketika terjadi disakumulasi dan krisis. Intervensi politik pada lokasi-lokasi strategis dalam sirkuit reproduksi kapitalis, menyebabkan gerakan tani secara dinamis memainkan peran strategis dalam proses transformasi sosial.

Kesimpulan

Monograf, pengakuan, riset-riset lapangan dan catatan visual menyediakan mosaik yang sangat kaya dan luar biasa mengenai aktivitas massa tani selama lebih dari dua dekade lalu, menyediakan bukti-bukti yang tak terbantah bahwa gerakan tani merupakan penggerak dan berperan dinamis di seluruh Amerika Latin dalam momentum yang berbeda-beda. Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa terjadi tarikan keseimbangan antara kesuksesan dan keterbatasan perjuangan petani.

Pertama-tama, gerakan tani memainkan peran menentukan dalam memaksa penguasa-penguasa korup untuk mundur dari jabatannya, sebagai wujud tanggung jawab atas pemiskinan negara, memberikan sumberdaya alam dan sektor-sektor strategis kepada perusahaan multinasional, dan menjerumuskan negara ke dalam jebakan utang luar negeri.

Di Ekuador, Bolivia dan lebih luas lagi di Peru, gerakan tani berperan sebagai pemimpin dalam perubahan rejim. Gerakan tani menjadi pemimpin dalam perang melawan ALCA di Brazil, Amerika Tengah (khususnya Guatemala), Ekuador, Paraguay, Bolivia, Peru, Colombia dan Meksiko.

Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan menentang modifikasi genetik dan kimiawi berbasiskan pertanian yang dipromosikan oleh Monsanto. Sebaliknya, mereka mempromosikan lingkungan yang ramah bagi pengelolaan tanah. Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan melawan pengasapan (fumigation) tanaman pangan, juga sebaliknya, aktif membela petani koka sebagai sumber penting bagi pendapatan keluarga, dengan efek berganda pada ekonomi sebagai keseluruhan.

Pemimpin-pemimpin tani menuntut Washington, untuk memerangi perdagangan obat-obatan melalui elite-elite pengadilan yang berkoalisi dengan mereka yang memroses dan mengedarkan barang tersebut dan bank-bank AS, yang secara ilegal "mencuci" keuntungan dari perdagangan obat itu. Gerakan tani menjadi bagian dari koalisi nasional melawan legislasi (pengundangan) privatisasi, basis militer AS, dan pembayaran utang luar negeri yang ilegal.

Tindakan langsung oleh gerakan tani, mampu menunda atau memblokade program-program "ikat pinggang/austerity" yang dipromosikan oleh IMF. Hal yang sama pentingnya, gerakan tani menginisiatifi gerakan yang "meledakkan" aktivitas perkotaan yang lebih besar seperti, pemberontakan yang terjadi di Bolivia pada Oktober 2003, Zapatistas Januari 1994, pengambilalihan Kongres di Ekuador pada 2000, dan gerakan pendudukan tanah di Brazil selama milenium baru.

Yang jelas, tanpa petani yang menduduki lahan tak mungkin ada proses reformasi agraria di Venezuela hari ini (2005), karena perubahan dalam birokrasi sangat lambat dan tidak jelas. Dengan adanya fakta bahwa tidak adanya legislasi agraria yang progresif atau level eksekutif yang setuju pada proses itu di seluruh negara Amerika Latin pada 20 tahun terakhir, (kecuali Venezuela di bawah Chavez), tindakan langsung oleh gerakan tani memainkan peran yang sangat signifikan, tidak hanya sebagai kendaraan bagi petani untuk membela klaim mereka atas tanah, kredit pasar, dan perlindungan atas dumping.

Sukses positif gerakan tani ini bukan tanpa biaya: luka dan penindasan dengan kekerasan. Di Kolumbia, lebih dari 20 ribu aktivis tani, para pemimpin dan pendukung hak-hak asasi manusia dibunuh oleh teroris yang didukung militer AS dan gang-gang paramiliter. Selain itu, lebih dari tiga juta orang kehilangan tempat tinggal akibat penindasan oleh negara. Di Brazil, di bawah Cardoso dan Lula, lebih dari lima ratus petani dan pemimpin-pemimim buruh tak bertanah, dan aktivis gereja dibunuh oleh polisi militer dan pembunuh bayaran yang disewa oleh pemilik tanah. Lebih dari 90 persen pelaku kejahatan itu tidak dihukum.

Masalahnya, apakah negara, politik kekuasaan, dan strategi politik yang pada akhirnya mendorong gerakan tani sebagai pemimpin dalam perubahan? Kekuasaan petani yang termanifestasi dalam wujud penyangkalan (negation) terhadap penguasa yang ada pada akhirrnya melemah, ketika mereka bersepakat pada strategi untuk pengambillihan kekuasaan. Bahkan, dalam kasus dimana gerakan tani sukses menjatuhkan rejim sebagaimana di Ekuador (2000) dan Bolivia (Oktober 2003), mereka tidak menyiapkan diri untuk berkuasa. Lebih dari itu, ketika mereka berhasil mengambilalih kekuasaan ke dalam tangannya dari para demagog neoliberal seperti Carlos Mesa di Bolivia dan Lucio Gutierrez di Ekuador, gerakan tani terbukti tidak siap berkuasa.

Petani memang sanggup melakukan protes yang signifikan dan bahkan mendorong reformasi. Tetapi, mereka sangat lemah dalam hal kekuasaan negara. Akibatnya, reformasi mengalami kemunduran bahkan kegagalan ketika gerakan melemah. Janji-janji reformasi selama perjuangan panas dihancurkan oleh penguasa kanan-tengah. Yang terjadi malah penyusunan (reconstitution) kembali kekuasaan borjuis untuk melakukan serangan balik dengan strategi 'counter-terrorist' yang kejam. Tanpa strategi untuk kekuasaan negara, para pemimpin militan cenderung untuk berhenti dan membiarkan ambisi-ambisi politis borjuis kecil mengambilalih tempat mereka. Setelah itu, periode demagog dan konsesi-konsesi simbolis sukses dalam mennapaki jejak langkah para pendahulunya.

Beberapa teoritisi revolusioner berpendapat, masalah pengambialihan kekuasaan negara mengharuskan pembangunan gerakan massa dari bawah, pembentukan koalisi dengan kelompok-kelompok perkotaan dan organisasi massa dan pembangunan serangkaian perjuangan konkret untuk reformasi yang mengarah pada terciptanya "kekuasaan ganda/dual power." Ini sangat sulit dan prosesnya sangat kompleks, tergantung pada situasi lokal dimana mereka merealisaikan hal-hal yang dianggap konkret. Pemerintah lokal dan pemimpin-pemimpin politik dalam perjuangan massa adalah "pembangun kepercayaan/confidence building) yang tindakannya: Ketika bertanya mengapa petani tidak "mengambilalih kekuasaan" di Bolivia dan Ekuador saat pemberontakan meningkat, para pemimpin tani itu mengatakan kepada saya bahwa mereka "belum siap" dan mereka "tidak percaya diri untuk memimpin." Dimanapun, ketika pemimpin-pemimpin tani dan para aktivis secara tegas hendak mendirikan sebuah rejim oleh dan untuk petani dan menentang imperialisme, hal ini merupakan masalah hidup dan mati, perjuangan dan pertumbuhan atau kehilangan tempat dan hidup melarat.***

James Petras, adalah mantan profesor sosiologi di Binghamton University, New York. Ia adalah penasehat bagi kaum tani tak bertanah dan tak memiliki pekerjaan di Brazil dan Argentina dan menulis bersama buku Globalization Unmasked (Zed). Buku barunya bersama Henry Veltmeyer, Social Movements and the State: Brazil, Ecuador, Bolivia and Argentina, akan diterbitkan pada Oktober 2005.

Catatan dan bibliografi:

Artikel ini merupakan refleksi dari penelitian lapangan, termasuk wawancara dan observasi terlibat dengan mengikuti gerakan antara 1992-2005: CONAIE (Ekuador 2002, 2003); Cocaleros (Bolivia 1993, 1996, 2003); EZLN (Mexico 1995, 1996); MST (Brazil setiap tahun 1992-2005); Federacíon Nacional Campesino (Paraguay 1998, 1999); MOCASE (Argentina 1995); Confederacíon Campesina (Peru 2004); Federacíon Campesino (El Salvador 1999); Federacíon Ezquiel Zamora (Venezuela 2004); Via Campesina (Brasilia 1997).

Artikel ini juga adalah ringkasan dari buku kami : James Petras and Henry Veltmeyer, "Social Movements and the State: Brazil, Ecuador, Bolivia and Argentina" (London: Pluto 2005, October); James Petras and Henry Veltmeyer, "Movimientos Sociales y el Estado: Brazil, Ecuador, Bolivia y Argentina," (Buenos Aires: Lumen, Noviembre 2005).

Bibliografi:
1) James Petras and Henry Veltmeyer, "Are Latin American Peasant Movements Still a Force for Change? Some New Paradigms Revisited" The Journal of Peasant Studies vol 28, #2. January 2001 pp 83-118.

2) Wilder Robles, "The Landless Rural Workers Movement (MST) in Brazil" The Journal of Peasant Studies vol 28, #2. January 2001 pp 146-161.

3) Roger Batra, "Agrarian Structure and Political Power in Mexico," (Baltimore: Johns Hopkins University 1993).

4) Luis Macas, "Diez Años del levantamiento del Inti Raymi de Junio 1990: un balance preliminary Boletin Mensual Instituto Cientifico de Culturas Indigenas: Quito 2000.

5) Joao Pedro Stedile and Sergio Frei, "A luta pele terra no Brazil," (Sao Paola, Scritta 1993).

6) Tom Brass (ed), "Latin American Peasants ," (special issue) Journal of Peasant Studies vol 29, no 3 and 4, April-July 2002.

7) James Petras and Henry Veltmeyer, "The Peasantry and the State in Latin America: A Troubled Past, an Uncertain Future" in Tom Brass, ed. Latin American Peasants (2002).


Judul asli artikel ini "Strategies of Struggle The Centrality of Peasant Movements in Latin America," dipublikasikan di (http://www.counterpunch.org/petras06042005.html).

Penerjemah Coen Husain Pontoh.



Baca selengkapnya!

21.5.07

Membangun Sosialisme Abad Ke-21 Di Venezuela

Michael A. Lebowitz

Seperti Karl Marx yang bersedia mengubah pandangannya setelah melihat cahaya Paris Komune (Paris Commune), kita harus berpikir tentang sosialisme saat ini dengan melihat pengalaman abad ke-20.

Kita membutuhkan pemahaman, agar sosialisme di abad ke-21, tidak akan mencetak masyarakat yang statis atau masyarakat berbasis negara. Dimana keputusan yang diambil bersifat top-down (dari atas ke bawah), dan dimana seluruh inisiatif adalah milik para pejabat negara atau para kader yang mereproduksi sendiri kepeloporan (cadres of self-reproducing vanguards). Tepatnya, karena sosialisme fokusnya pada pengembangan kemanusiaan, maka penekanannya adalah pada kebutuhan akan sebuah masyarakat yang demokratis, partisipatoris, dan berkarakter. Sebuah masyarakat, yang keseluruhannya didominasi oleh negara yang sangat berkuasa, pasti tidak akan menghasilkan keberadaan manusia yang nantinya akan menciptakan sosialisme.

Untuk alasan yang sama, sosialisme bukanlah populisme. Sebuah masyarakat dimana rakyat melihat negara, menyediakan kepada mereka sumberdaya-sumberdaya beserta jawaban atas seluruh masalah yang dialaminya. Sistem seperti ini, juga tidak akan mempercepat pengembangan kapasitas manusia; selebihnya akan meninggalkan rakyat yang memandang negara sebagai sumber jawaban dan juga pemimpin yang menjanjikan semuanya.

Lebih lanjut, sosialisme bukanlah totalitarianisme. Tepatnya, karena keberadaan manusia berbeda-beda dan memiliki kepentingan dan kemampuan yang berbeda, perkembangan mereka per definisi membutuhkan pemahaman dan penghormatan bagi kepelbagaian itu. Baik negara atau komunitas, tidak memiliki hak untuk memaksakan persatuan dalam aktivitas produksi, pilihan-pilihan konsumsi atau gaya hidup yang mendukung kebangkitan dari apa yang dikatakan Marx sebagai persatuan berdasarkan atas pemahaman yang berbeda (unity based upon recognition of difference).

Selain itu, kita membutuhkan pemahaman, karena sosialisme bukanlah pemujaan atas teknologi—–sebuah penyakit yang melanda Marxisme dan yang di Uni Soviet termanifestasikan dalam wujud pabrik-pabrik besar, pertambangan, dan pertanian-pertanian kolektif untuk mengamankan asumsi skala ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa perusahaan kecil mungkin menjanjikan kontrol demokratik yang lebih besar dari bawah (yang berarti pengembangan kapasitas produser) dan mungkin juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa melayani kebutuhan masyarakat.

Kita mesti belajar dari pengalaman abad ke-20. Kini kita mengetahui bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang baik untuk rakyat tidaklah mencukupi— Anda harus bersiap untuk keluar dari logika kapital jika ingin membangun dunia yang lebih baik. Dan, kita tahu, sosialisme tidak bisa direalisasikan dari atas melalui usaha-usaha dan instruksi-instruksi (tutelage) oleh para pelopor, yang mengambilalih seluruh inisiatif dan tidak percaya terhadap kemampuan massa.

“Kelas pekerja,” demikian Rosa Luxemburg dengan bijaksananya mengatakan, “membutuhkan hak untuk menciptakan sendiri kesalahan-kesalahannya dan belajar pada dialektika sejarah."

Ketika kita memulai dari tujuan sebuah masyarakat yang terbebas dari seluruh potensi-potensi keberadaan kemanusiannya dan memahami bahwa jalan untuk mencapai tujuan itu tak dapat dipisahkan dari kemampuan diri rakyat, maka kita bisa membangun sebuah masyarakat manusia yang sejati.

Saya mengusulkan, dan pada kenyataannya, banyak pelajaran dari abad ke-20 yang bisa dipelajari, dimana hal itu tercermin dalam Konstitusi Bolivarian (Bolivarian Constitution). Dalam pasal 299 dinyatakan negara “menjamin seluruh pengembangan kemanusiaan.” Dalam deklarasi pasal 20 tertuang “setiap orang memiliki hak untuk bebas (laki dan perempuan) mengembangkan dirinya sendiri.” Lebih fokus lagi adalah pasal 102 yang menyatakan “pengembangan potensi kreatif seluruh keberadaan manusia dan tindakan penuh - laki maupun perempuan – dirinya dalam sebuah masyarakat demokratik.” Dalam artikel 62 dinyatakan, partisipasi oleh rakyat adalah “dibutuhkan untuk mendorong keterlibatannya dalam menjamin perkembangan mereka selengkapnya, baik secara individual maupun secara kolektif,” dalam mengidentifikasi perencanaan demokratik dan anggaran partisipatif di seluruh tingkatan masyarakat. Dan lebih fokus lagi pada pasal 70 yang menyatakan bahwa “manajemen sendiri, manajemen bersama, koperasi dalam semua bentuk” sebagai contoh “bentuk-bentuk asosiasi dipandu oleh nilai-nilai kerjasama yang saling menguntungkan dan solidaritas,” dimana kewajibannya dicatat dalam pasal 35, “kebajikan solidaritas, tanggung jawab sosial dan bantuan kemanusiaan, baik oleh pejabat pemerintah maupun oleh individu-individu swasta menurut kemampuannya.” Seluruh yang tertuang dalam Konstitusi Bolivarian ini merupakan elemen-elemen sosialisme abad ke-21 dalam bentuknya yang ideal.

Perjuangannya sekarang adalah bagaimana menjadikannya sebuah kenyataan.***

Michael A. Lebowitz adalah profesor emeritus bidang ekonomi di Simon Fraser University, Burnaby, British Columbia, Canada. Ia juga adalah penulis buku "Beyond Capital: Marx's Political Economy of the Working Class" (Palgrave Macmillan, 2003), dan memenangkan penghargaan Deutscher Memorial Prize, 2004

Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli
"Building Socialism of the 21st Century in Venezuela." Sumber: http://www.venezuealanalysis.com, Friday, 29 Juli 2005.



Baca selengkapnya!

4.4.07

Mengapa Marxisme?

Daniel Singer

Tepat sebelum meninggalkan Paris, saya dihadiahi buku oleh Michael Löwy dengan suatu kata pengantar yang baru dan juga kutipan yang baru. Saya ingin membaginya dengan Anda di sini, dalam kesempatan yang istimewa ini. Dalam kutipan itu dikatakan, "Marx jelas-jelas mati demi kemanusiaan." Ayolah Daniel, kamu hanyalah obyek, melanconglah ke seluruh dunia untuk mewartakan omong kosong itu. Untuk kontribusimu itu, kami akan membayarmu satu sen dolar selusin! Tapi, sebenarnya itu bukanlah omong kosongmu. Datangnya dari Italia, melalui Benedetto Croce pada 1907 dan persisnya 90 tahun yang lalu. Saya telah mengutipnya, untuk mengingatkan kamu penggali kuburannya Marx - seorang filsuf baru, Fukuyama – yang keturunannya bejibun, memiliki banyak pewaris, dan tak pernah takut kehilangan waktunya walaupun tak mendapatkan bayaran. Pada point pertama ini, saya mau mengatakan, terjadi peristiwa yang kebetulan antara kebangkitan kembali nama baik dan runtuhnya Uni Sovyet.

Ini point pertama. Point kedua dan bagi saya krusial, adalah apa yang dibutuhkan gerakan saat ini - terutama sekali di Eropa Barat, di mana konfrontasi sedang mencapai suatu tahapan penting, tidak hanya radikal, tetapi juga global - suatu alternatif menyeluruh bagi sistem kapitalis yang ada. Ini membawa saya pada point ketiga yakni, tingkat di mana mereka tidak hanya secara tegas memisahkan sifat dari berbagai gerakan sosial tapi, mengidealkan pemisahan itu, mereka yang menolak aksi global atau aksi kolektif. Bagi mereka, apapun yang dimaksudkan dengan kata total, pastilah bersifat totaliter; lebih luas lagi, sadar atau tidak sadar, mereka melayani kekuasaan yang mapan. Akhirnya, karena keterbatasan waktu, saya mau mengatakan sesuatu tentang Marxisme, yang kita di aula ini ingin melihat kelahiran dan kebangkitannya kembali. Marxisme yang dengan bangganya kita lihat telah mati dan dikuburkan. Maksud saya, buku suci penguasa Soviet, dengan berbagai kutipan yang sesuai untuk setiap kesempatan, yang disajikan oleh pendeta pejabat dari Marxisme-Leninisme yang - mungkin Anda telah mencatatnya - dikatakan oleh Milton Friedman, dengan senang hati telah berubah menjadi penginjil kapitalis.

Mari kita mulai dengan pertunjukan terakhir tentang pemakaman Marxisme. Saya mendapati hal yang membingungkan bahwa harusnya hal itu dipercepat oleh runtuhnya Tembok Berlin dan kebangkrutan Uni Soviet. Kekuasaan yang ada seharusnya bisa mengambil keuntungan untuk memproklamirkan bahwa Marxisme, sosialisme, revolusi, atau istilah sejenis, kini telah berakhir untuk selamanya; ini adalah hukum alam yang sempurna. Dan ternyata ada cukup banyak orang pada sisi kiri, di dalam lingkaran yang progresif, yang juga dengan jelas dibingungkan dengan keadaan ini. Dan sungguh, saya tak bisa memahaminya.

Pada 1956, tahun dimana muncul surat tuduhan Khrushchev terhadap Stalin dan penyerbuan ke Hongaria, merupakan tahun kejutan bagi para pendukung Khruschev, ketika tank-tank Soviet memasuki Praha pada 1968. Tetapi duapuluh tahun kemudian, tak ada seorang pun yang dengan serius percaya bahwa suatu alternatif sosialis sedang ditempa di blok Soviet.

Bagi mereka yang melulu berpropaganda secara meyakinkan, dengan mudah menjawab bahwa hanya yang hidup yang bisa mati. Sosialisme oleh karena itu tak pernah mati di Timur, karena di sana, Marx yang dihubungkan dengan para produser, tidak dalam posisi sebagai pemilik pabrik-pabrik dan nasib mereka. Tetapi ini tidak cukup. Kita tidak punya model tetapi, kita mempunyai warisan dan kita harus meneliti sejarahnya dalam tampilan Marxis. Apa yang salah dan mengapa? Apakah karena revolusi dengan cepat telah diubah ke dalam sebuah transformasi dari atas? Atau apakah itu disebabkan oleh takdir, setidak-tidaknya setelah terjadi kemunduran di Rusia, sehingga gagal disebarkan? Saya akan meninggalkan perdebatan yang belum selesai ini tapi, tak berarti tak ada debat pada momen ini. Saya akan kembali pada point kedua.

Secara bertentangan, robohnya model neo-Stalinist tidak bersamaan dengan kesuksesan sosial-demokrasi. Sebaliknya, bersamaan waktu dengan kebangkrutan kejayaan itu, kapitalisme menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk yang paling telanjang. Tak ada lagi kapitalisme berwajah manusia tapi, kembali ke masa hukum rimba. Setelah duapuluh tahun atau lebih hasil restrukturisasi, krisis menjadi semakin gawat. Ini terutama sekali sangat tampak di Eropa Barat, di mana saya tinggal. Kita tengah menyaksikan suatu periode yang aneh tentang transisi, dengan harapan dan bahayanya. Untuk beberapa tahun dari sekarang, berbagai usaha dibuat untuk memaksakan model Amerika, yang bukan mimpi Amerika dari masa lalu tapi, mimpi buruk Amerika. Sebuah serangan terhadap upah, melawan apa yang disebut negara kesejahteraan, melawan semua penakluk pasca perang dari gerakan buruh, dan konsesi terhadap kapital yang bersedia tunduk.

Pesta penghormatan, penghormatan terhadap tercipatanya orde ini: Tony Blair, orang yang kemudian dengan cepat mengambilalih kekuasaan di Inggris. Atau mantan komunis Massimo d'Alema, orang yang mengilhami pembentukan koalisi dari para penguasa di Italia. Mereka siap berkorban bagi dewa baru globalisasi. Tetapi rakyat pekerja, terutama sekali di Eropa kontinental, tidak bersedia tunduk pada dewa baru ini. Sejak 1994, berkali-kali usaha untuk memotong pelayanan sosial di Italia, Perancis, dan Jerman, berhadapan dengan perlawanan rakyat. Saya pribadi berpikir pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi pada musim dingin di Perancis pada 1995, disebabkan oleh ketidakpuasan, dan kemudian berbalik menjadi perlawanan yang bersifat ideologis. Setelah seperempat abad pergeseran ideologi ke kanan, kini muncul sebuah gerakan yang mengejek pemerasan itu: Tak Ada Alternatif (there is no alternative). Pesan ini, mendatangkan ketakutan pada pendeta-pendeta mapan, yang dengan terang-terangan mengatakan:

“jika ini adalah masa depan yang kalian tawarkan kepada kami dan anak-anak kami, maka pergilah ke neraka bersama masa depanmu itu!”

Dan terjadilah perlawanan itu, yang pada momen ini, hanya sebuah perlawanan dan bukan awal dari sebuah serangan balasan. Hal itu kemudian diikuti dengan pemberian konsesi dan kompromi. Dan itulah yang terjadi. Pentingnya penolakan tak bisa ditaksir terlalu tinggi. Anda tak bisa memulai pembangunan di masa depan tanpa aksi penolakan hari ini. Tetapi, di atas platform yang negatif (baca: penolakan) ini, Anda harus mulai menempa sebuah alternatif. Anda harus mengawalinya dengan pertarungan-pertarungan berdasarkan argumentasi musuhmu – Anda akan menjadi sebuah sekte jika Anda tidak melakukan pertarungan ini. Tapi, Anda tak bisa menghindar dari keharusan memberikan solusi yang membuat Anda melampaui teritori, yang melampaui batasan yang ada pada masyarakayat yang ada. Kapitalisme adalah sebuah sistem dengan segala kemelekatannya atau konsistensinya, masuk akal – Istvan Mészáros mengatakan dengan metabolismenya sendiri – pada akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sistem yang lain dengan logika dan konsistensinya pula. Ini tak berarti ribut-ribut Bastille atau pengambilalihan istana musim dingin.Tak ada sesuatu yang instan tentang perubahan revolusioner. Ia membutuhkan waktu, perenungan yang mendalam bahkan, konsesi yang bisa berlangsung setiap saat. Ketika masalah itu muncul ke permukaan, Anda mungkin meledak atau bahkan memberontak. Tetapi, kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan yang hegemonik dalam jangka panjang tanpa adanya visi yang fundamental mengenai masyarakat yang berbeda.

Di sini saya menjadi bagian dari bentuk-bentuk terbaru sebuah gerakan seperti, posmodernisme dan lain-lain. Saya tidak memiliki masalah dengan dekonstruksi. Hal itu mengingatkan saya pada gambaran di dalam buku teks filsafatku, sebagai murid sekolah, dari Descartes dengan catatan kakinya pada gundukan dari buku yang memproklamirkan: tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran sebelum dibuktikan. Atau, dari diktum Gramsci, sekarang saatnya berontak, kebenaran adalah revolusioner. Dalam pernyataan mengagumkan tentang ras dan gender - menyatakan gender – kurang sering klas – menyembunyikan bias di bawah deklarasi besar tentang prinsip-prinsip para pendeta dan orang-orang terpelajar. Para penganut dekonstruksi sedang menyerang dan menghancurkan sistem tersebut. Tetapi, pada waktu yang sama, sebagai seorang post-modernis, mereka datang sebagai penyelamat, menyalahkan tidak hanya narasi besar tapi, gagasan mendasar yang padu, sebuah alternatif sistematis berhadapan dengan kapitalisme. Dan sang penolong jauh lebih penting ketimbang menyerang, sebab sistem kapitalis dapat ditempatkan tanpa kesatuan yang terorganisasi, dan tetap eksis berhadapan dengan serangan yang sporadis. Satu-satunya yang menakutkan adalah koherensi dan serangan frontal.

Beri saya kesempatan untuk lebih menjernihkan. Saya sama sekali tidak mengritik gerakan sosial - yang berjuang melawan rasisme, melawan penindasan gender, atau perjuangan untuk mempertahankan lingkungan. Tentu saja, saya menerima fakta bahwa semua perjuangan tersebut berkembang di luaran. Dan itu pertanda bahwa gerakan sosialis di abad ke-20 sedang mengalami kebangkrutan. Saya hanya menyerang mereka dari jauh, menyesalkan watak gerakan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) tersebut, terfragmentasi menjadi kepingan fakta yang permanen tentang hidup dan membuat kebaikan pada sebagian divisi saja. Apapun juga kebiasaan terbaru dari gerakan – serius maupun sekadar iseng - saya pikir mereka harus meninjau kembali gagasan mereka atau dipinggirkan oleh gerakan sosial yang mengembangkan seluruh kemampuan menyerangnya.

Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Marxisme? Jawaban kasarnya, kekuasaan kapital lebih absolut dari yang pernah ada dan Marxisme tetap merupakan alat analisa terbaik untuk menguliti kuasa, watak, dan kontradiksi di dalam sistem kapitalisme. Dengan syarat, kita tidak menjadikannya sebagai Kitab Suci. Telah saya katakan, bagaimana kita semua di sini bersama-sama menolak penyimpangan doktrin yang dijadikan sebagai alat atau topeng bagi para penguasa Soviet, para penindasnya dan pelayannya. Tapi itu tidak cukup. Kita tidak bisa memperlakukan Marxisme sebagai teks yang suci dan tidak bisa menoleransi tabu apapun. Marx tidak mengatakan segalanya. Ia tidak mempunyai waktu untuk itu, ia hanya memberi satu contoh saja, ia cukup mengajukan pertanyaan kunci mengenai peran negara. Bagaimanapun visi Marx, ia mungkin tak bisa membayangkan keadaan satu abad sesudahnya dan perubahan cepat teknologi dimana kita hidup di bawah kapitalisme, dimana kita menghadapi benturan antara perkembangan buta dari kekuatan produktif dan lingkungan kita. Dengan kata lain, kita menghadapi ancaman bunuh diri.

Guna menyingkat waktu, kita harus menggunakan Marxisme dalam wujud Marxis: mengadaptasikannya sejak semula untuk direalisasikan pada zaman kita. Masalahnya, kita tidak hanya berhadapan lingkungan yang berubah dengan cepat tapi, juga seluruh landasan pemikiran kita sendiri, menguji perubahan cepat watak kelas buruh dan, oleh karena itu, kapasitasnya untuk bertindak sebagai agen pengubah sejarah

Hanya dalam wujud seperti ini, kita bisa mengerjakan isu-isu yang menjadi agenda kita: masalah pekerjaan, dan tidak hanya masalah kerja dan waktu luang, dalam masyarakat kita di mana kemajuan teknologi telah menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan atau kemiskinan; masalah perubahan yang radikal dan keterbatasan negara bangsa dalam suatu masyarakat yang terglobalisasi; masalah kesetaraan dalam sebuah dunia yang pertumbuhan sosialnya tidak adil; masalah demokrasi, tidak hanya karena ini adalah warisan kita yang sangat mengerikan tapi, karena kita ingin mentransformasikan esensi perencanaan ke dalam pengorganisasian sendiri masyarakat.

Saya lanjutkan sedikit. Tugas kita jelas sangat berat dan karena itu, membutuhkan waktu. Tetapi tugas itu juga sangat mendesak. Saya benar-benar merasakan adanya sinar harapan di kaki langit. Tanda-tanda awalnya sudah nampak dari kebangkitannya sejak dari Paris hingga Seoul. Tetapi ada juga bayang-bayang. Ketika Front Nasional yang xenophobic menduduki balai kota di Perancis Selatan melalui hak pilih universal, dengan mayoritas absolut, adalah mendesak untuk melakukan sesuatu. Maksud saya, menawarkan kepada rakyat yang tak puas dengan sistem yang ada sebuah alternatif yang radikal. Jika kita tidak melakukan itu, mereka akan bertindak reaksioner dan irasional. Tapi, kita harus dapat, dan oleh karena itu, kita harus melakukannya dan Marxisme adalah alat yang tepat bagi penyelesaian kita.***

DANIEL SINGER adalah koresponden The Nation’s di Eropa selama beberapa tahun. Ia adalah penulis sejumlah buku, termasuk The Road to Gdansk (1981) and Whose Millennium?: Theirs or Ours?

Sumber: Monthly Review, Nov. 1997, Vol. 49, Nomor 6

Artikel ini diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh.



Baca selengkapnya!

27.2.07

Papua Harus Ber-Swadeshi

David Chan

Kebebasan politik tidaklah cukup. Perjuangan rakyat Papua Barat hanya mungkin meraih keberhasilan jika seluruh rakyat Papua bersatu. Dan mereka hanya bisa bersatu jika mereka memikul bersama beban dan nasib mereka. Mereka harus memiliki kepentingan bersama, dan perspektif bersama tentang tujuan perjuangan mereka.

Saya menyerukan agar para pemimpin dan tokoh intelektual Papua Barat belajar dari Mahatma Gandhi tentang Prinsip Dasar Perlawanan Tanpa-Kekerasan. Selanjutnya, mereka harus menyampaikan prinsip-prinsip itu ke lapisan bawah masyarakat. Nelson Mandela (berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan) dan Martin Luther King Jr. (berjuang melawan diskriminasi rasial di Amerika Serikat), keduanya belajar banyak dari Gandhi.

Mahatma Gandhi memulai SWADESHI dengan satu SUMPAH. Ia membakar semua pakaian impornya dan mulai mengenakan pakaian yang ditenun oleh perempuan-perempuan India. Mulai dari pakaian, kemudian garam, dan berlanjut ke barang-barang kecil lainnya. Semua ini sepertinya tidak penting atau remeh. Tetapi karena rakyat India melaksanakannya dengan tekad penuh, pada akhirnya Inggris kolonial menyerah.

India mencapai kemerdekaannya tanpa kekerasan. Para korban, baik dari pihak India maupun Inggris, jumlahnya hanya beberapa ribu (terutama mereka yang mengabaikan prinsip-prinsip non-kekerasan yang disarankan Gandhi). Bandingkan, misalnya, dengan Aljazair dan Prancis, yang kehilangan 900 ribu orang dalam ajang konfrontasi. Sebabnya, Aljazair menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Kini, India dan Inggris, adalah dua negara yang bersahabat (karena sukses melakukan rekonsiliasi). Sementara hubungan antara Prancis dan Aljazair bermasalah terus.

SWADESHI bisa dimulai dari kekuatan yang saat ini dimiliki rakyat Papua:

SWADESHI Bahan Makanan Pokok:

Tinggalkan beras dan kembali ke sagu atau umbi-umbian. Dengan kembali ke sagu dan umbi-umbian ini, ada sejumlah ratusan milyar rupiah yang bisa kita hemat, karena uangnya tidak mengalir ke Jawa [untuk membeli beras]. Jumlah uang yang sangat besar ini bisa dimanfaatkan rakyat Papua untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak mereka. Jadi, sagu bukan hanya sekadar masalah kebiasaan makan, sagu juga harus digunakan sebagai alat perjuangan (silahkan baca artikel lain saya yang berjudul “RASKIN” di www.westpapua.ca). Ketergantungan pada beras sama dengan ketergantungan pada para pendatang (transmingran). Setelah bebas dari beras, kita bisa naik ke jenjang lebih tinggi pada tangga kemerdekaan.

SWADESHI Kebutuhan Dapur:

Setiap tahun, rakyat Papua mengonsumsi ratusan metrik ton garam impor dari pulau Madura (pulau di sebelah timur laut Jawa). Jika Anda berlayar di sepanjang Selat Madura, Anda akan melihat air yang berwarna coklat-kehitaman, penuh limbah industri. Sebaliknya, ribuan kilometer pantai rakyat Papua air lautnya murni, bebas dari pencemaran. Sayangnya, tak ada sejengkal pun yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Rakyat Papua harus memproduksi garam sendiri, juga gula aren, kopi, dan barang-barang kecil lainnya.

SWADESHI Tas:

Buang tas kulit dan kantong plastik buatan Bandung dan Tanggulangin (kota dan desa yang menjadi pusat produksi tekstil dan barang-barang dari kulit di Jawa). Orang Papua mesti kembali menggunakan NOKEN. Noken adalah tas tradisional orang Papua. Jika ratusan ribu pelajar/mahasiswa, buruh, pelayan publik (pegawai negeri), dan intelektual kembali menggunakan NOKEN atau tas tenunan daun pandan (pandanus leave) dan dibuat 100 persen oleh ibu-ibu Papua maka, ada ratusan atau bahkan milyaran rupiah yang bisa diselamatkan oleh rakyat Papua dari mengalir ke Jawa. Uang ini juga bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan sehari-hari rakyat Papua.

SWADESHI Tekstil:

Ketika Belanda masih berada di Papua, ada usaha-usaha untuk memampukan rakyat Papua untuk memproduksi kebutuhan tekstil mereka sendiri. Para biarawati Katolik dulu memperkenalkan alat pemintal benang wol di wilayah pengunungan tengah. Gereja Katolik di wilayah Kepala Burung, dulu biasa mengirim ibu-ibu Papua ke Pulau Timor untuk belajar menenun. Hasilnya, mereka sanggup menenun dan memproduksi pakaian sendiri. Ini berlangsung hingga akhir dasawarsa 1980-an. Tetapi, kini keahlian itu telah dilupakan. Rakyat Papua harus bangun kembali untuk memproduksi tekstil sendiri. Memang tidak mudah untuk melaksanakan SWADESHI di bidang tekstil, tapi jika ada keinginan pasti ada jalan.

SWADESHI Sumberdaya Manusia (SDM):

Kita salah, jika masalah SDM dipahami sebagai seluruh rakyat Papua harus meraih gelar universitas seperti B.A atau B.Sc, Master, Doktor atau profesor. Seorang penjahit adalah SDM, demikian juga dengan penjual mie keliling, tukang pangkas rambut, atau seorang tukang tambal ban, Bapak Yohanes yang menyadap zat tepung dari pohon sagu di hutan, adalah SDM, Ibu Bonay yang mencangkul tanah dan menanam keladi di desa Arso adalah SDM, Jakobus Mandacan, seorang mahasiswa yang juga bekerja sebagai sopir taksi adalah SDM, dan seterusnya.

