13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 4)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Ketiga

Rejim neoliberal gelombang ketiga, berhasil memperoleh kekuasaan antara tahun 1993 dan 1995. Mereka terdiri dari Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina, keduanya terpilih kembali dalam pemilu, pemerintahan Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Caldera di Venezuela, Gonzalo Sánchez de Losada di Bolivia, dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil. Seperti rejim neoliberal gelombang kedua, apa yang mereka lakukan adalah mempertunjukkan bahwa SAPs bukanlah sebuah fenomena yang telah lalu; pengorbanan sosial bukanlah sebuah kondisi yang sementara di atas jalan panjang menuju kemakmuran yang berlimpah; bahwa lapisan mengenah bawah dan kelas pekerja kini mengalami spiral menurun berlanjut dari kemerosotan standar hidup, sebagai stabilisator sementara yang akan diikuti oleh satu tindakan-tindakan penyesuaian baru yang semakin mengerosi standar kehidupannya. Dengan peningkatan SAPs ini, para intelektual dan profesional mengalami kenyataan bahwa mobilitasnya semakin menukik. Sebaliknya, SAPs memberikan kemudahan berupa spiral menaik kepada kelompok superkaya, menciptakan polarisasi sosial dan menghancurkan ilusi-ilusi yang tersisa tentang retorika penghapusan kelas modernisasi neoliberal.

Di Peru, ketika lembaga-lembaga keuangan internasional mencurahkan pujiannya kepada Fujimori atas komitmennya pada reformasi neoliberal, lebih dari separuh populasi hidup di bawah garis kemiskinan dan kurang dari satu dari sepuluh orang Peru memiliki pekerjaan yang tetap selama periode pertumbuhan ekonomi. Yang sangat mendesak adalah proyek sosial ketika ekonomi informal bertumbuh dengan cepat. Pada April 1996, perdana menteri Dante Córdova dan lebih dari separuh anggota kabinet, mengundurkan diri dari jabatannya karena kegagalan Fujimori meneruskan komitmennya untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menanggulangi masalah-masalah kemiskinan.

Bertekad untuk tidak membiarkan adanya oposisi terhada agenda neoliberalnya, Fujimori tetap meneruskan langkah-langkah reformasinya. Setelah melakukan privatisasi terhadap kira-kira 173 dari 183 perusahaan negara yang beroperasi pada 1990, pemerintah pada Mei 1996 mengumumkan sebuah keputusan yang tak dapat diubah lagi yakni, menjual seluruh perusahaan minyak negara (Petroperu). Penjualan Petroperu ini kemudian diikuti dengan penjualan semua perusahaan publik yang tersisa pada 1998. Di samping itu, sebuah jajak pendapat umum pada bulan yang sama menunjukkan, hampir 70 persen dari populasi menentang keputusan pemerintah itu, bahkan mayoritas besar menuntut diadakannya referendum tentang persoalan ini. Untuk membendung tuntutan referendum itu, pemerintah membenturkannya dengan amandemen yang membendung siapapun yang menghalangi kebijakan pemerintah.

Pada Agustus 1996, di Argentina gerakan buruh sekarang lebih atau kurang, mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap rejim Menem. Perlawanan itu ditujukan terhadap kebijakan penghematan dan diiringi pengangguran besar-besaran, yang ditetapkan oleh menteri ekonomi yang baru Roque Fernández, seorang monetaris terkemuka lulusan Universitas Chicago, AS. Kebijakan yang diumumkan itu mencakup sebuah paket, termasuk di dalamnya peningkatan harga bahan bakar dan minyak tanah, pemotongan dalam industri dan insentif (rangsangan) untuk promosi ekspor, dan penghapusan subsidi ekspor dan pajak untuk konsesi manufaktur dan impor barang-barang modal. Ia juga mengumumkan bahwa tidak boleh ada pemogokan umum, seperti yang diorganisir oleh General Confederation of Workers (CGT) pada awal bulan. Bagi Fernández, pemogokan hanya akan memperlemah ketetapan pemerintah untuk mendorong pemotongan anggaran yang lebih ketat dan pajak yang lebih tinggi untuk mencapai prioritas yang utama: pertumbuhan defisit fiskal. Pada akhir September, CGT dijadwalkan melakukan pemogokan yang lebih efektif, yang didukung oleh dua organisasi payung yang lain, memprotes kebijakan ekonomi rejim. Menem mencela pemogokan itu, dan menyatakan kembali kebulatan tekadnya untuk terus berjalan dengan program ekonomi neoliberalnya.
Menurut lembaga statistik nasional (INDEC), model distribusi pendapatan telah menjadi lebih terdistorsi semenjak Menem memegang kendali atas kekuasaan politik. Pusat Stusi Makroekonomi Argentina, menaksir bahwa 45 persen dari populasi kerja sekarang ini setengah pengangguran atau tidak mendapat cukup bahan-bahan untuk kebutuhan subsistennya. Sementara itu, sogok menyogok dan korupsi kian mengancam rejim pada kejatuhannya. Beberapa menteri di depan dituduh melakukan aktivitas ilegal untuk memperoleh keuntungan finansial bagi pribadinya, termasuk praktek korupsi yang terjadi pada privatisasi pelayanan pemerintah.

Dengan keberhasilan menggolkan sedikitnya lima proposal utama di lembaga legislatif untuk memudahkan perekrutan dan pemecatan para pekerja, dan secara umum memberi kekuasaan yang besar kepada kapital atas tenaga kerja, merupakan trademark dari dua masa pemerintahan Menem. Pemberi kerja juga memperoleh keuntungan yang besar dari setiap perjanjian bersama sejak 1991: lebih dari 90 persen dari klausul melibatkan prakarsa pemotongan biaya, mengubah syarat pekerjaan, menurunkan gaji, memperpanjang waktu kerja dan mengikat karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya. Pada akhir 1996, Menem memberi tanda bahawa ia akan menyerahkan sebuah paket baru tentang reformasi tenaga kerja kepada Kongres, pura-pura memecahkan masalah pengangguran. Seperti yang telah diuraikan, “flexibilisación,”' perundang-undangan itu lebih lanjut akan membatasi pekerja untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. Sebaliknya, kian memperlemah kelas buruh di hadapan persyaratan-persyaratan pencapaian keuntungan bagi pemilik kapital. Dua gambaran kunci yang memprovokasi perlawanan heroik dari serikat buruh adalah proposal yang akan menghapuskan peraturan tentang uang pesangon dan penghancuran prinsip-prinsip kesepakatan bersama tanpa melalui negosiasi “ke bawah” sehingga keuntungan yang diperoleh dari kesepakatan sebelumnya dipindahkan.

Transisi dari Pérez ke Caldera di Venezuela, membuktikan suatu pengulangan dari kesenjangan antara janji-janji kampanye dan kebijakan rejim baru. Dihadapkan pada krisis ekonomi, defisit, dan inflasi yang bergelombang, Caldera dengan cepat menyimpang dari komitmennya pada penghapusan kemiskinan, dan berpaling pada tindakan-tindakan reformasi terukur yang berpihak pada IMF. Dengan lebih dari 70 persen keluarga-keluarga hidup di bawah garis kemiskinan dan setidaknya 50 persen dari populasi yang aktif secara ekonomis mencari tambahan hidup di sektor informal, obat penawar yang ditentukan dalam putaran lain “penyesuaian” neo-liberal membatasi “stabilisasi” ekonomi itu. Pengendalian harga telah dihapuskan, biaya-biaya bensin meningkat, dan pada Juli 1996 atas persetujuan IMF telah dikucurkan dana sebesar US$ 1.5 milyar dalam bentuk standby credit, sebagai pengganti tindakan-tindakan penghematan yang telah dilakukan pemerintah. Ketika tahun berlalu, keadaan sosial-ekonomi dari tiga perempat dari populasi Venezuela bisa disebut mengalami malapetaka. Pengangguran di antara kelas menengah dan rendah semakin mencapai jumlah jutaan. Sementara itu, solusi neoliberal telah mendorong angka kejahatan lebih tinggi lagi; dimana perdagangan obat-obatan menjadi sektor bisnis yang paling menguntungkan, pencurian mobil telah mendorong minyak tanah dari tempat kedua ke tempat ketiga.

