17.6.06

Meretas Hal-hal Mustahil: Pembangunan Partai dan Local Governance di Filipina

Joel Rocamora
Institute for Popular Democracy, The Philippines

Saya terperangkap pada ketidakpastian antara aksi politik dan observasi keilmuan. Merujuk Olle Tornquist yang “bermantol akademis” tak cukup ‘merangkum’ pemikiran dan observasi-observasi saya. Semua kontributor dalam buku ini memiliki wawasan yang pantas diakui. Saya tak ingin menjadi salah satu atau justru seseorang lain dari mereka yang dirujuk di sini. Saya ingin kedua-duanya. Dalam esai ini ingin saya paparkan bagaimana menjadi intelektual yang gigih sampai disebut aktivis politik.

Tanpa bersilat dalih, saya meyakini bahwa analisis atas aksi politik bisa sehandal dan se-“obyektif” analisis akademis. Kesuksesan atau pun kegagalan aksi politik dapat sama brengseknya seorang hakim yang ahli dalam analisis maupun sebuah komite akademis. Tapi analisis atas aksi adalah sesuatu yang berbeda. Di lingkungan Institute for Popular Democracy, kami menyebutnya analisis ‘antara kejujuran dan harapan’. Untuk sebuah buku bernuansa akademis, pentinglah mengingatkan pembaca bahwa esai ini berbeda dari yang lainnya. Tanpa memandang ‘posisi’ saya, maka menjadi tidak adil bagi pembaca yang berharap suatu ‘suara’ yang sama sekali berbeda.

Filipina kerap diakui sebagai tempat yang memiliki pengalaman-pengalaman maju dalam keterlibatan masyarakat sipil di local governance. Tapi berbeda dari Brasil di mana peran-serta rakyat dalam proses anggaran belanja telah memiliki dampak material terukur pada kehidupan kaum miskin perkotaannya, di Filipina perencanaan partisipasi di level barangay (level paling dasar) dalam sistem pemerintahan masih berdampak terbatas. Lain pula dari Kerala, di mana India, dan juga Brasil, dengan eksperimen partisipatori di local governance telah didukung oleh partai-partai politik mapan dan kuat, Akbayan (Partai Aksi Warga), partai politik Filipina yang kukuh mendukung demokrasi partisipatori, masih saja wadah progresif baru dan tengah berjuang.

Tapi pengalaman Filipina mungkin menarik bagi negera-negara Selatan justru karena ia masih suatu ‘bentuk yang tengah mewujud’, di mana segala ketentuan demokrasi partisipatori belum diletakkan sejajar Brasil dan India. Di Filipina, baik Akbayan maupun BATMAN, koalisi masyarakat sipil mengemuka yang menggenjot local governance yang partisipatori, masih saja sibuk bergumul dengan teori dan praktik guna menemukan jalan terbaik memajukan demokrasi partisipatori. Proses terbuka yang sangat dinamis dan kerap rawan pertikaian ini mungkin lebih diterima oleh mereka yang ingin memperjuangkan hal serupa di negera-negara mereka.

Akbayan (Partai Aksi Warga)

Akbayan sering disebut partai ”gerakan sosial” karena kebanyakan anggota aslinya dari kaum buruh, petani, kaum miskin perkotaan, wanita dan gerakan sosial lainnya. Ia bisa juga disebut partai “participatory local governance” karena keanggotaan berikutnya datang dari suatu perjuangan sedasawarsa sejumlah orang yang gigih menggalang potensi desentralisasi partisipatori dan ‘good governance’. Kebersatuan kedua unsur ini dalam keadaan krisis ideologi kaum Kiri Filipina memberi kerangka kisah rumit Akbayan.

Meski baru resmi dibentuk pada kongres bulan Januari 1998, proses berdirinya Akbayan sudah mengesankan ia formasi politik sangat berbeda. Partai baru sedemikian memang sudah sejak akhir 1980an dibahas oleh beberapa formasi politik pra-partai, yang disebut juga ‘political blocks’ di Filipina. Tahun 1992, kelompok-kelompok ini bersama para LSM memunculkan seorang kandidat presiden. Meski pengalaman itu berakhir dengan kerinduan saja (karena kandidat ini kalah telak), kelompok-kelompok ini terus bersatu mendukung para kandidat daerah pada 1995, dengan hasil membesarkan hati kala itu. Pengalaman indah ini memberi latar-belakang pada diskusi-diskusi pembaharuan di paruh pertama 1996. Fakta bahwa blok-blok ini bersatu, meski bukan sebagai koalisi ketika bersama para LSM memulai proses pendirian partai politik baru pada 1992, belum pernah terjadi dalam sejarah kaum Kiri Filipina. Kertas rancangan lalu dibahas dalam rapat nasional Juli 1996, dilanjutkan ke rapat-rapat kecil dan akbar lainnya yang tumpah ruah di seluruh tanah air. Pada saat kongres pendiriannya satu setengah tahun kemudian, partai itu telah memiliki lebih 3.000 ‘stakeholders’ yang mengikuti rapat-rapat ini.

Hanya beberapa bulan sesudah kongres pendiriannya, Mei 1998, Akbayan memenangkan satu kursi di pemilihan party-list Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini prestasi berarti karena pemilihan party-list untuk 20 persen dari DPR memberinya hak satu wilayah konstituensi nasional, dan para pemilih hampir tak mengetahui hal baru di sistem pemilihan ini. Sebanyak 10 walikota yang menang di pemilu ini lantas bergabung dalam partai itu. Sesudah pemilu berikutnya pada 2001, Akbayan telah memiliki dua anggota di DPR, di mana 19 walikota dan sekitar 200 anggota dewan dan petinggi pemda lainnya terpilih bersamaan. Pada pemilu Mei 2004, hanya 20 anggota Akbayan terpilih walikota dan 59 sekutu dekat, sekitar setengah dari yang berhak direkrut, juga menang. Akbayan memang belum sama sekali sebuah partai nasional besar. Tapi ia tengah tumbuh pesat. Kini ia memiliki unit-unit partai di 54 provinsi dari 84 dan di 237 kota dan kota madya.

Akbayan berangkat dari partai-partai politik tradisional Filipina. Partai-partai ini merupakan ‘beberapa kumpulan pertemanan laki-laki’ yang elitis dan berani. Di dalamnya terdapat para individu non-elite, umumnya laki-laki, yang mengidentifikasikan diri dengan satu partai atau lebih, tapi semuanya pengikut (‘kaki-tangan’) dari individu-individu elit. Para individu elit ini tergabung dalam koalisi-koalisi yang menggeliat dari barangay-barangay hingga pemerintahan nasional di Manila. Partai-partai tradisional ini, yang tak berdaya sejak sebelum hukum besi (martial law) 1972, tak juga pulih di era destruksi brutal Marcos yang menjagokan partai sendiri. Sesudah 1986, partai-partai amat tak berdaya sehingga dalam pemilu nasional, koalisi partai-partai hanya tinggal mekanisme kampanye saja. (Abinales, 2003)

Kontrasnya, Akbayan memiliki keanggotaan massa hampir 100 ribu, umumnya rakyat kelas bawah. Ini sumber identifikasi diri untuk sebuah partai yang ‘progresif’. Prinsip-prinsip dasar Akbayan di serikat-serikat buruh dan organisasi tani lantas dibangun kokoh. Tiga dari federasi kaum tani terbesar di tanah air berafiliasi dengan Akbayan. Menyusul di kalangan profesional kelas menengah dan pebisnis lahir usaha pembenahan. Alasan praktis dan politisnya bisa dipahami. Tak mungkin memenangkan pemilu hanya dengan dukungan kaum buruh dan tani. Sementara sektor kelas menengah justru punya jaringan dan sumber daya personal yang berguna untuk kampanye pemilu. Aneka keterampilan teknis yang dibutuhkan di governance juga dimiliki mereka. Selain itu, keterpilihan anggota Akbayan pada jabatan tertentu tidak lantas berarti mereka walikota dan pekongres bagi kaum miskin. Mereka justru pejabat publik untuk semua lapisan.

Mengantisipasi pertentangan perihal jumlah keanggotaan, maka keanggotaan organisasi ditiadakan, hanya individu saja. Namun para anggota dari kelompok sama yang diorganisir di unit-unit partai bisa membuat rapat dalam partai. Organisasi-organisasi massa yang kurang terafiliasi dirangkum melalui komite-komite partai sektoral kaum tani, buruh, pemuda dan lain-lain. Struktur partai dan prosesnya dipandang serius di sini. Nyatanya, kecenderungan mengakar anti-demokrasi dari perpolitikan tradisional dan kaum Kiri tetap saja menggeliat. Tapi demokrasi partai sebagai intinya dibela dan di-perjuangkan mati-matian. Otonomi unit-unit partai daerah menjadi prinsip kukuh di sini.

Akbayan sendiri berangkat dari partai dominan yang membangun tradisi kaum Kiri Filipina. Tak seperti partai politik progresif lainnya, Akbayan tak berkutat dalam ideologi tunggal. Banyak kelompok progresif dan tendensi politik membaur di Akbayan: demokrat nasional, sosialis, kaum sosialis demokratik, demokrat kerakyatan, pun mereka yang tak berlebel. Ia juga tak terkait dengan satu partai bawah-tanah. Diyakininya, Anda tak mungkin memiliki demokrasi partai lebih mendasar jika Anda mempunyai suatu partai lain yang mendikte siapa pemimpin dan apa kebijakan Anda. Kami pun tidak terlibat dalam perjuangan bersenjata. Secara serius kami menempuh perjuangan terbuka dan legal, tak semata-mata sebagai arena taktis sebagaimana grup-grup Kiri lainnya tempuh.

Berbeda dari partai-partai Kiri lain yang memilih ‘menghajar negara’, Akbayan justru menjadi kereta yang menampung kekuatan politik guna memacu reformasi politik. Sejak kongres berdirinya Januari 1998, Akbayan mendekap para pembaharu dari seluruh lapisan ke posisi-posisi pentingnya. Ia mendukung reformasi di Kongres, di parlemen jalanan, dan di pemda-pemda dipandu para anggota terpilih Akbayan. Memiliki sendiri petinggi kota juga menjadi kesempatan baik untuk menunjukkan bahwa para anggota partainya mampu menggalang demokrasi partisipatori dan pemerintahan bersih. Bahkan bisa dikatakan, formasi Akbayan sendiri adalah sebuah reformasi politik. Dengan membangun sebuah tipe baru partai politik, Akbayan memberi kontribusi langsung pada pentransformasian sistem partai politik kita.
Demokrasi adalah jantung segala prinsip Akbayan. Ide kami tentang “negara” adalah entitas yang memberi batasan jelas pada kekuasaan negara atas masyarakat. Kami menentang negara totalitarian yang menyeruak ke segala lapisan masyarakat termasuk ke sektor swasta. Kami berkiprah dalam bingkai “state and civil society” yang nyata dan jelas. Kami akan mempertahankan dan meningkatkan integritas dan otonomi organisasi masyarakat sipil sebagai tugas utama Akbayan. Kami akan berupaya terus secara aktif menyingkirkan segala rintangan pada partisipasi politik, khususnya yang menghalangi self-organisation kaum miskin seperti yang selama ini membayangi serikat-serikat buruh.

Bekerja erat dengan gerakan sosial dan organisasi-organisasi civil society lainnya di badan legislasi dan “parlemen jalanan”, Akbayan berada di garis terdepan dalam perjuangan reformasi politik-ekonomi. Dua perwakilan kami di Kongres secara efektif telah menegakkan reformasi elektoral dan hak-hak kaum migran serta memerangi monopoli privatisasi sumber daya air dan enerji serta aneka isu lainnya. Di “parlemen jalanan”, Akbayan bersama organisasi-organisasi afiliasinya dan LSM-LSM menggodok sejumlah isu dengan aktif, dari masalah pembaharuan agraria hingga kampanye anti-korupsi, serta permasalahan wanita dan hak kaum gay. Di pemda, Akbayan memancangkan investasi jangka panjang dalam proyek-proyek reformasi politik bersama rekan-rekan LSM.

Krisis Politik dan Perjuangan untuk Pembaharuan Politik

Pembangunan partai terus berjalan di tengah krisis politik menghunjam. Situasi sebelum dan sesudah pemilu Mei 2004 mengilustrasikan yang disebut ‘crisis of representation’: Arena pertarungan kampanye penuh ancaman kudeta dan ‘civil war’. Para kandidat presiden mengemuka, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden menjabat, serta bintang layar perak Fernando Poe Jr. meramaikan sendi-sendi utama krisis itu. Arroyo menjadi Presiden Januari 2001 sesudah sejumlah demonstrasi massal yang melengserkan presiden terpilih Joseph Estrada. Meski Mahkamah Agung melegitimasi penaikan Arroyo yang Wapres ke tahta kepresidenan sebagai sesuatu yang konstitusional, para pengikut Estrada toh tak pernah menerima legitimasinya, dan justru menggelar reli-reli mendukung Poe.

Poe mengikuti jejak karibnya Estrada dari lingkaran layar perak ke kandidat mengemuka dalam kampanye pemilu kepresidenan. Poe didukung para politisi yang terkait dengan Estrada dan mantan diktator Marcos yang melihat Poe sebagai peluang mereka kembali ke kekuasaan. Poe hanyalah tamatan sekolah menengah yang tak selesai dan tak punya pengalaman apa pun dalam perpolitikan atau ketatanegaraan. Tidak seperti Estrada, Poe tak pernah terpilih untuk jabatan publik. Hal yang menggiringnya mendekati kemenangan pemilu hanyalah lantaran ia sebuah simbol kekecewaan kaum miskin atas perpolitikan Filipina. Poe sebuah contoh sempurna gerakan populis sayap kanan yang terus mengancam mencampakkan Filipina ke dalam krisis politik. (Weekly, 2000)

Gerakan populis sayap-kanan adalah produk dua elemen utama dalam situasi politik Filipina. ‘Democratic deficit’ yang mencolok adalah kegagalan sistem politik menjawab kebutuhan kaum miskin pedesaan dan perkotaan. (Hutchcroft dan Rocamora, 2003) Pertumbuhan ekonomi seret yang balik ke awal 80-an, perdagangan tak terkontrol dengan liberalisasi kapital, serta privatisasi dan deregulasi telah berpadu menggenjot jumlah membengkak penduduk perkotaan dan pedesaan yang miskin melarat. Karena kaum miskin melihat para politisi menghabisi banyak waktu meraup duit ketimbang berbuat sesuatu pada kemiskinan mereka, tak pelak mereka menjadi sinis terhadap perpolitikan. Mereka juga rentan atas janji-janji para pembual politik seperti Estrada dan Poe.

Kebrengsekan sistem patron-clients, kedegilan mesin-mesin berkiblat-patronage, dan ketiadaan partai politik berbasis program terpadu dan terarah menyebabkan proporsi kian besar dari 40 juta pemilih nasional menjadi pemilih ‘buta’. Karena tiadanya sarana-sarana sosial dan politik yang ‘mengatur’ partisipasi elektoral, maka pilihan para voters ditentukan terutama oleh pengakuan nama/ketokohan. Nama-nama yang paling dikenal adalah mereka dari kalangan perfileman, para aktor TV, tokoh-tokoh olah-raga, serta pembawa berita. Para analis yakin, hanya 20 persen pemilih nasional berada dalam ‘vote banks’ yang dikontrol oleh para politisi daerah.

Para politisi ‘profesional’ kian sadar akan persoalan terkait kaum populisme sayap-kanan dan kelemahan partai politik. Sejak Mei 2002, semua partai politik besar berkumpul di sebuah ‘Political Summit’ yang secara bulat menuntut perubahan pada sistem politik Filipina via reformasi konstitusional. Para pemimpin partai termasuk Presiden, Ketua Senat dan Ketua DPR bersama oganisasi civil society bersama-sama bekerja mendorong pembaruan konstitusional. Para pemimpin dan grup-grup yang dulu menentang reformasi konstitusional di era Ramos dan Estrada kini ikut mendukung pembaharuan ini.

Hal yang menghalangi perwujudan konsensus ini adalah upaya sejumlah anggota DPR yang mengontrol proses pembaruan konstitusional itu. Mereka bersikeras mendorong pembaruan dengan menyatukan dua wadah kongres ke dalam satu Constituent Assembly (Majelis Permusyawaratan). Mereka melancarkan manuver mewujudkan satu bentuk pemerintahan parlementer baru dengan seorang presiden hanya untuk urusan seremonial, dan satu parlemen unicameral (satu kamar) dipilih di distrik-distrik anggota tunggal, yang juga memilih DPR. Model di mana DPR menjadi pusat kekuatan pemerintahan dan para wakil rakyat ini akan membuat mereka sendiri terpilih berulang kali.

Karena grup-grup masyarakat sipil, para pemimpin utama religius dan, paling penting Ketua Senat dan mayoritas para senator, menentang penyerobotan kekuasaan oleh DPR ini, upaya pengadaan Constituent Assembly pun dihentikan. Kelompok-kelompok ini sebaliknya mengusulkan pemilihan para delegasi untuk Constitutional Convention secara bersamaan dengan pemilu Mei 2004. Namun ketika Ketua Dewan menegaskan perlunya peralihan ke Constitutional Convention untuk mengubah konstitusi, hal tersebut sudahlah agak terlambat untuk disahkan legislasi untuk pemilu Mei 2004.

Meski upaya ketiga di banyak rezim gagal untuk mengorganisir reformasi konstitusional, beralasanlah untuk tetap optimis terhadap ‘demand side’ pembaruan politik. Adanya kesenjangan antara sistem politik yang dirancang untuk kebutuhan Filipina tahun 1930an dan untuk abad 21 justru menghasilkan lebih banyak tuntutan mendesak reformasi politik. Sistem politik 1930an yang diwariskan hingga kini dulunya telah disesuaikan untuk memenuhi ketentuan pemerintahan kolonial (gubernur jenderal/presiden) dan para pemimpin politik Filipina dengan kekuasaan terbatas pada daerahnya. Ini agak cocok untuk kebutuhan negara agrikultural yang umumnya pedesaan dengan jumlah penduduk masih kecil. Tapi ini tak lagi memadai untuk negara besar dengan populasi perkotaan tinggi hingga 82 juta penduduk dengan perekonomian yang benar-benar kian kompleks.

Salah satu faktor penentu politik Filipina adalah hubungan pemerintah daerah–pusat. Anda, katakan, punya seorang pemimpin tertinggi kuat dengan kekuasaan patronage dan fiskal yang besar. Tapi lantaran tak memiliki sistem politik terpadu dan stabil, presiden Anda menjadi tergantung pada para bos politik daerah untuk mengerahkan suara pemilu dan melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Dengan begitu Anda memiliki presiden dan bos-bos daerah yang punya kekuatan sama (pada tahap-tahap tertentu di lingkaran politik) – suatu sistem politik yang tentu saja janggal dengan tidak menganut sentralisasi maupun desentralisasi. Alhasil adalah sebuah proses penentuan kebijakan yang semata-mata dikuasai oleh kekuatan ‘deal’ yang mempersulit lahirnya UU koheren, setidaknya perundang-undangan yang inter-related. Bergelayut di bawah UU yang tak koheren dan kerap berkontradiksi satu sama lain ini membuat kiprah birokrasi sendiri tak kurang peliknya. Deal-making dan negosiasi tetap saja berlanjut, bahkan hingga proses hukum.

Efek dari sistem aneh ini tercermin dalam realita para petinggi kenegaraan terpilih. Kebanyakan presiden yang terpilih sejak kemerdekaan 1946 pada dasarnya tak punya mayoritas partai handal. Biasanya dalam beberapa bulan jabatannya, para anggota partai besar hengkang ke partainya guna mengenyam patronage dan kucuran dana pork barrel sang presiden. Di tengah masa jabatannya, jumlah petinggi yang harus diberikan bagian patronage meningkat sedemikian rupa sehingga tak mungkin bagi presiden membaginya rata. Menjelang akhir jabatannya, para politisi yang kesal karena kurang kejipratan tumbuh membesar melebihi yang menikmati rezeki itu, yang akhirnya mempersulit sang presiden untuk terpilih lagi, atau selepas tahun 1987 ketika presiden tak diizinkan ikut kembali pemilu, (mempersulit) calonnya sendiri untuk terpilih. (Choi 2001)

Gagalnya usaha-usaha penggantian jabatan mengikuti pembaruan konstitusional ini karena ia menohok pokok yang kerap mengalami ‘jalan-buntu’ dalam proses pembaruan politik di Filipina yakni: hubungan pemerintah daerah-pusat. Tapi proses desentralisasi yang dibuka dengan diterimanya Local Government Code (UU Pemerintah Daerah) tahun 1991 menciptakan potensi pembaruan mendasar di pemda. Memang tanpa reformasi mendasar yang merata pada level pemerintah pusat – kemungkinan yang mandeg karena kegagalan pada pembaruan konstitusional – maka pembaruan-pembaruan dalam pemda tak dapat ‘diraih’ untuk keseluruhan sistem partai. Akibatnya, pemerintah pusat kembali bertindak sebagai pengayom pada dinamisme politik daerah.

Politik daerah di Filipina, yang kembali ke periode kolonial Amerika, menggelar dua kontes utama: pertama, siapa yang terbaik mengerahkan dana dari pemerintah pusat, dan karenanya mengontrol alokasinya; kedua, siapa yang mengontrol kegiatan ekonomi illegal, semisal perjudian dan penyelundupan. Kontes-kontes ini menentukan kualifikasi para kontestan, sifat dasar kontes itu sendiri termasuk pemilu, serta kegiatan khusus pemenangnya. Kontes pertama ‘membentuk’ dinamika kelas sebegitu rupa sehingga hubungan keluarga, jenjang universitas, keanggotaan aneka jaringan seperti paguyuban universitas, sangat menentukan siapa pemenangnya. Kontes kedua memberi hak istimewa kepada para kontestan yang lihai memanipulasi hal-hal illegal dan memainkan aneka kekerasan. Tak satu pun dari dua kontes ini kondusif membentuk good governance. Mereka justru tetap membiarkan pemda terlelap dan sama sekali ‘tak berbuat apa-apa’.

Alasan utama terjadi kontes-kontes ini di perpolitikan daerah karena hampir di sepanjang abad lalu pemda-pemda tak memiliki dana cukup. Juga karena tak ada kegiatan ekonomi yang mendatangkan perpajakan amat besar di kebanyakan wilayah daerah. Di banyak komunitas pedesaan hampir sepanjang abad lalu, kegiatan perekonomian utama adalah pertanian penyambung hidup (subsistence). Di mana ada sistem persewaan pola saham, tuan-tuan tanah cenderung mengontrol perpolitikan daerah, dan tentu saja tak ingin dikenai pajak. Kegiatan perekonomian illegal pada hakikatnya tak tersentuh perpajakan kecuali dalam pola-pola tak konvensional di mana bukti-bukti bayar tidak tersimpan dalam kas-kas pemerintah. (De Dios, E. dan Hutchcroft, P. 2003)

Ekonomi politik komunitas-komunitas daerah kian berubah. Dana kini lebih banyak tersedia di daerah. Dulunya perekonomian berbasis agro-export yang dibangun Amerika hanya berkutat di Manila di mana pemerintah pusat mengontrol langsung akses ke pasar internasional. Ini berlanjut ke pasca-perang ketika sumber dana asing, dana cukai, dan pendapatan yang disedot dari daerah-daerah dipakai memperkuat pusat. Dan sebagian karena secara fisik tak lagi tersedia lahan industri cukup di metro Manila, maka pertumbuhan perindustrian diarahkan keluar – ke Calabarzon, Subic, Cebu dan wilayah-wilayah tertentu seperti General Santos dan Davao di Mindanao. Penyebaran industri ini memacu pertumbuhan jauh lebih cepat di daerah-daerah ini dan sekitarnya.

Hubungan ekonomi pusat-daerah tercermin dalam, dan diperburuk oleh, sistem kepresidenan yang sangat sentralistik. LGC sendiri mungkin dilihat hanya terjemahan dari wilayah politik desentralisasi ekonomi. Tapi jika pertumbuhan ekonomi di daerah yang tak tergantung pilihan-suka pemerintah pusat berlanjut, maka seluruh rangkaian peristiwa di wilayah politik akan menyusul. Perubahan ekonomi daerah ini, dibarengi diterimanya LGC 1991 yang mengamanatkan peralihan otomatis 40% dana pendapatan internal dan meningkatkan daya perpajakan pemda, membawa peningkatan besar dalam pendapatan pemda-pemda. (Kerkvliet, B. dan Mojares, R. 1991) (Lacaba, J. ed., 1995).

Politisi daerah biasanya ingin memegang kontrol politik lebih besar atas sumber yang melejit karena pertumbuhan ekonomi daerah yang melaju. Pendapatan lebih besar di pemda akan mengubah sifat kompetisi politik daerah. Bila tidak, para pebisnis daerah justru akan turun mengamankan porsi perpajakan mereka tetap rendah dan mengarahkan penggunaan pajak-pajak tersebut. Dengan tersedia lebih banyak uang, keperluan administratif pemda meningkat disertai perubahan penting menyangkut kualifikasi orang-orang yang berebut pencalonan dalam pemilu. Walau ini belum menjadi fenomena menyeluruh di tanah air dan masih banyak kantong otoritarian didominasi tuan-tuan tanah, toh cukup banyak dari tempat ini, diyakini, menjanjikan di masa depan.

Karena kebanyakan studi tentang politik daerah Filipina tak mengetengahkan analisis-analisis tentang bagaimana dan ke mana perubahan tengah terjadi, maka analisis dalam paper ini bagi sejumlah orang tampaknya memberi sedikit optimisme. Memang tak disangkal sulit bersifat aktif secara politis sambil sama sekali pesimis. Tapi perlu juga ditegaskan bahwa jenis perubahan yang saya lukiskan bukan gerakan yang digeneralisir dari politik daerah patron-client berpola patronage hingga ‘good governance’ ala Bank Dunia. Sebagaimana John Sidel tunjukkan dalam artikelnya di buku ini, politik daerah di Filipina tak dapat dipaksakan ke dalam kerangka kaku yang menempatkan situasi-situasi sangat berbeda dalam bingai ‘what is good for development’. Yang penting di sini adalah perubahan tengah menggelinding. Menentukan besarnya maupun derap dan arah perubahan membutuhkan lebih banyak penelitian. Aksi politik tak punya kemewahan itu.

Keanekaan situasi daerah yang dilukiskan Sidel diteguhkan oleh pengalaman Akbayan. Ada wilayah-wilayah seperti di beberapa kota di semenanjung Bondoc di mana kontrol ekonomi dan daya coercive para elit daerah menantang petani kecil terjun ke perjuangan bersenjata. Ada pula provinsi-provinsi seperti Negros Occiental di mana kontrol ekonomi dan politik ketat dari pelaku ekonomi kakap, Eduardo Cojuangco, sulit ditantang oleh kekuatan daerah. Dalam kasus ini, perubahan harus menunggu tindakan di level nasional perihal sumber kekuatan ekonomi Conjuangco dan kontrolnya atas perusahaan kaliber San Miguel Corporation. Namun ada banyak tempat di mana perubahan dalam ekonomi politik telah menghalangi kontrol para elit atas politik daerah yang menciptakan peluang cukup untuk politik alternatif. Dari sisi Akbayan, soalnya bukan membawa reformasi ke para politisi daerah. Persoalannya terletak pada kapasitas Akbayan mengidentifikasi dan merekrut mereka dan membantu sesudah mereka bergabung dalam partai.

Amat Sulit, Agak Tak Mungkin

Berikut ini konteks historis dari proyek pembangunan partai Akbayan. Sebuah proyek yang didaulat oleh kaum Kanan dan ironisnya juga oleh kaum Kiri. Syukurlah baik kaum Kanan maupun Kiri bersenjata tengah dirundung krisis politik. Menyebutnya proyek politik kaum Kiri Tengah mungkin saja dan bisa diterima dengan adanya krisis kembar ini. Biarpun beberapa pemimpin Akbayan mengimpikan ‘perpecahan politik’ yang memungkinkan cengkeraman kekuasaan di pihak tengah, toh lahan pengakumulasian kekuasaan Akbayan mau tak mau ada di politik daerah. Dalam politik daerah itulah daya-daya penggerak dan kondisi-kondisi pendukung memungkinkan terjadi akumulasi.

Meski memiliki dua anggota saja di satu dari dua dewan di badan legislasi dengan tiada anggota partai di level atas birokrasi, kapasitas Akbayan mempengaruhi kebijakan nasional toh sedikit lebih kuat daripada advokasi masyarakat sipil. Kenyataannya, Akbayan hampir selalu bekerja dalam koalisi-koalisi civil society dengan menampilkan posisinya tentang isu tertentu. Toh kapasitas merealisirnya terbatas karena perpecahan dalam civil society. Ia juga terjepit di satu pihak oleh formasi-formasi terbuka Partai Komunis Filipina bawah-tanah, grup-grup pecahan kaum “rejectionist” dengan daya mobilisasi lebih besar, dan komando politik retorika kaum Kiri, dan di pihak lain oleh grup-grup civil society yang punya hubungan sosial lebih baik ke pemerintahan Arroyo.

Akbayan punya tiga cara utama mengakumulasi kekuatan. Sistem party list memberi Akbayan satu platform untuk mempublikasikan partai serta program-programnya dan, bersama kelompok masyarakat sipil, membuat advokasi pelbagai isu. Tapi pembatasan tiga kursi dalam sistem itu menjadikannya status minoritas permanen di badan legislasi nasional. Batasan 20 persen di DPR cukup kecil dalam sistem bicameral (dua dewan). Melaksanakan ketetapan konstitusional yang kontradiksi dengan UU yang mendukung berarti bahwa dalam pemilihan 1998 dan 2001 kurang dari setengah dari 52 kursi yang tersedia telah diisi. Sistem party list dapat dilihat sebagai suatu program ‘affirmative action’ yang terbatas bagi ‘kelompok-kelompok marginal’. Sembari menghargai ambisi ‘kelompok-kelompok sektoral’ yang menghendaki suatu perwakilan yang sangat terbatas, Akbayan memperebutkan tidak hanya tempat-tempat terbatas dari sistem party list, tapi juga sistem politik secara keseluruhan. (Velasco, D. dan Rodriguez, A. 1998)

Ada hambatan idologis dan keorganisasian untuk mengakumulasi kekuatan dengan mengorganisir gerakan sosial. Bagi Akbayan, mengabaikan kerangka ‘vanguard party’ dari grup-grup Kiri Filipina lainnya berarti menjamin otonomi grup-grup gerakan sosial yang berafiliasi dengannya. Memang ada alasan praktis menolak tuntutan beberapa pemimpin gerakan sosial atas Akbayan agar memberi kepemimpinan politik dan keorganisasian pada gerakan-gerakan sosial yang berafiliasi dengannya. Akbayan tak ingin perpecahan tajam di antara grup-grup gerakan sosial memperburuk perpecahan yang ada dalam partai. Memang partai belum mengembangkan kapasitas pelayanan kebutuhan gerakan sosial. Blok-blok politik di mana kebanyakan grup gerakan sosial dalam Akbayan berafiliasi merupakan ‘saringan’ ideologis dan keorganisasian antara partai itu dan gerakan-gerakan ini. Meski ini dapat dilihat sebagai tahap lanjutan yang perlu dalam pembangunan partai, hal itu toh merupakan halangan dalam menggalang kesatuan ideologis dan keorganisasian di dalam partai.

Pengalaman enam tahun membangun partai menunjukkan sangat mungkin bagi Akbayan merekrut para politisi reformis daerah. Dan sejauh ia mengakumulasi kekuatan dan sumber daya yang cukup untuk mendukung para politisi ini, maka rekrutmen tak begitu mendesak. Dengan sistem politik sekarang, Akbayan butuh waktu lama mengakumulasi kekuatan elektoral cukup untuk menjadi partai nasional besar. Sistem party list tak berlaku dalam pemilihan-pemilihan daerah. Pusat gravitasi sistem pemilihan terletak pada politik daerah di mana klen-klen politik dan kaum pebisnis kaya mendominasi kontes-kontes elektoral yang umumnya ditentukan uang dan kekerasan. Pemilu-pemilu nasional memperbesar ketentuan finansial untuk kemenangan elektoral sampai jumlah yang luar biasa. Kemampuan membuat kecurangan dalam perhitungan suara, sebuah faktor penentu lain dalam pemilu-pemilu, membutuhkan uluran-tangan birokrasi khususnya ke Komisi Pemilu. Selain itu, daya mengerahkan kekerasan dan ancaman kekerasan dipegang kaum elit daerah dan nasional, kecuali Partai Komunis Filipina dan fron-fron elektoralnya.

Karena Akbayan secara ideologis dihalangi dalam mengembangkan kebanyakan ‘sumber daya’ politik ini, setidaknya sebagian kepemimpinan nasional Akbayan telah berusaha mendorong perubahan dalam sistem pemilihan dan bentuk pemerintahan melalui pembaruan legislatif dan konstitusional. Perubahan-perubahan dalam sistem elektoral dengan mesin penghitung elektronik dan transmisi eletronik akan mengurangi kontrol politisi tradisional atas ‘mesin’ pencurangan dalam pemilu-pemilu. Pengumpulan suara di luar negeri akan memperluas proses pemilihan ke lingkup populasi di luar jangkauan mobilisasi para politisi tradisional. Bahkan dukungan atas reformasi ekonomi akan berjalan di bawah arahan ini di mana reformasi-reformasi khusus akan menghapus akar-akar korupsi dan mengurangi jaringan patronage.

Potensi pembaharuan terbesar yang akan sedikit ‘meratakan lapangan permainan’ bagi reformasi dan para politisi tradisional serta partai-partai adalah perubahan ke bentuk pemerintahan parlementer dengan sistem elektoral perwakilan proporsional. Bentuk pemerintahan parlementer dan sistemnya ini akan mendorong partai-partai kian koheren dalam keorganisasian dan penetapan program, dan memperlancar policy-making yang dimediasi oleh partai. Pembentukan partai-partai politik yang kian efektif dan kohesif, yang berorientasi pada tujuan pencapaian program ketimbang hal-hal partikularistik, atau pada kebijakan ketimbang pada dana politis, bagaimanapun merupakan satu-satunya reformasi paling penting yang dibutuhkan untuk penegakan demokrasi Filipina. Partai-partai lebih kuat dapat mempromosikan pilihan-pilihan lebih jelas kepada pemilih dan membantu menyusun kompetisi politik guna merealisasikan kepentingan-kepentingan umum ketimbang partikularistik. (Abad, F., 1997) (Abueva, J. 2002)

Sistem elektoral kami, dan praktik aktual pemilihan-pemilihan merupakan satu faktor paling penting untuk menyusun partai politik. Ciri khas partai-partai yang masih sangat bercitra personal berasal sebagian dari fakta bahwa para kandidat secara individu dipilih dalam sistem “first past the post”. “Selama pemilihan, tidak begitu penting bahwa partai merupakan organisasi penggerak riil, tapi justru mesin elektoral kandidat serta jaringan kerabat, teman, rekan-rekan politik, dan sekutu.” (David, 1994: 1) Karena di dasar sistem elektoral, kota madya, kekuasaan dan status keluarga dipertaruhkan, maka semua sarana dimanfaatkan, termasuk pencurangan dan kekerasan meraih kemenangan.

Kami telah begitu terbiasa dengan politik uang sehingga secara tak sadar meyakini ‘itulah caranya politik berkiprah’. Nyatanya, pemilu di banyak negara terutama di Eropa tak membutuhkan belanja luar biasa besar. Banyak faktor dapat menjelaskan perbedaan ini dalam praktik politik, tapi faktor utamanya adalah sistem pemilihan. Sistem pemilihan proportional representation (PR) yang lazim di Eropa membuat pemilu benar-benar kontes partai bukan kontes pribadi. Dalam prosesnya, ia juga memperlemah penggunaan uang dan kekerasan dalam pemilu, dan menciptakan salah satu kondisi yang perlu untuk mereformasi sistem partai politik kita.

Sistem party list yang diperkenalkan konstitusi tahun 1987 menunjukkan satu eksperimen dalam pemilihan-pemilihan PR. Tapi sistem itu begitu membingungkan sehingga hampir tak dapat menunjukkan kekuatan sistem-sistem PR. Mengawalinya, konstitusi 1987 mencampurkan ketentuan-ketentuan PR yang kontradiktif dengan perwakilan sektoral dalam lingkup politik sempit dengan 20 persen kursi di DPR. Kongres lantas menambah persoalan dengan membatasi jumlah tiga kursi bagi sebuah partai untuk dapat menang. Mahkamah Agung memperburuk situasi dengan memberi formula pengalokasian kursi yang menjamin bahwa hanya beberapa kursi yang tersedia akan dialokasikan.

Yang kami butuhkan adalah revisi dan ekspansi dari sistem party list yang ada, atau justru peralihan sama sekali seluruh sistem ke PR. Jika para pemilih memilih dari antara partai-partai dan bukan kandidat-kandidat, maka hal itu akan mengurangi intensitas kontes-kontes personal dan klen yang merupakan sumber utama kekerasan dan politik uang. Dengan begitu partai-partai wajib memperkuat ketentuan-ketentuan keorganisasian dan programnya untuk mencapai kemenangan elektoral. Minimal, partai-partai dipaksa menunjukkan kekhasannya sehingga memungkinkan pemilih membuat pilihan. Peralihan ke pusat gravitas kinerja keorganisasian dan bukan pada kandidat individu akan memaksa partai-partai memperkuat partainya secara keorganisasian.

Formula yang tengah dibicarakan adalah sistem pemilihan di parlemen unicameral di mana setengah dari jumlah kursinya dipilih di distrik-distrik anggota tunggal dan setengah lainnya lewat sistem PR. Distrik-distrik anggota tunggal dilihat cara yang menjamin adanya dukungan para pekongres distrik, yang selanjutnya menyetujui panggilan legislasi untuk memilih delegasi di Constitutional Convention. Sementara Constitutional Convention membolehkan non-politisi terpilih sebagai delegasi, tokoh-tokoh dari perwakilan distrik lebih kuat dapat juga ikut terpilih. Ini perlu akomodasi. Dalam sistem PR party list, pembatasan di partai-partai tradisional akan dihapuskan. Sistem demikian akan menguntungkan Akbayan yang memang diorganisir untuk kontes seperti itu. Sistem itu akan menjadi sesuatu yang baru bagi para politisi tradisional, yang kebanyakan terlalu sibuk memperebutkan kursi di distrik-distrik guna membangun partai yang mampu bersaing di pemilu-pemilu PR. Dan untuk terjadi perubahan, Akbayan harus mengakumulasi kekuatan elektoral terus menerus dan seksama di kontes-kontes daerah.

Perubahan di sistem elektoral yang diperjuangkan grup-grup civil society pro-reformasi khas untuk Filipina. Kami tak mengajukan saran umum tentang hubungan yang perlu antara sistem elektoral PR dan partai-partai kuat. Seperti Olle Tornquist sendiri tunjukkan India dan Inggris memiliki partai-partai kuat tanpa sistem elektoral PR. Di sini mungkin berguna melihat perbedaan yang dibuat Martin Shefter antara partai-partai yang “digerakkan secara internal’ oleh kaum elit yang ada di dalam rezim besar dengan akses ke sumber patronage, dan partai-partai yang “digerakkan secara eksternal” oleh mereka di luar rezim yang tanpa akses ke patronage dan bersandar pada pertimbangan ideologis dalam mencari massanya. (Shefter, 1994) Sejarah politik Filipina secara jelas memberi privilege pada partai-partai yang ‘digerakkan secara internal’. Isunya, apa saja perubahan yang bisa dibuat dalam sistem elektoral yang cuma sedikit ‘meratakan lapangan permainan’ bagi partai baru yang ‘digerakkan secara eksternal’ semisal Akbayan.

Pemerintahan Lokal dan Pembangunan Partai

Munculnya para pelaku baru dengan sifat kontes politik terus berubah telah memberi sedikit dinamisme pada politik daerah. Para politisi lebih muda dan lebih berpendidikan getol atas ide-ide good governance, apalagi ide-ide ini memperkuat mereka menghadapi lawan-lawan politik, sekaligus mengantar ke posisi lebih tinggi. Sementara itu perubahan politik mulai mengganggu jaringan patronage lama dan melemahkan partai-partai politik. Dengan tak efektifnya partai-partai politik, hubungan para politisi daerah dengan pemerintah pusat menjadi tak menentu, tak terprediksi. Hanya ada beberapa jalan untuk memperkuat posisi politisi daerah, juga lainnya, yakni memilih kota-kota madya kaya.

Kepada para politisi daerah yang muda ini kami ingatkan bahwa tangga utama yang tersedia untuk naik di karir-karir politik menuntut mereka membuang idealisme mereka dan terjun menjadi korup. Dan tangga ini telah kian reyot. Tapi Akbayan adalah tangga baru yang memungkinkan mereka memegang idealisme mereka, bahkan terus mengasah dan merealisirnya. Akbayan mampu memberi dasar keorganisasian bagi pemilu-pemilu dan governance. Tapi yang terpandai di antara politisi mengingatkan bahwa tangga Akbayan hanya memiliki beberapa anak tangga saja. Dan untuk menelaah ini, mereka lantas diundang untuk membantu membangun lebih banyak anak tangga.

Salah satu anak-tangga yang telah bangun para aktivis civil society dipimpin Institute for Popular Democracy (IPD) dan Institute for Politics and Governance (IPG) adalah yang disebut BATMAN. Di akhir 1996, para pemimpin daerah yang telah digerakkan oleh diskusi-diskusi pembangunan sebuah partai politik baru menyarankan para penyelenggara Akbayan bahwa jika serius membangun sebuah partai haruslah mereka memikirkan cara membantu para tokoh daerah ini agar menang dalam pemilu-pemilu di barangay, level terendah dari struktur administrasi dan politik. Delapan LSM berbasis di Manila termasuk IPG dan IPD serta-merta menyusun bersama “Manual Pelatihan Pemangku Barangay” – BATMAN – dan menatar lebih 1.000 orang untuk ikut dalam pemilihan-pemilihan barangay pada 1997. Inilah pemilihan barangay pertama sejak LGC diperkenalkan yang menguasakan sebagian hasil pendapatan internal kepada barangay dan honorarium kepada para pejabat barangay terpilih, yang dengan begitu mendorong minat atas pemilihan. Karena sejumlah besar orang yang ditatar itu menang dalam pemilihan, maka muncul permintaan untuk terus menggarap level barangay.

BATMAN menggambarkan sebuah fase berbeda dalam pengembangan garapan-garapan governance oleh civil society di Filipina. Dipahami lebih luas, garapan governance oleh civil society sudah ada sebelum LGC disahkan, di mana kebanyakan garapan ‘people empowerment’ ini belum menargetkan pemda-pemda sebagai lahan garapannya. Paling banter grup-grup civil society membuat garapan paralel dengan karya advokasi, bahkan secara berkala menggarap advokasi juga, meski jarang bekerja di dalam pemda-pemda. Sesudah pengesahan LGC tahun 1991, grup-grup civil society berkonsentrasi pada kampanye pembuatan ketetapan-ketetapan bagi perwakilan masyarakat sipil di badan-badan khusus dalam unit-unit pemda. Tapi BATMAN adalah jaringan pertama yang secara sistematik melaksanakan garapan local governance. (Fabros, 2003)

Tapi mengapa barangay? Dalam “Program Consorsium untuk Pemerintahan Barangay” dari BATMAN awal dikatakan: “Barangay adalah unit governance terbawah di Filipina. Dan juga terbaru. Di desa-desa perkampungan inilah dan di komunitas-komunitas miskin perkotaan yang mayoritas barangay inilah bisa ditemukan kemungkinan terbesar aksi warga memperdalam demokrasi di Filipina... Barangay-barangay, baik di pedesaan pun di perkotaan, merupakan tempat kebanyakan komunitas face to face hidup di tengah menggeliatnya urbanisasi dan komersialisasi masyarakat Filipina. Dominasi grup elit serta sentralisasi politik dan administrasi di hampir sepanjang abad lalu menunjukkan bahwa pusat kota serta kota-kota adalah panggung utama kehidupan politik. Komunitas-komunitas asli umumnya telah dilangkahi... Ketiadaan unit administratif di level barangay [sampai disahkannya LGC, 1991] adalah pengejawantahan kondisi politik ini.”

Pemberdayaan kaum miskin andalan BATMAN dalam garapan governance. Visinya berbeda dari paradigma lama kaum Kiri yang bernyali ‘menguasai negara’ dengan ambisi yang masih toh melangit, yang menentukan sifat dasar hubungan politik. “Penataan sosial dan institusional ini menumbuhkan kultur politik berpola pertukaran barang-barang privat menggantikan barang publik sebagai ‘currency’ yang menciri-khaskan hubungan politik. Para politisi memberi pekerjaan dan uang untuk aneka kebutuhan konsumsi para individu dan kerabatnya, yang kemudian membalas kebaikan itu dalam bentuk dukungan personal kepada politisi dan marganya. Banyak dari kebobrokan politik Filipina – nepotisme, korupsi, kekerasan, kurang-keterbukaan, ketak-efisienan pemerintah – bisa ditelusuri ke sendi dasar ini dalam kultur politik Filipina.” (Consortium Program, 1997: 2)

Sementara inisiatif reformasi di level-level lain pemerintahan bisa membawa perubahan pada elemen tertentu sistem politik, termasuk birokrasi pusat dan bentuk pemerintahan itu sendiri (semisal sekarang peralihan ke parlementer dari bentuk presidensial), kebanyakan perubahan ke pemerintahan demokratis hanya mungkin terjadi pada dasar sistem politik, yakni barangay. Di sinilah kebanyakan warga bisa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik yang dekat dengan kehidupan harian mereka sehingga mempengaruhi perilaku politik, dan pada waktunya, kultur politik itu sendiri.

Dengan LGC 1991, pembentukan unit-unit pemerintahan barangay menciptakan pertama kali dalam sejarah Filipina kemungkinan turbanya pusat gravitas politik Filipina dari kota dan pusat-pusat kota yang didominasi kaum elit ke level barangay di mana masyarakat miskin hidup. Kepada kepala barangay yang digaji dan dewan barangay, LGC memberi sebagian dana pendapatan internal dan melimpahkan pembuatan terbatas peraturan, kekuasaan perpajakan dan peminjaman. Pendek kata, banyak hal kini mungkin dibuat di tingkat barangay, cukup untuk mengerahkan politik level-barangay sebagai ganti politik barangay yang hanya ‘pelengkap’ pada politik kota madya.

Kaum progresif tak jauh beda dari para elit dalam melecehi barangay sebagai komunitas. Pengorganisasian komunitas miskin pedesaan yang paling ekstensif yang selama ini dibuat oleh gerakan demokratik nasional sifatnya rahasia dengan fokus pada ‘persiapan zona gerilya’. Intervensi LSM tak sengaja telah ikut melangkahi dan melecehi komunitas-komunitas level-barangay. Sambil mengindari hubungan politik tradisional yang berpusat pada famili, para LSM berkonsentrasi pada pembangunan ‘organisasi rakyat’ sebagai unit-unit sosial baru yang terhubung secara khusus dengan komunitas-komunitas sebelumnya. Pengorganisasian LSM dan inisiatif reformasi politik telah dituangkan dalam wacana yang ditujukan sebagai kontra atas kultur politik daerah.

Mulai dengan hanya 7 LSM berbasis di Manila, BATMAN segera memperluas menjadi 42 LSM yang kebanyakan dari daerah. Kebutuhan memelihara konsorsium dilayani oleh IPG yang sekaligus sekretariatnya. Selain menatar para pejabat barangay, BATMAN membantu merencanakan pembangunan barangay. LGC mengizinkan kepada barangay adanya majelis dengan kekuasaan legislatif terbatas di mana semua penduduk barangay dapat berperan-serta; satu-satunya bentuk demokrasi langsung yang ada dalam sistem politik sekarang ini. Pemerintah-pemerintah barangay diwajibkan menyusun rencana pembangunan barangay dengan membentuk sebuah dewan pembangunan barangay dengan menyertakan LSM dan organisasi rakyat. Usaha-usaha institusional ini membuka peluang adanya sistem politik partisipatori yang luas. Kerap perencanaan pembangunan barangay menjadi kegiatan yang membutuhkan tanda-tangan BATMAN.

Sesudah 5 tahun beroperasi, apa yang dibuat BATMAN? Bersama para LSM, BATMAN bekerja di lebih 2.500 barangay, di antaranya 1.200 telah menyusun rencana-rencana pembangunan. Pengalaman BATMAN jelas memiliki efek ganda. Kalau pun 1.200 barangay belum berati apa-apa terhadap 45.000 barangay di seluruh negeri, pengalaman BATMAN toh telah beredar sebagai ’praktik terbaik’ local governance. Ini mempercepat penerimaan perencanaan pembangunan di barangay-barangay sekitarnya. Dalam banyak hal, para walikota dari kota-kota lain, bahkan para gubernur, telah meminta BATMAN-LSM melaksanakan program-program BATMAN di wilayah mereka.

Ada banyak keuntungan material. Adanya rencana pembangunan barangay memperlancar pengaksesan sumber-daya dari unit pemerintah daerah lebih tinggi dan sumber lainnya. Prioritas-prioritas barangay juga ikut mempengaruhi budget kota madya. Bagi walikota bersimpatik, rencana pembangunan kota madya mengikuti prioritas yang teridentifikasi dalam rencana pembangunan barangay. Perspektif baru tentang pemakaian dana publik juga mulai tumbuh dengan prioritas baru yang menekankan proyek livelihood, pasokan air minum, pelistrikan desa, dan sistem komunikasi. Hal terakhir ini penting karena bertalian dengan tujuan awal BATMAN memperlancar pengerahan ‘public goods’ guna mengubah hubungan politik antara barangay dan elit-elit utama kota. “Proyek-proyek pecantikan diri” jelas hanya proyek keangkuhan para politisi atau pun sumber penyelewengan dana-dana konstruksi. Proyek dengan dampak jelas pada livelihood warga barangay justru meningkatkan andil dalam partisipasi warga.

Karena besarnya kebutuhan, entah untuk livelihood atau pun infrastruktur publik, upaya-upaya BATMAN hampir tak menyusutkan seluruh persoalan. BATMAN relevan pertama-tama sebagai suatu eksperimen dalam membantu demokrasi partisipatori di level akar-rumput. Dari sudut ini, BATMAN sukses. Entah dari sudut lembaga pemerintah barangay, entah dari sisi pandang LSM dan organisasi kerakyatan, entah pula sikap warga atas pemerintahan, banyak telah dicapai. Perubahan paling jelas terjadi di antara para pemimpin organisasi kerakyatan. “Mereka telah berkembang melampaui orientasi awal sebagai aktivis politik yang menyingkap dan menentang pelanggaran pemerintah dari luar struktur formal negara. Mereka tak lagi hanya menunjuk apa yang salah atau kurang, tapi menjadi peserta aktual dalam proses perubahan, yang mengusulkan solusi dan alternatif, bekerja untuk reformasi dari luar dan dalam pemerintah.” (Santos 2004)

Pemilihan bagi Partai-partai

Banyak wilayah BATMAN segera bergerak dari perencanaan pembangunan barangay ke intervensi elektoral. Dari masalah pemilihan, isu-isu menyangkut partai politik menjadi dekat. Pokok keprihatinannya praktis/politis: Bagaimana merangkum orang-orang yang terpilih sehingga dapat bekerja sama untuk memilih lebih banyak orang pada level politik lebih tinggi? Siapa yang akan bekerja mengubah kerangka hukum dan kebijakan yang menentukan ruang politik partisipatori? Isu-isu ini telah dibahas sejak Oktober 1997, di awal BATMAN. “Yang dicari ialah pelbagai kemungkinan yang bisa tumbuh dengan mengaitkan program secara jelas dengan partai politik khusus. Pada akhirnya, peserta setuju dibutuhkan kendaraan nasional progresif yang dapat memompakan ketahanan pada usaha governance dari barangay-barangay.” (Laporan Konferensi, 1997: 2)

Walau Akbayan belum terbentuk hingga tiga bulan sesudah diskusi ini, BATMAN dari awalnya toh telah diasosiasikan dengan Akbayan. Ini suatu hubungan kompleks dan kerap rawan pertikaian. BATMAN tak punya hubungan formal keorganisasian dengan Akbayan atau partai politik lainnya. Sesudah debat sengit tentang sifat dari relasi antara IPG, sekretariat BATMAN dan Akbayan, IPG menegaskan independensinya secara resmi sebagai sebuah formasi civil society, pernyataan yang juga resmi dikemukakan Akbayan.1

Tapi karena nyatanya BATMAN bekerja erat dengan Akbayan pada level-level nasional dan daerah, hubungan itu berlanjut menjadi pokok diskusi. Persoalannya bukanlah me-nyembunyikan peran Akbayan seolah-olah BATMAN adalah “front’ dan seolah-olah ada hubungan underground.2 Persoalannya lebih bahwa pengalaman kaum Kiri dominan, juga gerakan demokratik nasional, mencerminkan persoalan di mana para LSM dan organisasi rakyat diperalat, integritas mereka dikompromikan oleh kontrol partai tersembunyi. Bahkan kelompok-kelompok Kiri demokratik yang non-nasional terus dipengaruhi oleh perspektif ini di mana, bahkan di dalam Akbayan sendiri sebelum partai menunjukkan posisi formalnya tentang isu itu, terdapat sejumlah tokoh yang meyakini bahwa partai harus memiliki kekuatan veto atas BATMAN.

Karena pengalaman Kaum Kiri dominan begitu berbeda, sulitlah membayangkan, atau lebih dari itu, mengorganisir suatu hubungan di mana grup-grup civil society, seperti BATMAN, menjadi otonom dan bekerja erat, dan paralel, dengan partai politik semisal Akbayan – suatu hubungan yang dinegosiasikan kemudian. Meski hubungan sekarang ini menguntungkan dua pihak, toh ada bahaya Akbayan akan memaksakan agendanya ke dalam BATMAN guna mengkompromikan integritas BATMAN. Sebaliknya, organisasi-organisasi dalam BATMAN bisa memanfaatkan BATMAN dan sumber-daya politiknya serta sumber lainnya untuk meraih tujuan-tujuan tertentu di dalam Akbayan.

Bekerja dengan partai seperti Akbayan akan memampukan proyek seperti BATMAN mempertalikan kota-kota madyanya satu sama lain, mendorong sumber daya badan-badan nasional, dan lebih penting, berkiprah ke ‘proyek politik nasional progresif’. Bagi Akbayan, BATMAN penting untuk mengindentifikasi para politisi daerah berorientasi reformasi yang dapat direkrut ke dalam partai agar membantu mendorong agenda good governance-nya. Tapi peran-peran itu harus dibatasi secara jelas agar mengurangi perselisihan. Ini dapat direalisir bila segala perbedaan dan konlik dihilangkan.

Karena BATMAN lamban mengembangkan program di tingkat kota madya, maka Akbayan masuk dan mengembangkan programnya guna membantu para walikotanya. Komite Akbayan Urusan Pemerintah sendiri lamban menggodok kapasitas walikota Akbayan dalam persoalan pemerintahan dari peningkatan pendapatan hingga penyerahan jasa. Ketika BATMAN akhirnya mulai sibuk menggenjot program municipal-nya, dan karena walikota reformasi non-Akbayan juga butuh bantuan, maka semakin banyak hal harus dikerjakan. Tapi hubungan antara program governance partai dan program civil society BATMAN harus dibatasi seksama guna mengindari konflik dan salah pengertian.

Kaum Kiri dan ‘opsi demokratik radikal’

Dalam suatu evaluasi pengalaman BATMAN yang siap dipublikasikan di sebuah buku pada pertengahan 2004, ada kesimpulan umum bahwa, sembari perlu membentuk wadah barangay, BATMAN akan memiliki dampak politik lebih besar bila berhasil meniru-terapkan (programnya) hingga level kota madya. (Estrella, Izatt, 2004) Tanpa ada intervensi terorganisir untuk demokrasi partisipatori di tingkat kota madya, maka hasil-hasil yang sudah didapat dari intervensi level barangay tidaklah berguna. Lebih buruk, dengan beberapa kekecualian, bahwa pengerahan dana untuk proyek-proyek barangay masih harus dilaksanakan melalui pola patronage lama.

Meniru-terapkan ke tingkat kota madya tak hanya logis tapi juga tak terhindarkan. Ini karena, sebagaimana telah dikemukakan (Santos 2004), “pemerintah kota madya/kota berkuasa mempengaruhi secara drastis program dan inisiatif-inisiatif pembaruan di tingkat barangay. Semisal seorang pejabat barangay, yang menentang walikota atau pejabat teras lain di pemerintah kota madya/kota, dapat mengalami kesulitan menanti dikeluarkan Jatah Pendapatan Internal barangay-nya. Pemerintah kota madya/kota, dikepalai walikota, berkuasa menentukan sumber-sumber daya, alokasi budget, aturan jasa pendukung, dan pelbagai jenis program pembangunan. Dengan kehendak politik, mereka bisa melaksanakan reformasi di pemerintahan, seperti menggalang program partisipatori, memerangi korupsi dan menggenjot hasil pendapatan. Hasil pembaruan di barangay-barangay, yang didukung oleh inisiatif-inisiatif di tingkat kota madya/kota, akan memperluas skop reformasi dan memberi dampak lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan dan meraih reformasi politik sejati.”

Jika meniru-terapkan menjadi tantangan utama keorganisasian bagi BATAM, maka tantangan teoritis utamanya adalah melokalisir politiknya dalam bingkai lebih luas kaum Kiri. Menginterogasi pemerintah ‘resmi’ serta wacana demokratisasinya hanyalah suatu permulaan yang disyaratkan. Yang lebih penting ialah menemukan tempat BATMAN dalam reorientasi kaum Kiri Filipina yang tengah berlangsung. Tapi bukan berati proses itu belum mulai. Kebutuhan mendesak di sini adalah mensistemasikan pekerjaan teoritis, melaksanakan proses ikhtisar terorganisir dari kesatuan-kesatuan teoritis yang diperoleh dari praktik yang kerap tak sistematis, serta membuka debat tentang isu-isu yang rawan konflik. Mengaitkan dengan debat internasional terkini tentang isu-isu sejenis dapat juga membantu mempertajam isu-isu itu dan mempercepat prosesnya.

Melokalisir –juga “meniru-terapkan” bila ada– wacana BATMAN dalam bingkai “Kiri-Kanan” agaklah penting karena memuat titik temu dari “revisionist neo-liberalism” dan aliran tertentu “post Marxism”. Menurut Mohan dan Stokke, dua aliran intelektual ini bersua dalam “...keyakinan bahwa negara dan pasar tidak dapat semata-mata bertanggung jawab untuk menjamin pemarataan sosial dan kesejahteraan ekonomi, dan kemudian mengakui kebutuhan untuk menganggap daerah sebagai lahan pemberdayaan dan karenanya menjadi tempat penggarapan pengetahuan dan intervensi pembangunan.”

Mohan dan Stokke menambahkan, “... Dua aliran berbeda ini masih membawa perbedaan penting dalam penekanannya. Neo-liberalism berfokus pada pembaruan institusional dan pembangunan sosial melalui partisipasi komunitas dan pemberdayaan, meski dalam orde sosial yang mapan – misalnya tidak mengorbankan kekuasaan dan privilege yang berkuasa. Sebaliknya, post-Marxism mendukung pandangan lebih radikal tentang pemberdayaan, yang sangat didasari pada social conscientisation dan mobilisasi sosial (membangun identitas kolektif) untuk menentang interes hegemonik dalam negara dan pasar. Dalam hal ini, “pemberdayaan kelompok-kelompok marginal membutuhkan transformasi struktural dari hubungan-hubungan ekonomis dan politis ke masyarakat yang berciri demokrasi radikal” (Mohan dan Stokke, 2000: 249)

Kebanyakan aktivis BATMAN cenderung mengatakan “Apa sih hebatnya? Tapi kami jelas berpihak pada yang Anda sebut ‘Post-Marxist’ tak peduli kami sendiri menyebut diri Marxis atau tidak.” Cukup benar memang. Tapi tanpa kesadaran adanya perbedaan, maka bahaya kooptasi atau jebakan opportunisme untuk memanfaatkan dana-dana proyek pemda yang neo-liberal sangatlah besar. Selain itu, sulitlah mengidentifikasi wilayah-wilayah convergence (persepakatan) dengan kaum pembaharu yang mungkin berjalan di bawah kerangka neo-liberal dalam pengelolaan proyek seperti anti-korupsi sebagai concern-nya. Juga, dengan tiada peta wacana yang memandu ‘white waters’ dari diskurus perihal local governance, maka potensi pemberdayaan proyek-proyek local governance, seperti BATMAN, tak dapat berjalan sungguh-sungguh.

Dengan merambanya hegemoni ideologis dari perjuangan bersenjata kaum Maois di hampir seluruh dekade 1970an and 1980an, maka upaya kaum Kiri menteorikan strategi terbuka tanpa kekerasan persenjataan menjadi melempem dan mendera. Ketika hegemoni ideologis Maois mengalami perpecahanan berat dalam Partai Komunis Filipina (CPP) di paruh pertama 1990-an, kaum Maois terus saja mengintimidasi grup-grup Kiri lainnya secara ideologis. Grup-grup Kiri ini kerap tanpa sadar mengikuti sikap ‘revolusioner’ menurut standar yang tak jelas dari CPP. Ini toh tidak menjadi soal bagi BATMAN. Hanya saja karena ia bekerja erat dengan partai-partai politik seperti Akbayan dan blok-blok politik yang melek ideologi, maka formasi teoritis BATMAN terpengaruh.

Satu pendekatan penting dalam BATMAN adalah theoretical pluralism: “...Partisipasi dapat diibaratkan sebuah lintasan berjalur-ganda di mana pelbagai kendaraan melaju pada jalur berbeda. Kendaraan lamban melihat partisipasi dari sisi membangun komunitas pemberdayaan berkelanjutan dan menggalang model governance alternatif. Sedangkan, kendaraan jalur cepat memahami partisipasi dari sudut masyarakat politik –– yang mencoba memanfaatkan ‘momen-momen keretakan negara’ lewat partisipasi politik yang langsung menantang legitimasi aturan elit dan status quo. Tapi kedua arus kendaraan itu tak berkompetisi melainkan saling melengkapi mengikuti lintasan berjalur-ganda menuju jurusan sama... Menumbuhkan dua perjuangan ini bersama akan mempercepat upaya setiap individu membentuk dan membangun kekuatan sambil memperkecil kemunduran yang diakibatkan kekakuan menggunakan satu bentuk perjuangan.” (Villarin, T., 2004) Menjabarkan konsep ini, Villarin melihat, kesempatan ‘momen-momen keretakan negara’ muncul ketika “...gerakan-gerakan politik, juga sosial, berusaha memanfaatkan ‘momen-momen keretakan negara’ dengan menggalang partisipasi politik yang langsung menantang legitimasi aturan elit dan status quo.”

Pendekatan ini adalah refleksi atas keragaman ideologis BATMAN dan kaum Kiri Filipina secara keseluruhan. Ini membantu mendorong grup-grup yang berbeda secara ideologis membentuk koalisi-koalisi dan hidup berdampingan dengan partai-partai baru bermacam aliran, seperti Akbayan. Tapi di sisi tertentu, kontradiksi-kontradisi teoritis di antara faham-faham yang melaju pada aneka “jalur lintasan” itu harus diatasi. Orientasi mereka dapat dipahami dengan melihat sejarah ideologis kaum Kiri Filipina. Setidaknya ini langkah lanjutan di antara fakta adanya “perang rakyat berlarut-larut” Maois, keanekaan kerangka “gerakan pembebasan nasional”, dan “opsi demokratik radikal”. Upaya ini mencegah keterputusan radikal dengan masa lalu dan mendorong kelompok-kelompok yang menganut faham itu berpikir “revolusioner”. Ingin saya tegaskan, ini adalah sebuah pendekatan berbeda dari asumsi-asumsi pokok BATMAN, yang bisa saya kategorikan lebih dekat ke “opsi demokratik radikal’.

Persoalan lain juga yakni bahwa orientasi pemanfaatan “keretakan negara” amatlah dekat dengan kerangka Maois dan gerakan pembebasan nasional yang fokusnya “menguasai (pusat) negara”. Ini berlawanan langsung dengan kerangka local governance BATMAN. Masalahnya bukan semata-mata keanekaan tugas atau keragaman lintasan kendaraan yang berpacu menuju jurusan sama. Tapi, bekerja di luar strategi perjuangan bersenjata berpola pemanfaatan “keretakan negara” rentan terhadap kudeta dan cara-cara lain yang mendorong kehancuran radikal dari pendistribusian kekuasaan di tingkat nasional. Bagi BATMAN persoalannya bahwa kerangka pemanfaatan “keretakan negara” terlihat tidak menyukai, jika bukan menentang, pembaharuan politik dan pengakumulasian kekuasaan yang memadukan proses elektoral dan perjuangan massa. Mengatakan dua pendekatan itu bisa hidup berdampaingan justru menyepelekan penilaian yang mendasari misi “jalur lambat” untuk membangun komunitas berkelanjutan yang diberdayakan dan menggalang model-model pemerintahan alternatif”.

Isu ini perlu ditinjau dan dibahas secara intensif karena mengandung banyak konsekuensi lanjutan. Pengalaman Amerika Latin menunjukkan secara jelas bahwa strategi akumulasi kekuasaan yang berjalan lamban di politik daerah masih toh lebih produktif daripada strategi-strategi kaum pembebasan nasional lama atau versinya yang baru yakni “transition through rupture” yang non-armed. Naiknya Lulu sebagai presiden di Brasil adalah berkat Partai Buruhnya yang mengakumulasikan kekuasaan dan pengalaman partai itu di politik daerah. Di Meksiko, sebaliknya, Partai Revolusi Demokratik (PRD) yang berorientasi ke “transition through rupture” justru makin menjauh dari usaha merangkum kekuatan nasional.

Perbedaan yang berseberangan antara wacana kaum Kiri lama dan ide-ide kaum Kiri baru, antara wacana LSM anti-negara dan ide-ide lebih baru yang mendorong intervensi masyarakat sipil dalam formasi partai politik, tidak diperdebatkan secara seksama di dalam gerakan progresif Filipina. Orang cenderung segan mendiskusikan isu-isu ini. Tapi justru karena keseganan ini, maka kecurigaan tentang BATMAN sebagai sebuah “front” dari Akbayan terus saja bersiuran. Toh apa yang sebenarnya dibutuhkan pada akhirnya bukanlah bahwa wacana itu menghasilkan satu orde tunggal yang stabil, tetapi bahwa lebih banyak orang mengakui bahwa hubungan-hubungan tak stabil, yang tengah bergeser dan yang terbuka untuk dirundingkan adalah lebih menghasilkan demokrasi partisipatori yang selama ini kami perjuangkan. *****

Catatan Redaksi:
Judul asli tulisan ini adalah
More Than Difficult, Short of Impossible: Party Building and Local Governance in the Philippines.

Catatan Kaki:
1. Pada pertemuan 13 Juli, 2001 antara Komite Eksekutif Akbayan dan dewan IPG, Komite Eksekutif Akbayan mengatakan: “Akbayan tak mengklaim IPG sebagai institut politiknya. Ia tak punya kuasa veto atas keputusan internal, juga tak mengklaim ikut dalam pemilihan direktur eksekutif atau mengangkat stafnya. Adalah program Akbayan mempertahankan otonomi dari lembaga-lembaga civil society terhadap lembaga-lembaga negara dan partai-partai politik yang ingin masuk ke dalam negara... Selain itu, sejarah IPG dan Akbayan menunjukkan hubungan kedekatan. IPG dibentuk oleh para anggota blok-blok politik yang juga membuat Akbayan, dan para individu Partai Demokratik Filipina dan Partai Liberal, guna memperlancar dan mendampingi pekerjaan grup-grup politik progresif dan membantu mengadakan inisiatif-inisiatif politik progresif... Akbayan tak mengklaim memiliki IPG tapi mendukung hak para anggota mereka, yang juga anggota dewan IPG, untuk membuat keputusan sendiri dari sisi interes-interes Akbayan...” Laporan Pertemuan Bersama Dewan IPG dan Komite Eksekutif Akbayan, 13 Juli 2001.

2. Praktik umum dalam partai-partai Marxis Leninis di Filipina adalah memiliki suatu partai bawah-tanah yang mengontrol organisasi-organisasi luar-tanah termasuk partai-partai politik.


Baca selengkapnya!

13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 1)

Catatan Editor:
Artikel ini beradal dari JILAS: Journal of Iberian and Latin American Studies 4(1). Ditulis oleh James Petras. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. IndoPROGRESS memuatnya menjadi 7 (tujuh) bagian sesuai dengan sub-judul pada artikel aslinya.

Pengantar

Esai ini merujuk pada beberapa debat utama mengenai “transisi,” yang melibatkan para akademisi para politisi terkemuka di Amerika Latin. Kita dapat menggolongkan “debat mengenai transisi” itu ke dalam dua kategori luas yang saling berhubungan: “ekonomi” dan “politik.”

Satu garis penghubung yang bisa kita tarik dari kebanyakan teoritikus neoliberal, mereka membantah bahwa antara reformasi ekonomi dan demokrasi politik adalah gejala yang saling menunjang. Mereka menganjurkan agar pasar bebas dari regulasi (pengaturan) negara, sehingga mendorong terjadinya kompetisi. Kompetisi pasar yang bebas dari intervensi negara akan menyebabkan terjadinya efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, terbentuknya masyarakat yang lebih terdiferensiasi. Kondisi ini dengan demikian mempercepat terwujudnya pluralisme sosial dan pluralisme politik: kebebasan memperoleh kesederajatan ekonomi sama dengan kebebasan memperoleh kesederajatan politik. Garis argumentasi neoliberal lain, yang lebih terbatas berpendapat, reformasi ekonomi akan mendorong ke arah pembangunan ekonomi. Bagi kelompok ini, awal yang menyakitkan dari penyesuaian struktural pada akhirnya menghasilkan kemakmuran di masa depan. Proses ini berkaitan dengan ruang dan waktu.

Akhirnya para penganut neoliberal mengatakan, kita sudah memasuki suatu dunia baru yang telah terglobalisasi. Sebuah dunia di mana kekuatan yang impersonal dari pasar liberal, menuntut liberalisasi pasar negara nasional (jika bukan sebuah anakronisme) untuk merinci kebijakan yang mempersiapkan ekonomi nasional agar siap berkompetisi secara internasional. Sebuah varian “neostruktural” menganjurkan agar negara harus mempertahankan perannya guna mengoreksi ekses-ekses dari pasar, misalnya, melalui program pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki dampak dari penyesuaian pasar. Esensinya, kalangan neoliberalis berpendapat, merupakan sesuatu yang tak terbantahkan bahwa transisi ekonomi harus berujung pada pasar bebas; tidak ada alternatif yang mungkin atau realistis. Ignacio Ramonet, editor Le Monde Diplomatique, menyebutknya sebagai “pensamiento ú nico,” yang secara harafiah bermakna “hanya pikiran.”

Kedua, adalah literatur yang berhubungan dengan transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perdebatan tentang ini sudah berlangsung sejak awal 1980an. Aliran pemikiran dominan (dominant school) berpendapat, sebagian besar negara di Amerika Latin telah sukses dalam transisi menuju rejim politik demokratis (dengan perkecualian barangkali, Peru dan Mexico. Bahkan para penganjur utama transis menuju demokrasi, beberapa di antaranya mengalami perselisihan pendapat).

Tesis dari para penganjur transisi demokrasi berpendapat, kendati masih berada dalam bayang-bayang otoritarianisme, proses konsolidasi telah melalui sebuah pakta politis di antara para elite elektoral, kelas sosial-ekonomi yang berkuasa (socio-economic ruling class), dan para jenderal. Karena itu, sebagian dari para penulis ini, menunjukkan bukti-bukti yang konsisten dimana banyak pemerintah yang terpilih di banyak negara Amerika Latin yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Amerika Latin. Mereka juga memperlihakan bukti tentang supremasi sipil dalam mengatasi militer. Mereka mengidentifikasi ancaman bagi demokrasi berasal dari angkatan perang di luar rejim, gerakan-gerakan sosial ekstra-parlementer yang bertindak di luar gelanggang pemilu, dan para pejabat militer garis keras yang tidak puas akibat perubahan yang terjadi. Menurut skenario ini, para teoritikus transisi demokrasi mengacu pada peran Washington yang mengubah politik gendarme yang secara informal menjaga imperium, menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi dan pasar bebas.

Esai kami ini menantang premis-premis dasar yang dikemukakan oleh para teoritikus neoliberal. Kami berpendapat, reformasi ekonomi tidak mendorong terwujudnya demokrasi politik tetapi, pada terciptanya ketidakadilan yang meluas dan polarisasi sosial yang tinggi akibat represi negara. Kebijakan pasar bebas sesungguhnya telah dimulai sejak berkuasanya diktator militer pada 1970an. Kebijakan itu kemudian semakin meningkat dalam siklus neoliberal dengan reformasi ekonominya yang diikuti oleh pemulihan jangka pendek dan krisis yang berulang, yang kemudian ditangani kembali dengan paket penyesuaian baru; “siklus sakit yang berakhir dengan sakit.” Kebijakan penyesuaian tak lebih dari suatu strategi pembangunan ekonomi (yang di atasnya terdapat sedikit indikator kemajuan dan suatu kelimpahan data yang saling bertentangan). Lebih tepat untuk disebutkan bahwa kebijakan penyesuaian ini lebih sebagai sebuah strategi politik untuk memusatkan kekayaan dan mengumpulkan sumberdaya negara.

Para pembela tesis transisi demokrasi (transitologi), gagal membedakan antara “negara” dan “rejim:” dalam arti bahwa negara otoriter (militer, polisi, pengadilan, dll.) tidak berubah di masa “transisi” ini. Justru yang terjadi adalah sebuah kesinambungan secara tersirat (samar-samar) maupun tersurat (tampak jelas) dalam era demokrasi yang bebas ini. Ada kesinambungan dari praktek-praktek otoriter di dalam rejim sipil hasil pemilu (civilian electoral regimes): aturan berdasarkan dekrit, privatisasi tanpa konsultasi dengan rakyat, penggunaan yang sering dari militer atau intimidasi negara untuk mempengaruhi penyesuaian semua hal yang bertentangan dengan suatu kebudayaan otentik warga yang demokratis. Sebuah siklus ekonomi neoliberal memperdalam, seperti penyakit kronis dan menyebar, dimana hal ini membentuk spiral menaik bagi rejim politik yang represif: setiap rejim politik kemudian mulai bersandar pada perundang-undangan otoritarian yang dipilih kembali yang membedakannya dengan janji-janji kampanye yang menyesatkan dan memanfaatkan pendekatan represif untuk membatasi pembelaan publik atas dampak dari upah yang merugikan, mereka yang bergaji dan kelas petani.

Kerangka kerja ini secara radikal menggeser istilah-istilah yang selama ini muncul dalam perdebatan: dari transisi ke demokrasi, menuju transisi ke neo-otoritarianisme; dari transisi ke pasar bebas dan kemakmuran, menuju kemunduran kapitalisme yang barbar. Analisa ini, sebagian besar fokusnya pada elaborasi (penjelasan yang rinci) kerangka kerja analitikal guna menjelaskan kecenderungan saling pengaruh yang mengarah pada terbentuknya otoritarianisme politik yang lebih besar dan polarisasi sosial, sebagai akibat dari kebijakan rejim hasil pemilu.

Di seluruh Amerika Latin, telah tumbuh kekecewaan rakyat yang mendalam terhadap pemerintahan neoliberal yang menyebabkan terjadinya persekutuan lintas benua lebih dari dekade sebelumnya atau lebih. Namun salah satu paradoks yang mengacaukan dari analis politik regional bahwa para pemilih segan untuk tidak mengakui rejim tersebut di kotak pemungutan suara: kehancuran yang disebabkan oleh gagalnya ekonomi sosial tidak menjadi rintangan bagi rejim pengganti hasil pemilu untuk terikat dengan kebijakan yang sama. Paradoks lainnya juga mengalami kebuntuan: selagi oposisi politik, memanfaatkan permusuhan pemberi suara, sukses mengampanyekan isu mengenai upah dalam pemilu untuk menyingkirkan pemerintahan neoliberal. Tapi, begitu rejim baru ini berkuasa dalam waktu singkat dan sistematis segera menanggalkan janji-janji populisme yang diumbarnya pada masa kampanye pemilu. Dalam seketika, rejim baru tersebut berbalik arah memperdalam agenda-agenda neoliberal yang diwariskan rejim pendahulunya.

Esai ini akan mengeksplorasi pola yang direproduksi oleh rejim neoliberal di Amerika Latin dan mempertanyakan apakah mungkin ada sebuah resolusi untuk mematahkan siklus politik ini. Yang terakhir ini berkaitan, dan saling berhubungan dengan, naik turunnya spiral ekonomi-sosial, yang pada gilirannya, secara erat berhubungan dengan suatu bagian kunci dari daftar lagu-lagu (repertoire) neoliberal, yang disebut kebijakan penyesuaian struktural (SAPs). Berdasarkan pada pengujian dampak sosial ekonomi ini, kami menyatakan bahwa terlalu banyak perhatian yang telah diberikan kepada SAPs sebagai bagian dari strategi ekonomi yang diakui ketimbang memahami SAPs sebagai motivasi utama sebuah kelas yang diarahkan melalui strategi politik.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 2)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Pertama

Rejim neoliberal hasil pemilu, telah mengikuti suatu siklus dari keadaan berkuasa, mengalami pembusukan, dan kemudian bangkit kembali. Terdapat tiga gelombang besar yang bisa kita identifikasi. Bagi banyak negara yang mengalami gelombang pertama sepanjang dekade 1980an, kira-kira bersamaan waktu dengan transisi hasil negosiasi antara kediktatoran militer dengan pemerintahan sipil yang berlangsung di hampir seluruh benua ini. Gelombang kedua mengikuti arah ujung dekade hingga paruh pertama dekade 1990an. Gelombang ketiga neoliberal dimulai pada akhir gelombang kedua hingga periode sekarang ini.

Fernando Belaúnde dan Alan García di Peru, Raúl Alfonsín di Argentina, Miguel de la Madrid di Mexico, Julio Sanguinetti di Uruguay, dan José Sarney di Brazil, adalah figur-figur terkemuka yang memimpin gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu. Mereka menjalankan kekuasaan di atas gelombang eforia yang menyertai proses “redemokratisasi” dan harapan pemilih mengenai perubahan politik dan keterbukaan ekonomi yang mempromosikan kebebasan dan kemakmuran. Cepat atau lambat, bagaimanapun, setiap pemerintahan reformis tersebut segera berbalik arah secepat kilat dari retorika kampanyenya yang populis dengan memperpanjang agenda pasar bebas yang mula-mula diusulkan oleh pemerintahan diktator militer yang mereka gantikan. Ini menunjukkan suatu kesediaan untuk menerapkan “stabilisasi” dan SAPs yang didiktekan oleh IMF dan Bank Dunia. Ketundukkan kepada IMF dan Bank Dunia itu dimulai dengan menghancurkan program-program kesejahteraan sosial, membuat undang-undang (legislasi) yang melemahkan posisi kaum buruh, mengambil langkah pertama dengan menghancurkan sektor negara (BUMN), mengijinkan penghapusan utang luar negeri secara besar-besaran kepada perusahaan publik, dan memberi prioritas pada pembayaran kembali utang luar negeri dengan mengorbankan biaya untuk pembangunan ekonomi dan sosial di dalam negeri.

Tetapi apa yang menyolok dari kegagalan umum gelombang pertama rejim neoliberal ini untuk menghasilkan dukungan, pertumbuhan dinamis berdasarkan atas distribusi kemakmuran dan pendapatan yang lebih merata? Sebagaimana tampak dari istilah-istilah yang mereka simpulkan, setiap usaha yang serius untuk melawan krisis ekonomi, dalam beberapa kasus berbaur dengan skandal korupsi besar-besaran, terciptanya depresi pemilih yang meluas, dan berkembangnya oposisi borjuis elektoral dan oposisi ekstra-parlementer. Kasus Peru dan Brazil adalah ilustrasi yang baik mengenai hal ini. Di Peru, Belaúnde memenangkan kursi Presiden pada 1980, sebagian besar disebabkan oleh kemampuannya menarik suara dari para pekerja, petani, dan kaum miskin kota. Dukungan itu diraihnya setelah menebar janji pekerjaan tetap, peningkatan standar hidup, dan kebebasan yang luas bagi serikat buruh. Tapi, begitu ia menjadi pejabat pemerintah, Belaúnde dengan cepat memberi tanda bahwa ia akan menerapkan sebuah agenda prioritas baru: pembebasan pasar, privatisasi perusahaan-perusahaan negara, menarik minat para investor asing, mengadakan pertemuan internasional untuk menunaikan kewajiban membayar utang, dan memaksakan tindakan-tindakan penghematan dan stabilisasi guna mendapatkan kembali utang baru dari lembaga-lembaga keungan internasional. Pada 1984, kebijakan neoliberal Belaúnde, tidak menghasilkan pertumbuhan maupun pembangunan. Sebagai gantinya, ekonomi Peru justru terjerumus ke dalam resesi ekonomi yang menyakitkan: kira-kira 50 persen dari produk ekspor hanya digunakan untuk membayar utang luar negeri sesuai jadwal. Sementara itu, produksi industri dan pertanian hanya menghasilkan kebangkrutan. Biaya sosial sama artinya dengan kehancuran: pengangguran bertambah tinggi, harga makanan melonjak tak terjangkau, upah nyata merosot dan secara dramatis dilaporkan, kasus penderita kekurangan gizi dan tuberculosis (tbc) meningkat.

Dengan sederetan dampak dari kebijakan neoliberal yang diterapkannya itu, dukungan terhadap kandidat dari partai Belaúnde untuk pemilihan Presiden pada 1985, merosot kurang dari sepuluh persen.

APRA, partainya Alan García, memenangkan perolehan suara pada pemilu 1985 di Peru. Partai ini memenangkan pemilu dengan mengusung platform yang menjanjikan perbaikan kemunduran ekonomi dan peningkatan standard hidup. Menurut Garcia, kedua hal yang ia janjikan itu akan dilaksanakan melalui strategi kombinasi antara tindakan-tindakan penghematan dan peningkatan belanja pemerintah. Selama 1986-87, García bekerja melebihi kemampuannya tapi, pemulihan ekonomi tetap rapuh (inflasi rendah, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli massa). Tetapi, seluruh janji-janji itu dengan cepat berbalik arah sebagai akibat investasi yang macet, pelarian modal (capital flight), dan kesulitan neraca pembayaran. Antara tahun 1988 dan 1990, rejim Garcia membuang retorika populisnya dan menetapkan tiga jurus IMF-SAPs, sebagai akibat kegagalannya dalam mengendalikan hiperinflasi di bawah kendalinya. Yang paling kasar dari paket ekonomi ini adalah ditetapkannya peningkatan harga melebihi waktu-waktu sebelumnya secara massif, dalam hal ini bahan-bahan makanan dasar dan barang konsumsi. Akibatnya sudah bisa diramalkan, hancurnya standard hidup. Pelakuan kejutan penghematan ini telah menyebabkan pemiskinan segmen terbesar dari populasi penduduk Peru. Saat ini, eksperimen neoliberal telah memicu kebangkitan besar dari perjuangan kelas dan politik: ratusan ribu kelas pekerja di pertambangan, tekstil, pendidikan, dan sektor negara berpartisipasi dalam gelombang besar pemogokan di seluruh negeri.

Di Brazil, urutan peristiwanya hampir sama: dari perubahan jangka pendek, reformasi terbatas menjadikan kebijakan neoliberal berkembang pesat dan berakhir pada robohnya basis politis rejim Sarnye. Melalui kombinasi pembekuan harga, reformasi mata uang dan tindakan-tindakan lainnya, pemerintahan Sarney (1985-90) untuk sementara berhasil mengendalikan inflasi rendah dan meningkatkan upah nyata. Namun demikian, pada awal 1987, kebanyakan pembatasan harga telah dihapuskan, dimana hal ini memberi sinyal bagi pergeseran kebijakan yang utama. Pada akhir 1988, kembali terjadi hiperinflasi yang menghancurkan daya beli kelas pekerja, ekonomi kembali mengalami krisis, dan korupsi pemerintah kian merajalela. Sementara itu, Sarney tampak lebih mengonsentrasikan kebijakannya pada renegosiasi secara diam-diam utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 121 milyar. Ongkos dari renegosiasi itu, pemerintah kembali menerapkan kebijakan pengetatan untuk mendapatkan pinjaman dari para kreditor. Inflasi, lagi-lagi, membentuk spiral menaik yang tak terkontrol, ratusan ribu kelas pekerja yang terorganisasi turun ke jalan-jalan, melakukan pemogokan dan protes-protes lainnya menentang konsekuensi dari kebijakan neoliberal.

Demonstrasi dan pemogokan besar-besaran ini, tentu saja menyebabkan situasi tidak nyaman bagi para investor. Terjadi instabilitas politik yang berpengaruh pada kalkulasi bisnis. Itu sebabnya, pemerintah kemudian menghadapi aksi-aksi protes itu dengan mengedepankan tindakan hukum dan ketertiban (law and order). Pada titik inilah, pemerintah kembali menyandarkan nasibnya pada militer dan polisi. Hasil jajak pendapat umum yang diselenggarakan sebelum pemilihan kotapraja pada November 1988, kekuasaan Partai Pergerakan Demokratik Brasil, menderita kerugian besar. Persetujuan Sarney atas penerapan kebijakan neoliberal telah menyebabkan partainya menderita kekalahan telak, lebih rendah dari lima persen.

Krisis gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu, tidak mempengaruhi agen-agen pemberi pinjaman internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk mengkritisi konsekuensi-konsekuensi reformasi ekonomi atau pasar bebas. Justru sebaliknya, mereka tetap bersikukuh pada diagnosa mereka sebelumnya. Kesalahan bukan pada resep yang dianjurkan tapi, pada kegagalan rejim neoliberal gelombang pertama dalam menerapkan kebijakan neoliberal yang ketat, konsisten, dan berkelanjutan. Hasil diagnosa ini, bagaimanapun, mengabaikan para pendonor asing dan para kolaboratornya sebagai sumber masalah dalam menjerumuskan Amerika Latin ke dalam krisis yang lebih dalam. Yang penting bagi para pendonor dan kolaboratornya itu, sejauh para pemilih yang merasakan pahitnya obat memperoleh kemakmuran di masa depan sepahit apapun tak soal, khususnya ketika prospek kemakmuran tetap nampak di kejauhan. Isu politik yang paling penting bagi para aktor internasional dan kalangan oposisi elektoral domestik, berpusat pada pertanyaan: siapa yang akan membentuk rejim neoliberal gelombang kedua, yang memenangkan suara mayoritas sehingga bisa menerapkan agenda neoliberal yang baru dan lebih radikal?


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 3)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Kedua

“Gelombang” kedua dari politikus-politikus elektoral neoliberal, adalah Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Fernando Collor di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Jaime Paz Zamora di Bolivia, Luis La Calle di Uruguay, dan Carlos Salinas di Mexico. Para politisi ini diharuskan memecahkan dilema ketundukan kepada pemilihnya di satu pihak dan berlangsungnya sebuah tatanan yang memaksa para politisi ini harus melayani penguasa ekonominya melalui pemisahan proses politik ke dalam kumpulan-kumpulan yang berbeda.

Pada gelombang kedua neoliberal ini, masa-masa kampanye pemilu ditandai oleh serangan tajam terhadap kelompok populis, yang merupakan konsekuensi dari neoliberalisme (kemiskinan, stagnasi, dan pelarian modal). Tujuannya, menyebarkan ketidakpuasan rakyat terhadap rejim neoliberal gelombang pertama sekaligus, mendulang suara untuk mengantarkannya ke posisi pemerintahan. Periode paska pemilu dengan cepat menyaksikan penegasan kembali bagi agenda neoliberal yang dikombinasikan dengan suatu indikasi kuat bahwa presiden gelombang kedua ini bukan sekadar mengubah proses tetapi, dengan sungguh-sungguh meradikalisasi kebijakan-kebijakan para pendahulunya. Apakah itu melalui dukungan kuat terhadap percepatan formula-formula privatisasi, pemberlakuan undang-undang yang lebih membatasi aktivitas serikat buruh atau penuruan upah buruh dan pemotongan lapangan kerja guna menciptakan suatu angkatan kerja cadangan yang lebih besar dari tenaga kerja murah. Ini semua pada akhirnya menghancurkan standar hidup rakyat di seluruh negeri.

Setelah sukses berkampanye untuk pemilihan presiden Venezuela pada akhir 1988, dengan sebuah program quasi-populist, mencakup dukungan terhadap kartel pemberi utang untuk membatasi biaya-biaya sosial ekonomi guna pembayaran kembali utang luar negeri kepada para kreditor internasional, Carlos Andrés Pérez mulai menerapkan program neoliberal yang sangat kasar, tepat ketika ia mengambilalih kekuasaan politik. Pada Pebruari 1989, pemerintahan baru ini melakukan negosiasi paket ekonomi sebesar US$ 4.6 milyar dengan IMF. Tindakan ini mencerminkan, sebagian, suatu keputusan untuk menempatkan pembayaran kembali utang luar negeri sebagai prioritas utama. Tak lama berselang, pemerintah memaksakan peningkatan besar-besaran bagi ongkos bensin, pengangkutan, dan bahan makanan dasar. Kebijakan ini tak pelak memicu ledakan huru-hara dimana 200 orang mati dan lebih dari 1.000 lainnya terluka.

Ketika kontrol terhadap harga dan subsidi bahan makanan dihapus, dan pembebasan tingkat suku bunga hingga dua digit di bawah tingkat inflasi, selama 18 bulan pertama pemerintahan Pérez, telah diambil langkah-langkah penghematan yang luar biasa (penghapusan penghalang tarif, pengurangan ribuan lapangan kerja di sektor negara, dll). Akibat langkah penghematan brutal Pérez ini, secara signifikan telah mengikis standar hidup masyarakat bawah dan kelas menengah. Meskipun terjadi peningkatan GDP sebesar 9 persen antara pertengahan 1991-92, persetujuan Pérez terhadap masalah publik jatuh sebesar 6 persen. Akibatnya, tidak mengejutkan jika upah riil pekerja jatuh pada level setengah dari apa yang mereka peroleh pada tahun 1988. Sekitar 60 persen populasi Venezuela tetap hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, seiring dengan konsekuensi reformasi neoliberal, bersamaan dengannya terjadi peningkatan politik uang dan korupsi yang meluas di dalam tubuh rejim. Kondisi ini sekali lagi kemudian memicu protes di seluruh negeri dan kemacetan kerja di hampir semua tempat kerja tetap. Pada Mei 1993, Mahkamah Agung, telah memiliki bukti-bukti yang cukup kuat untuk menuntut Pérez atas korupsi dan penggelapan dana-dana publik. Setahun kemudian, ia didakwa dan kemudian dipenjarakan dengan tuduhan mengembangbiakkan perilaku korup di pemerintahannya.

Di Brazil, pemerintahan Collor (1990-93) dengan cepat mengandangkan retorika populis selama pemilu dan membuat kerangka rencana ekonomi pasar bebas yang ambisius, yang didasarkan pada deregulasi, privatisasi skala besar, dan membiarkan upah dan harga ditentukan oleh pasar. Walaupun usaha untuk menjual perusahaan-perusauaan milik negara hampir tidak mengalami kemajuan karena oposisi rakyat yang konsisten terutama pada basis-basis pelayanan publik, rejim Collor terus tertekan dengan kebijakan fiskal dan moneter untuk menekan jumlah permintaan. Pada saat bersamaan aktivitas industri mengalami kelesuan yang parah, tingkat pengangguran semakin tinggi, hiperinflasi merajalela, jumlah kebangkrutan yang belum pernah terjadi, dan pertumbuhan keseluruhan negatif. Pada akhir 1991, basis dukungan rakyat terhadap Collor ambruk. Ketika kebijakan neoliberal menyebabkan resesi pada tahun ketiganya, presiden telah dihadapkan pada masalah lain: pada Juni 1992, suatu penyelidikan oleh Kongres menemukan bahwa Collor dengan sadar memanfaatkan kantor publik guna keuntungan pribadi. Pada September, para anggota Kongres menjatuhkan impeachment; dan tiga bulan kemudian Collor dipaksa meninggalkan kantor kepresidenan. Tak lama berselang Collor menghadapi tuntutan hukum dari senat atas aktivitas korupsi yang dilakukannya.
Pemerintahan Zamora di Bolivia ( 1989-93), juga meluncurkan program neoliberal yang sangat agresif. Tujuanya “stabilisasi” dan “penyesuaian” ekonomi. Dalam konsultasi tertutup dengan IMF dan Bank Dunia, Zamora meminta pinjaman baru dan investasi asing, menghilangkan kendali atas barang-barang dan jasa, memotong tarif yang mendukung industri lokal, dan membangun sistem tenaga kerja dengan memberikan lebih banyak otoritas kepada penyedia kerja untuk mengurangi tingkat upah dan meningkatkan kekuasaan atas perekrutan dan pemecatan tenaga kerja. Bagaimanapun, usaha untuk meluncurkan sebuah program privatisasi yang ambisius pada 1992, dalam beberapa hal juga tergelincir tapi, tidak semuanya. Dengan alasan yang sama dengan frustasi Collor di Brazil: oposisi serikat buruh; dugaan korupsi pemerintah; dan ketidakpuasan militer karena hilangnya sebagian dari sumber pendapatannya yang paling menguntungkan.

Pada kasus pemerintahan Menem di Argentina ( 1989-93), pembagian antara masa kampanye pemilu dan kebijakan sesudah pemilu, tak terlalu menyolok. Untuk memenangkan kursi kepresidenannya, Menem berjanji akan memperbaiki ekonomi dan mengembalikannya pada kebijakan tenaga kerja yang tradisional. Ia berjanji akan meningkatkan gaji pekerja yang telah merosot secara substansial, dalam pengertian yang riil, di bawah pendahulunya, Raúl Alfonsín. Dan ia menghukum Alfonsín karena telah membiarkan pembayaran hutang yang menghabiskan sekitar 45 persen pendapatan ekspor Argentina. Ia mengatakan kepada pemilihnya bahwa pemerintahnya akan mendorong untuk masa lima tahun “masa tenggang,” sebagai akibat penangguhan hutang. Pada saat yang sama, ia juga menyokong penjualan perusahaan-perusahaan milik negara dan kebijakan baru untuk meningkatkan level investasi asing.

Selama seratus hari pertama di kantornya, prioritas kebijakan Menem adalah kebalikan dari retorika masa kampanye. Dengan janji baru dari IMF untuk memberikan bantuan, Menem secara pengecut memutar punggungnya dari gerakan serikat buruh yang berperan penting dalam mengantarkan dirinya sebagai pemenang pemilu. Berdasarkan janji IMF itu, Menem segera beralih dengan melaksanakan sekumpulan tindakan penghematan neoliberal termasuk dukungannya bagi penerapan tingkat bunga yang tinggi bagi fasilitas umum, pengangkutan, komunikasi dan perusahaan-perusahaan energi. Secara serempak, ia juga mundur dari pembelaannya bagi penangguhan pembayaran utang luar negeri. Hal mana menandakan kesiapan untuk merundingkan suatu jadwal baru tentang terminologi pembayaran kembali dengan negara-negara kreditur internasional.

Pada tahun 1991, menteri ekonomi Domingo Cavallo, meluncurkan sebuah program utama tentang reformasi pasar neoliberal, selain sasaran obyektif lainnya, guna memikat masuknya investasi asing yang lebih besar. Pada pertengahan 1993, rejim Menem kemudian menswastanisasikan sejumlah besar perusahaan-perusahaan negara. Tapi, yang lebih penting, dalam kaitan menjaga dukungan rakyat, rejim kemudian menurunkan tingkat pengangguran dan mendorong laju pertumbuhan inflasi sebesar 200 persen pada tahun 1989, menjadi hanya 12 persen setiap tahunnya. Tetapi, ketika kebijakan neoliberal mengalami kebangkrutan yang dimulai pada akhir 1993 dan awal 1994, dalam bentuk meningkatnya keresahan sosial, termasuk pemberontakan rakyat di sebelah utara provinsi Santiago del Estero, menyusul kegagalan reformasi ekonomi, telah memarjinalisasi banyak kelompok sosial ekonomi tradisional . Lebih dari itu, pengangguran mulai menampakkan kecenderungan menaik, mencapai 18 persen di 1996. Pada waktu yang sama, pemerintah mengumumkan pemotongan dana pengangguran nasional dan kesejahteraan serta kesehatan yang bermanfaat bagi para pekerja. Pada Desember 1994, negara membekukan sistem pensiun; dua bulan kemudian sekitar 500,000 pegawai sipil mendapat pemberitahuan bahwa gaji mereka akan dipotong dalam waktu secepatnya.

Meskipun demikian, Menem kembali terpilih dalam pemilu pada Mei 1995 dengan mengantongi hampir 50 persen dari jumlah suara. Setelah stabilisasi ekonomi, yang ditandai dengan laju pertumbuhan GDP rata-rata sebesar delapan persen setiap tahunnya, selama masa pemerintahannya yang pertama dan, di atas semuanya, secara efektif memecahkan masalah inflasi, para pemilih kembali menginginkan Menem ke puncak kekuasaannya. Walaupun untuk itu, harus dilakukan “penyesuaian” pengetatan ekonomi dan bertumbuhnya tingkat kemiskinan seiring dengan eksperimen neoliberal.

Kandidat kuat presiden Peru dalam pemilu 1990, Alberto Fujimori, berkampanye menentang kedua lawannya: Mario Vargas Llosa, seorang pendukung pasar bebas dari sayap kanan, dan pendahulunya. Fujimori menyerang yang belakangan karena kegagalannya menyelesaikan problem sosial negerinya. Terhadap Vargas Llosa, Fujimori menyerang “shock treatment” sebagai tindakan kasar. Kebijakan yang diumumkan untuk mengurangi hiperinflasi negeri itu secara bertahap. Karena kampanyenya, kaum tani pedesaan dan miskin kota memberikan jalan lurus kepada Fujimori memenangkan kursi presiden melalui pemilu Juni.

Tetapi, dalam minggu itu juga, Fujimori segera berbalik arah menentang kaum tani dan miskin perkotaan. Ia kemudian mengumumkan sekumpulan tindakan penghematan yang keras yang telah dimandatkan oleh IMF dan Bank Dunia, sebagai ongkos untuk memperoleh pinjaman baru. Dengan menyandang gelar “Fujishock,” mereka hampir merupakan cermin dari Vargas Llosa yang mengumbar janji-janji pada masa kampanye tapi, setelah menang para pemilih itu dengan cepat ditinggalkan. Penghapusan subsidi-subsidi bahan makanan pokok telah memicu kenaikan harga sebesar tiga kali lipat dalam waktu singkat; segera setelah itu, ratusan ribu pekerja sektor publik menjadi korban dari “kesengsaraan” ini. Tanggapan langsung dari kebijakan ini adalah naiknya harga roti dan susu dan jatuhnya tingkat upah. Tak terelakkan bangkitnya demonstrasi massa, kekacauan, dan konfrontasi antara penduduk daerah kumuh di kota Lima dan pasukan angkatan bersenjata Peru. Kebijakan “Fujishock” itu, juga dilawan dengan pemogokan oleh serikat pekerja publik yang anggotanya paling menderita akibat kehilangan lapangan kerja secara besar-besaran.

Komitmen Fujimori terhadap kebijakan neoliberal, juga diperluas dengan pembayaran kembali utang luar negeri sebesar US$ 2 milyar kepada IMF, Bank Dunia, dan Inter-American Development Bank. Kebijakan ini dengan segera mendapat respon positif dari komunitas keuangan internasional yang diterjemahkan dalam bentuk makin bertambahnya beban rakyat miskin dan kelas menengah rendahan. Selama 12 bulan pertama rejim Fujimori, ratusan juta dollar berhasil diserap ke luar negeri akibat pelayanan utang. Bandingkan dengan anggaran kesejahteraan sosial yang diperkirakan mencapai US$ 40 juta. Sementara itu, hampir 90 persen dari jumlah populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dua kali lipat.
Pada akhir 1994, Fujimori sukses menswastanisasi sejumlah besar sektor negara, menciptakan rekor inflasi yang patut ditiru, menghasilkan pertumbuhan dan ekonomi yang stabil. Itu semua menjadi landasan utama kemenangan kedua bagi Fujimori dalam pemilu April 1995. Meskipun kondisi sosial memburuk, lebih banyak orang yang terbebas dari status kemiskinan, dan sebuah lintasan hukum baru “hampir menghapuskan semua bentuk perlindungan legal bagi pekerja bergaji.”

Tindakan-tindakan penyesuaian dan stabilisasi yang resmi diumumkan oleh rejim neoliberal gelombang kedua, secara efektif mengambil alih karakter upacara agama tahunan. Setiap putaran baru mencabik-cabik sisa jaring sosial. Secara simbolis, memburuknya kondisi sosial ekonomi di kota-kota besar utama seperti, Buenos Aires, Sao Paulo, Caracas dan Mexico City, ditandai oleh tingginya angka pengangguran terbuka maupun tertutup. Pada saat bersamaan, kebijakan ekonomi deflasioner, pinjaman bank internasional dan arus modal spekulatif berhasil menstabilkan ekonomi dalam jangka pendek. Tetapi, seiring dengan tanda-tandan kesembuhan itu segera diikuti oleh putaran baru krisis struktural.

Sebagaimana reformasi ekonomi memolarisasi masyarakat, para presiden rejim neoliberal gelombang kedua ini mulai meningkatkan sentralisasi legislatif dan kekuasaan eksekutif. Prototipenya adalah Fujimori “autogolpe” (perebutan kekuasaan oleh dirinya sendiri) yang dieksekusi sambil memelihara kerangka kerja atau memangkas daya tawar sistem elektoral. Pada April 1992, dengan dukungan penuh dari komando tertinggi militer, presiden Peru membubarkan kongres, menutup lembaga peradilan, membekukan semua jaminan konstitutional, dan menulis ulang konstitusi yang mengijinkan dilakukannya pemilu. Inilah yang disebut Fujimori autgolpe.

Kesediaan untuk memaksakan kebijakan melalui kekuasaan eksekutif, menolak badan pembuat undang-undang, dan memperkosa norma-norma konstitusional dan hak-hak individual, melukiskan corak penting dari rejim neoliberal gelombang kedua. Dalam pencarian sederhana dari doktrin ideologis, para pemimpin ini kebal dari protes-protes publik skala besar atau jajak pendapat umum yang rendah. Presiden Argentina Carlos Menem, sebagai contoh, menyatakan pada berbagai kesempatan bahwa tak satupun, apakah pemogokan umum kolapsnya dukungan rakyat yang bisa menghalanginya dari pelaksanaan agenda pasar bebas. Kekakuan seperti ini dan caci maki terhadap segala jenis konsultasi rejim beriringan dengan dimulainya gerakan memperkuat institusi-institusi pemaksa seperti, militerisasi kembali masyarakat sipil. Pergeseran ini, dan penciptaan paralelnya, adalah meningkatnya mentalitas bunker di antara rejim neoliberal. Keadaan ini lebih kukuh dengan datangnya presiden-presiden rejim neoliberal gelombang ketiga.

Dua macam oposisi yang sebagai akibat merosotnya rejim gelombang kedua: partai politik dengan keuangan yang baik yang mengutuk program penghematan tapi, sekali lagi sedang menyiapkan sebuah eksperiman gelombang neo-liberal; dan oposisi yang bertumbuh dari gerakan sosial yang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa dari upah sosial dan menghindari kemiskinan yang lebih dalam. Berhadapan dengan rejim yang kaku dan secara serius menghapuskan pendapat publik, bahkan para perantara pro-rejim di antara serikat buruh, asosiasi kewarganegaraan dan kelompok tetangga yang dihubungkan dengan politik yang klientalistik, mulai mengorganisir aktivitas protes.

Ketika sebagian besar masyarakat yang mendukung pemisahan dari neoliberalisme semakin banyak, mayoritas oposisi politik tetap menunjukkan komitmen yang mendalam dengan kerangka kerja itu, sehingga tidak mampu merinci prakarsa baru di luar globalisasi ekonomi yang pada akhirnya akan diurusnya. Gelombang ketiga yang baru atau pemilihan kembali presiden neoliberal, tanpa ragu melanjutkan kebijakan yang kian memperdalam eksploitasi pasar bebas; dan meningkatnya resiko dari pergolakan sosial yang terorganisir.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 4)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Ketiga

Rejim neoliberal gelombang ketiga, berhasil memperoleh kekuasaan antara tahun 1993 dan 1995. Mereka terdiri dari Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina, keduanya terpilih kembali dalam pemilu, pemerintahan Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Caldera di Venezuela, Gonzalo Sánchez de Losada di Bolivia, dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil. Seperti rejim neoliberal gelombang kedua, apa yang mereka lakukan adalah mempertunjukkan bahwa SAPs bukanlah sebuah fenomena yang telah lalu; pengorbanan sosial bukanlah sebuah kondisi yang sementara di atas jalan panjang menuju kemakmuran yang berlimpah; bahwa lapisan mengenah bawah dan kelas pekerja kini mengalami spiral menurun berlanjut dari kemerosotan standar hidup, sebagai stabilisator sementara yang akan diikuti oleh satu tindakan-tindakan penyesuaian baru yang semakin mengerosi standar kehidupannya. Dengan peningkatan SAPs ini, para intelektual dan profesional mengalami kenyataan bahwa mobilitasnya semakin menukik. Sebaliknya, SAPs memberikan kemudahan berupa spiral menaik kepada kelompok superkaya, menciptakan polarisasi sosial dan menghancurkan ilusi-ilusi yang tersisa tentang retorika penghapusan kelas modernisasi neoliberal.

Di Peru, ketika lembaga-lembaga keuangan internasional mencurahkan pujiannya kepada Fujimori atas komitmennya pada reformasi neoliberal, lebih dari separuh populasi hidup di bawah garis kemiskinan dan kurang dari satu dari sepuluh orang Peru memiliki pekerjaan yang tetap selama periode pertumbuhan ekonomi. Yang sangat mendesak adalah proyek sosial ketika ekonomi informal bertumbuh dengan cepat. Pada April 1996, perdana menteri Dante Córdova dan lebih dari separuh anggota kabinet, mengundurkan diri dari jabatannya karena kegagalan Fujimori meneruskan komitmennya untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menanggulangi masalah-masalah kemiskinan.

Bertekad untuk tidak membiarkan adanya oposisi terhada agenda neoliberalnya, Fujimori tetap meneruskan langkah-langkah reformasinya. Setelah melakukan privatisasi terhadap kira-kira 173 dari 183 perusahaan negara yang beroperasi pada 1990, pemerintah pada Mei 1996 mengumumkan sebuah keputusan yang tak dapat diubah lagi yakni, menjual seluruh perusahaan minyak negara (Petroperu). Penjualan Petroperu ini kemudian diikuti dengan penjualan semua perusahaan publik yang tersisa pada 1998. Di samping itu, sebuah jajak pendapat umum pada bulan yang sama menunjukkan, hampir 70 persen dari populasi menentang keputusan pemerintah itu, bahkan mayoritas besar menuntut diadakannya referendum tentang persoalan ini. Untuk membendung tuntutan referendum itu, pemerintah membenturkannya dengan amandemen yang membendung siapapun yang menghalangi kebijakan pemerintah.

Pada Agustus 1996, di Argentina gerakan buruh sekarang lebih atau kurang, mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap rejim Menem. Perlawanan itu ditujukan terhadap kebijakan penghematan dan diiringi pengangguran besar-besaran, yang ditetapkan oleh menteri ekonomi yang baru Roque Fernández, seorang monetaris terkemuka lulusan Universitas Chicago, AS. Kebijakan yang diumumkan itu mencakup sebuah paket, termasuk di dalamnya peningkatan harga bahan bakar dan minyak tanah, pemotongan dalam industri dan insentif (rangsangan) untuk promosi ekspor, dan penghapusan subsidi ekspor dan pajak untuk konsesi manufaktur dan impor barang-barang modal. Ia juga mengumumkan bahwa tidak boleh ada pemogokan umum, seperti yang diorganisir oleh General Confederation of Workers (CGT) pada awal bulan. Bagi Fernández, pemogokan hanya akan memperlemah ketetapan pemerintah untuk mendorong pemotongan anggaran yang lebih ketat dan pajak yang lebih tinggi untuk mencapai prioritas yang utama: pertumbuhan defisit fiskal. Pada akhir September, CGT dijadwalkan melakukan pemogokan yang lebih efektif, yang didukung oleh dua organisasi payung yang lain, memprotes kebijakan ekonomi rejim. Menem mencela pemogokan itu, dan menyatakan kembali kebulatan tekadnya untuk terus berjalan dengan program ekonomi neoliberalnya.
Menurut lembaga statistik nasional (INDEC), model distribusi pendapatan telah menjadi lebih terdistorsi semenjak Menem memegang kendali atas kekuasaan politik. Pusat Stusi Makroekonomi Argentina, menaksir bahwa 45 persen dari populasi kerja sekarang ini setengah pengangguran atau tidak mendapat cukup bahan-bahan untuk kebutuhan subsistennya. Sementara itu, sogok menyogok dan korupsi kian mengancam rejim pada kejatuhannya. Beberapa menteri di depan dituduh melakukan aktivitas ilegal untuk memperoleh keuntungan finansial bagi pribadinya, termasuk praktek korupsi yang terjadi pada privatisasi pelayanan pemerintah.

Dengan keberhasilan menggolkan sedikitnya lima proposal utama di lembaga legislatif untuk memudahkan perekrutan dan pemecatan para pekerja, dan secara umum memberi kekuasaan yang besar kepada kapital atas tenaga kerja, merupakan trademark dari dua masa pemerintahan Menem. Pemberi kerja juga memperoleh keuntungan yang besar dari setiap perjanjian bersama sejak 1991: lebih dari 90 persen dari klausul melibatkan prakarsa pemotongan biaya, mengubah syarat pekerjaan, menurunkan gaji, memperpanjang waktu kerja dan mengikat karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya. Pada akhir 1996, Menem memberi tanda bahawa ia akan menyerahkan sebuah paket baru tentang reformasi tenaga kerja kepada Kongres, pura-pura memecahkan masalah pengangguran. Seperti yang telah diuraikan, “flexibilisación,”' perundang-undangan itu lebih lanjut akan membatasi pekerja untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. Sebaliknya, kian memperlemah kelas buruh di hadapan persyaratan-persyaratan pencapaian keuntungan bagi pemilik kapital. Dua gambaran kunci yang memprovokasi perlawanan heroik dari serikat buruh adalah proposal yang akan menghapuskan peraturan tentang uang pesangon dan penghancuran prinsip-prinsip kesepakatan bersama tanpa melalui negosiasi “ke bawah” sehingga keuntungan yang diperoleh dari kesepakatan sebelumnya dipindahkan.

Transisi dari Pérez ke Caldera di Venezuela, membuktikan suatu pengulangan dari kesenjangan antara janji-janji kampanye dan kebijakan rejim baru. Dihadapkan pada krisis ekonomi, defisit, dan inflasi yang bergelombang, Caldera dengan cepat menyimpang dari komitmennya pada penghapusan kemiskinan, dan berpaling pada tindakan-tindakan reformasi terukur yang berpihak pada IMF. Dengan lebih dari 70 persen keluarga-keluarga hidup di bawah garis kemiskinan dan setidaknya 50 persen dari populasi yang aktif secara ekonomis mencari tambahan hidup di sektor informal, obat penawar yang ditentukan dalam putaran lain “penyesuaian” neo-liberal membatasi “stabilisasi” ekonomi itu. Pengendalian harga telah dihapuskan, biaya-biaya bensin meningkat, dan pada Juli 1996 atas persetujuan IMF telah dikucurkan dana sebesar US$ 1.5 milyar dalam bentuk standby credit, sebagai pengganti tindakan-tindakan penghematan yang telah dilakukan pemerintah. Ketika tahun berlalu, keadaan sosial-ekonomi dari tiga perempat dari populasi Venezuela bisa disebut mengalami malapetaka. Pengangguran di antara kelas menengah dan rendah semakin mencapai jumlah jutaan. Sementara itu, solusi neoliberal telah mendorong angka kejahatan lebih tinggi lagi; dimana perdagangan obat-obatan menjadi sektor bisnis yang paling menguntungkan, pencurian mobil telah mendorong minyak tanah dari tempat kedua ke tempat ketiga.

Berkampanye untuk pemilihan presiden Bolivia pada akhir 1993, Gonzalo Lozada, seorang tokoh pertambangan dan arsitek arsitek prinsip-prinsip dari program stabilisasi negara pada 1985, mengatakan kepada pemilihnya bahwa ia akan melanjutkan program restrukturisasi ekonomi rejim Zamora secara berkelanjutan. Program itu ditujukan untuk memberi perhatian pada pengaman sosial (mencakup ketiadaan akses dari separuh populasi pada air yang layak minum dan sistem pembuangan limbah), sesuatu yang dianggapnya telah dilalaikan oleh pendahulunya. Ketika ia berada di kantornya, bagaimanapun, kebijakan ekonomi neoliberal tetap menjadi prioritas utama. Akibatnya muncul ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Lozada. Protes ini dihadapai oleh Lozada dengan mendeklarasikan negara dalam keadaan perang, mencabut seluruh hak-hak konstitusional dan mengambilalih kekuasaan yang tak terbatas pada April 1995. Sebagai hadiah atas kebijakannya melawan latar belakang terjadinya stagnasi upah, pengangguran yang meluas, dan demonstrasi di seluruh negeri yang dilakukan oleh serikat pekerja yang memprotes tindakan deflasioner, Lozada menerima pinjaman lain dari IMF di bawah peningkatan SAPs pada April 1996. Tujuan bantuan IMF tersebut untuk mendukung reformasi neoliberal yang dilakukan Lozada. Belakangan, pemerintah membuat keputusan yang sangat tidak populer yakni, memprivatisasi perusahaan-perusahaan publik, termasuk perusahaan minyak negara (YPFB). Tak ada satu pun partai politik oposisi maupun gerakan serikat buruh yang bisa mencegah persetujuan senat terhadap privatisasi sebagian rekening YPFB pada bulan Mei.

Retorika populis dan komitmen pada reformasi sosial juga menjadi instrumen bagi Fernando Cardoso untuk terpilih sebagai presiden baru Brazil pada 1995. Dan, serupa dengan rejim gelombang ketiga yang lain, mereka dengan cepat tunduk pada sebuah obsesi tentang stabilisasi ekonomi yang mana, pada gilirannya, telah memicu berkembangnya oposisi rakyat. Para pekerja baik di sektor swasta mapun sektor publik, menggerakkan serangkaian pemogokan terhadap rencana-rencana pemerintah untuk “mengurangi” birokrasi dan peningkatan upah minimum yang sangat tidak memadai. Tetapi isu kuncinya adalah kegagalan rejim neoliberal untuk mengatasi masalah pengangguran. Departemen statistik serikat buruh, DIESSE, menghitung bahwa mulai April 1996 lebih dari dua juta orang adalah pengangguran di lima kota utama Brasil: Sao Paulo (di mana resesi industri telah mendorong tingkat tarif hampir 16 persen), Porto Alegre, Belo Horizonte, Curitiba dan Brazilia. Menurut lembaga statistik nasional, IBGE, pengangguran meningkat lebih dari 39 persen antara pertengahan 1995 dan pertengahan 1996. Keadaan ini menjelaskan hasil dari jajak pendapat umum pada Mei 1996, yang mengungkapkan bahwa popularitas Cardoso merosot hingga 25 persen dari semula 68 percent.
Seperti pendahulunya, faktor penting yang mengikis basis politik Cardoso untuk tetap populer (dan bersifat parlementer-) adalah programnya untuk mempercepat proses privatisasi. Singkatnya, sangat terbatasnya pengaruh pada keseluruhan sektor negara antara tahun 1990 dan 1995, sebagian diterangkan oleh fakta ini: perusahaan-perusahaan negara mencatat 60.4 persen asset 500 perusahaan teratas pada 1995, jatuh hanya 7.4 persen; dan 30.5 persen dari perputaran 500 perusahaan puncak pada 1995, hanya jatuh sekitar 7.1 persen. Fokus dari oposisi nasionalis adalah pengumuman terbaru pemerintah mengenai rencana penjualan konglomerat pertambangan CVRD, salah satu dari sepuluh teratas perusahaan perdagangan umum di Amerika Latin dan dengan reputasi yang operasinya layak ditiru.

Di Mexico, rejim neoliberal gelombang ketiga dari Ernesto Zedillo, tidak lebih baik dibanding Salinas atau de la Madrid, dalam meningkatkan kondisi-kondisi sosial-ekonomi massa rakyat. Apakah itu di tempat-tempat kerja, upah, harga atau pelayanan publik. Beriringan dengan pengetatan ekonomi dan kondisi-kondisi fiskal yang dipaksakan oleh Washington dan IMF sebagai ganti “penghapusan” utang multi-miliar menyusul krisis ekonomi post-Desember 1994, Zedillo memperkenalkan suatu rencana penghematan termasuk pemotongan anggaran, peningkatan harga bahan makanan dan listrik, dan kenaikan pajak pertambahan nilai. Tindakan ini, bersamaan dengan devaluasi mata uang peso, semakin memiskinkan pekerja dan kelas menengah. Antara serangan krisis pada pertengahan 1996, dikombinasikan dengan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan dasar dan jatuhnya tingkat upah nyata pada tingkat lebih dari 50 persen, telah melemparkan setidaknya lima juta rakyat Meksiko ke bawah garis kemiskinan. Secara umum dengan sejumlah rejim neoliberal rejim lainnya, bagaimanapun, Zedillo telah dipaksa untuk menarik kembali, sedikitnya untuk sementara, langkah-langkah dan cakupan ambisi privatisasinya. Pada Oktober 1996, ia dipaksa patuh pada tekanan luas dari serikat buruh, partai politik oposisi, dan bahkan sektor dari PRI yang memerintah. Zedillo dipaksa meninjau kembali rencananya untuk menjual semua industri petrokimia milik negara (PEMEX).

Pergeseran ke arah yang lebih militrristik dari versi pendekatan neoliberal selama rejim gelombang kedua, semakin menjadi lebih nyata pada presiden-presiden gelombang ketiga. Pada Pebruari 1996, sebagai contoh, Caldera menggunakan militer Venezuela untuk secara kejam membungkam protes jalanan di Caracas dan memerintahkan untuk tetap siaga menghancurkan setiap oposisi anti pemerintah yang tak dapat dikendalikannya. Di Brasil, pada April, polisi melepas tembakan kepada petani yang menduduki tanah yang tak dikerjakan di negara bagian Para. Sedikitnya, 19 orang mati terbunuh dalam tindak represif ini. Seminggu kemudian, presiden Cardoso memperingatkan bahwa pendudukan tanah akan diperlakukan sebagai suatu isu keamanan nasional, dan angkatan bersenjata akan digunakan untuk mengusir para pemukim liar. Begitu di Brasil, demikian juga di Argentina. Menem tak segan-segan menerjunkan tentara dan tank-tank di jalan-jalan Buenos Aires, untuk memblok demonstrasi damai yang merupakan bagian dari pemogokan umum. Terakhir tapi, bukan yang paling akhir, adalah metoda Zedillo dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang menciptakan basis bagi munculnya para gerilyawan Zapatista di Chiapas. Menghadapi Zapatista, Zedillo telah menempatkan militer secara luas di Meksiko Selatan.

Dukungan rakyat terhadap seluruh presiden neoliberal gelombang ketiga, ambruk atau merosot secara signifikan, justru ketika mereka mulai menjalani masa pemerintahannya. Barómetro Iberoamericano, sebuah survei yang diselenggarakan bersama oleh 14 lembaga-lembaga politik pada akhir 1996 mengungkapkan, naiknya tingkat permusuhan regional terhadap penganjur utama agenda pasar bebas. Rating penolakan tertinggi diperoleh Menem (79 persen), Lozada (63 persen), dan Caldera (60 persen. Alberto Fujimori, yang merupakan preisden paling populer di Peru, bahkan juga mengalami krisis popularitas. Dukungan terhadap pemerintahannya selama 12 bulan pertama kekuasaannya, jatuh sebesar 15 persen dari dukungan semula sebesar 58 persen.

Tidak seperti pada gelombang pertama dan kedua, dimana gerakan protes sosial terhadap rejim berlangsung secara sporadis, sektoral, dan defensif, politisi-politisi liberal gelombang ketiga berhadapan dengan kekuatan rakyat yang terorganisasi dengan sebuah perspektif revolusi sosial. Di Mexico, gerilyawan Zapatista mengungkapan kedalaman krisis ekonomi-sosial dan mendesakkan sebuah tantangan yang mendasar kepada sistem politik nasional. Di Brazil, gerakan pekerja pedesaan tak bertanah (MST), saat ini telah menduduki kekayaan pedesaan di 22 dari 26 negara bagian, sebuah respon yang agresif kepada pemerintah yang tidak melaksanakan reformasi agraria. Di Bolivia, petani Chapare memainkan peran yang sangat penting dalam menentang reformasi agraria pada 1996, termasuk pengurangan 50 persen pajak tanah dan pemberian konsesi-konsesi lain terhadap kelompok kaya.

Di sini dan di tempat-tempat lainnya di benua ini, gerakan tidak hanya menggambarkan sebuah tipe baru oposisi revolusioner yang demokratis kepada politik elektoral neoliberal. Tetapi, juga sukses dalam menarik sektor-sektor terpenting dari kelas menengah ke bawah yang sebelumnya ragu-ragu untuk turun ke jalan, jika tidak bermusuhan, menjadi lebih radikal secara politik dan bertindak secara langsung. Padahal mereka inilah yang sebelumnya menjadi dasar utama dukungan bagi rejim neoliberal. Di Mexico, organisasi penerima pinjaman kecil dan petani menengah (Barzón), para pelaku bisnis dan profesional, telah membangun jaringan dengan Zapatistas; di Brazil, sektor industri nasional dan perdagangan telah menyatakan dukungannya pada tuntutan-tuntutan pekerja pedesaan tak beranah untuk reformasi agraria; di Bolivia, kelompok-kelompok bisnis ukuran kecil menengah juga menyatakan dukungannya kepada para petani coca; di Paraguay, para profesional, wartawan, dan para guru mengartikulasikan minatnya pada gerakan tani.

Derajat keterasingan kelas menengah di kota-kota besar bervariasi. Prasangka yang dilekatkan pada gerakan-gerakan radikal kaum miskin dan kepercayaan yang berlanjut pada model-model konsensus sosial liberal-demokratik lama, untuk sementara menghalangi sebuah pergerakan yang cepat ke kiri. Meskipun demikian, sebuah kumpulan yang menyebut dirinya kiri-tengah pragmatis, gagal untuk mencegah merosotnya kelas menengah ke dalam kemiskinan. Jelas ini mengandung pertanyaan, bahwa politik elektoral dan kelangsungan hidup model neoliberal, justru mempercepat perpindahan, terutama penerimaan di kalangan pekerja sektor publik, ke arah politik ekstra parlementer. Ketika siklus neoliberal memainkan dirinya sendiri ke luar, para pemilih semakin meningkat kecurigaannya pada politik kelas dan kemampuannya untuk menggambarkan proyek ekonomi-politik yang baru.

Dualitas dari politik neoliberal, kampanye populis selama pemilu, dan rejim penghematan pasar bebas, telah melahirkan sinisme yang meluas kepada seluruh politisi. Pada saat yang sama, perspektif kelas ke arah politik telah memperoleh dominasinya dalam gerakan sosial yang menantang doktrin dasar neoliberal, “Tidak ada alternatif.” Gerakan sosial terus bergerak naik ke arah suatu penjelasan proyek politik alternatif, bergerak dari protes melawan kebijakan neoliberal ke arah politik revolusi sosial. Di Brazil, MST sedang memperdebatkan sebuah program yang melampaui reformasi agraris ke sosialisme yang mengatur dirinya sendiri. Di Bolivia, petani coca sudah mengorganisir sebuah gerakan politik baru, “Aliansi Untuk Kedaulatan Rakyat (Alliance for the Sovereignty of the People),” yang menyatukan otonomi bangsa Indian, kepemilikan sosial dan pasar bebas produksi coca. Di Paraguay, Federasi Petani Nasional (the National Peasant Federation)” secara terbuka menggambarkan sebuah program sosialis di mana kepemilikan publik dan koperasi pedesaan adalah tandingan terhadap gaya “statisme” Stroessner dan pemerintahan liberalis Wasmosy. Pemisahan antara gerakan sosial dan politik telah menjadi barang lapuk. Definisi politik dari gerakan sosial mengambil tempat tanpa bercermin pada ramalan eksternal termasuk pencarian debat dan mengeksplorasi wilayah-wilayah baru melalui diskusi.


Baca selengkapnya!