Dan, masih banyak sektor dalam kehidupan rakyat Papua yang membutuhkan penerapan Swadeshi.

Bagaimana memulai SWADESHI?

- Mulailah dari diri sendiri
- Mulailah dari hal-hal yang kecil
- Mulailah sekarang juga.

Jangan meremehkan laki-laki lemah tak berdaya ini, Mahatma Gandhi. Walaupun tulangnya hanya dilapisi kulit (karena kegiatan puasa dan doa), gagasannya tentang Swadeshi tetap hidup di India. Goldman Sach, suatu lembaga riset global terkenal melaporkan, ekonomi India akan melampaui ekonomi Amerika Serikat pada 2050. Ini karena kesungguhan rakyat India dalam menerapkan Swadeshi. Bagaimana dengan Papua?***

David Chan, seorang warganegara yang peduli, tinggal di Papua Barat.

Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli “PAPUA MUST GO SWADESHI,” dari the east-timor news list. Terjemahan ini diperiksa oleh Nug. Katjasungkana.



Baca selengkapnya!

21.1.07

Peran Kaum Intelektual Dalam Perubahan Sosial

James Petras

Pengantar

Membicarakan atau menulis tentang “kaum intelektual” hari ini, kita harus merujuk pada tataran posisi politik. Dari sayap kanan ekstrim (neoliberal-neokonservatif), melewati kanan-tengah (sosial-liberal), lalu menapak pada kiri-tengah (sosial demokrat), hingga berujung pada kiri-revolusioner (Marxis). Di dalam dan di luar kategori politik ini, kita juga memasuki ranah ekologi politik, feminis, gay, ras dan identitas etnik.

Sebagai tambahan, intelektual politik ini berada dalam latar kelembagaan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah pemimpin-pemimpin dalam NGO (organisasi non-pemerintah/LSM), yang lain ditemukan di dunia akademik. Sebagian lainnya berkutat sebagai “intelektual publik,” wartawan, profesor, penasehat-penasehat serikat buruh, pemimpin-pemimpin partai politik, agamawan, dan penulis lepas.

Untuk tujuan paper ini, saya ingin memberikan fokus pada kaum intelektual kiri-tengah (center-left/CL) dan intelektual kiri-revolusioner (revolutionary-left/RL). Kedua kelompok intelektual ini saya pilih, karena keduanya paling mudah dilekatkan dengan proses perubahan sosial yang progresif. Intelektual CL, umumnya bermain dalam latar kelembagaan. Sementara intelektual RL, ditemukan terutama sebagai “intelektual publik” dan di universitas-universitas.

Seperti masa-masa sebelumnya, pembedaan antara intelektual CL dan intelektual RL adalah jauh dari tetap. Sebabnya, gambaran utama intelektual kiri adalah “cair/fluidity” atau “bergerak” di antara identitas politik. Pergeseran terbesar adalah pergeseran dari RL menjadi CL, lantas menjadi kanan-tengah (liberalisme sosial), hingga menjadi neoliberal. Tercatat, beberapa mantan anggota gerilya di kawasan Amerika Latin, yang pada 1960an dan 1970an adalah seorang revolusioner, kini telah menjadi menteri neoliberal, senator, dan wakil rakyat. Mereka kini menjadi pembela militerisme, imperialisme, sektor agribisnis, dan kontra-pemberontakan. Sebaliknya, minoritas yang dianggap sebagai intelektual kanan-tengah, kini bergerak menuju kiri-revolusioner, khususnya setelah dekade 1990an, lebih khusus lagi setelah mereka berumur di atas 50 tahun.

Apapun pergerakan dalam politik dan loyalitas politiknya, kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik, khususnya di Amerika latin – di bawah kondisi-kondisi tertentu. Kaum intelektual memang tidak selalu bisa secara langsung mempengaruhi politik massa, mereka juga tidak memimpin atau mengorganisir perjuangan massa, kecuali klaim-klaim dan pretensi-pretensi sebagian dari mereka.

Intelektual menjadi penting karena (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Dalam paper ini, saya ingin fokus pada dan secara kritis membandingkan peran intelektual kiri-tengah (CL) dan intelektual kiri-revolusioner (RL), dalam menyediakan kepada gerakan dan partai sebuah diagnosa dan solusi-solusi politik.

Metode dan Analisis

Diskusi ini akan fokus pada peran intelektual CL dan RL di Amerika Latin, setelah lebih dari 25 tahun. Kita akan fokus pada dua garis pembatas: (a) peran intelektual CL dan intelektual RL dengan merujuk pada beberapa peristiwa penting; dan (b) analisis kritis atas konsep-konsep prinsipiil yang diuraikan oleh intelektual CL dan intelektual RL.

Terdapat empat peristiwa penting yang akan kita diskusikan: (a) “transisi” dari kekuasaan militer ke politisi-politisi sipil yang terpilih melalui pemilu; (b) kebangkitan dari apa yang disebut “gerakan sosial baru/new social movement” pada dekade 1980an (identitas gerakan) dan dekade 1990an (massa tani, pengangguran dan gerakan Indian); (c) kemunculan rejim-rejim “kiri-tengah” yang terpilih melalui pemilu pada milenium baru; dan (d) ekspansi kapital ke seluruh dunia dan peningkatan secara cepat perang imperial.

Konsep, yang dipopulerkan intelektual CL, akan dihadapkan dengan konsep yang digunakan intelektual RL. Ini termasuk diskusi tentang “transisi demokrasi/democratic transition” versus “transisi menuju politik elektoral otoritarian/transition to authoritarian electoral politics”; gerakan sosial baru dengan “basis identitas”/new “identity-based” social movement” versus “gerakan sosial berbasis kelas/class-based social movement”; dan “globalisasi/globalization” versus “imperialisme/imperialism.” Pada bagian akhir paper ini, saya akan mengevaluasi performa intelektual CL dan intelektual RL, dalam pengertian, diagnosis politik mereka, solusi-solusi politik yang ditawarkannya, dan konsekuensinya bagi perubahan sosial.

Intelektual Reformis dan Intelektual Revolusioner: Menguji Peristiwa-peristiwa Kunci

Baiklah kita mulai dari catatan selama periode diskusi (1980-2005), dimana mayoritas terbesar intelektual kiri berada di barisan kaum reformis: kiri-revolusioner pada masa itu dan hingga kini jumlahnya minoritas. Tapi, bukan itu dasar dari paper ini untuk menganalisa dan menjabarkan mengapa kasus ini terjadi. Tujuan saya adalah menganalisis relevansi dan validitas posisi-posisi politik yang diserap kedua kelompok intelektual dimaksud.

Transisi Menuju Demokrasi

Intelektual reformis berpendapat, “transisi menuju demokrasi” ditandai oleh pergeseran kekuasaan dari militer ke politisi sipil hasil pemilu. Menurut mereka, legalisasi partai, kebebasan pers, pemilihan umum, dan kebebasan individual merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk kepentingan “demokrasi.” Intelektual kiri-revolusioner mencatat, keberlanjutan struktur kelas, aparatus negara (militer, pengadilan, intelijen, dan bank sentral), model ekonomi, dan pengambilan keputusan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, merupakan penentu utama kebijakan sosio-makroekonomi.

Kaum reformis tidak sulit untuk menerima argumen yang disodorkan oleh kelompok kiri-revolusioner: bahwa struktur yang otoritarian tidak berubah dan mendesakkan pembatasan-pembatasan dalam sistem politik. Tetapi, mereka menilai “perubahan pesat” adalah mungkin dan selanjutnya secara bertahap, akan terjadi keadilan yang lebih besar. Sebaliknya, intelektual revolusioner berpendapat, kerangka kerja politik elektoral berada dalam posisi subordinat dari lembaga-lembaga negara kapitalis dan kelas berkuasa (ruling class), dan secara organik tidak memiliki kapasitas untuk mentransformasikan masyarakat atau bahkan dalam menyebarkan kemakmuran dan meningkatkan standar kehidupan.

Sebuah survey yang lebih detil mengenai 24 tahun politik elektoral di Amerika Latin, menunjukkan, asumsi-asumsi kalangan intelektual CL, bahwa politik elektoral merupakan instrumen bagi perubahan sosial terbukti gagal. Selama seperempat abad, seluruh variasi rejim politik di seluruh Amerika Latin, gagal dalam meningkatkan standar hidup, mendistribusikan kemakmuran, mempromosikan pembangunan nasional, atau menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti perumahan, distribusi tanah, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan renasionalisasi ekonomi. Sebaliknya, rejim elektoral menjadi kian tergantung pada negara imperialis dan paket kebijakannya semakin buruk. Kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi; perbedaan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah semakin lebar; sebagian besar perusahaan-perusahaan publik telah diprivatisasi dan didenasionalisasi; dan ratusan miliar dollar dirampas dari buruh dan ditransfer ke bank-bank asing untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo.

Di semua tempat dan di semua negara, sistem elektoral mengekspresikan karakter kelas yang dominan, yang membuktikan ketepatan analisis kiri-revolusioner. Seluruh “reformis kiri” yang masuk ke dalam rejim, pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan administratif yang buruk, dan mendapat tekanan dari rakyat yang menentangnya. Telah jelas bahwa analisa dan solusi yang dikemukakan intelektual kiri-reformis – transisi demokrasi bermakna politik elektoral akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah keliru dan gagal. Sebaliknya, analisis intelektual kiri-revolusioner yang menjelaskan tentang keberlanjutan kekuasaan borjuis dan kapitalis telah membatasi “transisi:” adalah benar dan masuk akal.

Gerakan Sosial Baru

Dalam perkembangan selanjutnya, para intelektual kiri yang terlibat dalam proses elektoral tidak memimpin untuk perubahan sosial. Mereka malah membangun apa yang disebut “gerakan sosial baru.” Sekali lagi, muncul perdebatan tentang bagaimana komposisi sosial dan agenda sosial gerakan ini. Kalangan “reformis” – sering juga disebut “post-modernis” – menekankan “identitas sosial” sebagai lawan dari definisi kelas. Selama periode 1970-1980an, intelektual reformis mengklaim bahwa “identitas” baru, sebagai basis gerakan, telah menggantikan gerakan yang berbasis-kelas. Indentitas baru gerakan itu, misalnya, gerakan yang berbasis ekologi, etnis, feminis dan gerakan gay. Intelektual revolusioner, walaupun tidak menolak kelompok identitas mencatat, perjuangan massa dari gerakan sosial berbasis kelas-etnik, seperti CONAIE di Ekuador, Cocaleros di Bolivia, Zapatista di Meksiko dan gerakan pedesaan berbasis klas di Brazil seperti MST, merupakan kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. Kaum intelektual reformis selalu mencatat keuntungan yang terbatas dari perubahan yang dilakukan oleh segelinter “elite” di dalam kelompok “indentitas.” Sebaliknya, gerakan sosial berbasis kelas sangat berhasil dalam merealisasikan beberapa perubahan mendasar dalam menjatuhkan rejim neoliberal, dan memblok undang-undang dan peraturan pemerintah yang merugikan kehidupannya.

MST di Brazil, yang berbasis pada perjuangan kelas, memaksa pendudukan terhadap jutaan hektar tanah dan memindahkan 350 ribu keluarga (lebih dari 1,3 juta orang) ke sektor pertanian. CONAIE sukses menjatuhkan dua presiden neo-liberal; pekerja pengangguran dan kelas menengah yang dimiskinkan di Argentinga, berhasil memaksa presiden Fernanado De La Rua untuk keluar dari istana; buruh dan gerakan petani di Bolivia, juga sukses menjatuhkan presiden Sanchez de Losada dalam mempertahankan industri perminyakan negeri itu.

Politik Elektoral dan Kiri-Tengah

Perdebatan di kalangan intelektual reformis dan intelektual revolusioner kian menajam, khususnya bersangkut dengan strategi “jalan elektoral atau jalan revolusioner menuju kekuasaan politik dan perubahan sosial.” Sebagian terbesar intelektual reformis dan dan lebih banyak lagi intelektual “revolusioner,” mendukung kandidat dari kiri-tengah yang terlibat dalam pemilu. Misalnya, rejim Alejandro Celestino Toledo Manrique di Peru, Lucio Edwin Gutiérrez Borbúa di Ekuador, Luiz Inácio Lula da Silva di Brazil, Tabaré Ramón Vázquez Rosas di Uruguay dan Néstor Carlos Kirchner Ostoic di Argentina, sebagai intrumen reform sosial. Sebagian kecil intelelektual revolusioner, menolak para politisi itu. Mereka berpendapat, para politisi tersebut dan partainya memang tidak terlalu jauh dari kiri tetapi, telah bergerak ke kanan dan mengadposi IMF, neoliberalisme dan ALCA.

Para intelektual reformis memengaruhi para pemimpin gerakan sosial dan massa pendukungnya, untuk mendukung politisi-politisi kiri-tengah. Sementara, para intelektual kiri-revolusioner sangat sedikit dan tidak memiliki pengaruh ketika pemilu dilangsungkan dan sesudahnya. Hasilnya, kini telah kita saksikan: Lula, Gutierrez, Toledo dan mereka yang mendaur-ulang kekirian, telah berbalik menjadi seorang neoliberal yang memperdalam dan memperluas privatisasi, mempromosikan perluasan agro-bisnis di atas penderitaan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, memindahkan ratusan miliar dollar ke bank-bank internasional, menyetujui undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak pensiunnya, dan mempromosikan penghisapan Amazon di atas penderitaan masyarakat adat. Konsekuensi dari strategi intelektual reformis yang mendukung “kiri-tengah,” adalah hancurnya gerakan sosial. Di Ekuador, serikat buruh minyak di tindas, CONAIE kehilangan dukungan dari anggota-anggota terpercayanya ketika para pemimpinnya berhasil dikooptasi oleh Gutierrez. Di Brazil, MST mengalami disorientasi politik, menderita represi dan terusir dari tanah yang telah didudukinya. Di Uruguay, rejim Vazquez mengikuti petunjuk-petunjuk IMF, mendukung investasi asing dari pencemar-pencemar besar (perusahaan selulosa), dan memaksakan upah umum yang “terbatas” terhadap serikat buruh. Semua itu bisa terjadi, karena kebijakan rejim kiri-tengah ini mengatasnamakan para pemimpin serikat buruh prestisius dan intelektual kiri-reformis yang mendukungnya.

Setelah tahun-tahun penerapan kebijakan brutal neoliberal, banyak dari para intelektual-reformis yang pada dasarnya mendukung partai kiri-tengah yang berkuasa, menjadi kritis terhadap rejim. Tetapi, kritik mereka lebih pada kebijakan-kebijakan rejim yang salah, ketimbang mengikuti kritik sistematik yang dilancarkan intelektual revolusioner. Sementara itu, para intelektual kiri-revolusioner, karena validitas diagnosanya, pengaruhnya semakin meningkat di kalangan sektor-sektor yang sebelumnya terilusi oleh intelektual reformis. Penyelesaian masalah melalui tindakan politik revolusioner bagi perubahan sosial, yang diusung intelektual kiri-revolusioner, mulai memperoleh getarannya pada beberapa sektor gerakan massa. Para pemimpin gerakan massa itu mulai menerima metode perjuangan revolusioner tapi, tidak dengan sendirinya bertujuan revolusioner.

Globalisasi atau Imperialisme

Arena perdebatan keempat antara intelektual reformis dan intelektual revolusioner adalah menyangkut diagnosa mereka mengenai watak dan motor penggerak kapitalisme global. Kaum reformis berbicara tentang globalisasi dan penciptaan sebuah tata dunia baru yang didominasi oleh korporasi-korporasi multinasional (MNC), yang melintasi batas-batas negara. Mereka mengadakan perlawanan terhadap globalisasi ini dengan cara, menggalang pertemuan “raksasa” yang tidak mengandung muatan kelas dalam pertemuan “forum sosial.” Atau menjadi demonstran setia dalam setiap ajang pertemuan yang dilakukan elite-elite internasional.

Intelektual revolusioner berpendapat, gambaran utama dalam epos kita hari ini adalah bangkitnya kekuatan militer imperialis Amerika, yang berhadapan dengan imperialisme Eropa dan Jepang, untuk mengontrol dunia. Kebangkitan militer itu ditandai dengan kebijakan negara imperial yang agresif memelopori perang dan penaklukan kapitalis. Kalangan reformis fokus pada ekspansi ekonomi MNC, tanpa mengantisipasi perang imperialis di Yugoslavia, Afghanistan dan Iraq, intervensi CIA dalam kudeta di Venezuela, dan ancaman perang bergelombang Amerika di Timur Tengah. Sementara itu, kalangan intelektual revolusioner fokus pada sentralitas negara imperial, perang imperial, dan pendudukan kolonial. Bagi kalangan intelektual RL, inilah bukti yang lebih relevan untuk memahami watak dan motor penggerak dunia kontemporer.

Lebih dari itu, analisa kelas dari kalangan intelektual revolusioner lebih berdayaguna sebagai alat untuk memahami watak dari efektivitas perlawanan terhadap imperialisme, ketimbang konsep yang tidak jelas dari “massa.” Gerakan massa pengangguran di Iraq, misalnya, menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan kolonial Amerika. Petani, buruh, dan pengangguran di Amerika Latin, menjadi pemimpin dalam mengalahkan klien-klien imperial, dan mencegah privatisasi listrik (Meksiko), air (Bolivia) dan pelabuhan (Uruguai). Sejumlah besar petani-bersenjata melawan imperialisme dan neoliberalisme di Kolumbia, Nepal, dan Filipina. Sekali lagi, ideolog-ideolog reformis globalisasi gagal memberikan diagnosis yang memadai dan aksi-aksi politik yang efektif. Forum Sosial dan pertemuan massa terbukti kehilangan efektivitasnya. Sementara itu, intelektual revolusioner yang fokus pada imperialisme dan perlawanan kelas-nasional, sanggup mendapatkan penerimaan yang luas karena korespondensinya dengan realitas.

Pendekatan konseptual-teoritis yang saling bertentangan antara intelektual revolusioner dan intelektual reformis ini, memberikan pengaruh yang besar pada perjuangan untuk perubahan sosial. Kami telah menunjukkan tipikal pendekatan kalangan reformis yang sangat memengaruhi para pemimpin gerakan massa dan massa ketimbang analisis kiri-revolusioner. Namun demikian, seiring waktu, kami menemukan bahwa diagnosa, deskripsi, prediksi dan praktek intelektual reformis, telah menyebabkan kekacauan ekonomi dan konsekuensi politik yang merusak. Hasilnya, penguatan rejim “neoliberal” baru dan aliansinya dengan imperialisme pada satu sisi, dan disorientasi politik serta terserak-seraknya gerakan sosial di sisi lain.

Sebaliknya, diagnosa dan solusi untuk perubahan sosial yang dikemukakan oleh intelektual kiri-revolusioner, semakin populer di kalangan pemimpin rakyat dan sedikit demi sedikit berdampak pada massa. Semakin hari, pengaruh mereka semakin meningkat, khususnya ketika analisa itu mereka kemukakan kepada gerakan sosial, gerakan akar rumput, dan di kalangan intelektual.

Masalahnya, justru ini kuncinya, beberapa intelektual revolusioner terisolasi dari perjuangan massa. Mereka juga tidak mempunyai akses ke media massa, untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Padahal, telah telah nyata dalam sejarah, perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa. Ketika saat itu tiba, dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi reform-reform mendesak melalui metode kepemimpinan revolusioner, menuju perjuangan untuk kekuasaan negara oleh organisasi kelas yang independen. Hanya rejim revolusionerlah yang mau melakukan perubahan struktural dalam hubungan kepemilikan, struktur kelas, dan negara yang permanen dan berkelanjutan.***

6 Maret, 2005.


Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org, Oktober 15, 2005.


Catatan penerjemah:

MST: Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (Portugis), atau Landless Workers Movement (Inggris) atau Gerakan Buruh Pedesaan Tak Bertanah, adalah gerakan sosial terbesar di America Latin. Diperkirakan, anggota organisasi ini mencapai 1.5 juta dan tersebar di 23 dari 27 negara bagian di Brazil.

CONAIE: The Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (Spanish: El Confederación de Nacionalidades Indígenas del Ecuador), atau Konfederasi Bangsa-bangsa Indian Ekuador, adalah organisasi masyarakat adat terbesar. Didirikan pada 1986, CONAIE bertujuan melakukan perubahan sosial atas nama masyarakat asli di wilayah yang signifikan dengan taktik yang beragam termasuk, aksi langsung.

ALCA: The Free Trade Area of the Americas (FTAA) (Spanish: Área de Libre Comercio de las Américas (ALCA), atau Kawasan Bebas Perdagangan America, adalah kesepakatan bersama untuk menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan di antara seluruh bangsa-bangsa di benua Amerika (kecuali Kuba, Venezuela dan terakhir Bolivia dan Nikaragua.

Cocaleros: adalah istilah yang merujuk pada petani penanam Coca di Peru dan Bolvia. Evo Morales, yang menjadi presiden Bolivia pada 2006, adalah seorang pemimpin gerakan Cocalero di negaranya.

Zapatista: Merujuk pada The Zapatista Army of National Liberation (EZLN), didirikan pada 1983, adalah organisasi kelompok bersenjata modern di Meksiko. Nama Zapatista diambil dari the Zapatistas of the Mexican Revolution yang dipimpin oleh Emilano Zapata, pada 1910-1919.



Baca selengkapnya!

31.12.06

Marta Harnecker: Eksperimen Kuasa Kerakyatan di Venezuela

Marta Harnecker, kelahiran Chile, adalah penulis buku "Memahami Revolusi Venezuela" (Monthly Review Press, 2005), dan buku-buku lain mengenai revolusi dan Amerika Latin. Ia adalah peserta aktif dalam revolusi Bolivarian di Venezuela dan seorang penasehat presiden sosialis negeri itu, Hugo Chavez.

Harnecker terlibat dalam pembentukan dan pengembangan badan-badan Dewan Komunal di Venezuela, yang dimaksudkan sebagai kendaraan bagi kuasa kerakyatan (popular power) dan partisipasi publik untuk menciptakan sosialisme di abad ke-21. Untuk mengetahui apa dan bagaimana kuasa kerakyatan itu dibentuk dan bekerja, Coral Wynter & Jim McIlroy dari Green Left Weekly, bertempat di Caracas, Venezuela, mewawancarai Marta Harnecker pada akhir Oktober. Berikut petikan wawancaranya:


Green Left Weekly (GLW): : Bagaimana Dewan-dewan Komunal itu dibentuk dan bagaimana perkembangannya?

Marta Harnecker (MH): Apa yang saya lakukan selama setahun terakhir adalah mencari pengalaman yang menarik, dan mencari orang yang dapat bertukar pengalaman. Di Cumana, (Venezuela timur laut), saya menemukan organisasi yang sudah ada bertahun-tahun, sebelum Dewan-dewan Komunal dibentuk. Organisasi itu dibentuk dalam lingkup yang sangat kecil, lebih kecil dari sebuah barrio (rukun tetangga), dengan sekitar 200-400 keluarga. Di beberapa daerah pedesaan, bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 100 keluarga. Organisasi itu dibentuk di mana orang saling mengenal dan anda tidak memerlukan transportasi untuk menghadiri pertemuan. Sungguh mudah untuk bertemu. Ini adalah ruang yang memungkinkan semua orang terlibat.

Tentu saja orang yang berpikir tentangnya, menemukan bahwa ruang kecil semacam itu memungkinkan orang yang biasanya tidak punya kemampuan untuk mengungkap diri, sekarang justru menyampaikan pandangan mereka dan membuat keputusan. Seperti dikatakan Freddy Bernal (walikota Libertador di Caracas tengah), Dewan Komunal itu adalah sel dasar dari masyarakat masa depan.

Kalau kita berhasil membangun komunitas yang berorientasi pada solidaritas, maka orang akan peduli pada rakyat miskin yang hidup di wilayah mereka. Dalam (kerangka) solidaritas inilah, mereka akan mencari jalan keluar bagi sektor tersebut.

Chavez mencari berbagai rumusan berbeda untuk organisasi kerakyatan. Lingkaran Bolivarian itu lebih dalam kerangka politik yang luas. Lingkaran itu terarah pada kekuasaan politik. Dewan Komunal sementara itu, mencakup mereka yang bersama Chavez dan mereka yang tidak. Mereka adalah komunitas: Dewan-dewan Komunal harus mencerminkan semua warna dari pelangi; mereka harus mencakup semua orang yang ingin bekerja untuk komunitas, tanpa afiliasi politik, tanpa hubungan dengan pemerintah.

Melalui proyek ini, ketika seseorang mulai bekerja untuk komunitas, maka orang mulai mengedepankan solidaritas, dan dengan begitu orang tersebut akan mengalami transformasi. Saya kira, ini akan menggantikan Chavismo. Kadang orang berpikir, terlibat dalam politik berarti membawa plakat, spanduk dan (topi serta kaos) merah. Orang dalam periode sekarang di dunia yang kita huni ini, berpikir bahwa politik itu terbatas pada praktek politik formal.

Jika anda mengorganisir di barrio, organisasinya akan jauh lebih kecil skalanya. Anda akan memerlukan orang yang fleksibel, tidak sektarian dan punya kapasitas bekerja dengan siapa saja, melaksanakan proyek-proyek, dan coba memecahkan masalah yang dihadapi rakyat.

Dalam sebuah artikel yang saya tulis mengenai 4 juta pemilih dalam referendum untuk menyingkirkan Chavez, saya mengatakan, 3 juta di antaranya tidak benar-benar memilih menentang proyek Chavez. Mereka hanya memilih menentang proyek Chavez, seperti yang disampaikan oleh oposisi. Hanya sekitar 1 juta orang yang memilih menentang Chavez, benar-benar yakin dan tahu apa yang mereka lakukan. 3 juta orang lainnya dipengaruhi oleh media oposisi, yang mengatakan bahwa proyek Chavez adalah proyek komunisme, otoriterianisme, kediktatoran.

Ketika orang terlibat dalam kerja praktis, mereka mulai bisa melihat bahwa Chavez adalah orang yang terbuka dan langsung, dan bahwa proyek presiden bukanlah seperti yang mereka kira semula. Dalam kaitannya dengan pemilihan, masalahnya adalah bahwa banyak orang yang dapat informasi penuh. Ada banyak orang yang anti-Chavista tapi, sebenarnya mendapat informasi yang salah dari media oposisi di negeri ini. Media tidak menghargai hak-hak dasar dari rakyat untuk mendapat informasi secara benar.

Orang dari kelas menengah adalah yang paling rentan terhadap kerja media ini. Media memanipulasi keadaan dengan mulai menyampaikan kebenaran-kebenaran kecil, dan berbagai kegagalan kecil, yang kemudian mereka lebih-lebihkan.

GLW: : Apa peran yang dimainkan gerakan buruh dalam kaitannya dengan pengorganisasian komunitas?

MH: Logisnya, kita menerima secara umum bahwa pengalaman kuasa kerakyatan, yang berdasar pada lingkup teritorial, berarti bahwa buruh tidak muncul (langsung) sebagai anggota yang aktif. Saya ingat sebuah diskusi yang sangat menarik di Kuba, ketika mereka sedang merencanakan kuasa kerakyatan melalui pendaftaran pemilih. Dengan sendirinya, seorang warga yang mengusulkan nama calon di daerahnya, akan memilih orang yang dapat memecahkan masalah-masalah paling praktis dalam komunitas. Ini artinya sulit, sampai sekarang, bagi buruh untuk terlibat secara langsung.

Karena hal ini, di Kuba, diusulkan agar ada dua forum untuk memilih calon, satu berdasar wilayah atau teritorial, dan satunya berdasar tempat kerja, dua cara untuk mengambil keputusan. Di Venezuela, sampai saat ini, belum ada persatuan buruh dalam revolusi. Gerakan serikat buruh belum cukup kuat pada tahap ini.

Saya pernah berkata pada serikat-serikat buruh, "kenapa kalian tidak memperkuat saja dewan komunal dan menyatu dengan mereka? Kalian, sebagai buruh, harus terlibat dalam komunitas." Tapi sampai saat ini, mereka belum melakukannya.

Kita sebaiknya berpikir tentang dewan-dewan komunal ini sebagai komunitas buruh dari buruh (dan juga warga). Bagi saya, adalah sangat penting untuk mempertimbangkan masalah ekonomi mikro dan perlunya menyertakan organisasi-organisasi ekonomi sehingga dapat didemokratisasi ke arah solidaritas bukan korporatisme. Harus ada hubungan erat antara organisasi kerja dan komunitas.

GLW: : Anda bisa gambarkan cara kerjanya Dewan Komunal ini?

MH: Saat ini ada 16.000 Dewan Komunal, yang dibentuk dalam waktu enam bulan (sejak program tersebut dimulai tahun ini). Ini adalah inisiatif yang sangat serius, menurut saya. Proses pembentukan Dewan Komunal memerlukan waktu beberapa bulan, agar orang menjadi matang dan memilih pemimpinnya yang sejati. Kita mulai dengan proses melibatkan motivator. Komite motivator ini yang kemudian mendatangi dari rumah ke rumah untuk membuat sensus. Ini adalah tugas yang paling dasar, sensus sosioekonomi. Untuk melakukan ini, komite harus mengunjungi semua rumah tangga di wilayah tersebut.

Nampaknya di sini diperlukan pemimpin yang serius dan rajin, yang dapat berkunjung dari rumah ke rumah. Karena itu, kami berpikir, tidak mungkin memilih jurubicara untuk Dewan Komunal tanpa melalui proses ini. Mereka harus membentuk majelis terlebih dulu, baru melakukan pemilihan.

Perlu ada sebuah tim, semacam komisi promosi, yang harus melakukan penulisan sejarah sosial dan geografis, atau kisah dari komunitas yang bersangkutan. (Untuk menghasilkan ini), diperlukan sekurangnya delapan bulan. Saat majelis bertemu, mereka akan memilih jurubicara mereka di masa mendatang. Lalu proses tersebut disahkan (secara hukum). Sebagian Dewan Komunal berjalan baik, sebagian lain tidak.

Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Ini adalah cara demokratik untuk merenovasi kepemimpinan, dan memungkinkan majelis memilih pemimpin baru. Saya kira hukum menghargai kehendak dari majelis. Saya turut serta dalam kelompok yang mengawasi pembentukan Dewan Komunal. Dalam aturan hukumnya sangat jelas: Di mana kekuasaan itu? Kekuasaan tidak terletak di tangan para jurubicara tapi di tangan majelis umum. Kenapa mereka disebut "voceros?" Karena mereka adalah suara dari komunitas. Jika mereka kehilangan posisi sebagai jurubicara, maka mereka kehilangan kuasa.

Saya kira ini cara eksperimiental untuk menghimpun kuasa kerakyatan. Tapi, bagi saya, arah di masa mendatanglah yang harus kita ambil. Ini ada gagasan dasarnya: tidak dari atas.

Ini juga bergantung pada jenis masalahnya. Ada masalah-masalah yang memerlukan keterlibatan berbagai Dewan Komunal, karena merupakan masalah dari seluruh barrio. Misalnya, pipa-pipa air yang melalui seluruh barrio. Hal ini harus dipecahkan di tingkat Dewan Barrio. Masalah tangga, penerangan, dan sampah dapat dipecahkan di tingkat Dewan Komunal. Jadi Dewan Komunal ini adalah basis, sangat demokratis; sebuah skema partisipasi.

Mereka mencari jalan untuk memprioritaskan hal-hal yang dapat diselesaikan oleh komunitas: tapi bukan untuk menciptakan pemukiman pengemis yang melihat masalah, lalu minta negara untuk memecahkannya.

Ini adalah metode-metode yang memungkinkan komunitas untuk menyelesaikan masalah. Kita melakukan penilaian lalu membuat prioritas masalah: apa yang dapat dipecahkan komunitas dan apa yang tidak. Suara-suara dari komunitas yang berbeda harus membahas masalah-masalah ini di tingkat lebih tinggi.

Inilah cara bagaimana solidaritas dimulai, karena kita mulai dengan melihat bahwa masalah kita lebih luas dari kenyataan sempit yang kita hadapi, dan bahwa kita harus membantu sesama. Karena itu, Dewan Komunal lebih merupakan sekolah bagi formasi politik. Saya kira kuasa kerakyatan, jika sungguh demokratik, adalah sekolah terbaik karena memproduksi proses itu. Dan ini karena anda berjuang untuk rumah dan tanah anda. Lalu, anda mulai menyadari bahwa rumah anda ada dalam sebuah barrio dan bahwa barrio itu ada dalam kota.

GLW: : Apa perbedaan-perbedaan antara pangalaman Kuba, dan revolusi Bolivarian Venezula, dari segi misi dan seterusnya?

MH: Saya kira bahwa revolusi ini dlancarkan dengan jalan damai, tapi presiden tidak dilucuti. Dalam kasus Chile (pemerintahan sayap kiri Allende pada awal 1970-an), yang diambil juga jalan damai tapi, tidak bersenjata. Mereka tidak mendapat dukungan militer. Venezuela menjadi sangat kuat karena bersenjata, dengan dukungan dari Angkatan Bersenjata Nasional. Bagaimanapun, ini adalah proses dimana korelasi kekuatan berarti bahwa presiden tidak dapat mendesakkan sebuah proyek di negeri ini begitu saja. Proses Venezuela mengharuskan pemerintah mencapai harmoni.

Proyek ini mendapat sokongan dari sebagian besar sektor masyarakat. Akibatnya, hal ini memaksa transformasi berjalan lebih lamban. Aparatus negara berarti bahwa anda punya 80 persen atau lebih orang yang mendapat pekerjaan dalam pemerintah melalui clientelisme, yang tidak berminat pada pekerjaan mereka. Ini adalah layanan publik, tapi layanan yang tidak berfungsi. Kebanyakan pelayan publik ini bukanlah pelayan publik, mereka bekerja melawan publik.

(Venezuela) adalah negeri 'rentier' yang tidak punya tingkat perkembangan industri yang tinggi. Kebanyakan buruh ada di sektor informal. Di Kuba, revolusi melaksanakan proyek-proyek sosialis hampir langsung setelah menang. Sedangkan di sini, rangkaian pertempurannya masih terutama bersifat ideologis.

Karena itu, arah dari kuasa kerakyatan ini menjadi penting, karena proyek itu memerlukan waktu untuk menjadi matang. Di jalur damai, jalannya akan lebih pelan dari transformasi negara yang tajam sifatnya.

GLW: : Apa anda bisa memberi komentar mengenai proyek sosialisme di abad ke-21 dari Chavez?

MH: Sejujurnya, ada banyak orang yang mengritik kami. Eduardo Galeano, penulis Uruguay itu, mengatakan, ketika sosialisme gagal di Uni Soviet, Barat mengatakan bahwa sosialisme sudah mati dan begitu pula Marxisme. Galeano mengatakan, sosialisme yang mati itu bukan sosialisme kita, karena proyek sosialis yang kami bela ini pada dasarnya humanis, demokratik, dan berdasar pada solidaritas. Sosialisme yang mati itu adalah sosialisme birokratik, yang tidak dibela oleh rakyat, karena tidak ada keterlibatan nyata rakyat di dalamnya.

Saya kira, Chavez menyadari hal ini. Chavez tahu bahwa kita hanya dapat menciptakan masyarakat sosialis masa depan, jika rakya yang paling sederhana, yang paling miskin, yang paling tertindas, bisa terlibat dalam proses tersebut. Hal yang hebat dari Chavez bahwa ia adalah pemimpin yang mempromosikan organisasi kerakyatan, orang yang yakin bahwa kekuatan dalam proses ini adalah organisasi. Chavez selalu menyerukan, pembentukan lebih banyak organisasi dan penciptaan organisasi baru. Kadang, terlalu banyak. Ini adalah kreativitas yang memberi kesempatan semua orang untuk mengorganisasi diri.

Sumber:
International News, Green Left Weekly issue #693 6 December 2006. Sumber: http://www.greenleft.org.au/2006/693/35989.

(Diterjemahkan oleh Hilmar Farid, untuk IndoProgress, dari judul asli, Marta Harnecker: Venezuela’s experiment in popular power, 30 November 2006).


Baca selengkapnya!