Berkampanye untuk pemilihan presiden Bolivia pada akhir 1993, Gonzalo Lozada, seorang tokoh pertambangan dan arsitek arsitek prinsip-prinsip dari program stabilisasi negara pada 1985, mengatakan kepada pemilihnya bahwa ia akan melanjutkan program restrukturisasi ekonomi rejim Zamora secara berkelanjutan. Program itu ditujukan untuk memberi perhatian pada pengaman sosial (mencakup ketiadaan akses dari separuh populasi pada air yang layak minum dan sistem pembuangan limbah), sesuatu yang dianggapnya telah dilalaikan oleh pendahulunya. Ketika ia berada di kantornya, bagaimanapun, kebijakan ekonomi neoliberal tetap menjadi prioritas utama. Akibatnya muncul ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Lozada. Protes ini dihadapai oleh Lozada dengan mendeklarasikan negara dalam keadaan perang, mencabut seluruh hak-hak konstitusional dan mengambilalih kekuasaan yang tak terbatas pada April 1995. Sebagai hadiah atas kebijakannya melawan latar belakang terjadinya stagnasi upah, pengangguran yang meluas, dan demonstrasi di seluruh negeri yang dilakukan oleh serikat pekerja yang memprotes tindakan deflasioner, Lozada menerima pinjaman lain dari IMF di bawah peningkatan SAPs pada April 1996. Tujuan bantuan IMF tersebut untuk mendukung reformasi neoliberal yang dilakukan Lozada. Belakangan, pemerintah membuat keputusan yang sangat tidak populer yakni, memprivatisasi perusahaan-perusahaan publik, termasuk perusahaan minyak negara (YPFB). Tak ada satu pun partai politik oposisi maupun gerakan serikat buruh yang bisa mencegah persetujuan senat terhadap privatisasi sebagian rekening YPFB pada bulan Mei.

Retorika populis dan komitmen pada reformasi sosial juga menjadi instrumen bagi Fernando Cardoso untuk terpilih sebagai presiden baru Brazil pada 1995. Dan, serupa dengan rejim gelombang ketiga yang lain, mereka dengan cepat tunduk pada sebuah obsesi tentang stabilisasi ekonomi yang mana, pada gilirannya, telah memicu berkembangnya oposisi rakyat. Para pekerja baik di sektor swasta mapun sektor publik, menggerakkan serangkaian pemogokan terhadap rencana-rencana pemerintah untuk “mengurangi” birokrasi dan peningkatan upah minimum yang sangat tidak memadai. Tetapi isu kuncinya adalah kegagalan rejim neoliberal untuk mengatasi masalah pengangguran. Departemen statistik serikat buruh, DIESSE, menghitung bahwa mulai April 1996 lebih dari dua juta orang adalah pengangguran di lima kota utama Brasil: Sao Paulo (di mana resesi industri telah mendorong tingkat tarif hampir 16 persen), Porto Alegre, Belo Horizonte, Curitiba dan Brazilia. Menurut lembaga statistik nasional, IBGE, pengangguran meningkat lebih dari 39 persen antara pertengahan 1995 dan pertengahan 1996. Keadaan ini menjelaskan hasil dari jajak pendapat umum pada Mei 1996, yang mengungkapkan bahwa popularitas Cardoso merosot hingga 25 persen dari semula 68 percent.
Seperti pendahulunya, faktor penting yang mengikis basis politik Cardoso untuk tetap populer (dan bersifat parlementer-) adalah programnya untuk mempercepat proses privatisasi. Singkatnya, sangat terbatasnya pengaruh pada keseluruhan sektor negara antara tahun 1990 dan 1995, sebagian diterangkan oleh fakta ini: perusahaan-perusahaan negara mencatat 60.4 persen asset 500 perusahaan teratas pada 1995, jatuh hanya 7.4 persen; dan 30.5 persen dari perputaran 500 perusahaan puncak pada 1995, hanya jatuh sekitar 7.1 persen. Fokus dari oposisi nasionalis adalah pengumuman terbaru pemerintah mengenai rencana penjualan konglomerat pertambangan CVRD, salah satu dari sepuluh teratas perusahaan perdagangan umum di Amerika Latin dan dengan reputasi yang operasinya layak ditiru.

Di Mexico, rejim neoliberal gelombang ketiga dari Ernesto Zedillo, tidak lebih baik dibanding Salinas atau de la Madrid, dalam meningkatkan kondisi-kondisi sosial-ekonomi massa rakyat. Apakah itu di tempat-tempat kerja, upah, harga atau pelayanan publik. Beriringan dengan pengetatan ekonomi dan kondisi-kondisi fiskal yang dipaksakan oleh Washington dan IMF sebagai ganti “penghapusan” utang multi-miliar menyusul krisis ekonomi post-Desember 1994, Zedillo memperkenalkan suatu rencana penghematan termasuk pemotongan anggaran, peningkatan harga bahan makanan dan listrik, dan kenaikan pajak pertambahan nilai. Tindakan ini, bersamaan dengan devaluasi mata uang peso, semakin memiskinkan pekerja dan kelas menengah. Antara serangan krisis pada pertengahan 1996, dikombinasikan dengan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan dasar dan jatuhnya tingkat upah nyata pada tingkat lebih dari 50 persen, telah melemparkan setidaknya lima juta rakyat Meksiko ke bawah garis kemiskinan. Secara umum dengan sejumlah rejim neoliberal rejim lainnya, bagaimanapun, Zedillo telah dipaksa untuk menarik kembali, sedikitnya untuk sementara, langkah-langkah dan cakupan ambisi privatisasinya. Pada Oktober 1996, ia dipaksa patuh pada tekanan luas dari serikat buruh, partai politik oposisi, dan bahkan sektor dari PRI yang memerintah. Zedillo dipaksa meninjau kembali rencananya untuk menjual semua industri petrokimia milik negara (PEMEX).

Pergeseran ke arah yang lebih militrristik dari versi pendekatan neoliberal selama rejim gelombang kedua, semakin menjadi lebih nyata pada presiden-presiden gelombang ketiga. Pada Pebruari 1996, sebagai contoh, Caldera menggunakan militer Venezuela untuk secara kejam membungkam protes jalanan di Caracas dan memerintahkan untuk tetap siaga menghancurkan setiap oposisi anti pemerintah yang tak dapat dikendalikannya. Di Brasil, pada April, polisi melepas tembakan kepada petani yang menduduki tanah yang tak dikerjakan di negara bagian Para. Sedikitnya, 19 orang mati terbunuh dalam tindak represif ini. Seminggu kemudian, presiden Cardoso memperingatkan bahwa pendudukan tanah akan diperlakukan sebagai suatu isu keamanan nasional, dan angkatan bersenjata akan digunakan untuk mengusir para pemukim liar. Begitu di Brasil, demikian juga di Argentina. Menem tak segan-segan menerjunkan tentara dan tank-tank di jalan-jalan Buenos Aires, untuk memblok demonstrasi damai yang merupakan bagian dari pemogokan umum. Terakhir tapi, bukan yang paling akhir, adalah metoda Zedillo dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang menciptakan basis bagi munculnya para gerilyawan Zapatista di Chiapas. Menghadapi Zapatista, Zedillo telah menempatkan militer secara luas di Meksiko Selatan.

Dukungan rakyat terhadap seluruh presiden neoliberal gelombang ketiga, ambruk atau merosot secara signifikan, justru ketika mereka mulai menjalani masa pemerintahannya. Barómetro Iberoamericano, sebuah survei yang diselenggarakan bersama oleh 14 lembaga-lembaga politik pada akhir 1996 mengungkapkan, naiknya tingkat permusuhan regional terhadap penganjur utama agenda pasar bebas. Rating penolakan tertinggi diperoleh Menem (79 persen), Lozada (63 persen), dan Caldera (60 persen. Alberto Fujimori, yang merupakan preisden paling populer di Peru, bahkan juga mengalami krisis popularitas. Dukungan terhadap pemerintahannya selama 12 bulan pertama kekuasaannya, jatuh sebesar 15 persen dari dukungan semula sebesar 58 persen.

Tidak seperti pada gelombang pertama dan kedua, dimana gerakan protes sosial terhadap rejim berlangsung secara sporadis, sektoral, dan defensif, politisi-politisi liberal gelombang ketiga berhadapan dengan kekuatan rakyat yang terorganisasi dengan sebuah perspektif revolusi sosial. Di Mexico, gerilyawan Zapatista mengungkapan kedalaman krisis ekonomi-sosial dan mendesakkan sebuah tantangan yang mendasar kepada sistem politik nasional. Di Brazil, gerakan pekerja pedesaan tak bertanah (MST), saat ini telah menduduki kekayaan pedesaan di 22 dari 26 negara bagian, sebuah respon yang agresif kepada pemerintah yang tidak melaksanakan reformasi agraria. Di Bolivia, petani Chapare memainkan peran yang sangat penting dalam menentang reformasi agraria pada 1996, termasuk pengurangan 50 persen pajak tanah dan pemberian konsesi-konsesi lain terhadap kelompok kaya.

Di sini dan di tempat-tempat lainnya di benua ini, gerakan tidak hanya menggambarkan sebuah tipe baru oposisi revolusioner yang demokratis kepada politik elektoral neoliberal. Tetapi, juga sukses dalam menarik sektor-sektor terpenting dari kelas menengah ke bawah yang sebelumnya ragu-ragu untuk turun ke jalan, jika tidak bermusuhan, menjadi lebih radikal secara politik dan bertindak secara langsung. Padahal mereka inilah yang sebelumnya menjadi dasar utama dukungan bagi rejim neoliberal. Di Mexico, organisasi penerima pinjaman kecil dan petani menengah (Barzón), para pelaku bisnis dan profesional, telah membangun jaringan dengan Zapatistas; di Brazil, sektor industri nasional dan perdagangan telah menyatakan dukungannya pada tuntutan-tuntutan pekerja pedesaan tak beranah untuk reformasi agraria; di Bolivia, kelompok-kelompok bisnis ukuran kecil menengah juga menyatakan dukungannya kepada para petani coca; di Paraguay, para profesional, wartawan, dan para guru mengartikulasikan minatnya pada gerakan tani.

Derajat keterasingan kelas menengah di kota-kota besar bervariasi. Prasangka yang dilekatkan pada gerakan-gerakan radikal kaum miskin dan kepercayaan yang berlanjut pada model-model konsensus sosial liberal-demokratik lama, untuk sementara menghalangi sebuah pergerakan yang cepat ke kiri. Meskipun demikian, sebuah kumpulan yang menyebut dirinya kiri-tengah pragmatis, gagal untuk mencegah merosotnya kelas menengah ke dalam kemiskinan. Jelas ini mengandung pertanyaan, bahwa politik elektoral dan kelangsungan hidup model neoliberal, justru mempercepat perpindahan, terutama penerimaan di kalangan pekerja sektor publik, ke arah politik ekstra parlementer. Ketika siklus neoliberal memainkan dirinya sendiri ke luar, para pemilih semakin meningkat kecurigaannya pada politik kelas dan kemampuannya untuk menggambarkan proyek ekonomi-politik yang baru.

Dualitas dari politik neoliberal, kampanye populis selama pemilu, dan rejim penghematan pasar bebas, telah melahirkan sinisme yang meluas kepada seluruh politisi. Pada saat yang sama, perspektif kelas ke arah politik telah memperoleh dominasinya dalam gerakan sosial yang menantang doktrin dasar neoliberal, “Tidak ada alternatif.” Gerakan sosial terus bergerak naik ke arah suatu penjelasan proyek politik alternatif, bergerak dari protes melawan kebijakan neoliberal ke arah politik revolusi sosial. Di Brazil, MST sedang memperdebatkan sebuah program yang melampaui reformasi agraris ke sosialisme yang mengatur dirinya sendiri. Di Bolivia, petani coca sudah mengorganisir sebuah gerakan politik baru, “Aliansi Untuk Kedaulatan Rakyat (Alliance for the Sovereignty of the People),” yang menyatukan otonomi bangsa Indian, kepemilikan sosial dan pasar bebas produksi coca. Di Paraguay, Federasi Petani Nasional (the National Peasant Federation)” secara terbuka menggambarkan sebuah program sosialis di mana kepemilikan publik dan koperasi pedesaan adalah tandingan terhadap gaya “statisme” Stroessner dan pemerintahan liberalis Wasmosy. Pemisahan antara gerakan sosial dan politik telah menjadi barang lapuk. Definisi politik dari gerakan sosial mengambil tempat tanpa bercermin pada ramalan eksternal termasuk pencarian debat dan mengeksplorasi wilayah-wilayah baru melalui diskusi.

No comments: