13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 1)

Catatan Editor:
Artikel ini beradal dari JILAS: Journal of Iberian and Latin American Studies 4(1). Ditulis oleh James Petras. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. IndoPROGRESS memuatnya menjadi 7 (tujuh) bagian sesuai dengan sub-judul pada artikel aslinya.

Pengantar

Esai ini merujuk pada beberapa debat utama mengenai “transisi,” yang melibatkan para akademisi para politisi terkemuka di Amerika Latin. Kita dapat menggolongkan “debat mengenai transisi” itu ke dalam dua kategori luas yang saling berhubungan: “ekonomi” dan “politik.”

Satu garis penghubung yang bisa kita tarik dari kebanyakan teoritikus neoliberal, mereka membantah bahwa antara reformasi ekonomi dan demokrasi politik adalah gejala yang saling menunjang. Mereka menganjurkan agar pasar bebas dari regulasi (pengaturan) negara, sehingga mendorong terjadinya kompetisi. Kompetisi pasar yang bebas dari intervensi negara akan menyebabkan terjadinya efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, terbentuknya masyarakat yang lebih terdiferensiasi. Kondisi ini dengan demikian mempercepat terwujudnya pluralisme sosial dan pluralisme politik: kebebasan memperoleh kesederajatan ekonomi sama dengan kebebasan memperoleh kesederajatan politik. Garis argumentasi neoliberal lain, yang lebih terbatas berpendapat, reformasi ekonomi akan mendorong ke arah pembangunan ekonomi. Bagi kelompok ini, awal yang menyakitkan dari penyesuaian struktural pada akhirnya menghasilkan kemakmuran di masa depan. Proses ini berkaitan dengan ruang dan waktu.

Akhirnya para penganut neoliberal mengatakan, kita sudah memasuki suatu dunia baru yang telah terglobalisasi. Sebuah dunia di mana kekuatan yang impersonal dari pasar liberal, menuntut liberalisasi pasar negara nasional (jika bukan sebuah anakronisme) untuk merinci kebijakan yang mempersiapkan ekonomi nasional agar siap berkompetisi secara internasional. Sebuah varian “neostruktural” menganjurkan agar negara harus mempertahankan perannya guna mengoreksi ekses-ekses dari pasar, misalnya, melalui program pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki dampak dari penyesuaian pasar. Esensinya, kalangan neoliberalis berpendapat, merupakan sesuatu yang tak terbantahkan bahwa transisi ekonomi harus berujung pada pasar bebas; tidak ada alternatif yang mungkin atau realistis. Ignacio Ramonet, editor Le Monde Diplomatique, menyebutknya sebagai “pensamiento ú nico,” yang secara harafiah bermakna “hanya pikiran.”

Kedua, adalah literatur yang berhubungan dengan transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perdebatan tentang ini sudah berlangsung sejak awal 1980an. Aliran pemikiran dominan (dominant school) berpendapat, sebagian besar negara di Amerika Latin telah sukses dalam transisi menuju rejim politik demokratis (dengan perkecualian barangkali, Peru dan Mexico. Bahkan para penganjur utama transis menuju demokrasi, beberapa di antaranya mengalami perselisihan pendapat).

Tesis dari para penganjur transisi demokrasi berpendapat, kendati masih berada dalam bayang-bayang otoritarianisme, proses konsolidasi telah melalui sebuah pakta politis di antara para elite elektoral, kelas sosial-ekonomi yang berkuasa (socio-economic ruling class), dan para jenderal. Karena itu, sebagian dari para penulis ini, menunjukkan bukti-bukti yang konsisten dimana banyak pemerintah yang terpilih di banyak negara Amerika Latin yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Amerika Latin. Mereka juga memperlihakan bukti tentang supremasi sipil dalam mengatasi militer. Mereka mengidentifikasi ancaman bagi demokrasi berasal dari angkatan perang di luar rejim, gerakan-gerakan sosial ekstra-parlementer yang bertindak di luar gelanggang pemilu, dan para pejabat militer garis keras yang tidak puas akibat perubahan yang terjadi. Menurut skenario ini, para teoritikus transisi demokrasi mengacu pada peran Washington yang mengubah politik gendarme yang secara informal menjaga imperium, menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi dan pasar bebas.

Esai kami ini menantang premis-premis dasar yang dikemukakan oleh para teoritikus neoliberal. Kami berpendapat, reformasi ekonomi tidak mendorong terwujudnya demokrasi politik tetapi, pada terciptanya ketidakadilan yang meluas dan polarisasi sosial yang tinggi akibat represi negara. Kebijakan pasar bebas sesungguhnya telah dimulai sejak berkuasanya diktator militer pada 1970an. Kebijakan itu kemudian semakin meningkat dalam siklus neoliberal dengan reformasi ekonominya yang diikuti oleh pemulihan jangka pendek dan krisis yang berulang, yang kemudian ditangani kembali dengan paket penyesuaian baru; “siklus sakit yang berakhir dengan sakit.” Kebijakan penyesuaian tak lebih dari suatu strategi pembangunan ekonomi (yang di atasnya terdapat sedikit indikator kemajuan dan suatu kelimpahan data yang saling bertentangan). Lebih tepat untuk disebutkan bahwa kebijakan penyesuaian ini lebih sebagai sebuah strategi politik untuk memusatkan kekayaan dan mengumpulkan sumberdaya negara.

Para pembela tesis transisi demokrasi (transitologi), gagal membedakan antara “negara” dan “rejim:” dalam arti bahwa negara otoriter (militer, polisi, pengadilan, dll.) tidak berubah di masa “transisi” ini. Justru yang terjadi adalah sebuah kesinambungan secara tersirat (samar-samar) maupun tersurat (tampak jelas) dalam era demokrasi yang bebas ini. Ada kesinambungan dari praktek-praktek otoriter di dalam rejim sipil hasil pemilu (civilian electoral regimes): aturan berdasarkan dekrit, privatisasi tanpa konsultasi dengan rakyat, penggunaan yang sering dari militer atau intimidasi negara untuk mempengaruhi penyesuaian semua hal yang bertentangan dengan suatu kebudayaan otentik warga yang demokratis. Sebuah siklus ekonomi neoliberal memperdalam, seperti penyakit kronis dan menyebar, dimana hal ini membentuk spiral menaik bagi rejim politik yang represif: setiap rejim politik kemudian mulai bersandar pada perundang-undangan otoritarian yang dipilih kembali yang membedakannya dengan janji-janji kampanye yang menyesatkan dan memanfaatkan pendekatan represif untuk membatasi pembelaan publik atas dampak dari upah yang merugikan, mereka yang bergaji dan kelas petani.

Kerangka kerja ini secara radikal menggeser istilah-istilah yang selama ini muncul dalam perdebatan: dari transisi ke demokrasi, menuju transisi ke neo-otoritarianisme; dari transisi ke pasar bebas dan kemakmuran, menuju kemunduran kapitalisme yang barbar. Analisa ini, sebagian besar fokusnya pada elaborasi (penjelasan yang rinci) kerangka kerja analitikal guna menjelaskan kecenderungan saling pengaruh yang mengarah pada terbentuknya otoritarianisme politik yang lebih besar dan polarisasi sosial, sebagai akibat dari kebijakan rejim hasil pemilu.

Di seluruh Amerika Latin, telah tumbuh kekecewaan rakyat yang mendalam terhadap pemerintahan neoliberal yang menyebabkan terjadinya persekutuan lintas benua lebih dari dekade sebelumnya atau lebih. Namun salah satu paradoks yang mengacaukan dari analis politik regional bahwa para pemilih segan untuk tidak mengakui rejim tersebut di kotak pemungutan suara: kehancuran yang disebabkan oleh gagalnya ekonomi sosial tidak menjadi rintangan bagi rejim pengganti hasil pemilu untuk terikat dengan kebijakan yang sama. Paradoks lainnya juga mengalami kebuntuan: selagi oposisi politik, memanfaatkan permusuhan pemberi suara, sukses mengampanyekan isu mengenai upah dalam pemilu untuk menyingkirkan pemerintahan neoliberal. Tapi, begitu rejim baru ini berkuasa dalam waktu singkat dan sistematis segera menanggalkan janji-janji populisme yang diumbarnya pada masa kampanye pemilu. Dalam seketika, rejim baru tersebut berbalik arah memperdalam agenda-agenda neoliberal yang diwariskan rejim pendahulunya.

Esai ini akan mengeksplorasi pola yang direproduksi oleh rejim neoliberal di Amerika Latin dan mempertanyakan apakah mungkin ada sebuah resolusi untuk mematahkan siklus politik ini. Yang terakhir ini berkaitan, dan saling berhubungan dengan, naik turunnya spiral ekonomi-sosial, yang pada gilirannya, secara erat berhubungan dengan suatu bagian kunci dari daftar lagu-lagu (repertoire) neoliberal, yang disebut kebijakan penyesuaian struktural (SAPs). Berdasarkan pada pengujian dampak sosial ekonomi ini, kami menyatakan bahwa terlalu banyak perhatian yang telah diberikan kepada SAPs sebagai bagian dari strategi ekonomi yang diakui ketimbang memahami SAPs sebagai motivasi utama sebuah kelas yang diarahkan melalui strategi politik.

No comments: