13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 3)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Kedua

“Gelombang” kedua dari politikus-politikus elektoral neoliberal, adalah Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Fernando Collor di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Jaime Paz Zamora di Bolivia, Luis La Calle di Uruguay, dan Carlos Salinas di Mexico. Para politisi ini diharuskan memecahkan dilema ketundukan kepada pemilihnya di satu pihak dan berlangsungnya sebuah tatanan yang memaksa para politisi ini harus melayani penguasa ekonominya melalui pemisahan proses politik ke dalam kumpulan-kumpulan yang berbeda.

Pada gelombang kedua neoliberal ini, masa-masa kampanye pemilu ditandai oleh serangan tajam terhadap kelompok populis, yang merupakan konsekuensi dari neoliberalisme (kemiskinan, stagnasi, dan pelarian modal). Tujuannya, menyebarkan ketidakpuasan rakyat terhadap rejim neoliberal gelombang pertama sekaligus, mendulang suara untuk mengantarkannya ke posisi pemerintahan. Periode paska pemilu dengan cepat menyaksikan penegasan kembali bagi agenda neoliberal yang dikombinasikan dengan suatu indikasi kuat bahwa presiden gelombang kedua ini bukan sekadar mengubah proses tetapi, dengan sungguh-sungguh meradikalisasi kebijakan-kebijakan para pendahulunya. Apakah itu melalui dukungan kuat terhadap percepatan formula-formula privatisasi, pemberlakuan undang-undang yang lebih membatasi aktivitas serikat buruh atau penuruan upah buruh dan pemotongan lapangan kerja guna menciptakan suatu angkatan kerja cadangan yang lebih besar dari tenaga kerja murah. Ini semua pada akhirnya menghancurkan standar hidup rakyat di seluruh negeri.

Setelah sukses berkampanye untuk pemilihan presiden Venezuela pada akhir 1988, dengan sebuah program quasi-populist, mencakup dukungan terhadap kartel pemberi utang untuk membatasi biaya-biaya sosial ekonomi guna pembayaran kembali utang luar negeri kepada para kreditor internasional, Carlos Andrés Pérez mulai menerapkan program neoliberal yang sangat kasar, tepat ketika ia mengambilalih kekuasaan politik. Pada Pebruari 1989, pemerintahan baru ini melakukan negosiasi paket ekonomi sebesar US$ 4.6 milyar dengan IMF. Tindakan ini mencerminkan, sebagian, suatu keputusan untuk menempatkan pembayaran kembali utang luar negeri sebagai prioritas utama. Tak lama berselang, pemerintah memaksakan peningkatan besar-besaran bagi ongkos bensin, pengangkutan, dan bahan makanan dasar. Kebijakan ini tak pelak memicu ledakan huru-hara dimana 200 orang mati dan lebih dari 1.000 lainnya terluka.

Ketika kontrol terhadap harga dan subsidi bahan makanan dihapus, dan pembebasan tingkat suku bunga hingga dua digit di bawah tingkat inflasi, selama 18 bulan pertama pemerintahan Pérez, telah diambil langkah-langkah penghematan yang luar biasa (penghapusan penghalang tarif, pengurangan ribuan lapangan kerja di sektor negara, dll). Akibat langkah penghematan brutal Pérez ini, secara signifikan telah mengikis standar hidup masyarakat bawah dan kelas menengah. Meskipun terjadi peningkatan GDP sebesar 9 persen antara pertengahan 1991-92, persetujuan Pérez terhadap masalah publik jatuh sebesar 6 persen. Akibatnya, tidak mengejutkan jika upah riil pekerja jatuh pada level setengah dari apa yang mereka peroleh pada tahun 1988. Sekitar 60 persen populasi Venezuela tetap hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, seiring dengan konsekuensi reformasi neoliberal, bersamaan dengannya terjadi peningkatan politik uang dan korupsi yang meluas di dalam tubuh rejim. Kondisi ini sekali lagi kemudian memicu protes di seluruh negeri dan kemacetan kerja di hampir semua tempat kerja tetap. Pada Mei 1993, Mahkamah Agung, telah memiliki bukti-bukti yang cukup kuat untuk menuntut Pérez atas korupsi dan penggelapan dana-dana publik. Setahun kemudian, ia didakwa dan kemudian dipenjarakan dengan tuduhan mengembangbiakkan perilaku korup di pemerintahannya.

Di Brazil, pemerintahan Collor (1990-93) dengan cepat mengandangkan retorika populis selama pemilu dan membuat kerangka rencana ekonomi pasar bebas yang ambisius, yang didasarkan pada deregulasi, privatisasi skala besar, dan membiarkan upah dan harga ditentukan oleh pasar. Walaupun usaha untuk menjual perusahaan-perusauaan milik negara hampir tidak mengalami kemajuan karena oposisi rakyat yang konsisten terutama pada basis-basis pelayanan publik, rejim Collor terus tertekan dengan kebijakan fiskal dan moneter untuk menekan jumlah permintaan. Pada saat bersamaan aktivitas industri mengalami kelesuan yang parah, tingkat pengangguran semakin tinggi, hiperinflasi merajalela, jumlah kebangkrutan yang belum pernah terjadi, dan pertumbuhan keseluruhan negatif. Pada akhir 1991, basis dukungan rakyat terhadap Collor ambruk. Ketika kebijakan neoliberal menyebabkan resesi pada tahun ketiganya, presiden telah dihadapkan pada masalah lain: pada Juni 1992, suatu penyelidikan oleh Kongres menemukan bahwa Collor dengan sadar memanfaatkan kantor publik guna keuntungan pribadi. Pada September, para anggota Kongres menjatuhkan impeachment; dan tiga bulan kemudian Collor dipaksa meninggalkan kantor kepresidenan. Tak lama berselang Collor menghadapi tuntutan hukum dari senat atas aktivitas korupsi yang dilakukannya.
Pemerintahan Zamora di Bolivia ( 1989-93), juga meluncurkan program neoliberal yang sangat agresif. Tujuanya “stabilisasi” dan “penyesuaian” ekonomi. Dalam konsultasi tertutup dengan IMF dan Bank Dunia, Zamora meminta pinjaman baru dan investasi asing, menghilangkan kendali atas barang-barang dan jasa, memotong tarif yang mendukung industri lokal, dan membangun sistem tenaga kerja dengan memberikan lebih banyak otoritas kepada penyedia kerja untuk mengurangi tingkat upah dan meningkatkan kekuasaan atas perekrutan dan pemecatan tenaga kerja. Bagaimanapun, usaha untuk meluncurkan sebuah program privatisasi yang ambisius pada 1992, dalam beberapa hal juga tergelincir tapi, tidak semuanya. Dengan alasan yang sama dengan frustasi Collor di Brazil: oposisi serikat buruh; dugaan korupsi pemerintah; dan ketidakpuasan militer karena hilangnya sebagian dari sumber pendapatannya yang paling menguntungkan.

Pada kasus pemerintahan Menem di Argentina ( 1989-93), pembagian antara masa kampanye pemilu dan kebijakan sesudah pemilu, tak terlalu menyolok. Untuk memenangkan kursi kepresidenannya, Menem berjanji akan memperbaiki ekonomi dan mengembalikannya pada kebijakan tenaga kerja yang tradisional. Ia berjanji akan meningkatkan gaji pekerja yang telah merosot secara substansial, dalam pengertian yang riil, di bawah pendahulunya, Raúl Alfonsín. Dan ia menghukum Alfonsín karena telah membiarkan pembayaran hutang yang menghabiskan sekitar 45 persen pendapatan ekspor Argentina. Ia mengatakan kepada pemilihnya bahwa pemerintahnya akan mendorong untuk masa lima tahun “masa tenggang,” sebagai akibat penangguhan hutang. Pada saat yang sama, ia juga menyokong penjualan perusahaan-perusahaan milik negara dan kebijakan baru untuk meningkatkan level investasi asing.

Selama seratus hari pertama di kantornya, prioritas kebijakan Menem adalah kebalikan dari retorika masa kampanye. Dengan janji baru dari IMF untuk memberikan bantuan, Menem secara pengecut memutar punggungnya dari gerakan serikat buruh yang berperan penting dalam mengantarkan dirinya sebagai pemenang pemilu. Berdasarkan janji IMF itu, Menem segera beralih dengan melaksanakan sekumpulan tindakan penghematan neoliberal termasuk dukungannya bagi penerapan tingkat bunga yang tinggi bagi fasilitas umum, pengangkutan, komunikasi dan perusahaan-perusahaan energi. Secara serempak, ia juga mundur dari pembelaannya bagi penangguhan pembayaran utang luar negeri. Hal mana menandakan kesiapan untuk merundingkan suatu jadwal baru tentang terminologi pembayaran kembali dengan negara-negara kreditur internasional.

Pada tahun 1991, menteri ekonomi Domingo Cavallo, meluncurkan sebuah program utama tentang reformasi pasar neoliberal, selain sasaran obyektif lainnya, guna memikat masuknya investasi asing yang lebih besar. Pada pertengahan 1993, rejim Menem kemudian menswastanisasikan sejumlah besar perusahaan-perusahaan negara. Tapi, yang lebih penting, dalam kaitan menjaga dukungan rakyat, rejim kemudian menurunkan tingkat pengangguran dan mendorong laju pertumbuhan inflasi sebesar 200 persen pada tahun 1989, menjadi hanya 12 persen setiap tahunnya. Tetapi, ketika kebijakan neoliberal mengalami kebangkrutan yang dimulai pada akhir 1993 dan awal 1994, dalam bentuk meningkatnya keresahan sosial, termasuk pemberontakan rakyat di sebelah utara provinsi Santiago del Estero, menyusul kegagalan reformasi ekonomi, telah memarjinalisasi banyak kelompok sosial ekonomi tradisional . Lebih dari itu, pengangguran mulai menampakkan kecenderungan menaik, mencapai 18 persen di 1996. Pada waktu yang sama, pemerintah mengumumkan pemotongan dana pengangguran nasional dan kesejahteraan serta kesehatan yang bermanfaat bagi para pekerja. Pada Desember 1994, negara membekukan sistem pensiun; dua bulan kemudian sekitar 500,000 pegawai sipil mendapat pemberitahuan bahwa gaji mereka akan dipotong dalam waktu secepatnya.

Meskipun demikian, Menem kembali terpilih dalam pemilu pada Mei 1995 dengan mengantongi hampir 50 persen dari jumlah suara. Setelah stabilisasi ekonomi, yang ditandai dengan laju pertumbuhan GDP rata-rata sebesar delapan persen setiap tahunnya, selama masa pemerintahannya yang pertama dan, di atas semuanya, secara efektif memecahkan masalah inflasi, para pemilih kembali menginginkan Menem ke puncak kekuasaannya. Walaupun untuk itu, harus dilakukan “penyesuaian” pengetatan ekonomi dan bertumbuhnya tingkat kemiskinan seiring dengan eksperimen neoliberal.

Kandidat kuat presiden Peru dalam pemilu 1990, Alberto Fujimori, berkampanye menentang kedua lawannya: Mario Vargas Llosa, seorang pendukung pasar bebas dari sayap kanan, dan pendahulunya. Fujimori menyerang yang belakangan karena kegagalannya menyelesaikan problem sosial negerinya. Terhadap Vargas Llosa, Fujimori menyerang “shock treatment” sebagai tindakan kasar. Kebijakan yang diumumkan untuk mengurangi hiperinflasi negeri itu secara bertahap. Karena kampanyenya, kaum tani pedesaan dan miskin kota memberikan jalan lurus kepada Fujimori memenangkan kursi presiden melalui pemilu Juni.

Tetapi, dalam minggu itu juga, Fujimori segera berbalik arah menentang kaum tani dan miskin perkotaan. Ia kemudian mengumumkan sekumpulan tindakan penghematan yang keras yang telah dimandatkan oleh IMF dan Bank Dunia, sebagai ongkos untuk memperoleh pinjaman baru. Dengan menyandang gelar “Fujishock,” mereka hampir merupakan cermin dari Vargas Llosa yang mengumbar janji-janji pada masa kampanye tapi, setelah menang para pemilih itu dengan cepat ditinggalkan. Penghapusan subsidi-subsidi bahan makanan pokok telah memicu kenaikan harga sebesar tiga kali lipat dalam waktu singkat; segera setelah itu, ratusan ribu pekerja sektor publik menjadi korban dari “kesengsaraan” ini. Tanggapan langsung dari kebijakan ini adalah naiknya harga roti dan susu dan jatuhnya tingkat upah. Tak terelakkan bangkitnya demonstrasi massa, kekacauan, dan konfrontasi antara penduduk daerah kumuh di kota Lima dan pasukan angkatan bersenjata Peru. Kebijakan “Fujishock” itu, juga dilawan dengan pemogokan oleh serikat pekerja publik yang anggotanya paling menderita akibat kehilangan lapangan kerja secara besar-besaran.

Komitmen Fujimori terhadap kebijakan neoliberal, juga diperluas dengan pembayaran kembali utang luar negeri sebesar US$ 2 milyar kepada IMF, Bank Dunia, dan Inter-American Development Bank. Kebijakan ini dengan segera mendapat respon positif dari komunitas keuangan internasional yang diterjemahkan dalam bentuk makin bertambahnya beban rakyat miskin dan kelas menengah rendahan. Selama 12 bulan pertama rejim Fujimori, ratusan juta dollar berhasil diserap ke luar negeri akibat pelayanan utang. Bandingkan dengan anggaran kesejahteraan sosial yang diperkirakan mencapai US$ 40 juta. Sementara itu, hampir 90 persen dari jumlah populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dua kali lipat.
Pada akhir 1994, Fujimori sukses menswastanisasi sejumlah besar sektor negara, menciptakan rekor inflasi yang patut ditiru, menghasilkan pertumbuhan dan ekonomi yang stabil. Itu semua menjadi landasan utama kemenangan kedua bagi Fujimori dalam pemilu April 1995. Meskipun kondisi sosial memburuk, lebih banyak orang yang terbebas dari status kemiskinan, dan sebuah lintasan hukum baru “hampir menghapuskan semua bentuk perlindungan legal bagi pekerja bergaji.”

Tindakan-tindakan penyesuaian dan stabilisasi yang resmi diumumkan oleh rejim neoliberal gelombang kedua, secara efektif mengambil alih karakter upacara agama tahunan. Setiap putaran baru mencabik-cabik sisa jaring sosial. Secara simbolis, memburuknya kondisi sosial ekonomi di kota-kota besar utama seperti, Buenos Aires, Sao Paulo, Caracas dan Mexico City, ditandai oleh tingginya angka pengangguran terbuka maupun tertutup. Pada saat bersamaan, kebijakan ekonomi deflasioner, pinjaman bank internasional dan arus modal spekulatif berhasil menstabilkan ekonomi dalam jangka pendek. Tetapi, seiring dengan tanda-tandan kesembuhan itu segera diikuti oleh putaran baru krisis struktural.

Sebagaimana reformasi ekonomi memolarisasi masyarakat, para presiden rejim neoliberal gelombang kedua ini mulai meningkatkan sentralisasi legislatif dan kekuasaan eksekutif. Prototipenya adalah Fujimori “autogolpe” (perebutan kekuasaan oleh dirinya sendiri) yang dieksekusi sambil memelihara kerangka kerja atau memangkas daya tawar sistem elektoral. Pada April 1992, dengan dukungan penuh dari komando tertinggi militer, presiden Peru membubarkan kongres, menutup lembaga peradilan, membekukan semua jaminan konstitutional, dan menulis ulang konstitusi yang mengijinkan dilakukannya pemilu. Inilah yang disebut Fujimori autgolpe.

Kesediaan untuk memaksakan kebijakan melalui kekuasaan eksekutif, menolak badan pembuat undang-undang, dan memperkosa norma-norma konstitusional dan hak-hak individual, melukiskan corak penting dari rejim neoliberal gelombang kedua. Dalam pencarian sederhana dari doktrin ideologis, para pemimpin ini kebal dari protes-protes publik skala besar atau jajak pendapat umum yang rendah. Presiden Argentina Carlos Menem, sebagai contoh, menyatakan pada berbagai kesempatan bahwa tak satupun, apakah pemogokan umum kolapsnya dukungan rakyat yang bisa menghalanginya dari pelaksanaan agenda pasar bebas. Kekakuan seperti ini dan caci maki terhadap segala jenis konsultasi rejim beriringan dengan dimulainya gerakan memperkuat institusi-institusi pemaksa seperti, militerisasi kembali masyarakat sipil. Pergeseran ini, dan penciptaan paralelnya, adalah meningkatnya mentalitas bunker di antara rejim neoliberal. Keadaan ini lebih kukuh dengan datangnya presiden-presiden rejim neoliberal gelombang ketiga.

Dua macam oposisi yang sebagai akibat merosotnya rejim gelombang kedua: partai politik dengan keuangan yang baik yang mengutuk program penghematan tapi, sekali lagi sedang menyiapkan sebuah eksperiman gelombang neo-liberal; dan oposisi yang bertumbuh dari gerakan sosial yang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa dari upah sosial dan menghindari kemiskinan yang lebih dalam. Berhadapan dengan rejim yang kaku dan secara serius menghapuskan pendapat publik, bahkan para perantara pro-rejim di antara serikat buruh, asosiasi kewarganegaraan dan kelompok tetangga yang dihubungkan dengan politik yang klientalistik, mulai mengorganisir aktivitas protes.

Ketika sebagian besar masyarakat yang mendukung pemisahan dari neoliberalisme semakin banyak, mayoritas oposisi politik tetap menunjukkan komitmen yang mendalam dengan kerangka kerja itu, sehingga tidak mampu merinci prakarsa baru di luar globalisasi ekonomi yang pada akhirnya akan diurusnya. Gelombang ketiga yang baru atau pemilihan kembali presiden neoliberal, tanpa ragu melanjutkan kebijakan yang kian memperdalam eksploitasi pasar bebas; dan meningkatnya resiko dari pergolakan sosial yang terorganisir.

No comments: