21.5.07

Membangun Sosialisme Abad Ke-21 Di Venezuela

Michael A. Lebowitz

Seperti Karl Marx yang bersedia mengubah pandangannya setelah melihat cahaya Paris Komune (Paris Commune), kita harus berpikir tentang sosialisme saat ini dengan melihat pengalaman abad ke-20.

Kita membutuhkan pemahaman, agar sosialisme di abad ke-21, tidak akan mencetak masyarakat yang statis atau masyarakat berbasis negara. Dimana keputusan yang diambil bersifat top-down (dari atas ke bawah), dan dimana seluruh inisiatif adalah milik para pejabat negara atau para kader yang mereproduksi sendiri kepeloporan (cadres of self-reproducing vanguards). Tepatnya, karena sosialisme fokusnya pada pengembangan kemanusiaan, maka penekanannya adalah pada kebutuhan akan sebuah masyarakat yang demokratis, partisipatoris, dan berkarakter. Sebuah masyarakat, yang keseluruhannya didominasi oleh negara yang sangat berkuasa, pasti tidak akan menghasilkan keberadaan manusia yang nantinya akan menciptakan sosialisme.

Untuk alasan yang sama, sosialisme bukanlah populisme. Sebuah masyarakat dimana rakyat melihat negara, menyediakan kepada mereka sumberdaya-sumberdaya beserta jawaban atas seluruh masalah yang dialaminya. Sistem seperti ini, juga tidak akan mempercepat pengembangan kapasitas manusia; selebihnya akan meninggalkan rakyat yang memandang negara sebagai sumber jawaban dan juga pemimpin yang menjanjikan semuanya.

Lebih lanjut, sosialisme bukanlah totalitarianisme. Tepatnya, karena keberadaan manusia berbeda-beda dan memiliki kepentingan dan kemampuan yang berbeda, perkembangan mereka per definisi membutuhkan pemahaman dan penghormatan bagi kepelbagaian itu. Baik negara atau komunitas, tidak memiliki hak untuk memaksakan persatuan dalam aktivitas produksi, pilihan-pilihan konsumsi atau gaya hidup yang mendukung kebangkitan dari apa yang dikatakan Marx sebagai persatuan berdasarkan atas pemahaman yang berbeda (unity based upon recognition of difference).

Selain itu, kita membutuhkan pemahaman, karena sosialisme bukanlah pemujaan atas teknologi—–sebuah penyakit yang melanda Marxisme dan yang di Uni Soviet termanifestasikan dalam wujud pabrik-pabrik besar, pertambangan, dan pertanian-pertanian kolektif untuk mengamankan asumsi skala ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa perusahaan kecil mungkin menjanjikan kontrol demokratik yang lebih besar dari bawah (yang berarti pengembangan kapasitas produser) dan mungkin juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa melayani kebutuhan masyarakat.

Kita mesti belajar dari pengalaman abad ke-20. Kini kita mengetahui bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang baik untuk rakyat tidaklah mencukupi— Anda harus bersiap untuk keluar dari logika kapital jika ingin membangun dunia yang lebih baik. Dan, kita tahu, sosialisme tidak bisa direalisasikan dari atas melalui usaha-usaha dan instruksi-instruksi (tutelage) oleh para pelopor, yang mengambilalih seluruh inisiatif dan tidak percaya terhadap kemampuan massa.

“Kelas pekerja,” demikian Rosa Luxemburg dengan bijaksananya mengatakan, “membutuhkan hak untuk menciptakan sendiri kesalahan-kesalahannya dan belajar pada dialektika sejarah."

Ketika kita memulai dari tujuan sebuah masyarakat yang terbebas dari seluruh potensi-potensi keberadaan kemanusiannya dan memahami bahwa jalan untuk mencapai tujuan itu tak dapat dipisahkan dari kemampuan diri rakyat, maka kita bisa membangun sebuah masyarakat manusia yang sejati.

Saya mengusulkan, dan pada kenyataannya, banyak pelajaran dari abad ke-20 yang bisa dipelajari, dimana hal itu tercermin dalam Konstitusi Bolivarian (Bolivarian Constitution). Dalam pasal 299 dinyatakan negara “menjamin seluruh pengembangan kemanusiaan.” Dalam deklarasi pasal 20 tertuang “setiap orang memiliki hak untuk bebas (laki dan perempuan) mengembangkan dirinya sendiri.” Lebih fokus lagi adalah pasal 102 yang menyatakan “pengembangan potensi kreatif seluruh keberadaan manusia dan tindakan penuh - laki maupun perempuan – dirinya dalam sebuah masyarakat demokratik.” Dalam artikel 62 dinyatakan, partisipasi oleh rakyat adalah “dibutuhkan untuk mendorong keterlibatannya dalam menjamin perkembangan mereka selengkapnya, baik secara individual maupun secara kolektif,” dalam mengidentifikasi perencanaan demokratik dan anggaran partisipatif di seluruh tingkatan masyarakat. Dan lebih fokus lagi pada pasal 70 yang menyatakan bahwa “manajemen sendiri, manajemen bersama, koperasi dalam semua bentuk” sebagai contoh “bentuk-bentuk asosiasi dipandu oleh nilai-nilai kerjasama yang saling menguntungkan dan solidaritas,” dimana kewajibannya dicatat dalam pasal 35, “kebajikan solidaritas, tanggung jawab sosial dan bantuan kemanusiaan, baik oleh pejabat pemerintah maupun oleh individu-individu swasta menurut kemampuannya.” Seluruh yang tertuang dalam Konstitusi Bolivarian ini merupakan elemen-elemen sosialisme abad ke-21 dalam bentuknya yang ideal.

Perjuangannya sekarang adalah bagaimana menjadikannya sebuah kenyataan.***

Michael A. Lebowitz adalah profesor emeritus bidang ekonomi di Simon Fraser University, Burnaby, British Columbia, Canada. Ia juga adalah penulis buku "Beyond Capital: Marx's Political Economy of the Working Class" (Palgrave Macmillan, 2003), dan memenangkan penghargaan Deutscher Memorial Prize, 2004

Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli
"Building Socialism of the 21st Century in Venezuela." Sumber: http://www.venezuealanalysis.com, Friday, 29 Juli 2005.



Baca selengkapnya!

4.4.07

Mengapa Marxisme?

Daniel Singer

Tepat sebelum meninggalkan Paris, saya dihadiahi buku oleh Michael Löwy dengan suatu kata pengantar yang baru dan juga kutipan yang baru. Saya ingin membaginya dengan Anda di sini, dalam kesempatan yang istimewa ini. Dalam kutipan itu dikatakan, "Marx jelas-jelas mati demi kemanusiaan." Ayolah Daniel, kamu hanyalah obyek, melanconglah ke seluruh dunia untuk mewartakan omong kosong itu. Untuk kontribusimu itu, kami akan membayarmu satu sen dolar selusin! Tapi, sebenarnya itu bukanlah omong kosongmu. Datangnya dari Italia, melalui Benedetto Croce pada 1907 dan persisnya 90 tahun yang lalu. Saya telah mengutipnya, untuk mengingatkan kamu penggali kuburannya Marx - seorang filsuf baru, Fukuyama – yang keturunannya bejibun, memiliki banyak pewaris, dan tak pernah takut kehilangan waktunya walaupun tak mendapatkan bayaran. Pada point pertama ini, saya mau mengatakan, terjadi peristiwa yang kebetulan antara kebangkitan kembali nama baik dan runtuhnya Uni Sovyet.

Ini point pertama. Point kedua dan bagi saya krusial, adalah apa yang dibutuhkan gerakan saat ini - terutama sekali di Eropa Barat, di mana konfrontasi sedang mencapai suatu tahapan penting, tidak hanya radikal, tetapi juga global - suatu alternatif menyeluruh bagi sistem kapitalis yang ada. Ini membawa saya pada point ketiga yakni, tingkat di mana mereka tidak hanya secara tegas memisahkan sifat dari berbagai gerakan sosial tapi, mengidealkan pemisahan itu, mereka yang menolak aksi global atau aksi kolektif. Bagi mereka, apapun yang dimaksudkan dengan kata total, pastilah bersifat totaliter; lebih luas lagi, sadar atau tidak sadar, mereka melayani kekuasaan yang mapan. Akhirnya, karena keterbatasan waktu, saya mau mengatakan sesuatu tentang Marxisme, yang kita di aula ini ingin melihat kelahiran dan kebangkitannya kembali. Marxisme yang dengan bangganya kita lihat telah mati dan dikuburkan. Maksud saya, buku suci penguasa Soviet, dengan berbagai kutipan yang sesuai untuk setiap kesempatan, yang disajikan oleh pendeta pejabat dari Marxisme-Leninisme yang - mungkin Anda telah mencatatnya - dikatakan oleh Milton Friedman, dengan senang hati telah berubah menjadi penginjil kapitalis.

Mari kita mulai dengan pertunjukan terakhir tentang pemakaman Marxisme. Saya mendapati hal yang membingungkan bahwa harusnya hal itu dipercepat oleh runtuhnya Tembok Berlin dan kebangkrutan Uni Soviet. Kekuasaan yang ada seharusnya bisa mengambil keuntungan untuk memproklamirkan bahwa Marxisme, sosialisme, revolusi, atau istilah sejenis, kini telah berakhir untuk selamanya; ini adalah hukum alam yang sempurna. Dan ternyata ada cukup banyak orang pada sisi kiri, di dalam lingkaran yang progresif, yang juga dengan jelas dibingungkan dengan keadaan ini. Dan sungguh, saya tak bisa memahaminya.

Pada 1956, tahun dimana muncul surat tuduhan Khrushchev terhadap Stalin dan penyerbuan ke Hongaria, merupakan tahun kejutan bagi para pendukung Khruschev, ketika tank-tank Soviet memasuki Praha pada 1968. Tetapi duapuluh tahun kemudian, tak ada seorang pun yang dengan serius percaya bahwa suatu alternatif sosialis sedang ditempa di blok Soviet.

Bagi mereka yang melulu berpropaganda secara meyakinkan, dengan mudah menjawab bahwa hanya yang hidup yang bisa mati. Sosialisme oleh karena itu tak pernah mati di Timur, karena di sana, Marx yang dihubungkan dengan para produser, tidak dalam posisi sebagai pemilik pabrik-pabrik dan nasib mereka. Tetapi ini tidak cukup. Kita tidak punya model tetapi, kita mempunyai warisan dan kita harus meneliti sejarahnya dalam tampilan Marxis. Apa yang salah dan mengapa? Apakah karena revolusi dengan cepat telah diubah ke dalam sebuah transformasi dari atas? Atau apakah itu disebabkan oleh takdir, setidak-tidaknya setelah terjadi kemunduran di Rusia, sehingga gagal disebarkan? Saya akan meninggalkan perdebatan yang belum selesai ini tapi, tak berarti tak ada debat pada momen ini. Saya akan kembali pada point kedua.

Secara bertentangan, robohnya model neo-Stalinist tidak bersamaan dengan kesuksesan sosial-demokrasi. Sebaliknya, bersamaan waktu dengan kebangkrutan kejayaan itu, kapitalisme menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk yang paling telanjang. Tak ada lagi kapitalisme berwajah manusia tapi, kembali ke masa hukum rimba. Setelah duapuluh tahun atau lebih hasil restrukturisasi, krisis menjadi semakin gawat. Ini terutama sekali sangat tampak di Eropa Barat, di mana saya tinggal. Kita tengah menyaksikan suatu periode yang aneh tentang transisi, dengan harapan dan bahayanya. Untuk beberapa tahun dari sekarang, berbagai usaha dibuat untuk memaksakan model Amerika, yang bukan mimpi Amerika dari masa lalu tapi, mimpi buruk Amerika. Sebuah serangan terhadap upah, melawan apa yang disebut negara kesejahteraan, melawan semua penakluk pasca perang dari gerakan buruh, dan konsesi terhadap kapital yang bersedia tunduk.

Pesta penghormatan, penghormatan terhadap tercipatanya orde ini: Tony Blair, orang yang kemudian dengan cepat mengambilalih kekuasaan di Inggris. Atau mantan komunis Massimo d'Alema, orang yang mengilhami pembentukan koalisi dari para penguasa di Italia. Mereka siap berkorban bagi dewa baru globalisasi. Tetapi rakyat pekerja, terutama sekali di Eropa kontinental, tidak bersedia tunduk pada dewa baru ini. Sejak 1994, berkali-kali usaha untuk memotong pelayanan sosial di Italia, Perancis, dan Jerman, berhadapan dengan perlawanan rakyat. Saya pribadi berpikir pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi pada musim dingin di Perancis pada 1995, disebabkan oleh ketidakpuasan, dan kemudian berbalik menjadi perlawanan yang bersifat ideologis. Setelah seperempat abad pergeseran ideologi ke kanan, kini muncul sebuah gerakan yang mengejek pemerasan itu: Tak Ada Alternatif (there is no alternative). Pesan ini, mendatangkan ketakutan pada pendeta-pendeta mapan, yang dengan terang-terangan mengatakan:

“jika ini adalah masa depan yang kalian tawarkan kepada kami dan anak-anak kami, maka pergilah ke neraka bersama masa depanmu itu!”

Dan terjadilah perlawanan itu, yang pada momen ini, hanya sebuah perlawanan dan bukan awal dari sebuah serangan balasan. Hal itu kemudian diikuti dengan pemberian konsesi dan kompromi. Dan itulah yang terjadi. Pentingnya penolakan tak bisa ditaksir terlalu tinggi. Anda tak bisa memulai pembangunan di masa depan tanpa aksi penolakan hari ini. Tetapi, di atas platform yang negatif (baca: penolakan) ini, Anda harus mulai menempa sebuah alternatif. Anda harus mengawalinya dengan pertarungan-pertarungan berdasarkan argumentasi musuhmu – Anda akan menjadi sebuah sekte jika Anda tidak melakukan pertarungan ini. Tapi, Anda tak bisa menghindar dari keharusan memberikan solusi yang membuat Anda melampaui teritori, yang melampaui batasan yang ada pada masyarakayat yang ada. Kapitalisme adalah sebuah sistem dengan segala kemelekatannya atau konsistensinya, masuk akal – Istvan Mészáros mengatakan dengan metabolismenya sendiri – pada akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sistem yang lain dengan logika dan konsistensinya pula. Ini tak berarti ribut-ribut Bastille atau pengambilalihan istana musim dingin.Tak ada sesuatu yang instan tentang perubahan revolusioner. Ia membutuhkan waktu, perenungan yang mendalam bahkan, konsesi yang bisa berlangsung setiap saat. Ketika masalah itu muncul ke permukaan, Anda mungkin meledak atau bahkan memberontak. Tetapi, kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan yang hegemonik dalam jangka panjang tanpa adanya visi yang fundamental mengenai masyarakat yang berbeda.

Di sini saya menjadi bagian dari bentuk-bentuk terbaru sebuah gerakan seperti, posmodernisme dan lain-lain. Saya tidak memiliki masalah dengan dekonstruksi. Hal itu mengingatkan saya pada gambaran di dalam buku teks filsafatku, sebagai murid sekolah, dari Descartes dengan catatan kakinya pada gundukan dari buku yang memproklamirkan: tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran sebelum dibuktikan. Atau, dari diktum Gramsci, sekarang saatnya berontak, kebenaran adalah revolusioner. Dalam pernyataan mengagumkan tentang ras dan gender - menyatakan gender – kurang sering klas – menyembunyikan bias di bawah deklarasi besar tentang prinsip-prinsip para pendeta dan orang-orang terpelajar. Para penganut dekonstruksi sedang menyerang dan menghancurkan sistem tersebut. Tetapi, pada waktu yang sama, sebagai seorang post-modernis, mereka datang sebagai penyelamat, menyalahkan tidak hanya narasi besar tapi, gagasan mendasar yang padu, sebuah alternatif sistematis berhadapan dengan kapitalisme. Dan sang penolong jauh lebih penting ketimbang menyerang, sebab sistem kapitalis dapat ditempatkan tanpa kesatuan yang terorganisasi, dan tetap eksis berhadapan dengan serangan yang sporadis. Satu-satunya yang menakutkan adalah koherensi dan serangan frontal.

Beri saya kesempatan untuk lebih menjernihkan. Saya sama sekali tidak mengritik gerakan sosial - yang berjuang melawan rasisme, melawan penindasan gender, atau perjuangan untuk mempertahankan lingkungan. Tentu saja, saya menerima fakta bahwa semua perjuangan tersebut berkembang di luaran. Dan itu pertanda bahwa gerakan sosialis di abad ke-20 sedang mengalami kebangkrutan. Saya hanya menyerang mereka dari jauh, menyesalkan watak gerakan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) tersebut, terfragmentasi menjadi kepingan fakta yang permanen tentang hidup dan membuat kebaikan pada sebagian divisi saja. Apapun juga kebiasaan terbaru dari gerakan – serius maupun sekadar iseng - saya pikir mereka harus meninjau kembali gagasan mereka atau dipinggirkan oleh gerakan sosial yang mengembangkan seluruh kemampuan menyerangnya.

Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Marxisme? Jawaban kasarnya, kekuasaan kapital lebih absolut dari yang pernah ada dan Marxisme tetap merupakan alat analisa terbaik untuk menguliti kuasa, watak, dan kontradiksi di dalam sistem kapitalisme. Dengan syarat, kita tidak menjadikannya sebagai Kitab Suci. Telah saya katakan, bagaimana kita semua di sini bersama-sama menolak penyimpangan doktrin yang dijadikan sebagai alat atau topeng bagi para penguasa Soviet, para penindasnya dan pelayannya. Tapi itu tidak cukup. Kita tidak bisa memperlakukan Marxisme sebagai teks yang suci dan tidak bisa menoleransi tabu apapun. Marx tidak mengatakan segalanya. Ia tidak mempunyai waktu untuk itu, ia hanya memberi satu contoh saja, ia cukup mengajukan pertanyaan kunci mengenai peran negara. Bagaimanapun visi Marx, ia mungkin tak bisa membayangkan keadaan satu abad sesudahnya dan perubahan cepat teknologi dimana kita hidup di bawah kapitalisme, dimana kita menghadapi benturan antara perkembangan buta dari kekuatan produktif dan lingkungan kita. Dengan kata lain, kita menghadapi ancaman bunuh diri.

Guna menyingkat waktu, kita harus menggunakan Marxisme dalam wujud Marxis: mengadaptasikannya sejak semula untuk direalisasikan pada zaman kita. Masalahnya, kita tidak hanya berhadapan lingkungan yang berubah dengan cepat tapi, juga seluruh landasan pemikiran kita sendiri, menguji perubahan cepat watak kelas buruh dan, oleh karena itu, kapasitasnya untuk bertindak sebagai agen pengubah sejarah

Hanya dalam wujud seperti ini, kita bisa mengerjakan isu-isu yang menjadi agenda kita: masalah pekerjaan, dan tidak hanya masalah kerja dan waktu luang, dalam masyarakat kita di mana kemajuan teknologi telah menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan atau kemiskinan; masalah perubahan yang radikal dan keterbatasan negara bangsa dalam suatu masyarakat yang terglobalisasi; masalah kesetaraan dalam sebuah dunia yang pertumbuhan sosialnya tidak adil; masalah demokrasi, tidak hanya karena ini adalah warisan kita yang sangat mengerikan tapi, karena kita ingin mentransformasikan esensi perencanaan ke dalam pengorganisasian sendiri masyarakat.

Saya lanjutkan sedikit. Tugas kita jelas sangat berat dan karena itu, membutuhkan waktu. Tetapi tugas itu juga sangat mendesak. Saya benar-benar merasakan adanya sinar harapan di kaki langit. Tanda-tanda awalnya sudah nampak dari kebangkitannya sejak dari Paris hingga Seoul. Tetapi ada juga bayang-bayang. Ketika Front Nasional yang xenophobic menduduki balai kota di Perancis Selatan melalui hak pilih universal, dengan mayoritas absolut, adalah mendesak untuk melakukan sesuatu. Maksud saya, menawarkan kepada rakyat yang tak puas dengan sistem yang ada sebuah alternatif yang radikal. Jika kita tidak melakukan itu, mereka akan bertindak reaksioner dan irasional. Tapi, kita harus dapat, dan oleh karena itu, kita harus melakukannya dan Marxisme adalah alat yang tepat bagi penyelesaian kita.***

DANIEL SINGER adalah koresponden The Nation’s di Eropa selama beberapa tahun. Ia adalah penulis sejumlah buku, termasuk The Road to Gdansk (1981) and Whose Millennium?: Theirs or Ours?

Sumber: Monthly Review, Nov. 1997, Vol. 49, Nomor 6

Artikel ini diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh.



Baca selengkapnya!

27.2.07

Papua Harus Ber-Swadeshi

David Chan

Kebebasan politik tidaklah cukup. Perjuangan rakyat Papua Barat hanya mungkin meraih keberhasilan jika seluruh rakyat Papua bersatu. Dan mereka hanya bisa bersatu jika mereka memikul bersama beban dan nasib mereka. Mereka harus memiliki kepentingan bersama, dan perspektif bersama tentang tujuan perjuangan mereka.

Saya menyerukan agar para pemimpin dan tokoh intelektual Papua Barat belajar dari Mahatma Gandhi tentang Prinsip Dasar Perlawanan Tanpa-Kekerasan. Selanjutnya, mereka harus menyampaikan prinsip-prinsip itu ke lapisan bawah masyarakat. Nelson Mandela (berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan) dan Martin Luther King Jr. (berjuang melawan diskriminasi rasial di Amerika Serikat), keduanya belajar banyak dari Gandhi.

Mahatma Gandhi memulai SWADESHI dengan satu SUMPAH. Ia membakar semua pakaian impornya dan mulai mengenakan pakaian yang ditenun oleh perempuan-perempuan India. Mulai dari pakaian, kemudian garam, dan berlanjut ke barang-barang kecil lainnya. Semua ini sepertinya tidak penting atau remeh. Tetapi karena rakyat India melaksanakannya dengan tekad penuh, pada akhirnya Inggris kolonial menyerah.

India mencapai kemerdekaannya tanpa kekerasan. Para korban, baik dari pihak India maupun Inggris, jumlahnya hanya beberapa ribu (terutama mereka yang mengabaikan prinsip-prinsip non-kekerasan yang disarankan Gandhi). Bandingkan, misalnya, dengan Aljazair dan Prancis, yang kehilangan 900 ribu orang dalam ajang konfrontasi. Sebabnya, Aljazair menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Kini, India dan Inggris, adalah dua negara yang bersahabat (karena sukses melakukan rekonsiliasi). Sementara hubungan antara Prancis dan Aljazair bermasalah terus.

SWADESHI bisa dimulai dari kekuatan yang saat ini dimiliki rakyat Papua:

SWADESHI Bahan Makanan Pokok:

Tinggalkan beras dan kembali ke sagu atau umbi-umbian. Dengan kembali ke sagu dan umbi-umbian ini, ada sejumlah ratusan milyar rupiah yang bisa kita hemat, karena uangnya tidak mengalir ke Jawa [untuk membeli beras]. Jumlah uang yang sangat besar ini bisa dimanfaatkan rakyat Papua untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak mereka. Jadi, sagu bukan hanya sekadar masalah kebiasaan makan, sagu juga harus digunakan sebagai alat perjuangan (silahkan baca artikel lain saya yang berjudul “RASKIN” di www.westpapua.ca). Ketergantungan pada beras sama dengan ketergantungan pada para pendatang (transmingran). Setelah bebas dari beras, kita bisa naik ke jenjang lebih tinggi pada tangga kemerdekaan.

SWADESHI Kebutuhan Dapur:

Setiap tahun, rakyat Papua mengonsumsi ratusan metrik ton garam impor dari pulau Madura (pulau di sebelah timur laut Jawa). Jika Anda berlayar di sepanjang Selat Madura, Anda akan melihat air yang berwarna coklat-kehitaman, penuh limbah industri. Sebaliknya, ribuan kilometer pantai rakyat Papua air lautnya murni, bebas dari pencemaran. Sayangnya, tak ada sejengkal pun yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Rakyat Papua harus memproduksi garam sendiri, juga gula aren, kopi, dan barang-barang kecil lainnya.

SWADESHI Tas:

Buang tas kulit dan kantong plastik buatan Bandung dan Tanggulangin (kota dan desa yang menjadi pusat produksi tekstil dan barang-barang dari kulit di Jawa). Orang Papua mesti kembali menggunakan NOKEN. Noken adalah tas tradisional orang Papua. Jika ratusan ribu pelajar/mahasiswa, buruh, pelayan publik (pegawai negeri), dan intelektual kembali menggunakan NOKEN atau tas tenunan daun pandan (pandanus leave) dan dibuat 100 persen oleh ibu-ibu Papua maka, ada ratusan atau bahkan milyaran rupiah yang bisa diselamatkan oleh rakyat Papua dari mengalir ke Jawa. Uang ini juga bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan sehari-hari rakyat Papua.

SWADESHI Tekstil:

Ketika Belanda masih berada di Papua, ada usaha-usaha untuk memampukan rakyat Papua untuk memproduksi kebutuhan tekstil mereka sendiri. Para biarawati Katolik dulu memperkenalkan alat pemintal benang wol di wilayah pengunungan tengah. Gereja Katolik di wilayah Kepala Burung, dulu biasa mengirim ibu-ibu Papua ke Pulau Timor untuk belajar menenun. Hasilnya, mereka sanggup menenun dan memproduksi pakaian sendiri. Ini berlangsung hingga akhir dasawarsa 1980-an. Tetapi, kini keahlian itu telah dilupakan. Rakyat Papua harus bangun kembali untuk memproduksi tekstil sendiri. Memang tidak mudah untuk melaksanakan SWADESHI di bidang tekstil, tapi jika ada keinginan pasti ada jalan.

SWADESHI Sumberdaya Manusia (SDM):

Kita salah, jika masalah SDM dipahami sebagai seluruh rakyat Papua harus meraih gelar universitas seperti B.A atau B.Sc, Master, Doktor atau profesor. Seorang penjahit adalah SDM, demikian juga dengan penjual mie keliling, tukang pangkas rambut, atau seorang tukang tambal ban, Bapak Yohanes yang menyadap zat tepung dari pohon sagu di hutan, adalah SDM, Ibu Bonay yang mencangkul tanah dan menanam keladi di desa Arso adalah SDM, Jakobus Mandacan, seorang mahasiswa yang juga bekerja sebagai sopir taksi adalah SDM, dan seterusnya.

Dan, masih banyak sektor dalam kehidupan rakyat Papua yang membutuhkan penerapan Swadeshi.

Bagaimana memulai SWADESHI?

- Mulailah dari diri sendiri
- Mulailah dari hal-hal yang kecil
- Mulailah sekarang juga.

Jangan meremehkan laki-laki lemah tak berdaya ini, Mahatma Gandhi. Walaupun tulangnya hanya dilapisi kulit (karena kegiatan puasa dan doa), gagasannya tentang Swadeshi tetap hidup di India. Goldman Sach, suatu lembaga riset global terkenal melaporkan, ekonomi India akan melampaui ekonomi Amerika Serikat pada 2050. Ini karena kesungguhan rakyat India dalam menerapkan Swadeshi. Bagaimana dengan Papua?***

David Chan, seorang warganegara yang peduli, tinggal di Papua Barat.

Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli “PAPUA MUST GO SWADESHI,” dari the east-timor news list. Terjemahan ini diperiksa oleh Nug. Katjasungkana.



Baca selengkapnya!

21.1.07

Peran Kaum Intelektual Dalam Perubahan Sosial

James Petras

Pengantar

Membicarakan atau menulis tentang “kaum intelektual” hari ini, kita harus merujuk pada tataran posisi politik. Dari sayap kanan ekstrim (neoliberal-neokonservatif), melewati kanan-tengah (sosial-liberal), lalu menapak pada kiri-tengah (sosial demokrat), hingga berujung pada kiri-revolusioner (Marxis). Di dalam dan di luar kategori politik ini, kita juga memasuki ranah ekologi politik, feminis, gay, ras dan identitas etnik.

Sebagai tambahan, intelektual politik ini berada dalam latar kelembagaan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah pemimpin-pemimpin dalam NGO (organisasi non-pemerintah/LSM), yang lain ditemukan di dunia akademik. Sebagian lainnya berkutat sebagai “intelektual publik,” wartawan, profesor, penasehat-penasehat serikat buruh, pemimpin-pemimpin partai politik, agamawan, dan penulis lepas.

Untuk tujuan paper ini, saya ingin memberikan fokus pada kaum intelektual kiri-tengah (center-left/CL) dan intelektual kiri-revolusioner (revolutionary-left/RL). Kedua kelompok intelektual ini saya pilih, karena keduanya paling mudah dilekatkan dengan proses perubahan sosial yang progresif. Intelektual CL, umumnya bermain dalam latar kelembagaan. Sementara intelektual RL, ditemukan terutama sebagai “intelektual publik” dan di universitas-universitas.

Seperti masa-masa sebelumnya, pembedaan antara intelektual CL dan intelektual RL adalah jauh dari tetap. Sebabnya, gambaran utama intelektual kiri adalah “cair/fluidity” atau “bergerak” di antara identitas politik. Pergeseran terbesar adalah pergeseran dari RL menjadi CL, lantas menjadi kanan-tengah (liberalisme sosial), hingga menjadi neoliberal. Tercatat, beberapa mantan anggota gerilya di kawasan Amerika Latin, yang pada 1960an dan 1970an adalah seorang revolusioner, kini telah menjadi menteri neoliberal, senator, dan wakil rakyat. Mereka kini menjadi pembela militerisme, imperialisme, sektor agribisnis, dan kontra-pemberontakan. Sebaliknya, minoritas yang dianggap sebagai intelektual kanan-tengah, kini bergerak menuju kiri-revolusioner, khususnya setelah dekade 1990an, lebih khusus lagi setelah mereka berumur di atas 50 tahun.

Apapun pergerakan dalam politik dan loyalitas politiknya, kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik, khususnya di Amerika latin – di bawah kondisi-kondisi tertentu. Kaum intelektual memang tidak selalu bisa secara langsung mempengaruhi politik massa, mereka juga tidak memimpin atau mengorganisir perjuangan massa, kecuali klaim-klaim dan pretensi-pretensi sebagian dari mereka.

Intelektual menjadi penting karena (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Dalam paper ini, saya ingin fokus pada dan secara kritis membandingkan peran intelektual kiri-tengah (CL) dan intelektual kiri-revolusioner (RL), dalam menyediakan kepada gerakan dan partai sebuah diagnosa dan solusi-solusi politik.

Metode dan Analisis

Diskusi ini akan fokus pada peran intelektual CL dan RL di Amerika Latin, setelah lebih dari 25 tahun. Kita akan fokus pada dua garis pembatas: (a) peran intelektual CL dan intelektual RL dengan merujuk pada beberapa peristiwa penting; dan (b) analisis kritis atas konsep-konsep prinsipiil yang diuraikan oleh intelektual CL dan intelektual RL.

Terdapat empat peristiwa penting yang akan kita diskusikan: (a) “transisi” dari kekuasaan militer ke politisi-politisi sipil yang terpilih melalui pemilu; (b) kebangkitan dari apa yang disebut “gerakan sosial baru/new social movement” pada dekade 1980an (identitas gerakan) dan dekade 1990an (massa tani, pengangguran dan gerakan Indian); (c) kemunculan rejim-rejim “kiri-tengah” yang terpilih melalui pemilu pada milenium baru; dan (d) ekspansi kapital ke seluruh dunia dan peningkatan secara cepat perang imperial.

Konsep, yang dipopulerkan intelektual CL, akan dihadapkan dengan konsep yang digunakan intelektual RL. Ini termasuk diskusi tentang “transisi demokrasi/democratic transition” versus “transisi menuju politik elektoral otoritarian/transition to authoritarian electoral politics”; gerakan sosial baru dengan “basis identitas”/new “identity-based” social movement” versus “gerakan sosial berbasis kelas/class-based social movement”; dan “globalisasi/globalization” versus “imperialisme/imperialism.” Pada bagian akhir paper ini, saya akan mengevaluasi performa intelektual CL dan intelektual RL, dalam pengertian, diagnosis politik mereka, solusi-solusi politik yang ditawarkannya, dan konsekuensinya bagi perubahan sosial.

Intelektual Reformis dan Intelektual Revolusioner: Menguji Peristiwa-peristiwa Kunci

Baiklah kita mulai dari catatan selama periode diskusi (1980-2005), dimana mayoritas terbesar intelektual kiri berada di barisan kaum reformis: kiri-revolusioner pada masa itu dan hingga kini jumlahnya minoritas. Tapi, bukan itu dasar dari paper ini untuk menganalisa dan menjabarkan mengapa kasus ini terjadi. Tujuan saya adalah menganalisis relevansi dan validitas posisi-posisi politik yang diserap kedua kelompok intelektual dimaksud.

Transisi Menuju Demokrasi

Intelektual reformis berpendapat, “transisi menuju demokrasi” ditandai oleh pergeseran kekuasaan dari militer ke politisi sipil hasil pemilu. Menurut mereka, legalisasi partai, kebebasan pers, pemilihan umum, dan kebebasan individual merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk kepentingan “demokrasi.” Intelektual kiri-revolusioner mencatat, keberlanjutan struktur kelas, aparatus negara (militer, pengadilan, intelijen, dan bank sentral), model ekonomi, dan pengambilan keputusan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, merupakan penentu utama kebijakan sosio-makroekonomi.

Kaum reformis tidak sulit untuk menerima argumen yang disodorkan oleh kelompok kiri-revolusioner: bahwa struktur yang otoritarian tidak berubah dan mendesakkan pembatasan-pembatasan dalam sistem politik. Tetapi, mereka menilai “perubahan pesat” adalah mungkin dan selanjutnya secara bertahap, akan terjadi keadilan yang lebih besar. Sebaliknya, intelektual revolusioner berpendapat, kerangka kerja politik elektoral berada dalam posisi subordinat dari lembaga-lembaga negara kapitalis dan kelas berkuasa (ruling class), dan secara organik tidak memiliki kapasitas untuk mentransformasikan masyarakat atau bahkan dalam menyebarkan kemakmuran dan meningkatkan standar kehidupan.

Sebuah survey yang lebih detil mengenai 24 tahun politik elektoral di Amerika Latin, menunjukkan, asumsi-asumsi kalangan intelektual CL, bahwa politik elektoral merupakan instrumen bagi perubahan sosial terbukti gagal. Selama seperempat abad, seluruh variasi rejim politik di seluruh Amerika Latin, gagal dalam meningkatkan standar hidup, mendistribusikan kemakmuran, mempromosikan pembangunan nasional, atau menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti perumahan, distribusi tanah, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan renasionalisasi ekonomi. Sebaliknya, rejim elektoral menjadi kian tergantung pada negara imperialis dan paket kebijakannya semakin buruk. Kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi; perbedaan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah semakin lebar; sebagian besar perusahaan-perusahaan publik telah diprivatisasi dan didenasionalisasi; dan ratusan miliar dollar dirampas dari buruh dan ditransfer ke bank-bank asing untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo.

Di semua tempat dan di semua negara, sistem elektoral mengekspresikan karakter kelas yang dominan, yang membuktikan ketepatan analisis kiri-revolusioner. Seluruh “reformis kiri” yang masuk ke dalam rejim, pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan administratif yang buruk, dan mendapat tekanan dari rakyat yang menentangnya. Telah jelas bahwa analisa dan solusi yang dikemukakan intelektual kiri-reformis – transisi demokrasi bermakna politik elektoral akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah keliru dan gagal. Sebaliknya, analisis intelektual kiri-revolusioner yang menjelaskan tentang keberlanjutan kekuasaan borjuis dan kapitalis telah membatasi “transisi:” adalah benar dan masuk akal.

Gerakan Sosial Baru

Dalam perkembangan selanjutnya, para intelektual kiri yang terlibat dalam proses elektoral tidak memimpin untuk perubahan sosial. Mereka malah membangun apa yang disebut “gerakan sosial baru.” Sekali lagi, muncul perdebatan tentang bagaimana komposisi sosial dan agenda sosial gerakan ini. Kalangan “reformis” – sering juga disebut “post-modernis” – menekankan “identitas sosial” sebagai lawan dari definisi kelas. Selama periode 1970-1980an, intelektual reformis mengklaim bahwa “identitas” baru, sebagai basis gerakan, telah menggantikan gerakan yang berbasis-kelas. Indentitas baru gerakan itu, misalnya, gerakan yang berbasis ekologi, etnis, feminis dan gerakan gay. Intelektual revolusioner, walaupun tidak menolak kelompok identitas mencatat, perjuangan massa dari gerakan sosial berbasis kelas-etnik, seperti CONAIE di Ekuador, Cocaleros di Bolivia, Zapatista di Meksiko dan gerakan pedesaan berbasis klas di Brazil seperti MST, merupakan kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. Kaum intelektual reformis selalu mencatat keuntungan yang terbatas dari perubahan yang dilakukan oleh segelinter “elite” di dalam kelompok “indentitas.” Sebaliknya, gerakan sosial berbasis kelas sangat berhasil dalam merealisasikan beberapa perubahan mendasar dalam menjatuhkan rejim neoliberal, dan memblok undang-undang dan peraturan pemerintah yang merugikan kehidupannya.

MST di Brazil, yang berbasis pada perjuangan kelas, memaksa pendudukan terhadap jutaan hektar tanah dan memindahkan 350 ribu keluarga (lebih dari 1,3 juta orang) ke sektor pertanian. CONAIE sukses menjatuhkan dua presiden neo-liberal; pekerja pengangguran dan kelas menengah yang dimiskinkan di Argentinga, berhasil memaksa presiden Fernanado De La Rua untuk keluar dari istana; buruh dan gerakan petani di Bolivia, juga sukses menjatuhkan presiden Sanchez de Losada dalam mempertahankan industri perminyakan negeri itu.

Politik Elektoral dan Kiri-Tengah

Perdebatan di kalangan intelektual reformis dan intelektual revolusioner kian menajam, khususnya bersangkut dengan strategi “jalan elektoral atau jalan revolusioner menuju kekuasaan politik dan perubahan sosial.” Sebagian terbesar intelektual reformis dan dan lebih banyak lagi intelektual “revolusioner,” mendukung kandidat dari kiri-tengah yang terlibat dalam pemilu. Misalnya, rejim Alejandro Celestino Toledo Manrique di Peru, Lucio Edwin Gutiérrez Borbúa di Ekuador, Luiz Inácio Lula da Silva di Brazil, Tabaré Ramón Vázquez Rosas di Uruguay dan Néstor Carlos Kirchner Ostoic di Argentina, sebagai intrumen reform sosial. Sebagian kecil intelelektual revolusioner, menolak para politisi itu. Mereka berpendapat, para politisi tersebut dan partainya memang tidak terlalu jauh dari kiri tetapi, telah bergerak ke kanan dan mengadposi IMF, neoliberalisme dan ALCA.

Para intelektual reformis memengaruhi para pemimpin gerakan sosial dan massa pendukungnya, untuk mendukung politisi-politisi kiri-tengah. Sementara, para intelektual kiri-revolusioner sangat sedikit dan tidak memiliki pengaruh ketika pemilu dilangsungkan dan sesudahnya. Hasilnya, kini telah kita saksikan: Lula, Gutierrez, Toledo dan mereka yang mendaur-ulang kekirian, telah berbalik menjadi seorang neoliberal yang memperdalam dan memperluas privatisasi, mempromosikan perluasan agro-bisnis di atas penderitaan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, memindahkan ratusan miliar dollar ke bank-bank internasional, menyetujui undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak pensiunnya, dan mempromosikan penghisapan Amazon di atas penderitaan masyarakat adat. Konsekuensi dari strategi intelektual reformis yang mendukung “kiri-tengah,” adalah hancurnya gerakan sosial. Di Ekuador, serikat buruh minyak di tindas, CONAIE kehilangan dukungan dari anggota-anggota terpercayanya ketika para pemimpinnya berhasil dikooptasi oleh Gutierrez. Di Brazil, MST mengalami disorientasi politik, menderita represi dan terusir dari tanah yang telah didudukinya. Di Uruguay, rejim Vazquez mengikuti petunjuk-petunjuk IMF, mendukung investasi asing dari pencemar-pencemar besar (perusahaan selulosa), dan memaksakan upah umum yang “terbatas” terhadap serikat buruh. Semua itu bisa terjadi, karena kebijakan rejim kiri-tengah ini mengatasnamakan para pemimpin serikat buruh prestisius dan intelektual kiri-reformis yang mendukungnya.

Setelah tahun-tahun penerapan kebijakan brutal neoliberal, banyak dari para intelektual-reformis yang pada dasarnya mendukung partai kiri-tengah yang berkuasa, menjadi kritis terhadap rejim. Tetapi, kritik mereka lebih pada kebijakan-kebijakan rejim yang salah, ketimbang mengikuti kritik sistematik yang dilancarkan intelektual revolusioner. Sementara itu, para intelektual kiri-revolusioner, karena validitas diagnosanya, pengaruhnya semakin meningkat di kalangan sektor-sektor yang sebelumnya terilusi oleh intelektual reformis. Penyelesaian masalah melalui tindakan politik revolusioner bagi perubahan sosial, yang diusung intelektual kiri-revolusioner, mulai memperoleh getarannya pada beberapa sektor gerakan massa. Para pemimpin gerakan massa itu mulai menerima metode perjuangan revolusioner tapi, tidak dengan sendirinya bertujuan revolusioner.

Globalisasi atau Imperialisme

Arena perdebatan keempat antara intelektual reformis dan intelektual revolusioner adalah menyangkut diagnosa mereka mengenai watak dan motor penggerak kapitalisme global. Kaum reformis berbicara tentang globalisasi dan penciptaan sebuah tata dunia baru yang didominasi oleh korporasi-korporasi multinasional (MNC), yang melintasi batas-batas negara. Mereka mengadakan perlawanan terhadap globalisasi ini dengan cara, menggalang pertemuan “raksasa” yang tidak mengandung muatan kelas dalam pertemuan “forum sosial.” Atau menjadi demonstran setia dalam setiap ajang pertemuan yang dilakukan elite-elite internasional.

Intelektual revolusioner berpendapat, gambaran utama dalam epos kita hari ini adalah bangkitnya kekuatan militer imperialis Amerika, yang berhadapan dengan imperialisme Eropa dan Jepang, untuk mengontrol dunia. Kebangkitan militer itu ditandai dengan kebijakan negara imperial yang agresif memelopori perang dan penaklukan kapitalis. Kalangan reformis fokus pada ekspansi ekonomi MNC, tanpa mengantisipasi perang imperialis di Yugoslavia, Afghanistan dan Iraq, intervensi CIA dalam kudeta di Venezuela, dan ancaman perang bergelombang Amerika di Timur Tengah. Sementara itu, kalangan intelektual revolusioner fokus pada sentralitas negara imperial, perang imperial, dan pendudukan kolonial. Bagi kalangan intelektual RL, inilah bukti yang lebih relevan untuk memahami watak dan motor penggerak dunia kontemporer.

Lebih dari itu, analisa kelas dari kalangan intelektual revolusioner lebih berdayaguna sebagai alat untuk memahami watak dari efektivitas perlawanan terhadap imperialisme, ketimbang konsep yang tidak jelas dari “massa.” Gerakan massa pengangguran di Iraq, misalnya, menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan kolonial Amerika. Petani, buruh, dan pengangguran di Amerika Latin, menjadi pemimpin dalam mengalahkan klien-klien imperial, dan mencegah privatisasi listrik (Meksiko), air (Bolivia) dan pelabuhan (Uruguai). Sejumlah besar petani-bersenjata melawan imperialisme dan neoliberalisme di Kolumbia, Nepal, dan Filipina. Sekali lagi, ideolog-ideolog reformis globalisasi gagal memberikan diagnosis yang memadai dan aksi-aksi politik yang efektif. Forum Sosial dan pertemuan massa terbukti kehilangan efektivitasnya. Sementara itu, intelektual revolusioner yang fokus pada imperialisme dan perlawanan kelas-nasional, sanggup mendapatkan penerimaan yang luas karena korespondensinya dengan realitas.

Pendekatan konseptual-teoritis yang saling bertentangan antara intelektual revolusioner dan intelektual reformis ini, memberikan pengaruh yang besar pada perjuangan untuk perubahan sosial. Kami telah menunjukkan tipikal pendekatan kalangan reformis yang sangat memengaruhi para pemimpin gerakan massa dan massa ketimbang analisis kiri-revolusioner. Namun demikian, seiring waktu, kami menemukan bahwa diagnosa, deskripsi, prediksi dan praktek intelektual reformis, telah menyebabkan kekacauan ekonomi dan konsekuensi politik yang merusak. Hasilnya, penguatan rejim “neoliberal” baru dan aliansinya dengan imperialisme pada satu sisi, dan disorientasi politik serta terserak-seraknya gerakan sosial di sisi lain.

Sebaliknya, diagnosa dan solusi untuk perubahan sosial yang dikemukakan oleh intelektual kiri-revolusioner, semakin populer di kalangan pemimpin rakyat dan sedikit demi sedikit berdampak pada massa. Semakin hari, pengaruh mereka semakin meningkat, khususnya ketika analisa itu mereka kemukakan kepada gerakan sosial, gerakan akar rumput, dan di kalangan intelektual.

Masalahnya, justru ini kuncinya, beberapa intelektual revolusioner terisolasi dari perjuangan massa. Mereka juga tidak mempunyai akses ke media massa, untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Padahal, telah telah nyata dalam sejarah, perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa. Ketika saat itu tiba, dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi reform-reform mendesak melalui metode kepemimpinan revolusioner, menuju perjuangan untuk kekuasaan negara oleh organisasi kelas yang independen. Hanya rejim revolusionerlah yang mau melakukan perubahan struktural dalam hubungan kepemilikan, struktur kelas, dan negara yang permanen dan berkelanjutan.***

6 Maret, 2005.


Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org, Oktober 15, 2005.


Catatan penerjemah:

MST: Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (Portugis), atau Landless Workers Movement (Inggris) atau Gerakan Buruh Pedesaan Tak Bertanah, adalah gerakan sosial terbesar di America Latin. Diperkirakan, anggota organisasi ini mencapai 1.5 juta dan tersebar di 23 dari 27 negara bagian di Brazil.

CONAIE: The Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (Spanish: El Confederación de Nacionalidades Indígenas del Ecuador), atau Konfederasi Bangsa-bangsa Indian Ekuador, adalah organisasi masyarakat adat terbesar. Didirikan pada 1986, CONAIE bertujuan melakukan perubahan sosial atas nama masyarakat asli di wilayah yang signifikan dengan taktik yang beragam termasuk, aksi langsung.

ALCA: The Free Trade Area of the Americas (FTAA) (Spanish: Área de Libre Comercio de las Américas (ALCA), atau Kawasan Bebas Perdagangan America, adalah kesepakatan bersama untuk menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan di antara seluruh bangsa-bangsa di benua Amerika (kecuali Kuba, Venezuela dan terakhir Bolivia dan Nikaragua.

Cocaleros: adalah istilah yang merujuk pada petani penanam Coca di Peru dan Bolvia. Evo Morales, yang menjadi presiden Bolivia pada 2006, adalah seorang pemimpin gerakan Cocalero di negaranya.

Zapatista: Merujuk pada The Zapatista Army of National Liberation (EZLN), didirikan pada 1983, adalah organisasi kelompok bersenjata modern di Meksiko. Nama Zapatista diambil dari the Zapatistas of the Mexican Revolution yang dipimpin oleh Emilano Zapata, pada 1910-1919.



Baca selengkapnya!

31.12.06

Marta Harnecker: Eksperimen Kuasa Kerakyatan di Venezuela

Marta Harnecker, kelahiran Chile, adalah penulis buku "Memahami Revolusi Venezuela" (Monthly Review Press, 2005), dan buku-buku lain mengenai revolusi dan Amerika Latin. Ia adalah peserta aktif dalam revolusi Bolivarian di Venezuela dan seorang penasehat presiden sosialis negeri itu, Hugo Chavez.

Harnecker terlibat dalam pembentukan dan pengembangan badan-badan Dewan Komunal di Venezuela, yang dimaksudkan sebagai kendaraan bagi kuasa kerakyatan (popular power) dan partisipasi publik untuk menciptakan sosialisme di abad ke-21. Untuk mengetahui apa dan bagaimana kuasa kerakyatan itu dibentuk dan bekerja, Coral Wynter & Jim McIlroy dari Green Left Weekly, bertempat di Caracas, Venezuela, mewawancarai Marta Harnecker pada akhir Oktober. Berikut petikan wawancaranya:


Green Left Weekly (GLW): : Bagaimana Dewan-dewan Komunal itu dibentuk dan bagaimana perkembangannya?

Marta Harnecker (MH): Apa yang saya lakukan selama setahun terakhir adalah mencari pengalaman yang menarik, dan mencari orang yang dapat bertukar pengalaman. Di Cumana, (Venezuela timur laut), saya menemukan organisasi yang sudah ada bertahun-tahun, sebelum Dewan-dewan Komunal dibentuk. Organisasi itu dibentuk dalam lingkup yang sangat kecil, lebih kecil dari sebuah barrio (rukun tetangga), dengan sekitar 200-400 keluarga. Di beberapa daerah pedesaan, bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 100 keluarga. Organisasi itu dibentuk di mana orang saling mengenal dan anda tidak memerlukan transportasi untuk menghadiri pertemuan. Sungguh mudah untuk bertemu. Ini adalah ruang yang memungkinkan semua orang terlibat.

Tentu saja orang yang berpikir tentangnya, menemukan bahwa ruang kecil semacam itu memungkinkan orang yang biasanya tidak punya kemampuan untuk mengungkap diri, sekarang justru menyampaikan pandangan mereka dan membuat keputusan. Seperti dikatakan Freddy Bernal (walikota Libertador di Caracas tengah), Dewan Komunal itu adalah sel dasar dari masyarakat masa depan.

Kalau kita berhasil membangun komunitas yang berorientasi pada solidaritas, maka orang akan peduli pada rakyat miskin yang hidup di wilayah mereka. Dalam (kerangka) solidaritas inilah, mereka akan mencari jalan keluar bagi sektor tersebut.

Chavez mencari berbagai rumusan berbeda untuk organisasi kerakyatan. Lingkaran Bolivarian itu lebih dalam kerangka politik yang luas. Lingkaran itu terarah pada kekuasaan politik. Dewan Komunal sementara itu, mencakup mereka yang bersama Chavez dan mereka yang tidak. Mereka adalah komunitas: Dewan-dewan Komunal harus mencerminkan semua warna dari pelangi; mereka harus mencakup semua orang yang ingin bekerja untuk komunitas, tanpa afiliasi politik, tanpa hubungan dengan pemerintah.

Melalui proyek ini, ketika seseorang mulai bekerja untuk komunitas, maka orang mulai mengedepankan solidaritas, dan dengan begitu orang tersebut akan mengalami transformasi. Saya kira, ini akan menggantikan Chavismo. Kadang orang berpikir, terlibat dalam politik berarti membawa plakat, spanduk dan (topi serta kaos) merah. Orang dalam periode sekarang di dunia yang kita huni ini, berpikir bahwa politik itu terbatas pada praktek politik formal.

Jika anda mengorganisir di barrio, organisasinya akan jauh lebih kecil skalanya. Anda akan memerlukan orang yang fleksibel, tidak sektarian dan punya kapasitas bekerja dengan siapa saja, melaksanakan proyek-proyek, dan coba memecahkan masalah yang dihadapi rakyat.

Dalam sebuah artikel yang saya tulis mengenai 4 juta pemilih dalam referendum untuk menyingkirkan Chavez, saya mengatakan, 3 juta di antaranya tidak benar-benar memilih menentang proyek Chavez. Mereka hanya memilih menentang proyek Chavez, seperti yang disampaikan oleh oposisi. Hanya sekitar 1 juta orang yang memilih menentang Chavez, benar-benar yakin dan tahu apa yang mereka lakukan. 3 juta orang lainnya dipengaruhi oleh media oposisi, yang mengatakan bahwa proyek Chavez adalah proyek komunisme, otoriterianisme, kediktatoran.

Ketika orang terlibat dalam kerja praktis, mereka mulai bisa melihat bahwa Chavez adalah orang yang terbuka dan langsung, dan bahwa proyek presiden bukanlah seperti yang mereka kira semula. Dalam kaitannya dengan pemilihan, masalahnya adalah bahwa banyak orang yang dapat informasi penuh. Ada banyak orang yang anti-Chavista tapi, sebenarnya mendapat informasi yang salah dari media oposisi di negeri ini. Media tidak menghargai hak-hak dasar dari rakyat untuk mendapat informasi secara benar.

Orang dari kelas menengah adalah yang paling rentan terhadap kerja media ini. Media memanipulasi keadaan dengan mulai menyampaikan kebenaran-kebenaran kecil, dan berbagai kegagalan kecil, yang kemudian mereka lebih-lebihkan.

GLW: : Apa peran yang dimainkan gerakan buruh dalam kaitannya dengan pengorganisasian komunitas?

MH: Logisnya, kita menerima secara umum bahwa pengalaman kuasa kerakyatan, yang berdasar pada lingkup teritorial, berarti bahwa buruh tidak muncul (langsung) sebagai anggota yang aktif. Saya ingat sebuah diskusi yang sangat menarik di Kuba, ketika mereka sedang merencanakan kuasa kerakyatan melalui pendaftaran pemilih. Dengan sendirinya, seorang warga yang mengusulkan nama calon di daerahnya, akan memilih orang yang dapat memecahkan masalah-masalah paling praktis dalam komunitas. Ini artinya sulit, sampai sekarang, bagi buruh untuk terlibat secara langsung.

Karena hal ini, di Kuba, diusulkan agar ada dua forum untuk memilih calon, satu berdasar wilayah atau teritorial, dan satunya berdasar tempat kerja, dua cara untuk mengambil keputusan. Di Venezuela, sampai saat ini, belum ada persatuan buruh dalam revolusi. Gerakan serikat buruh belum cukup kuat pada tahap ini.

Saya pernah berkata pada serikat-serikat buruh, "kenapa kalian tidak memperkuat saja dewan komunal dan menyatu dengan mereka? Kalian, sebagai buruh, harus terlibat dalam komunitas." Tapi sampai saat ini, mereka belum melakukannya.

Kita sebaiknya berpikir tentang dewan-dewan komunal ini sebagai komunitas buruh dari buruh (dan juga warga). Bagi saya, adalah sangat penting untuk mempertimbangkan masalah ekonomi mikro dan perlunya menyertakan organisasi-organisasi ekonomi sehingga dapat didemokratisasi ke arah solidaritas bukan korporatisme. Harus ada hubungan erat antara organisasi kerja dan komunitas.

GLW: : Anda bisa gambarkan cara kerjanya Dewan Komunal ini?

MH: Saat ini ada 16.000 Dewan Komunal, yang dibentuk dalam waktu enam bulan (sejak program tersebut dimulai tahun ini). Ini adalah inisiatif yang sangat serius, menurut saya. Proses pembentukan Dewan Komunal memerlukan waktu beberapa bulan, agar orang menjadi matang dan memilih pemimpinnya yang sejati. Kita mulai dengan proses melibatkan motivator. Komite motivator ini yang kemudian mendatangi dari rumah ke rumah untuk membuat sensus. Ini adalah tugas yang paling dasar, sensus sosioekonomi. Untuk melakukan ini, komite harus mengunjungi semua rumah tangga di wilayah tersebut.

Nampaknya di sini diperlukan pemimpin yang serius dan rajin, yang dapat berkunjung dari rumah ke rumah. Karena itu, kami berpikir, tidak mungkin memilih jurubicara untuk Dewan Komunal tanpa melalui proses ini. Mereka harus membentuk majelis terlebih dulu, baru melakukan pemilihan.

Perlu ada sebuah tim, semacam komisi promosi, yang harus melakukan penulisan sejarah sosial dan geografis, atau kisah dari komunitas yang bersangkutan. (Untuk menghasilkan ini), diperlukan sekurangnya delapan bulan. Saat majelis bertemu, mereka akan memilih jurubicara mereka di masa mendatang. Lalu proses tersebut disahkan (secara hukum). Sebagian Dewan Komunal berjalan baik, sebagian lain tidak.

Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Ini adalah cara demokratik untuk merenovasi kepemimpinan, dan memungkinkan majelis memilih pemimpin baru. Saya kira hukum menghargai kehendak dari majelis. Saya turut serta dalam kelompok yang mengawasi pembentukan Dewan Komunal. Dalam aturan hukumnya sangat jelas: Di mana kekuasaan itu? Kekuasaan tidak terletak di tangan para jurubicara tapi di tangan majelis umum. Kenapa mereka disebut "voceros?" Karena mereka adalah suara dari komunitas. Jika mereka kehilangan posisi sebagai jurubicara, maka mereka kehilangan kuasa.

Saya kira ini cara eksperimiental untuk menghimpun kuasa kerakyatan. Tapi, bagi saya, arah di masa mendatanglah yang harus kita ambil. Ini ada gagasan dasarnya: tidak dari atas.

Ini juga bergantung pada jenis masalahnya. Ada masalah-masalah yang memerlukan keterlibatan berbagai Dewan Komunal, karena merupakan masalah dari seluruh barrio. Misalnya, pipa-pipa air yang melalui seluruh barrio. Hal ini harus dipecahkan di tingkat Dewan Barrio. Masalah tangga, penerangan, dan sampah dapat dipecahkan di tingkat Dewan Komunal. Jadi Dewan Komunal ini adalah basis, sangat demokratis; sebuah skema partisipasi.

Mereka mencari jalan untuk memprioritaskan hal-hal yang dapat diselesaikan oleh komunitas: tapi bukan untuk menciptakan pemukiman pengemis yang melihat masalah, lalu minta negara untuk memecahkannya.

Ini adalah metode-metode yang memungkinkan komunitas untuk menyelesaikan masalah. Kita melakukan penilaian lalu membuat prioritas masalah: apa yang dapat dipecahkan komunitas dan apa yang tidak. Suara-suara dari komunitas yang berbeda harus membahas masalah-masalah ini di tingkat lebih tinggi.

Inilah cara bagaimana solidaritas dimulai, karena kita mulai dengan melihat bahwa masalah kita lebih luas dari kenyataan sempit yang kita hadapi, dan bahwa kita harus membantu sesama. Karena itu, Dewan Komunal lebih merupakan sekolah bagi formasi politik. Saya kira kuasa kerakyatan, jika sungguh demokratik, adalah sekolah terbaik karena memproduksi proses itu. Dan ini karena anda berjuang untuk rumah dan tanah anda. Lalu, anda mulai menyadari bahwa rumah anda ada dalam sebuah barrio dan bahwa barrio itu ada dalam kota.

GLW: : Apa perbedaan-perbedaan antara pangalaman Kuba, dan revolusi Bolivarian Venezula, dari segi misi dan seterusnya?

MH: Saya kira bahwa revolusi ini dlancarkan dengan jalan damai, tapi presiden tidak dilucuti. Dalam kasus Chile (pemerintahan sayap kiri Allende pada awal 1970-an), yang diambil juga jalan damai tapi, tidak bersenjata. Mereka tidak mendapat dukungan militer. Venezuela menjadi sangat kuat karena bersenjata, dengan dukungan dari Angkatan Bersenjata Nasional. Bagaimanapun, ini adalah proses dimana korelasi kekuatan berarti bahwa presiden tidak dapat mendesakkan sebuah proyek di negeri ini begitu saja. Proses Venezuela mengharuskan pemerintah mencapai harmoni.

Proyek ini mendapat sokongan dari sebagian besar sektor masyarakat. Akibatnya, hal ini memaksa transformasi berjalan lebih lamban. Aparatus negara berarti bahwa anda punya 80 persen atau lebih orang yang mendapat pekerjaan dalam pemerintah melalui clientelisme, yang tidak berminat pada pekerjaan mereka. Ini adalah layanan publik, tapi layanan yang tidak berfungsi. Kebanyakan pelayan publik ini bukanlah pelayan publik, mereka bekerja melawan publik.

(Venezuela) adalah negeri 'rentier' yang tidak punya tingkat perkembangan industri yang tinggi. Kebanyakan buruh ada di sektor informal. Di Kuba, revolusi melaksanakan proyek-proyek sosialis hampir langsung setelah menang. Sedangkan di sini, rangkaian pertempurannya masih terutama bersifat ideologis.

Karena itu, arah dari kuasa kerakyatan ini menjadi penting, karena proyek itu memerlukan waktu untuk menjadi matang. Di jalur damai, jalannya akan lebih pelan dari transformasi negara yang tajam sifatnya.

GLW: : Apa anda bisa memberi komentar mengenai proyek sosialisme di abad ke-21 dari Chavez?

MH: Sejujurnya, ada banyak orang yang mengritik kami. Eduardo Galeano, penulis Uruguay itu, mengatakan, ketika sosialisme gagal di Uni Soviet, Barat mengatakan bahwa sosialisme sudah mati dan begitu pula Marxisme. Galeano mengatakan, sosialisme yang mati itu bukan sosialisme kita, karena proyek sosialis yang kami bela ini pada dasarnya humanis, demokratik, dan berdasar pada solidaritas. Sosialisme yang mati itu adalah sosialisme birokratik, yang tidak dibela oleh rakyat, karena tidak ada keterlibatan nyata rakyat di dalamnya.

Saya kira, Chavez menyadari hal ini. Chavez tahu bahwa kita hanya dapat menciptakan masyarakat sosialis masa depan, jika rakya yang paling sederhana, yang paling miskin, yang paling tertindas, bisa terlibat dalam proses tersebut. Hal yang hebat dari Chavez bahwa ia adalah pemimpin yang mempromosikan organisasi kerakyatan, orang yang yakin bahwa kekuatan dalam proses ini adalah organisasi. Chavez selalu menyerukan, pembentukan lebih banyak organisasi dan penciptaan organisasi baru. Kadang, terlalu banyak. Ini adalah kreativitas yang memberi kesempatan semua orang untuk mengorganisasi diri.

Sumber:
International News, Green Left Weekly issue #693 6 December 2006. Sumber: http://www.greenleft.org.au/2006/693/35989.

(Diterjemahkan oleh Hilmar Farid, untuk IndoProgress, dari judul asli, Marta Harnecker: Venezuela’s experiment in popular power, 30 November 2006).


Baca selengkapnya!

4.12.06

Militer Venezuela: Terbentuknya Sebuah Penyimpangan

Marta Harnecker

Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez FrÌas, seorang mantan pejabat militer, sebuah "proses revolusioner Bolivarian" tengah berlangsung di Venezuela, terutama sejak Chavez memenangkan pemilu presiden pada 1998. Ketika perubahan progresif yang genuin tengah berlangsung, Chavez selain dibenci negara-negara kaya dan berkuasa, "revolusi Bolivarian" ini juga ditolak oleh beberapa kalangan kiri. Penyebabnya, tak lain karena revolusi ini dipimpin oleh seorang perwira militer dan karena militer memainkan peran signifikan dalam proses perubahan tersebut. Selain itu, militer juga memainkan peranan penting pada sejumlah lembaga-lembaga negara serta perencanaan pemerintah.

Alasan bagi penolakan ini adalah standar kebijaksanaan kiri bahwa militer adalah bagian integral dari mesin penindas negara borjuis. Militer selalu dan pasti dipengaruhi oleh ideologi borjuis, dan oleh karena itu tidak layak memainkan peran revolusioner dalam masyarakat kapitalis. Tetapi, mungkin ini adalah sebuah penafsiran yang mekanistik. Adalah lebih baik jika kita menghindari generalisasi dan menganalisa militer di setiap negara dalam realitas khusus kita. Jika kita mengambil pendekatan ini, kita lihat bahwa militer Venezuela tidak memainkan peran negatif. Selama lebih dari empat tahun dimana militer menduduki ruang-ruang kunci dalam kancah perpolitikan Venezuela, mereka membela keputusan-keputusan yang dibuat secara demokratik oleh rakyat Venezuela. Mereka juga merupakan aktor dominan dalam mendukung Chavez kembali ke tampuk kekuasaan setelah dikudeta pada April 2002 oleh sekelompok perwira tinggi senior - banyak di antara mereka menemukan dirinya sebagai tentara yang tidak memimpin - tunduk mendahului kepentingan-kepentingan utama dalam percobaan kudeta.(1)

Di samping itu, personil militer juga memimpin proyek-proyek sosial yang penting yang diorgansir oleh pemerintah. Mereka ditempatkan berdasarkan kemampuan kerjanya, keahlian teknisnya, dan pengetahuan organisasi guna melayani sektor-sektor miskin dalam masyarakat. Yang paling penting adalah tanggung jawab mereka dalam menyukseskan Plan Bolivar 2000, sebuah program yang bertujuan meningkatkan standar hidup kelompok miskin, melalui, di antara hal-hal lainnya, membersihkan jalan dan sekolah, meningkatkan kelestarian lingkungan untuk memerangi penyakit endemik, dan memperbaiki infrastruktur sosial baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tujuan dari Plan adalah menemukan solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial seperti pengangguran dan menggabungkan (incorporating) organisasi-organisasi komunitas dalam usaha bersama memecahkan masalah yang ada.

Juga penting dicatat, Plan ini baru digelar pada tahun pertama Chavez berkuasa. Tahun-tahun, ketika ia harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang sangat tidak menguntungkannya(2). Sebagian besar dari para gubernur dan walikota adalah anggota kelompok oposisi, dan pada saat yang sama Kongres Nasional dan Mahkamah Agung juga berseberangan jalan dengannya(3).

Dengan perimbangan kekuatan yang timpang itu, kader-kader politik Chavez memutuskan bahwa tugas pertama dan mendesak adalah dalam lapangan politik yakni, menuntut amandemen konstitusi agar memungkinkannya dalam menerapkan mandat popularnya dan serangkaian dengannya, melakukan pemilihan untuk memperbarui mandat tersebut.

Kemenangan Chavez adalah hasil dari harapan rakyat yang sangat tinggi, dan karena itu secepatnya dibutuhkan tindakan-tindakan untuk segera memenuhi aspirasi-aspirasi rakyat. Satu-satunya aparatus yang memiliki struktur nasional dan layak untuk menjalankan misi presiden Chavez (di samping gereja Katolik) adalah militer.

Angkatan darat Venezuela, khususnya perwira-perwira muda, melaksanakan tugas-tugasnya dalam memmbangun kembali masyarakat dengan sangat antusias. Mereka terlibat langsung dengan problem-problem yang diderita oleh kelompok yang sangat miskin dan secara mendalam terlibat dalam penyelesaian masalam-masalah rakyat miskin. Perwira-perwira militer ini kini merupakan sektor yang sangat radikal dalam proses revolusi Bolivarian.

Gejala peran aktif militer di Venezuela ini, tidak umum terjadi di kawasan Amerika Latin. Hal ini menimbulkan pertanyaan: "mengapa militer Venezuela memberikan dukungan yang kuat terhadap proses transformasi sosial besar-besaran dan juga terlibat aktif dalam penyelesaian masalah-masalah rakyat miskin?" Analisis selanjutnya didasarkan pada wawancara-wawancara terkini dengan sembilan perwira angkatan darat Venezuela. Wawancara dan analisis ini kini telah diterbitkan dalam sebuah buku: "Venezuela: Militares Junto al Pueblo." (4).

Terdapat sejumlah faktor yang membedakan personil militer Venezuela dari rekan-rekannya di kawasan Amerika Latin lainnya. Pertama, militer Venezuela sangat dipengaruhi oleh filosofi Simon Bolivar, figur paling terhormat di Amerika Latin dalam perjuangan pembebasan nasional dari penjajahan Spanyol. Meskipun Bolivar tidak pernah berbicara tentang perjuangan kelas, ia menuntut agar perbudakan segera dihapuskan dan dalam karya-karyanya ia selalu menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan rakyat banyak. Sumbangan terbesarnya, mungkin adalah pemahamannya tentang pentingnya integrasi Amerika Latin. Ia sedari awal telah mengerti bahwa negaranya tidak akan memiliki masa depan kecuali mereka bergabung dalam perjuangan melawan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Setelah dua dekade abad ke-19 ia meramalkan bahwa "atas nama kebebasan, Persatuan Negara-negara Amerika Utara tampaknya telah ditakdirkan melalui pelestarian wabah kemiskinan." Bolivar juga percaya bahwa demokrasi mengandung sebuah sistem politik yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada rakyat. Menurut Bolivar, tak ada militer yang ingin menggunakan senjatanya dengan maksud menentang rakyat.

Kedua, sebelum generasi Hugo Chavez, sebagian besar perwira militer memperoleh latihan tidak hanya dalam sekolah-sekolah Amerika (di Amerika Serikat) yang keji dan brutal tapi, juga dilatih di Akademi Militer Venezuela. Pada 1971, di bawah rencana Andres Bello Plan, akademi militer mengalami perubahan secara radikal, dengan menempatkan statusnya sejajar dengan universitas. Dengan adanya perubahan ini, kader-kader militer diharuskan belajar ilmu politik dan membaca tulisan tentang demokrasi dan tentang realitas Venezuela. Dalam kelas strategi militer, mereka mempelajari Clausewitz, strategi-strategi militer Asia dan strategi militer Mao Zedong. Para mahasiswa ini acapkali melanjutkan pendidikannya ke universitas untuk mengambil spesialisasi dan bertukar pengalaman dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang non militer. Jika beberapa dari mereka belajar ke Amerika Serikat, mereka telah dibentengi dengan gagasan-gagasan progresif.

Ketiga, perwira militer generasi Chavez ini, tidak pernah menghadapi kekuatan gerilya yang besar sebagaimana militer di negara Amerika Latin lainnya. Sebaliknya, ketika dilatih pada 1970an, saat itu militer Venezuela dalam seluruh tindakannya bersifat pasif dan hanya ada sedikit sel-sel gerilya yang aktif. Ketika tentara melakukan patroli di wilayah pertanian di perbatasan, apa yang mereka temukan bukanlah sebuah kekuatan gerilya melainkan kemiskinan. Mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa terdapat kesamaan ideologi di kalangan elite Amerika Latin - bahwa rakyat miskin menjadi semakin miskin karena mereka pemabuk, karena mereka tidak memiliki inisiatif atau tidak mau bekerja, karena mereka bodoh - sebuah kepercayaan yang salah. Para prajurit ini mulai memahami bahwa di balik kemiskinan tersebut berdiri tegak oligarki yang menumpuk kekayaan bangsanya, yang bersama Amerika Serika terus menyebarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pembiakan kemiskinan di seluruh negeri.

Keempat, tidak ada diskriminasi dalam tubuh angkatan darat Venezuela; setiap orang berpeluang merengkuh pangkat tertinggi. Juga tidak seperti di negara lain, di Venezuela tidak ada kasta dalam militer. Sebagian besar dari pejabat-pejabat militer senior adalah anak miskin perkotaan dan dari keluarga petani; dan berdasarkan pengalamannya mereka tahu bahwa rakyat menjalani kehidupan yang sulit setiap harinya. Tentu saja, tidak berarti karena mereka berasal dari keluarga yang sederhana, mereka kebal terhadap kooptasi oligarki melalui sebuah manuver yang canggih, khususnya ketika secara tak terelakkan terjalin hubungan di antara oligarki tersebut dengan pejabat militer yang berpangkat tinggi. Beberapa perwira militer lupa dengan asal-usul sosialnya dan kemudian takluk di bawah kepentingan kelas dominan.

Kelima, faktor yang berdampak pada generasi Chavez ini adalah pergolakan sosial yang terjadi pada 27 Februari 1989. Pergolakan ini bertujuan untuk menolak langkah-langkah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dipaksakan oleh pemerintahan Carlos Andres Perez, yang antara lain, harus mengurangi belanja publik, deregulasi harga, liberalisasi perdagangan, promosi investasi asing, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Penyebab utama pemberontakan rakyat itu adalah meningkatnya biaya transportasi umum yang dipicu oleh tinggi harga bensin. Rakyat dari keluarga miskin turun ke jalan-jalan dan mulai membakar bis, menjarah pusat perbelanjaan, dan menghancurkan toko-toko dan supermarket. Militer pun datang untuk mengembalikan "ketertiban." Pemberontakan yang kemudian dikenal dengan istilah "Caracazo," karena tempatnya berlokasi di pusat ibukota (walaupun pergolakan yang sama juga terjadi di beberapa kota lainnya) berakhir dengan sebuah pembantaian besar-besaran.(5) Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam membentuk kesadaran politik baru di kalangan perwira-perwira yunior.

Keenam, bahkan sebelum Caracazo, kesenjangan kemakmuran yang sangat luar biasa di Venezuela, kesenjangan yang diperkuat oleh perilaku korupsi telah menghalangi negara itu untuk menyelesaikan masalah-masalah sosialnya, meskipun boom minyak sanggup mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Kondisi ini memunculkan dalam tubuh militer sebuah arus perubahan yang bergerak menentang kemapanan (status quo). Pada Desember 1982, arus ini berkembang menjadi sebuah gerakan bawah tanah yang disebut Movimiento Bolivariano Revolucionario 200 dan pertama-tama berkembang dalam internal militer dan akhirnya menjangkau sektor sipil.

Gerakan ini memperoleh inspirasi dari tiga sumber utama: Simon Bolivar, Simon Rodriquez, and Ezequiel Zamora. Kita telah membicarakan tentang sosok Bolivar. Simon Rodriquez adalah guru dan teman Bolivar, seorang pendidik yang baik dan pembaru yang gigih membela keaslian Amerika Latin yang multietnik. Ia berpendapat, dibutuhkan pengintgrasian masyarakat adat dan budak hitam ke dalam masyarakat masa depan benua tersebut. Rodriquez adalah seorang penganjur utama bagi diciptakannya lembaga-lembaga asli untuk disesuaikan dengan dunia kita sendiri, dan ia menolak peniruan solusi-solusi Eropa, dengan meyakinkan bahwa, "Kita harus mencipta atau kita keliru." Sedangkan Ezequiel Zamora adalah seorang jenderal liberal yang berjuang menentang konservatisme selama perang federal pada 1850. Ia juga mendorong perjuangan sampai mati menentang oligarki dan pembagian tanah kepada petani hanya berdasarkan kemurahan hati tuan tanah.

Caracao mempercepat rencana Movimiento muda, dan tiga tahun kemudian, pada 4 Februari 1992, diorganisirlah sebuah pemberontakan militer melawan presiden Perez. Tetapi gerakan ini berakhir dengan kegagalan. Namun demikian, dari gerakan ini lahirlah seorang Hugo Chavez Frias, yang saat itu berpangkat letnan kolonel dan merupakan pemimpin utama Movimiento, sebagai pusat dari seluruh pertunjukan teater nasional bangsanya. Pemimpin yang kharismatik hanya membutuhklan dua menit tayang di televisi untuk mencatatkan personalitasnya ke dalam pikiran rakyat. Dalam ruang yang singkat itu, ia menyampaikan pertanggungjawabannya atas peristiwa tersebut dalam sebuah negara dimana tak ada pemimpin lainnya sebelum dirinya, yang menyerap sikap yang demikian memesona. Ia menyerukan kepada para pemberontak untuk menyerah tapi, ia menekankan dalam bahasa yang masyhur, "Waktunya akan tiba!" Ini adalah pesan yang jelas kepada rakyat bahwa ia tidak menyerah dalam perjuangan. Terima kasih kepada sikapnya ini karena ia telah membangun opini positif di kapangan rakyat sekelilingnya, di sebuah negara dimana skeptisisme politik dan para politisi gadungan bertebaran di masyarakat, termasuk kelas menengah.

Komitmen awal Chavez ini telah meratakan jalan bagi kemenangannya dalam pemilu presiden pada 1998. Dalam pemilu ini, ia diterima baik oleh banyak temannya di militer, yang menjadikan militer Venezuela menjadi unik - karena kini mereka dalam posisi yang diuntungkan dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan baru. Sambil jalan, militer terus memperbaiki kebanggaannya dan mengatasi prasangka negatif yang tertanam akibat peristiwa Caracazo. Dengan dukungan Chavez dan program-programnya, militer diperkenankan untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari di sekolahnya. Dari pengalaman praktek itulah mereka lalu bertransformasi dari pendukung oligarki menjadi pembela sistem demokrasi.

Di banyak negara Amerika Latin, setiap usaha untuk melakukan transformasi sosial yang besar harus berhadapan dengan keberadaan hukum yang sangat kompleks, dimana tujuannya adalah melindungi sistem tersebut dari setiap perubahan yang berdampak pada kepentingan kelas berkuasa. Untuk menghancurkan penghalang ini guna terjadi perubahan di Venezuela, tugas pertama dari pemerintahan yang baru terpilih adalah mengumumkan sebuah proses demokratik untuk mengubah aturan main warisan masa lalu dan terbukti berdampak pada negara baru. Aturan main yang baru itu berupa sekumpulan institusi yang memungkinkan perubahan sosial terjadi. Maka sebuah Dewan Konstitusi pun dibentuk pada 1999 dengan beranggotakan 131 orang. Dewan ini akan bekerja selama enam bulan dan akhirnya mengusulkan sebuah rancangan bagi konstitusi baru, yang kemudian disetujui oleh mayoritas lebih suara (129 suara). Rancangan ini kemudian diusulkan kepada rakyat Venezuela, dimana hasilnya 70 persen menyatakan setuju.

Konstitusi baru ini berpusat pada keadilan sosial, kebebasan, partisipasi politik rakyat, perlindungan terhadap warisan nasional (yang berdampak, oposisi terhadap neoliberalisme), dan memperkukuh kedaulatan nasional Venezuela. Prinsip kesamaan di bawah hukum termasuk masyarakat adat, dimana kini mereka memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan etnisnya, identitas budaya, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, dan tempat-tempat suci, termasuk praktek-praktek pemujuaannya. Mungkin aspek yang terpenting dari pengalaman penyusunan konstitusi ini adalah bahwa inlah "Magna Charta" yang memperkenalkan konsep tentang kedaulatan rakyat.

Seluruh warga negara laki-laki dan perempuan, memiliki hak untuk bebas berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa publik, apakah langsung atau melalui perwakilan mereka yang terpilih, laki-laki atau perempuan. Penerapan partisipasi rakyat dan kontrol terhadap administrasi publik dibutuhkan untuk menjamin secara penuh pembangunan kolektikf dan individu. Negara menjamin dan masyarakat bertugas menyumbang bagi terbukannya jalan untuk kondisi-kondisi yang lebih baik dalam prakteknya.

Selanjutnya konstitusi menyatakan, "pemilih memiliki hak untuk menerima dari perwakilan publik mereka laporan yang transparan secara periodik mengenai apa yang mereka kerjakan, dimana program itu harus ditindaklanjuti kepada publik." Pemilih secara empatik menuntut penghormatan kepada bangsa dan kedaulatannya, lebih jelasnya menolak pangkalan militer asing. Itu juga berarti deklarasi tentang kebutuhan bagi sistem peradilan yang benar-benar netral, penyelenggaraan keadilan tanpa harus diusulkan kepada pemimpin lembaga peradilan atau birokrat. Dalam kasus masyarakat adat, otoritas mereka diakui melalui penerapan hukum-hukum lokal di basis di mana mereka memiliki kepercayaan tradisional yang diwariskan, mengikuti aturan main mereka, agar mereka tidak bertentangan dengan konstitusi. Hakim harus dipilih setelah melalui proses seleksi berdasarkan kepantasan seluruh partisipan. Oleh karenanya hukum harus menjamin partisipasi seluruh warga negara dalam proses pemilihan dan penentuan nama hakim. Eksekutif nasional bertugas memberikan laporan tahunan kepada dewan tentang politik, ekonomi, sosial dan aspek-aspek administratif dalam pekerjaannya. Deputi juga harus melaporkan kembali kepada pemilih mereka dan menjawab pertanyaan mereka, sehingga rakyat memiliki kontrol permanen walaupun pemilu telah berakhir.

Di samping tiga cabang kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), konstitusi juga menciptakan dua cabang lainnya: kekuasaan warganegara dan kekuasaan elektoral. Yang pertama diterapkan melalui Republican Ethics Council, terdiri dari People's defender, Jaksa Penuntut Umum dan general comptroller of the republic. Dewan Nasional harus disetujui oleh anggota. The peopleís defender bertanggung jawab atas promosi, pertahanan, dan kontrol serta jaminan bagi ditegakkannya konstitusi melalui pengakuan warga negara secara kolektif atas kepentingan sebagian. Kekuasaan elektoral ditegakkan melalui Dewan Pemilu Nasional (National Electoral Council), yang bertindak secara arbitrer untuk mengontrol pemilu dan menjamin transparansi pelaksanaannya.

Konstitusi ini merupakan sekutu terbesar revolusi Chavez. Ini karena, sebagaimana yang kita lihat, militer Venezuela menjalankan secara serius tugasnya untuk membela apa yang diputuskan rakyat secara demokratis. Sekali militer berkomitmen untuk membela konstitusi, seterusnya ia akan berkomitmen untuk membela perubahan yang dilakukan Chavez. Dengan demikian, perubahan dan konstitusi baru itu adalah sejajar. Ketika militer garis lama mencoba menggerakkan kudeta melawan Chavez pada 2002, Jenderal Baduel, seorang yang secara tegas mengajurkan militer untuk menghormati aturan main hukum, berhasil menggunakan otoritasnya berdasarkan konstitusi baru untuk menolak perintah yang diberikan oleh komandannya yang memberontak. Konstitusi yang sama juga digunakan oleh perwira yunior dan prajurit ketika mereka mengorganisir perlawanan menentang kudeta dan tekanan komandan mereka dari bawah untuk bergabung dalam barisan kudeta.

Kita bisa mencatat dua point terakhir untuk usaha kita menjelaskan keunikan militer Venezuela. Program ekonomi Chavez adalah sebuah program yang berwatak nasionalistik. Program ini jelas berlawanan dengan kebijakan neoliberal, globalisasi yang berorientasi asing. Ia sebaliknya bertujuan memajukan investasi nasional dan pembangunan lokal. Program ini juga bertentangan dengan privatisasi di sektor minyak, dan mencoba memberikan prioritas bagi penyelesaian-penyelesaian yang diderita oleh bagian termiskin dari masyarakat. Lebih dari itu, keseluruhan program ini sangat cocok dengan pekerjaan militer yakni, pembela kedaulatan dan kemakmuran nasional. Inilah yang membuat kita mudah untuk memahami mengapa aksi-aksi menentang Chavez - pemogokan oleh pekerja lapisan menengah dan sabotase produksi minyak - berhasil digagalkan secara masif oleh angkatan darat. Seterusnya momen tersebut digunakan militer untuk mengonsolidasikan dukungannya kepada program-program Chavez.

Akhirnya, yang tak kalah pentingnya adalah kharisma personal Chavez sendiri yang sulit diperkirakan. Chavez merupakan inspirasi terbesar yang mendatangkan kekaguman dan rasa cinta di kalangan prajurit-prajurit angkatan darat. Dirinya, baiknya secara legal dan emosional adalah komandan tertinggi mereka. Selama kudeta April 2002, tepatnya pada jabatan dan ingatan tentara - dimana ia bertemu dengan para pengunjungnya dari penjara ke penjara, dari Tiuna ke kepulauan Orchila, tempat terakhir ia dipenjara - ia berhasil memperlihatkan daya juangnya yang mengagumkan.

Bersama dengan rakyat dan kerapkali atas dorongan mereka, militer Venezuela merupakan sedikit dari militer di Amerika Latin, yang mampu bertindak secara matang. Dan dalam proses ini, mereka merasa sederajat dalam menghadapi tantangan luar biasa yang dihadapi oleh kaum revolusioner Bolivarian.***

La Havana, 1 April 2003

Catatan kaki:
(1) Tak banyak yang tahu bahwa hanya perwira-perwira senior yang memiliki posisi riil seperti komandan staf umum angkatan darat Ramirez PÈrez dan komandan umum angkatan darat Vasquez Velasco, yang terlibat dalam kudeta ini. Beberapa jenderal menolak mendukung kudeta, jumlah mereka sekitar 200 hingga 8.000 perwira (jenderal, admiral, kolonel, letnan kolonel, dan perwira rendah). 80 persen perwira komando berpartisipasi dalam Plan untuk menyelamatkan Chavez.
(2) Plan ini diumumkan secara terbuka pada 27 Februari 1999, sepuluh tahun setelah Caracazo.
(3) Pemilihan gubernur dan walikota dilaksanakan setahun sebelum pemilihan presiden.
(4) Marta Harnecker, "Militares Junto al Pueblo," Vadell hnos.,Caracas, 2003. Liha versi Inggrisnya dalam www.rebelion.org/harnecker.htm.
(5) Jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui. Sejumlah pejabat pemerintahan mengakui bahwa sekitar 372 orang mati terbunuh tapi, organisasi hak asasi manusia mencatat lebih banyak lagi yakni, 5.000.

*Marta Harnecker adalah Direktur of the centro de Investigaciones Memoria Popular Lationamericana (MEPLA) di Havana, Cuba, sebuah organisasi yang melakukan penelitian tentang sejarah gerakan rakyat di Amerika Latin. Ia juga adalah penulis sejumlah buku dan artikel tentang gerakan kiri di Amerika Latin, termasuk "Understanding the Venezuelan Revolution: Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker," yang diterbitkan oleh Monthly Review Press.


Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Marta Harnecker dengan judul asli, "The Venezuelan Military: The Making of an Anomaly," oleh Coen Husain Pontoh. Sebelumnya dimuat dalam jurnal Monthly Review, September 2003 dalam http://www.venezuelanalysis.com/articles.php?artno=1040



Baca selengkapnya!

30.8.06

Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara

Vedi R Hadiz

Abstract: The article concerns the tradition of political unionism in Southeast Asia, with reference to the experiences of Indonesia, Malaysia, Thailand and the Philippines. It argues that political unionism was once an important feature of the political landscape of these societies. It also argues that a conjuncture of factors has resulted in the near death of political unionism and that this has been detrimental to the overall strength of organised labour in the region. Specifically, the article discusses the impact of the political defeat of the Left, some of the affects of the timing of industrialisation in these societies, and that of contemporary globalisation. The position of organised labour in the region today is primarily examined in relation to the Asian economic crisis of 1997/1998.

Kata-kata Kunci: Buruh terorganisasi Asia Tenggara, kekuatan buruh, pengorganisasian buruh, tradisi keserikatburuhan politik, industrialisasi, kekalahan politik kelompok Kiri, globalisasi, krisis ekonomi Asia 1997/98.


Tulisan ini mengangkat tema buruh yang terorganisasi di empat negeri Asia Tenggara – Inonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina – dalam konteks globalisasi dan dalam situasi konflik sosial di masing-masing negeri. Bersama dengan negeri-kecil Singapura, negeri-negeri ini mewakili Asia Tenggara pertama yang mengikuti jalan industrialisasi kapitalisme pada puncak Perang Dingin, dan yang secara tidak malu-malu menyekutukan dirinya dengan kepentingan AS dan Barat secara umum. Tulisan ini menyajikan latar belakang sejarah mengenai gerakan buruh di masing-masing negeri dalam menghadapi kancah perjuangan politik, khususnya pada saat atau beberapa saat sebelum periode industrialisasi yang pesat, termasuk dalam konteks zaman kampanye anti-komunis selama Perang Dingin. Selain itu, tulisan ini juga mendiskusikan tanggapan-tanggapan mutakhir atas tekanan-tekanan terhadap buruh dan gerakan buruh skala nasional yang diakibatkan krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998.

Inti tulisan ini terutama ingin menentukan posisi buruh Asia Tenggara dalam hubungannya dengan konfigurasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Argumen yang dikembangkan ialah bahwa hasil dari perjuangan politik masa lalu yang melibatkan kekuatan buruh dan anti-buruh, serta beberapa aspek globalisasi, menyatu untuk menjaga agar buruh di negeri-negeri kawasan Asia Tenggara relatif tetap tak berdaya. Krisis ekonomi semakin memperlemah posisi tawar buruh terorganisasi di kawasan ini. Dengan kata lain, masih ada hambatan ekonomi dan politik bagi perkembangan gerakan buruh yang kuat dan efektif di masyarakat Asia Tenggara, meski sebagai wilayah industrialisasi kapitalis kawasan ini telah maju dalam beberapa dasawarsa dan menciptakan kondisi bagi perkembangan organisasi kelas buruh yang lebih substansial.

Buruh dan Kekuasaan

Dalam satu artikel menarik tentang kepentingan modal dan buruh ‘yang tergantung keadaan’ untuk mendukung demokrasi, Bellin (2000) mengamati bahwa dalam konteks apapun yang menentukan jalan perubahan politik ialah hasil perjuangan konkrit antara kekuatan sosial yang saling bersaing. Bellin lalu menyebutkan bahwa alur sejarah yang spesifik tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang lebih luas. Posisi Bellin ini melengkapi apa yang telah dijelaskan Rodan, dkk (2001: 15) dalam ‘laporan konflik sosial’ perkembangan Asia Tenggara yang menganggap bahwa pengambilan keputusan tidak hanya merupakan hasil memilih ‘secara rasional’ keputusan-keputusan yang ‘tepat’ dalam suatu cara yang teknokratis dan bebas nilai, tetapi lebih mendasar lagi juga sebagai hasil dari pertarungan antara kepentingan yang bersaing atau hasil dari koalisi kepentingan. Setiap kebijakan secara esensial merupakan indikasi dari bentuk tertentu pembagian kekuasaan. Maksudnya, untuk memahami bahwa kondisi sosial, ekonomi dan politik yang umumnya buruk di mana buruh terorganisasi menjalankan aktivitasnya di Asia Tenggara, tak lain merupakan akibat dari pertarungan kepentingan dalam pembagian kekuasaan semacam ini. Kompetisi tersebut terjadi pada masa-masa sulit, penuh kekerasan dengan kerap kali diiringi konflik berdarah yang sengaja dipelihara, dan pada akhirnya menciptakan rezim politik yang cenderung membatasi pengaruh buruh sebagai satu kekuatan sosial.

Dengan dasar pendekatan seperti di atas kita dapat memahami mengapa buruh terorganisasi di Asia Tenggara relatif tetap lemah meskipun terjadi satu proses industrialisasi yang pesat dalam beberapa dasawarsa lalu, yang sebetulnya menyediakan banyak kondisi potensial bagi tumbuhnya kelas buruh dan organisasi-organisasinya. Pada periode industrialisasi yang pesat ini lapangan kerja di sektor industri digencarkan sebagai kebijakan oleh semua negara. Dalam tingkat yang berbeda-beda, industrialisasi telah mentransformasi lingkungan sosial buruh, kehidupan mereka, kondisi kerja mereka, juga mentransformasi aspirasi sebagian besar masyarakat Asia Tenggara; karena proses industrialisasinya yang tidak begitu pesat, Filipina terkena pengaruh yang paling sedikit. Banyak dari masyarakat ini sebetulnya telah mapan hidup di wilayah pertanian yang berkesinambungan, tetapi terdorong menuju realitas hidup yang suram dan rutin di pabrik-pabrik, kawasan berikat (zona khusus perdagangan bebas/kawasan khusus pemrosesan barang-barang ekspor—penerjemah), dan kawasan-kawasan kumuh kota yang amat luas terhampar di Asia Tenggara. Transformasi demikian dalam basis material dan kultural masyarakat barangkali diharapkan memicu perkembangan gerakan buruh yang lebih efektif, sebagaimana pengalaman sejarah di Eropa dan di wilayah lainnya.

Tetapi secara historis ketiadaan rezim yang secara tegas lebih pro-buruh di Asia Tenggara yang tengah mengalami industrialisasi ini, hingga pada saat dan setelah krisis ekonomi 1997/98, merupakan cerminan dari ketidakmampuan buruh mempertarungkan kekuatan secara efektif. Pada saat yang sama hal ini juga menunjukkan dominasi koalisi kekuatan dan kepentingan sosial di Asia Tenggara yang anti-buruh.

Bentuk sejarah perjuangan politik di Asia Tenggara, yang dibahas secara rinci oleh Mark Berger (2004: 30-49), menghasilkan naiknya koalisi anti-komunis yang secara umum juga anti-buruh – faktor penting yang menentukan langkah pasti perkembangan Asia Tenggara. Koalisi seperti itu biasanya akan memasukkan kepentingan modal lokal dan internasional, sekelompok masyarakat-menengah kota yang bergaji dan sederet birokrat-politik, dan terkadang juga militer. Bukan suatu kebetulan bahwa dalam banyak kasus koalisi-koalisi ini memiliki kaitan dan berasal dari koalisi pada periode akhir penjajahan yang melihat bangkitnya gerakan kelompok pejuang kemerdekaan yang kerap saling berhubungan dengan ragam upaya kelompok sosialis, dan karenanya merupakan ancaman bagi kelompok kaya dan pemilik tanah. Satu contoh bagus untuk hal ini ialah kasus Malaysia di mana penghancuran oleh Inggris terhadap gerakan buruh Malaysia terutama dengan cara mengasosiasikan gerakan buruh negeri itu sebagai kekuatan komunis dan kekuatan sayap Kiri, yang karenanya menanamkan stigma permanen bagi perjuangan buruh. Di lain pihak, penting dicatat di sini ialah bahwa asal mula “keserikatburuhan politik” di Asia Tenggara lebih berakar pada masa perjuangan anti-penjajahan yang biasanya menggabungkan isu perburuhan dengan agenda sosial dan politik yang lebih luas ketimbang pada keserikatburuhan dengan bentuk pluralis-liberal yang saat ini didukung oleh organisasi-organisasi buruh internasional arus utama. Model keserikatburuhan pluralis-liberal cenderung membatasi perjuangan buruh hanya pada tingkat kesejahteraan ekonomi. Menurut logika model ini, pengabaian tujuan-tujuan sosial dan politik yang lebih luas adalah indikator bagi sebuah langkah menuju ‘modernitas’ (lihat Hutchison dan Brown, 2001: 5-6).

Penting dicatat di sini bahwa tidak dilibatkannya buruh dalam pertarungan yang lebih luas mencapai kekuasaan yang terjadi di Asia Tenggara tidak berkaitan langsung dengan upaya masing-masing negara melakukan pencarian strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor berdasarkan industri manufaktur berupah murah sejak 1970-an atau 1980-an. Tentu merupakan penyederhanaan ketika kita menghubungkan secara langsung antara munculnya rezim politik yang anti-buruh dan dimulainya industrialisasi yang berorientasi ekspor (IOE) di kawasan ini (lihat Hagaard: 1989; Kuruvilla, 1995) – dengan misalnya mencatat seberapa sering tekanan terhadap buruh terkait dengan kepentingan mengembangkan sektor manufaktur-ringan yang kompetitif. Sebetulnya, bagi keempat negeri ini tidak dilibatkannya buruh secara politik jelas merupakan warisan perjuangan politik sebelum dimulainya strategi industrialisasi berorientasi ekspor. Tidak dilibatkannya buruh dalam politik telah menandai periode pertama industrialisasi yang berlanjut, dalam kerangka industrilisasi subtitusi impor (ISI), yang sebaliknya di beberapa negeri Amerika Latin justru menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan gerakan buruh yang lebih berpengaruh (lihat Deyo, 1989).

Faktor kedua yang semakin penting ialah globalisasi. Meski konsep gobalisasi dan juga cakupan serta keunikan fenomenanya masih sengit diperdebatkan (lihat misalnya Hirst dan Thompson, 1996; Petrella, 1996; Higgott, 1999), tidaklah sulit untuk melihat kenyataan bahwa gerak modal yang secara dramatis meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir yang berhadapan dengan negara yang tak bergerak dan tenaga kerja nasional yang umumnya statis, telah menjadikan modal memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik. Perubahan tersebut lebih lanjut telah memperkuat modal yang secara internasional bergerak menuntut iklim investasi yang kondusif, termasuk dengan menekan negara agar membatasi arena yang tersedia bagi buruh terorganisasi. Namun demikian, dampak globalisasi ini mesti dipahami sebagai pertentangan atau kontradiksi. Misalnya, globalisasi telah membantu ‘menyebarkan’ relasi produksi kapitalis dan karenanya basis material di mana perkembangan kegiatan organisasional buruh-berupah yang baru memungkinkan untuk berkembang.

Tetapi pada masyarakat industri awal dampak dari lebih mengglobalnya ekonomi dunia telah dengan kuat menekan negara kesejahteraan dan berwujud dalam bentuk tantangan yang nyata yang ditujukan untuk melawan gagasan penting soal nilai serikat buruh. Pernah pula ada diskusi serius mengenai penghapusan serikat buruh di masyarakat yang disebut sebagai masyarakat ‘pascaindustri’. Karenanya, kemenangan-kemenangan yang pernah diraih buruh terorganisasi pada perjuangan terdahulu sangat rawan untuk dinafikan (lihat Kapstein, 1996; Moody, 1997). Pada masyarakat Asia Tenggara yang mengalami industrialisasi saat ini, posisi buruh terorganisasi, yang telah dilemahkan oleh kemenangan absolut koalisi kekuatan dan kepentingan anti-buruh hanya sesaat atau pada saat dimulainya industrialisasi yang pesat, kini terancam diperparah oleh proses globalisasi yang, misalnya, saat ini telah menawarkan suatu sistem produksi yang lentur (fleksibel).

Dengan kata lain, globalisasi telah turut mementahkan apa yang barangkali disebut sebagai kompromi penting antara modal dan buruh pada masyarakat kapitalis lanjut, yakni konsep negara kesejahteraan. Di negeri-negeri industri baru saat ini, globalisasi secara kompleks terkait dengan munculnya angkatan kerja-berupah baru. Namun, kini gerakan buruh yang saat ini umumnya lebih lemah harus menghadapi tantangan ganda: menghadapi pemerintah yang terkadang represif yang berpijak pada kebijakan liberalisasi dan privatisasi, sementara itu perusahaan-perusahaan multinasional menelikung melalui strategi sumber daya manusia yang menekankan aktualisasi, normalisasi dan kelenturan (Deyo, 2001), bahkan di negeri dengan kondisi perekonomian yang berkelebihan (surplus) buruh.

Tetapi tentu tidak semua buruh berada dalam kerentanan demikian. Buruh yang bekerja di industri dengan modal yang bergerak secara global adalah mereka yang terutama sangat rawan (Winters, 1996: 195). Industri seperti ini – garmen, alas kaki, tekstil dan semacamnya – amat penting bagi industrialisasi pesat di keempat negeri ini, meskipun wacana tentang transisi menuju ‘ekonomi berbasis pengetahuan’ mulai masuk di beberapa tempat di kawasan ini. Untuk itu, keempat negeri yang akan dipaparkan di bawah ini menyajikan studi kasus yang sangat bagus yang menggambarkan karakter kontradiktif industrialisasi kapitalis dalam kaitan dengan munculnya gerakan buruh nasional yang efektif. Negeri-negeri tersebut memperlihatkan bagaimana industrialisasi yang pesat yang biasanya melahirkan lingkungan sosial yang kondusif bagi pengembangan organisasi buruh, tetapi konstelasi kekuatan ekonomi dan politik, warisan sejarah, dan tekanan globalisasi, telah memastikan bahwa kebanyakan gerakan buruh tetap terhambat untuk berperan sebagai sebuah kekuatan sosial yang efektif.

Indonesia

Organisasi-organisasi buruh Indonesia – terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan – memerankan bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh kekerasan (Tedjasukmana, I958; Ingleson, 1986; Shiraishi, 1990). Dibentuk pertama kali pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh ini mendahului partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Seperti juga dilakukan penjajah Malaya, otoritas Hindia Belanda banyak memberangus tumbuhnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kasus ini, setelah dibungkam oleh pemerintahan penjajah Belanda sebagai dampak dari pemberontakan yang gagal yang didorong oleh PKI pada 1926, buruh terorganisasi kembali muncul dalam perjuangan kemerdekaan bersenjata yang tak lama disusul dengan berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang didukung PKI adalah organisasi buruh yang paling aktif dan kuat di antara banyaknya organisasi buruh yang memiliki kaitan dengan partai politik. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950-an. Namun, keadaan darurat militer dan kendali manajerial pada perusahaan-perusahaan tersebut menempatkan tentara pada posisi yang kemudian malah berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok militan gerakan buruh yang biasanya dipimpin oleh kelompok komunis (Hawkins, 1963).

Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menangah kota, juga kepentingan kaum pemilik tanah kota dan desa setelah tahun 1965 mengakibatkan lenyapnya tradisi politik keserikatburuhan, dan warisan ini terus menghambat buruh terorganisasi di Indonesia. Sejak 1970-an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh dihambat oleh sistem korporatis yang sangat otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah, dan yang secara maya (virtual) melarang aksi industrial atas nama kesatuan dan persatuan nasional (lihat Hadiz, 1997). Aspek kunci dari strategi ini ialah penyebaran kebijakan satu federasi serikat buruh sah bikinan pemerintah yang sangat terkontrol, dan juga penyebaran sistem hubungan industrial yang berpola menghindari konflik sebagai satu hal yang prinsipil – karena dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia.

Indonesia adalah bangsa Asia Tenggara yang paling parah tertimpa Krisis Asia dan juga negeri yang buruh terorganisasinya paling keras dibungkam. Terutama, hanya krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian memunculkan satu krisis politik yang mendasar. Seluruh bangunan sistem rezim yang telah lama mapan akhirnya melonggar ketika krisis tak kunjung teratasi yang itu berarti terbukanya kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh.

Tetapi kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kapasitas buruh untuk mempengaruhi kebijakan negara tergantung pada posisinya dalam konstelasi kekuatan sosial yang lebih luas. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya sang diktator Soeharto pada Mei 1998 membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian hambatan hukum yang telah lama ada. Namun, ketika elite lama dan elite baru kembali terbentuk dalam satu format politik demokratis, buruh terorganisasi umumnya tetap saja tidak terlibat meskipun terdapat banyak sarana-sarana pengorganisasian yang baru. Dari kekuatan-kekuatan utama yang bertarung membentuk kembali kekuasaan pasca-Orde Baru, tak satupun yang memiliki dukungan konstituensi dari buruh; satu kenyataan yang banyak diakibatkan oleh disorganisasi sistematik dan marjinalisasi buruh di bawah Soeharto (Hadiz, 2001).

Harus juga diingat bahwa krisis ekonomi Indonesia yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998 (Far Eastern Economic Review, 4 Maret 1999: 44), juga berdampak meningkatkan angka pengangguran dalam jumlah besar. Dalam kondisi perekonomian dengan tingkat pengangguran yang sangat kronis, tentu hal ini semakin memperlemah posisi tawar organisasi buruh. Stagnasi ekonomi Indonesia merobohkan ratusan perusahaan, termasuk di sektor manufaktur berorientasi ekspor yang sangat penting bagi pertumbuhan Indonesia pasca-bom minyak dan sebelum krisis (kira-kira sejak awal tahun 1980-an hingga tahun 1997). Para buruh perkotaan yang jumlahnya tak terhitung pun tidak memiliki pilihan selain pulang ke kampung-kampung halaman mereka di pedesaan (Manning, 2000), mencari perlindungan dari bencana krisis – tentu saja termasuk beberapa aktivis dan organiser buruh akar rumput yang berpengalaman.

Selain itu, ketika sejumlah serikat buruh baru bermunculan, saat ini tak ada organisasi buruh tingkat nasional yang atas nama buruh dapat bernegosiasi dengan kepentingan lain yang kebanyakan terbentuk dalam aliansi-aliansi yang rakus di partai-partai politik baru. Bekas organisasi buruh yang ‘resmi’ di tingkat pusat, FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), mulai tercerai-berai nyaris secepat ketika Soeharto jatuh, akan tetapi praktis tidak ada satu pun kemungkinan untuk menggantikan organisasi itu.

Adalah kelemahan organisasional buruh secara mendasar yang sudah ada sejak sebelum krisis ekonomi dan kejatuhan Soeharto yang menghambat buruh untuk dapat menggunakan sepenuhnya momen keterbukaan yang diciptakan peristiwa Mei 1998. Gambaran tentang terus melemahnya pengaruh buruh terlihat saat undang-undang perburuhan yang baru tentang serikat buruh akhirnya disahkan pada pertengahan tahun 2000. Walau terdapat protes dari mayoritas organisasi buruh, tetapi masih memungkinkan bagi pemerintah memecah-belah serikat buruh yang baginya berbahaya bagi ‘kepentingan nasional’ (Jakarta Post, 11 Juli 2000). Ketika organisasi buruh mampu menuntut kenaikan upah minimum – yang terus meningkatkan angka pengangguran dan protes para pengusaha – kenaikan harga yang kian melonjak dan berkurangnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang secara terus-menerus akhirnya melenyapkan nilai riil kenaikan upah tersebut. Suatu ujian atas kekuatan serikat buruh terjadi pada 2002, dengan terus dilontarkannya gagasan kontroversial tentang undang-undang hubungan industrial yang baru yang ketika itu para aktivis buruh memilih bersikap brutal terhadap pelbagai hambatan, di antaranya mengenai implementasi hak mereka melakukan aksi.

Barangkali tidak ada gambaran mengenai lemahnya posisi buruh terorganisasi Indonesia yang lebih jelas daripada ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, juga dari sekelompok pengusaha lokal, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia (lihat misalnya Jakarta Post, 26 Agustus 2002). Para investor ini menganggap kenaikan upah dan masalah-masalah yang ditimbulkan buruh belakangan membuat iklim investasi Indonesia kurang kondusif dibanding negeri pesaing seperti Cina, Vietnam atau Myanmar. Pejabat pemerintah menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh dan mengontrol serikat buruh, sementara mereka jarang sekali membenahi sumber-sumber lain yang mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, termasuk prosedur dan biaya birokrasi yang tidak sedikit. Sudah sangat sering dilaporkan di media nasional bahwa hal ini akan menyediakan banyak senjata bagi kepentingan-kepentingan yang hendak mencegah munculnya gerakan buruh Indonesia yang lebih efektif.

Malaysia

Gerakan buruh pada masa penjajahan Malaya berfokus terutama pada kaum imigran Cina dan India yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan Inggris akan buruh untuk dipekerjakan di perkebunan yang tengah tumbuh dan industri pertambangan di abad ke-19. Perkembangan ini terkait dengan kemunculan suatu pola pembagian kerja kolonial di mana kaum pribumi Melayu, yang umumnya telah hidup mapan di wilayah pertanian, tidak ikut beralih ke sektor ekonomi modern. Seperti disebutkan Hirschman dalam artikelnya yang berpengaruh, bahwa sangat masuk akal dalam pandangan para petani ini untuk tidak beralih dari basis pertanian ke lapangan kerja di sektor modern era kolonial yang tengah tumbuh, yang umumnya memiliki kondisi kerja amat buruk (Hirschman, 1986).

Komposisi kelas buruh Malaysia berubah hanya dengan adanya industrialisasi pesat pada kurun tahun 1970-an dan 1980-an saat perempuan-perempuan muda Melayu dalam jumlah yang sangat besar terserap dalam angkatan kerja-berupah (Wee Siu Hui, tt.).

Gerakan buruh di Malaya tentu kemudian memiliki ciri dasar etnik dan kelas. Perkembangan di luar Malaya, terutama di Cina, juga mempengaruhi gerakan buruh awal negeri ini. Kemunculan nasionalisme Cina pada pergantian abad (terutama setelah kejatuhan dinasti Qing) meningkatkan sentimen kebangsaan di antara kelompok migran Cina di Malaya (dan juga di Hindia Belanda), sementara itu kekuatan Partai Komunis Cina yang tengah tumbuh dan akhirnya menang memiliki sumber penting dalam pengaruh ideologi. Karenanya pada masa penjajahan Malaya kelompok nasionalis Cina dan Partai Komunis Malaya (MCP) mampu memobilisasi buruh, terutama yang berada di sektor perkebunan, untuk masuk ke dalam satu sumber penting perlawanan terhadap pemerintahan penjajah (Jomo dan Todd, 1994; mengenai sejarah MCP, lihat Yong, 1997). Pada awal periode pascaperang kekuatan serikat buruh yang disokong kelompok komunis cukup kuat untuk memukul balik pemerintahan penjajah yang hendak mengebiri pertumbuhan serikat buruh lebih lanjut dan akhirnya mengikisnya habis (Arudsothy dan Littler, 1993: 112). Organisasi buruh anti-komunis yang didukung pemerintah, Dewan Serikat Buruh Malaya (MTUC—Malayan Trade Union Council), didirikan dengan dukungan Inggris pada awal babak ancaman bahaya laten komunis pada 1948 hingga 1960 dalam rangka mengurangi dukungan bagi kelompok Kiri. Dengan merefleksikan kecenderungan yang sama, buruh perkebunan etnis India juga diarahkan untuk mendukung satu serikat buruh yang moderat di sektor perkebunan, yaitu National Union of Plantation Workers (Serikat Buruh Perkebunan Nasional) (Ramachandran, 1994: bab 7). Dengan kekalahan kelompok komunis dan arus radikal gerakan buruh, negara Malaysia pascapenjajahan pun akhirnya terbebas dari tekanan yang berarti dari kelas buruh.

Meski undang-undang perburuhan dibuat pada awal 1940-an yang sebagian merupakan respon atas tumbuhnya kelompok Kiri, namun undang-undang tersebut menjadi sekadar sebuah ‘komitmen’ pada ide ‘keserikatburuhan yang dikontrol negara’ (Jomo dan Todd, 1994: 65-6). Ada sedikit perubahan di awal periode pascapenjajahan pada 1967, undang-undang perburuhan baru dikeluarkan yang melarang serikat buruh melakukan negosiasi kesepakatan kerja bersama (KKB) dan aksi atas hal-hal yang berkaitan dengan promosi jabatan, pengetatan, pemecatan (PHK—pemutusan hubungan kerja) atau pembagian kewajiban. Di bawah ketetapan ini, serikat buruh bahkan tak memiliki hak untuk melakukan aksi jika perselisihan dilakukan di pengadilan industrial (Rasiah, 2001: 92).

Kasus Malaysia juga menarik karena memperlihatkan sederet strategi yang dibuat untuk memelihara penjinakan politik buruh. Hal ini mencakup adopsi konsep serikat buruh lokal tingkat pabrik (SBTP) dengan menekankan kekeluargaan gaya Jepang sebagai alat untuk menghambat perkembangan solidaritas kelas buruh tingkat nasional dan serikat buruh yang lebih kuat (lihat misalnya, Jomo dan Todd, 1994: 170). Tetapi tidak seperti di Jepang, keserikatburuhan lokal ini tidak menghasilkan hubungan kerja yang kolaboratif pada tingkat pabrik dan kelenturan dalam hubungan antara manajemen dan buruh. Karenanya Rasiah menyimpulkan bahwa tak ada demokratisasi pada undang-undang perburuhan di Malaysia, sementara itu negara ‘tetap memelihara kontrol represif atas buruh agar upah mereka tetap rendah dan membatasi masalah-masalah dalam hal produksi sehingga tetap dapat mempertahankan daya saing’ (Rasiah, 2001: 95). Model keserikatburuhan lokal tingkat pabrik ini juga muncul dalam kasus negeri Asia Tenggara lainnya, namun barangkali model tersebut paling berhasil dijalankan di Malaysia dan paling gagal diterapkan di Indonesia.

Perkembangan penting lainnya di Malaysia ialah lahirnya perundang-undangan yang menawarkan status ‘pelopor’ bagi perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor. Hal ini antara lain berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut diberi pilihan untuk menolak kehadiran serikat buruh, khususnya di zona-zona bebas ekspor.

MTUC (Malaysian Trade Union Congress—Kongres Serikat Buruh Malaysia) sendiri – sebagai organisasi buruh tertinggi di Malaysia – berada pada posisi mendua terhadap negara. MTUC tak pernah tumbuh menjadi sekadar alat kendali terhadap kelas buruh seperti dilakukan FSPSI di Indonesia,, tetapi ia jelas menolak menjadi satu sumber penting bagi perlawanan politik melawan pemerintah. Meskipun politisi-politisi oposisi lahir dari MTUC, hubungan organisasi ini dengan pemerintah kini kian dekat. Kedekatan ini paling tampak saat presiden MTUC bergabung dengan partai yang tengah memerintah, UMNO (United Malay National Organization) pada tahun 1998 dan menjadi salah seorang anggota parlemen (Rasiah, 2001: 94). Presiden ini, Zainal Rampak, belakangan mendukung revisi kebijakan yang kontroversial tentang penggunaan dana pensiun oleh pemerintah, meski tanpa kesepakatan banyak masyarakat dan buruh akar rumput (New Straits Times, 15 September 2000).

Efek dari sejarah panjang penjinakan politik buruh dengan sangat bagus ditunjukan dengan kurangnya pengaruh buruh terorganisasi pada kebijakan negara terkait dengan krisis ekonomi di Asia saat ini. Memang benar bahwa saat ekonomi Malaysia terpuruk secara signifikan pada 1998 dan angka pengangguran meningkat bersama dengan meningkatnya PHK – terutama di sektor manufaktur, konstruksi dan keuangan – krisis di negeri ini tidak seburuk Indonesia atau Thailand (Chandran, 1998). Penting dicatat di sini bahwa sektor angkatan kerja yang paling tak dilindungi, yakni buruh migran (berasal dari Indonesia, Bangladesh dan lainnya), adalah yang paling buruk tertimpa dampak krisis. Gerakan buruh di Malaysia tidak banyak melindungi para buruh ini. Fakta tersebut menunjukkan bahwa rendahnya solidaritas internasional tidak hanya merupakan fenomena Utara-Selatan tetapi juga fenomena Selatan-Selatan. Tentu peran gerakan buruh Malaysia akhirnya hanya bisa mendukung kebijakan represif pemerintah terhadap ratusan ribu (kebanyakan dari Indonesia) buruh imigran gelap yang telah lama menjadi basis penopang industri seperti konstruksi.

Pada puncak krisis ekonomi, MTUC mendesak pemerintah mengambil langkah mengurangi inflasi, menambah lapangan kerja dan membuat skema jaring pengaman sosial yang baru. Organisasi ini juga mendesak pemerintah untuk tidak menurunkan upah dengan meratifikasi dan melaksanakan standar perburuhan yang diakui secara internasional dan memberikan kebebasan berserikat yang lebih besar bagi serikat buruh untuk bernegosiasi dan hak melakukan aksi (Chandran, 1998). Namun demikian buruh bukanlah kekuatan sosial yang harus segera direspon oleh pemerintahan Mahathir, dan ‘saran-saran’ ini pun dengan gampang diabaikan. Penting untuk dicatat bahwa meski gerakan oposisi berpusat pada mantan calon penggantinya yang muncul pada 1998-2000, Anwar Ibrahim, tetapi ia pun tak banyak memiliki kaitan dengan gerakan buruh.

Thailand

Sebelum peristiwa kudeta pada 1932 yang melahirkan sistem monarki konstitusional, industrialisasi di Thailand berjalan tidak begitu pesat. Namun demikian, para buruh upahan mulai hadir dalam lanskap sosial dengan tumbuhnya perusahaan pengolahan kayu dan padi abad ke-19, juga perkebunan, pembangunan rel kereta, jalan raya dan pelabuhan-pelabuhan, serta beberapa perusahaan tekstil skala kecil (Brown dan Frenkel, 1993: 83-4). Meski Partai Komunis Thailand berbasis di desa-desa, pengaruh komunisme masuk melalui gerakan buruh yang tengah tumbuh dan setelah Perang Dunia II kelompok komunis ini mampu membangun satu serikat tingkat nasional, Central Labour Union (Serikat Buruh Pusat). Namun, sebagaimana terjadi di Malaya era kolonial, Thailand yang bersistem kerajaan dan tak pernah terjajah itu juga menganggap keumunculan komunisme sebagai ‘asing’ dan bukan khas Thai, terlebih karena dominannya etnis Cina di tubuh Partai Komunis Thailand (TCP) yang akhirnya tumbang pada 1980-an setelah periode perjuangan panjang di pedesaan. Namun demikian, gerakan buruh yang dimotori kelompok komunis juga melibatkan masyarakat Thai bukan keturunan Cina, sekurang-kurangnya sejak 1940-an (Tejapira, 2001:57).

Di Thailand, terdapat sebuah gerakan buruh yang relatif independen yang konstituensinya tumbuh bersamaan dengan kemajuan industri walau terdapat dominasi militer dalam politik, terutama adanya asumsi bahwa kekuasaan diktator oleh rezim Sarit yang sangat anti-Kiri pada 1958 berarti merupakan periode panjang penindasan serikat buruh. Bahkan sebelum Sarit muncul dalam kekuasaan, undang-undang anti-komunis disahkan pada 1952 yang menghancurkan kegiatan serikat buruh yang sah (Tejapira, 2001:94).

Bagi Brown (2001), tahun 1970-an merupakan momen yang menentukan bagi gerakan buruh di Thailand. Menurutnya periode awal industrilisasi subtitusi impor (ISI) berdampak pada perluasan industri dan meningkatnya kaum proletariat perkotaan yang mengekspresikan kemunculannya melalui beragam bentuk pengorganisasian dan aksi kolektif yang kuat. Ini merupakan satu tipe politik keserikatburuhan yang menggabungkan perjuangan buruh dengan isu yang lebih luas tentang hak-hak sosial dan politik. Dalam konteks hubungan industrial, dampak dari semua itu ialah satu perubahan: dari kendali langsung oleh negara dan represi menjadi ‘konsultasi dan mediasi’ dalam lembaga tripartit, di mana negara, modal dan buruh bekerja sama. Ketika akhirnya militansi buruh mulai menurun, jumlah organisasi buruh justru bertambah banyak (Brown, 2001: 128).

Dalam perkembangan ini Brown melihat munculnya strategi baru pengendalian buruh yang didasarkan pada upaya mencerai-beraikan kekuatan buruh terorganisasi. Dampaknya ialah disorganisasi buruh dan perusakan kemampuan serikat untuk mewakili kepentingan buruh. Di Thailand pada 1990-an terdapat 18 federasi serikat buruh dan 8 serikat buruh tingkat nasional yang karenanya memungkinkan masuknya satu strategi menghambat pengaruh buruh dengan mendorong persaingan antarmereka, khususnya terkait dengan hak untuk duduk di lembaga-lembaga tripartit (Brown, 1997: 172-3). Selain itu, serikat-serikat yang disukai negara cenderung memonopoli posisi di lembaga-lembaga tripartit ini. Dengan kemampuan pemerintah mempengaruhi serikat buruh ini maka pertumbuhan pesat jumlah serikat di Thailand pada 1980-an tidak lantas menunjukkan semakin kuat atau efektifnya gerakan buruh negara itu (Brown, 2001: 130). Ungpakorn (1999) menganggap bahwa perkembangan tersebut sebagian terkait dengan ulah ‘pemimpin serikat buruh preman’, yakni orang-orang ‘yang mendirikan serikat untuk mendapat uang perlindungan dari pengusaha dengan mengancam melakukan aksi’ (1999: 14).

Situasi ini jelas turut berperan membatasi kemampuan buruh terorganisasi untuk merespon krisis ekonomi Asia yang mulanya terjadi di Thailand. Krisis tersebut segera menyebabkan tenaga kerja manufaktur berkurang separuhnya akibat kapasitas produksi di industri-industri manufaktur utama menurun hingga 30 persen (Deyo, 2000). Segala rasionalisasi turut mengikuti perkembangan ini dan telah terjadi PHK bahkan di perusahaan-perusahaan milik negara yang biasanya aman. Pada saat yang sama, krisis ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk kembali menjalankan strategi ‘aktualisasi’ dan ‘normalisasi’, yang ditata untuk memangkas biaya dan menerapkan kelenturan dalam manajemen ketenagakerjaan (Deyo, 2000). Menurut Ungpakorn, pada saat krisis buruh cenderung menerimanya secara pasif karena takut kehilangan pekerjaan dan mereka juga kurang meyakini nilai-nilai aksi kolektif (Ungpakorn, 1999: 52-4).

Bagaimanapun, penting dicatat bahwa meski dalam masa-masa suram – termasuk masa tidak diakuinya serikat-serikat buruh sektor publik yang penting pada era 1990-an – gerakan buruh di Thailand tak pernah sungguh-sungguh tersubordinasi sebagaimana terjadi di Indonesia. Karenanya, meski penilaian Ungpakorn menunjukan sebaliknya, buruh di Thailand berada pada satu posisi yang lebih baik dibanding saudara-saudara mereka di Indonesia untuk berupaya melakukan beberapa respon atas krisis ekonomi, walau dengan terbatas. Mereka, misalnya, segera melakukan aksi dan demonstrasi terhadap isu-isu seperti keamanan kerja, hak-hak dasar buruh dan tingkat upah. Selain beberapa keberhasilan mereka dalam menentang pemotongan upah yang drastis, aksi-aksi gerakan serikat buruh berperan menyebabkan tertundanya rencana privatisasi yang saat itu akhirnya menjadi perdebatan panas. Seperti yang terjadi di Filipina dan Indonesia, privatisasi merupakan isu yang sangat politis dan mengundang aksi protes yang lebih besar menentang agenda reformasi neoliberal (Deyo, 2000: 272).

Pertanyaannya kemudian, mengapa organisasi-organisasi buruh Thailand, dengan segala keterbatasannya, mampu menjadi lebih kuat khususnya dibanding dengan mereka di Indonesia? Dapat dikatakan, jawabannya terletak pada kenyataan bahwa tekanan terhadap buruh tidak pernah berdampak terjadinya penghancuran total atas tradisi militansi buruh. Seperti dalam kasus Filipina di bawah ini, militansi buruh di Thailand mampu membuat mereka bertahan, khususnya karena fakta bahwa kendali negara yang terpusat tak mungkin mampu mencerai-berai serikat buruh akibat kekuasaan negara yang juga memiliki karakter fragmentatif sendiri. Bahkan pada puncak rezim diktator militer di Thailand, bentuk pemerintahan terpusat yang otoritarian seperti Orde Baru Indonesia tidak pernah dicapai. Karenanya, organisasi-organisasi buruh berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk dapat merespon krisis ekonomi untuk berupaya melindungi kepentingan-kepentingan buruh.

Filipina

Meskipun ada upaya keras membendung perjuangan buruh dari pemerintahan kolonial dan pascakolonial, tradisi militansi para buruh yang dimulai dengan pendirian serikat buruh yang dimotori kelompok komunis pada dasawarsa awal abad ini (Ofreneo, 1993: 98-128) terus mempengaruhi bagian-bagian penting dari gerakan buruh Filipina. Seperti di Thailand, hal ini di antaranya dimungkinkan karena ciri fragmentatif kekuasaan negara. Secara berarti kelompok Kiri sebagai kekuatan tak pernah hancur-lebur, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia, dan bahkan Thailand.

Gerakan buruh di Filipina bermula di serikat-serikat buruh yang dibentuk di industri-industri seperti percetakan dan pembuatan rokok pada 1899. Beberapa tahun kemudian federasi serikat buruh dibentuk dan meningkatnya aksi-aksi pemogokan akhirnya membuat administrasi koloni Amerika mendirikan satu kantor urusan perburuhan. Saat industri perlahan-lahan berkembang, Partai Komunis menjadi kian berpengaruh dalam gerakan buruh yang akhirnya menyebabkan Departemen Perburuhan era kolonial menekan kelompok komunis ini pada tahun 1930-an. Kongres Organisasi Buruh (Congress of Labour Organization/CLO) didirikan menyusul Perang Dunia II untuk menyatukan gerakan buruh, namun pendirian Konfederasi Nasional Serikat Buruh (National Confederation of Trade Unions) buatan pemerintah memicu persaingan dan perseteruan di kalangan aktivis serikat. Berbagai upaya juga dibuat untuk memutus kaitan gerakan buruh dengan pemberontakan petani Hukbalahap pada 1950-an di mana CLO dilarang dengan alasan bahwa ia merupakan satu organisasi front komunis (Hutchison, 1993: 203-4; 2001: 73).

Pada umumnya, pembuatan hukum perburuhan di Filipina selalu saja relatif liberal yang di antaranya diakibatkan oleh warisan kolonialisme Amerika. Industrial Peace Act tahun 1953 dibuat untuk mencegah pengaruh komunis, di antaranya dengan mendorong keserikatburuhan ‘ekonomi’ yang dihubungkan dengan model pluralis-liberal dan untuk menolak keserikatburuhan ‘politik’ yang lebih disukai organisasi-organisasi buruh yang lebih militan dan radikal. Kelompok militan dan radikal ini, meski ada upaya menghambat ruang bagi keserikatburuhan politik, membangun basis untuk menumbuhkan keserikatburuhan akar rumput yang kuat yang dapat memelihara ‘gerakan oposisi berbasis komunitas yang tersembunyi’ (Deyo, 1997: 219-20) bahkan pada masa represi di bawah keadaan darurat militer kekuasaan Marcos.

Dengan sangat baik Hutchison (2001: 74) menunjukkan bahwa ‘ruang bagi pengorganisasian buruh’ di Filipina ‘dibikin sulit oleh krisis ekonomi nasional yang berulang-ulang, menurunnya kegiatan produksi di sektor manufaktur, dan tingkat pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup yang sangat tinggi’. Meski terdapat legislasi liberal mengenai perburuhan, Hutchison berpendapat bahwa ‘kemampuan mengorganisir selalu terus-menerus dihancurkan oleh keengganan dan atau ketakmampuan negara untuk menegakkan dengan baik hukum yang memuat hak pembuatan kesepakatan kerja bersama di wilayah dengan struktur masyarakat yang sangat timpang dalam kepemilikan dan kekuasaan’. Seperti terjadi di Malaysia, kegiatan pengorganisasian ditekan, khususnya di zona-zona bebas ekspor (Deyo, 2001: 266). Selain itu, upaya-upaya untuk menekan tumbuhnya keserikatburuhan yang militan terus dilakukan di bawah lingkungan demokratis yang mencirikan masa-masa pasca-Marcos (Hutchison, 2001: 72, 75). Namun demikian, seperti di Thailand, bertahannya tradisi militansi buruh meskipun mendapat tekanan negara memungkinkan satu respon kuat oleh serikat buruh saat krisis ekonomi menerpa pada 1997/98. Tetapi, sebaliknya, gerakan buruh di Filipina dan Thailand gagal memanfaatkan dengan optimal upaya demokratisasi seperti sekarang ini terjadi di Indonesia.

Dampak krisis Asia bagi perekonomian Filipina tidak seburuk yang menimpa negeri-negeri tetangganya. Hal ini karena ekonomi Filipina tidak merasakan tahun-tahun ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan ini pada 1980-an dan 1990-an. Dengan kata lain, tanpa ‘ledakan’ tak akan ada banyak ‘kehancuran’. Produk Nasional Brutto riil Filipina, misalnya, berubah drastis dari 1980 ke 2000 (Balisacan dan Hill, 2002: 237). Akan tetapi sama sekali keliru jika dengan fakta ini ada anggapan bahwa krisis tersebut tidak berdampak bagi kelas pekerja Filipina. Krisis tersebut cukup keras mengakibatkan PHK massal dan berdampak tutupnya perusahaan-perusahaan. Seperti kasus Indonesia, banyak buruh perkotaan terpaksa untuk sementara kembali ke kampung halaman mereka di pedesaan. Mereka yang masih bekerja pun merasa bahwa daya beli mereka sangat berkurang karena turunnya nilai mata uang peso (Ranald, 2000: 314), meskipun tidak separah mata uang Indonesia, rupiah.

Dalam menanggapi krisis, dalam situasi inflasi yang tinggi serikat-serikat berhasil melakukan beberapa kampanye soal upah (Ranald, 2000: 318). Selain itu, seperti di Thailand, buruh di Filipina mengambil peran dalam kampanye-kampanye anti-privatisasi yang mencapai keberhasilan yang penting karena privatisasi diyakini akan menyebabkan PHK lebih lanjut. Lagi seperti di Thailand, bagaimanapun adalah tidak mungkin menyarankan agar program-program liberalisasi dan privatisasi dihentikan. Tentu pemerintahan Arroyo akan lebih memilih program-program neoliberal tersebut dibanding Thaksin yang tampak populis. Secara esensial, seluruh pemerintahan Filipina pasca-Marcos loyal terhadap perluasan program liberalisasi dan privatisasi, dan ini akan menghambat keberhasilan kampanye-kampanye serupa oleh buruh di masa mendatang.

Namun gerakan buruh yang relatif lebih kuat di Filipina mesti dipahami berkaitan dengan posisi buruh terorganisasi dalam konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial sebelum krisis ekonomi. Patut dicatat bahwa Filipina memiliki sejarah panjang perjuangan buruh yang tak pernah sepenuhnya terhenti, bahkan lebih lama dibandingkan kasus Thailand di mana masa-masa pemerintahan militer yang bertahun-tahun merupakan hambatan yang sangat sulit. Meskipun rezim Marcos berupaya melakukan kontrol lebih ketat atas buruh terorganisasi dengan mendukung sebuah federasi serikat buruh nasional pada 1970-an, Kongres Serikat Buruh Filipina (Trade Union Congress of the Philipines), tetapi strategi ini tidak berhasil sebagaimana yang terjadi di Indonesia atau di Malaysia. Upaya Marcos sangat keras ditentang oleh federasi serikat buruh yang lebih radikal, KMU (Kilusang Mayo Uno – Gerakan Satu Mei) (Muntz, 1992: 266), yang dalam kondisi sulit tetap menghidupkan tradisi keserikatburuhan politik. Sekarang tradisi ini barangkali masih hidup meski pada akhirnya terdapat perpecahan di tubuh KMU karena persaingan internal.

Jadi, mengapa di Filipina buruh terorganisasi selama krisis ekonomi dapat relatif kuat? Jawabannya, antara lain, ialah bahwa seperti di Thailand, koalisi-koalisi kepentingan anti-buruh di Filipina tak pernah dapat menjinakkan buruh negeri itu dan dapat benar-benar mensubordinasi mereka di bawah kepentingan negara atau modal. Namun demikian, seperti di Thailand, suatu gerakan buruh terorganisasi yang sangat tercerai-berai tidak bisa dikatakan mampu mempertarungkan kekuatannya secara efektif dan dapat mempengaruhi kebijakan negara secara terus menerus walau dalam kondisi pemerintahan demokratis pasca-Marcos.

Perjuangan Politik lawan Perjuangan Kesejahteraan Ekonomi dalam Konteks Globalisasi

Kasus-kasus yang didiskusikan di atas menunjukkan betapa berartinya konflik sosial dan dampak-dampaknya bagi pengorganisasian buruh di Asia Tenggara. Kasus-kasus tersebut bahkan memperlihatkan bahwa dampak tersebut lebih penting dari kondisi ketersediaan dan permintaan (supply and demand) akan buruh dalam menentukan kekuatan dan pengaruh buruh. Pada akhirnya, gerakan buruh yang terorganisasi di Thailand dan Filipina, dua negeri dengan jumlah buruh berlebih, telah mampu menjadi lebih kuat dibanding di Malaysia yang memiliki pasar tenaga kerja yang umumnya ketat. Di Indonesia buruh terorganisasi dihambat oleh dua hal, yaitu dampak melimpahnya angkatan kerja dan, hingga tahun 1998, hadirnya negara otoritarian yang sangat tersentralisasi dan represif.

Sebagaimana sudah ditunjukkan, satu variabel kunci di sini ialah kekalahan kelompok Kiri dengan tingkat yang bermacam-macam telah memberikan ruang bagi upaya-upaya elite mendepolitisasi perjuangan buruh. Secara esensial, hal ini telah memberikan peluang bagi sekurang-kurangnya beberapa aspek dari model pluralis-liberal yang membatasi ruang gerak keserikatburuhan hanya pada soal kesejahtaraan ekonomi. Model tersebut terkait dengan pengalaman negeri-negeri Barat/Utara yang telah terindustrialisasi dan dengan konteks penyusunan kelembagaan negara kesejahteraan. Tentu bukanlah kebetulan bahwa aktivitas-aktivitas buruh terorganisasi di keempat negeri yang dibahas di sini semuanya didesak untuk mengadopsi satu konsep keserikatburuhan yang menekankan perjuangan ekonomi yang lepas dari agenda sosial dan politik yang lebih luas. Konsep ini kurang mengancam koalisi-koalisi anti-buruh yang dominan. Konsep tersebut barangkali tercermin dalam satu kasus di Asia Tenggara yang tidak dibahas di sini – yaitu negeri-kecil Singapura (lihat misalnya, Leggett, 1993) – di mana gerakan buruhnya telah sangat dikontrol sejak sebelum ‘berpisah’ dengan Malaysia pada tahun 1965 dan di mana struktur tertinggi organisasi buruhnya, NTUC (Kongres Serikat Buruh Nasional) masuk dalam kekuasaan negara.

Pada saat yang sama, globalisasi telah menciptakan tekanan lebih lanjut terhadap gerakan buruh di masyarakat Asia Tenggara yang baru mengindustri ini. Akan tetapi, Wood (1998) berargumen bahwa saat ini modal lebih membutuhkan negara dibanding pada masa-masa sebelumnya, dan hal ini akan membantu menstimulasi gerakan buruh di pelbagai penjuru dunia. Hal yang menjadi kunci menurut Wood ialah semakin meningkatnya kedekatan identitas antara kepentingan negara dan modal. Karena modal membutuhkan negara ‘untuk meretas jalan’ menuju ekonomi global dengan mengusung kebijakan perdagangan bebas yang neo-liberal, negara menjadi target perjuangan buruh. Hal ini menurutnya telah ‘mendorong rakyat turun ke jejalanan menentang kebijakan negara di berbagai negeri seperti Kanada dan Korea Selatan’ (1998: 13-15).

Namun demikian, posisi Wood ini tampak agak tidak sensitif pada kenyataan adanya hambatan-hambatan ekonomi dan politik yang dihadapi buruh di negeri-negeri Asia Tenggara yang dibahas di sini. Posisi ini juga mengabaikan implikasi sejarah yang berbeda yang berlaku pada kondisi politik yang otoriter atau semi-otoriter atau demokratik-liberal, untuk tidak menyebutkan warisan yang masih ada dari hasil perjuangan masa lalu terhadap masa sekarang. Ia juga menafikan pentingnya pengaturan dan ketepatan waktu dalam proses industrialisasi yang pesat. Sebagaimana yang diamati Winters (1996), saat industrialisasi terjadi di Utara tak ada dari negeri-negeri lainnya yang dilibatkan kecuali negeri terjajah penyedia bahan baku atau para konsumen barang-barang impor. Hal ini membuat buruh di Utara mampu berjuang ‘melawan kemelimpahan produksi’, membentuk kembali kondisi politik yang lebih luas dalam proses industrialisasi mereka ‘tanpa terhambat oleh persaingan langsung dari ketersediaan yang nyaris tak terbatas’ dari buruh di negeri-negeri jajahan yang secara politik jauh lebih lemah dan miskin. Maka, dalam beberapa hal, buruh negeri-negeri penjajah dan terjajah tersekat satu sama lain. Seperti dikemukakan Winters lebih lanjut, sekat itu memungkinkan ‘langkah besar para buruh di negeri Utara baik secara ekonomi maupun politik...’ di masa lalu (Winters, 1996: 218-19).

Karena langkah besar ke depan tersebut sekarang berada dalam bahaya untuk didorong mundur kembali, beberapa aktivis serikat buruh di berbagai penjuru dunia mungkin mulai berpikir bahwa merupakan ‘kekeliruan untuk membatasi’ diri mereka hanya ‘pada visi ekonomi’ (Da Silva, 1998: 47). Ini merupakan pengakuan implisit bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak-hak ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara esensial juga merupakan sebuah perjuangan politik. Walaupun begitu, belum ada satu strategi yang mendasar yang telah ditemukan oleh buruh terorganisasi, di Utara maupun di Selatan, untuk menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Langkah awal yang perlu dilakukan barangkali ialah memunculkan kembali tradisi keserikatburuhan politik dan meraih kembali ruang politik sebagai satu sasaran perjuangan buruh yang sah.***

*)Vedi R. Hadiz, adalah asisten profesor di Universitas Nasional Singapura.

Naskah ini pernah dipublikasikan di Jurnal SEDANE Vol.3 No.2, 2005. Dimuat kembali untuk IndoProgress, atas ijin penulis.



Baca selengkapnya!