Dari Kritik Menuju Perayaan: Akar-akar Agenda NeoLiberal
Dalam analisis tentang siklus politik Amerika Latin, adalah penting mengajukan pertanyaan “mengapa suara-suara yang menentang neoliberalisme yang diterjemahkan dalam bentuk pemilihan rejim pengganti yang menyertainya, menerapkan kebijakan yang sama? Pertama, kita telah melihat pada seluruh kasus, kaum neoliberal tidak mengampanyekan program politiknya; mereka tidak menjanjikan upah yang lebih rendah, menghancurkan negara kesejahteraan, mengurangi pensiun, meningkatkan harga bahan-bahan makanan esendial dan pelayanan sosial yang mendasar. Sebaliknya, kaum neoliberal mengidentikkan dirinya sebagai populis, mengecam pejabat-pejabat neoliberal dan menjanjikan perubahan yang mendasar. Dalam pertarungan untuk menempati jabatan kepresidenan, slogan populis dan nasionalis dangat mendominasi; para kandidat berjanji untuk menyelesaiakn masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran; para penganjur utama doktrin pasar bebas dikecamnya habis-habisan sehingga di mata rakyat mereka tampak sebagai musuh bersama yang mesti dienyahkan dari panggung kekuasaan politik. Tetapi, sekali kursi kepresidenan sudah didudukinya, komitmen penganut pembaharuan adalah membudak kepada penyesuaian gaya IMF dan program stabilisasi yang sama kerasnya dengan rejim neoliberal sebelumnya yang telah dihujatnya habis-habisan. Rejm baru ini menghancurkan seluruh sistem kesejahteraan sosial, menghapuskan undang-undang perlindungan pekerja, menarik ke bahwa spiral upah, meningkatnya pengangguran dan pertumbuhan sektor ekonomi informal, sehingga menyebabkan kemiskinan rakyat yang semakin meluas.
Program kampanye pemilu berhubungan terbalik dengan politik pasca pemilu. Neoliberalisme telah menghina proses pemilu dengan memarjinalkan badan pembuat undang-undang, pada periode pasca pemilu. Di bawah neoliberalisme, politik pemilu menjadi tidak berarti sebagai metode yang menyediakan aneka pilihan yang penuh arti kepada pemilih, di mana harapan pemberi suara berkorelasi dengan hasil pemilu. Hasilnya menyangsikan keseluruhan isu dari pemerintah pilihan rakyat. Pemilu yang tidak representatif adalah hasil fundamental dari karakter elitis neoliberalisme; dimana kebijakan sosial ekonomi bertentangan dengan pemilu yang bebas. Di bawah pemerintahan militer, tindakan-tindakan neoliberal diumumkan secara terbuka dan dipaksakan. Di bawah pemerintahan sipil, kebijakan neoliberal diterapkan secara terselubung dan dipaksakan melalui mandat pemilu palsu. Legitimasi palsu (pseudo-legitimacy) dari rejim neoliberal menyandarkan dirinya pada asumsi palsu bahwa pemerintah “dipilih secara bebas.” Tetapi politikus hasil pemilu hanya merupakan wakil sebuah posisi yang dipertahankan di depan umum. Dari konteks politis, proses pemilu kekurangan legitimasi sebagaimana pada contoh lainnya disebut politik kotor. Secara umum, kampanye pemilu neoliberal adalah manipulatif untuk mengamankan perolehan suara yang secara diametral bertentangan dengan dukungan mayoritas pemilih. Oposisi itu tak hanya dalam bentuk luruhnya kepercayaan tapi, terutama pada gagasan tentang pemerintahan perwakilan. Siklus neoliberal, reproduksi rejim neoliberal, juga menjadi basis bagi para politisi tangguh untuk mendistorsi (menyimpangkan) proses pemilu melalui manipulasi kesadaran; kian mendalamnya jurang antara pilihan (preferensi) pemilih dengan praktek dari kelas politik dan antara proses pemilu dan kebijakan yang dihasilkannya.
Alasan kedua oposisi publik terhadap neoliberalisme yang diterjemahkan ke dalam pemilihan neoliberal adalah kekuasaan kelompok-kelompok ekonomi teorganisasi di luar proses pemilu. Penentu utama kebijakan politik bukanlah pilihan pemilih tapi, melekat pada struktur sosial ekonomi dimana politisi hasil pemilu beroperasi. Yang pertama, percaya bahwa kelas buruh hanya akan eksis dalam relasi kepemilikan kapitalistik, sirkuit internasional dan jaringan kerja keuangan. Dengan visi seperti ini, otomatis tak ada pilihan lain kecuali mengakomodasi kebijakan mereka pada kepentingan-kepentingan ekonomi mendasar konfigurasi ini. Aktor-aktor kapitalis kunci, nasional dan internasional, produktif dan finansial, dasar keputusan investasinya mengabdi pada model neoliberal. Hasilnya, politisi-politisi kapitalis yakni, mereka yang mencoba “mengatur” atau mengubah aturan-aturan tentang investasi, untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan sosial dari mayoritas pemilih, tak terelakkan lagi telah “memprovokasi” pelarian modal, jatuhnya investasi dan penghapusan aliran keuangan eksternal. Politisi-politisi yang terpilih, untuk mengantisipasi kemungkinan krisis kepercayaan investor, dengan cepat mengingkari janji-janji masa kampanyenya. Mereka segera menerapkan “agenda yang lain,” agenda yang terselubung.
Hari ini, pusat pengambilan keputusan sistem politik berhubungan dengan neoliberal, dan tidak ada ruang kelembagaan untuk mengimbangi kekuatan sosial yang mengusulkan alternatif bagi sebuah strategi kapitalis. Situasi ini memberi peluang bagi polisi-politisi reformis atau populis untuk mengangkangi retorika masa kampanye mereka, yang mengusulkan adanya sebuah kekuatan sosial yang terorganisasi atau lembaga yang berwibawa sehingga menghasilkan pertanggungjawaban politik. Pada akhirnya, melalui pemilu semuanya menjadi lembah.
Alasan ketiga mengapa neoliberalisme mereproduksi dirinya sendiri di samping oposisi elektoral tersebar luas, bisa ditemukan pada lingkungan akomodatif dari politisi-politisi kiri tengah (centre-left politicians). Di samping mandat pemilu untuk mengubah, sebuah ideologi yang mengaku menentang neoliberalisme dan sebelum melakukan oposisi politik, kiri-tengah dengan cepat terserap ke dalam konfigurasi kekuasaan neoliberal.
Sejarah masa lalu (latar belakang sosial dan perjuangan), tidak berpengaruh pada lingkungan politik kiri-tengah sehingga mendadak menjadi faktor kontekstual: komitmen ideologis menjadi tidak penting ketimbang kepentingan politik sempit; mandat pemilu menjadi tidak relevan sebagai sarana mempertinggi harga diri. Faktor-faktor kontekstual, kepentingan politik dan harga diri menerima keunggulan neoliberal di dunia kini karena mereka bergema bersama dengan etos dominan saat itu. Politisi-politisi kiri-tengah menyalahkan neoliberalisme dalam teori: dalam praktek, mereka erat tertarik pada etika pencarian keuntungan yang mudah dan depat melalui transaksi umum dan swasta. Proses ini dimudahkan dan disahkan oleh wacana privatisasi. Bagi para borjuis kecil (petty bourgeois) (dan tidak sedikit bekas pekerja), mobilitas sosial ke atas melalui politik praktis telah menjadi sebuah kebutuhan pokok. Di masa lalu, oportunisme ini telah dikendalikan sampai derajat tertentu atau dicek oleh institusi kelas yang kuat (yang dipimpin oleh para pemimpin bertanggung jawab) dan yang dihukum oleh resep-resep moral yang ketat. Hari ini ketidakpuasan mayoritas rakyat tidak terlembagakan; etika kelas telah dikikis. Sebagai hasilnya, politisi-politisi kiri-tengah bebas mengapung ke seberang peta sosial dan politik yang mendefinisikan kembali istilah “menentang neoliberalisme.” Terminologi seperti (itu) cukup samar-samar seperti mengijinkan berbagai format dari “modernisasi” pro-kapitalis, sebagai muslihat di atas permukaan alternatif rakyat yang tidak populer.
Reproduksi neoliberalisme, juga bisa dianalisis dalam kaitan dengan kesinambungan kelembagaan antara rejim militer dan sistem pemilu yang baru. Debat tentang “transisi” dari kediktatoran menuju demokrasi, secara khas mengabaikan atau memalsukan sebuah elemen kunci: keberlanjutan kekuasan sosial-ekonomi, lembaga negara dan model pembangunan. Rejim pemilu bukannya bersedia atau berkeinginan menantang parameter kebijakan yang kaku yang diciptakan oleh kapital domestik dan internasional. Untuk melakukannya, kita harus menyangsikan asal-usul dari seluruh pakta politik yang mengijinkan politisi elektoral muncul dari ketidakjelasan. Warisan sejarah dan pengenalan batasan-batasan kebijakan telah menjadi bagian dari kebangkitan kembali budaya politik elektoral. Pelanggar dari pakta politik ini menghadapi masa depan krisis kepercayaan investor dan di luar ancaman berkuasanya kembali pemerintahan militer. Di bawah hegemoni neoliberal, kekuasaan baru dari permainan elektoral mengijinkan partai oposisi bebas lepas untuk menyerang neoliberalism hingga ke kantor pemerintah. Tetapi, begitu kekuasaan direngkuh, mereka diminta tanggung jawabnya untuk mempercepat penerapan model neoliberal. Kebebasan, dalam makna demokrasi pasar, melibatkan percakapan dengan rakyat dalam kampanye pemilu, dan sekali berkuasa, bekerja untuk menjadi kaya raya.
13.4.06
Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 5)
Posted by Unknown at 10:23 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment