13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 2)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Pertama

Rejim neoliberal hasil pemilu, telah mengikuti suatu siklus dari keadaan berkuasa, mengalami pembusukan, dan kemudian bangkit kembali. Terdapat tiga gelombang besar yang bisa kita identifikasi. Bagi banyak negara yang mengalami gelombang pertama sepanjang dekade 1980an, kira-kira bersamaan waktu dengan transisi hasil negosiasi antara kediktatoran militer dengan pemerintahan sipil yang berlangsung di hampir seluruh benua ini. Gelombang kedua mengikuti arah ujung dekade hingga paruh pertama dekade 1990an. Gelombang ketiga neoliberal dimulai pada akhir gelombang kedua hingga periode sekarang ini.

Fernando Belaúnde dan Alan García di Peru, Raúl Alfonsín di Argentina, Miguel de la Madrid di Mexico, Julio Sanguinetti di Uruguay, dan José Sarney di Brazil, adalah figur-figur terkemuka yang memimpin gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu. Mereka menjalankan kekuasaan di atas gelombang eforia yang menyertai proses “redemokratisasi” dan harapan pemilih mengenai perubahan politik dan keterbukaan ekonomi yang mempromosikan kebebasan dan kemakmuran. Cepat atau lambat, bagaimanapun, setiap pemerintahan reformis tersebut segera berbalik arah secepat kilat dari retorika kampanyenya yang populis dengan memperpanjang agenda pasar bebas yang mula-mula diusulkan oleh pemerintahan diktator militer yang mereka gantikan. Ini menunjukkan suatu kesediaan untuk menerapkan “stabilisasi” dan SAPs yang didiktekan oleh IMF dan Bank Dunia. Ketundukkan kepada IMF dan Bank Dunia itu dimulai dengan menghancurkan program-program kesejahteraan sosial, membuat undang-undang (legislasi) yang melemahkan posisi kaum buruh, mengambil langkah pertama dengan menghancurkan sektor negara (BUMN), mengijinkan penghapusan utang luar negeri secara besar-besaran kepada perusahaan publik, dan memberi prioritas pada pembayaran kembali utang luar negeri dengan mengorbankan biaya untuk pembangunan ekonomi dan sosial di dalam negeri.

Tetapi apa yang menyolok dari kegagalan umum gelombang pertama rejim neoliberal ini untuk menghasilkan dukungan, pertumbuhan dinamis berdasarkan atas distribusi kemakmuran dan pendapatan yang lebih merata? Sebagaimana tampak dari istilah-istilah yang mereka simpulkan, setiap usaha yang serius untuk melawan krisis ekonomi, dalam beberapa kasus berbaur dengan skandal korupsi besar-besaran, terciptanya depresi pemilih yang meluas, dan berkembangnya oposisi borjuis elektoral dan oposisi ekstra-parlementer. Kasus Peru dan Brazil adalah ilustrasi yang baik mengenai hal ini. Di Peru, Belaúnde memenangkan kursi Presiden pada 1980, sebagian besar disebabkan oleh kemampuannya menarik suara dari para pekerja, petani, dan kaum miskin kota. Dukungan itu diraihnya setelah menebar janji pekerjaan tetap, peningkatan standar hidup, dan kebebasan yang luas bagi serikat buruh. Tapi, begitu ia menjadi pejabat pemerintah, Belaúnde dengan cepat memberi tanda bahwa ia akan menerapkan sebuah agenda prioritas baru: pembebasan pasar, privatisasi perusahaan-perusahaan negara, menarik minat para investor asing, mengadakan pertemuan internasional untuk menunaikan kewajiban membayar utang, dan memaksakan tindakan-tindakan penghematan dan stabilisasi guna mendapatkan kembali utang baru dari lembaga-lembaga keungan internasional. Pada 1984, kebijakan neoliberal Belaúnde, tidak menghasilkan pertumbuhan maupun pembangunan. Sebagai gantinya, ekonomi Peru justru terjerumus ke dalam resesi ekonomi yang menyakitkan: kira-kira 50 persen dari produk ekspor hanya digunakan untuk membayar utang luar negeri sesuai jadwal. Sementara itu, produksi industri dan pertanian hanya menghasilkan kebangkrutan. Biaya sosial sama artinya dengan kehancuran: pengangguran bertambah tinggi, harga makanan melonjak tak terjangkau, upah nyata merosot dan secara dramatis dilaporkan, kasus penderita kekurangan gizi dan tuberculosis (tbc) meningkat.

Dengan sederetan dampak dari kebijakan neoliberal yang diterapkannya itu, dukungan terhadap kandidat dari partai Belaúnde untuk pemilihan Presiden pada 1985, merosot kurang dari sepuluh persen.

APRA, partainya Alan García, memenangkan perolehan suara pada pemilu 1985 di Peru. Partai ini memenangkan pemilu dengan mengusung platform yang menjanjikan perbaikan kemunduran ekonomi dan peningkatan standard hidup. Menurut Garcia, kedua hal yang ia janjikan itu akan dilaksanakan melalui strategi kombinasi antara tindakan-tindakan penghematan dan peningkatan belanja pemerintah. Selama 1986-87, García bekerja melebihi kemampuannya tapi, pemulihan ekonomi tetap rapuh (inflasi rendah, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli massa). Tetapi, seluruh janji-janji itu dengan cepat berbalik arah sebagai akibat investasi yang macet, pelarian modal (capital flight), dan kesulitan neraca pembayaran. Antara tahun 1988 dan 1990, rejim Garcia membuang retorika populisnya dan menetapkan tiga jurus IMF-SAPs, sebagai akibat kegagalannya dalam mengendalikan hiperinflasi di bawah kendalinya. Yang paling kasar dari paket ekonomi ini adalah ditetapkannya peningkatan harga melebihi waktu-waktu sebelumnya secara massif, dalam hal ini bahan-bahan makanan dasar dan barang konsumsi. Akibatnya sudah bisa diramalkan, hancurnya standard hidup. Pelakuan kejutan penghematan ini telah menyebabkan pemiskinan segmen terbesar dari populasi penduduk Peru. Saat ini, eksperimen neoliberal telah memicu kebangkitan besar dari perjuangan kelas dan politik: ratusan ribu kelas pekerja di pertambangan, tekstil, pendidikan, dan sektor negara berpartisipasi dalam gelombang besar pemogokan di seluruh negeri.

Di Brazil, urutan peristiwanya hampir sama: dari perubahan jangka pendek, reformasi terbatas menjadikan kebijakan neoliberal berkembang pesat dan berakhir pada robohnya basis politis rejim Sarnye. Melalui kombinasi pembekuan harga, reformasi mata uang dan tindakan-tindakan lainnya, pemerintahan Sarney (1985-90) untuk sementara berhasil mengendalikan inflasi rendah dan meningkatkan upah nyata. Namun demikian, pada awal 1987, kebanyakan pembatasan harga telah dihapuskan, dimana hal ini memberi sinyal bagi pergeseran kebijakan yang utama. Pada akhir 1988, kembali terjadi hiperinflasi yang menghancurkan daya beli kelas pekerja, ekonomi kembali mengalami krisis, dan korupsi pemerintah kian merajalela. Sementara itu, Sarney tampak lebih mengonsentrasikan kebijakannya pada renegosiasi secara diam-diam utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 121 milyar. Ongkos dari renegosiasi itu, pemerintah kembali menerapkan kebijakan pengetatan untuk mendapatkan pinjaman dari para kreditor. Inflasi, lagi-lagi, membentuk spiral menaik yang tak terkontrol, ratusan ribu kelas pekerja yang terorganisasi turun ke jalan-jalan, melakukan pemogokan dan protes-protes lainnya menentang konsekuensi dari kebijakan neoliberal.

Demonstrasi dan pemogokan besar-besaran ini, tentu saja menyebabkan situasi tidak nyaman bagi para investor. Terjadi instabilitas politik yang berpengaruh pada kalkulasi bisnis. Itu sebabnya, pemerintah kemudian menghadapi aksi-aksi protes itu dengan mengedepankan tindakan hukum dan ketertiban (law and order). Pada titik inilah, pemerintah kembali menyandarkan nasibnya pada militer dan polisi. Hasil jajak pendapat umum yang diselenggarakan sebelum pemilihan kotapraja pada November 1988, kekuasaan Partai Pergerakan Demokratik Brasil, menderita kerugian besar. Persetujuan Sarney atas penerapan kebijakan neoliberal telah menyebabkan partainya menderita kekalahan telak, lebih rendah dari lima persen.

Krisis gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu, tidak mempengaruhi agen-agen pemberi pinjaman internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk mengkritisi konsekuensi-konsekuensi reformasi ekonomi atau pasar bebas. Justru sebaliknya, mereka tetap bersikukuh pada diagnosa mereka sebelumnya. Kesalahan bukan pada resep yang dianjurkan tapi, pada kegagalan rejim neoliberal gelombang pertama dalam menerapkan kebijakan neoliberal yang ketat, konsisten, dan berkelanjutan. Hasil diagnosa ini, bagaimanapun, mengabaikan para pendonor asing dan para kolaboratornya sebagai sumber masalah dalam menjerumuskan Amerika Latin ke dalam krisis yang lebih dalam. Yang penting bagi para pendonor dan kolaboratornya itu, sejauh para pemilih yang merasakan pahitnya obat memperoleh kemakmuran di masa depan sepahit apapun tak soal, khususnya ketika prospek kemakmuran tetap nampak di kejauhan. Isu politik yang paling penting bagi para aktor internasional dan kalangan oposisi elektoral domestik, berpusat pada pertanyaan: siapa yang akan membentuk rejim neoliberal gelombang kedua, yang memenangkan suara mayoritas sehingga bisa menerapkan agenda neoliberal yang baru dan lebih radikal?

No comments: