13.4.06

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 1)

Catatan Editor:
Artikel ini beradal dari JILAS: Journal of Iberian and Latin American Studies 4(1). Ditulis oleh James Petras. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. IndoPROGRESS memuatnya menjadi 7 (tujuh) bagian sesuai dengan sub-judul pada artikel aslinya.

Pengantar

Esai ini merujuk pada beberapa debat utama mengenai “transisi,” yang melibatkan para akademisi para politisi terkemuka di Amerika Latin. Kita dapat menggolongkan “debat mengenai transisi” itu ke dalam dua kategori luas yang saling berhubungan: “ekonomi” dan “politik.”

Satu garis penghubung yang bisa kita tarik dari kebanyakan teoritikus neoliberal, mereka membantah bahwa antara reformasi ekonomi dan demokrasi politik adalah gejala yang saling menunjang. Mereka menganjurkan agar pasar bebas dari regulasi (pengaturan) negara, sehingga mendorong terjadinya kompetisi. Kompetisi pasar yang bebas dari intervensi negara akan menyebabkan terjadinya efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, terbentuknya masyarakat yang lebih terdiferensiasi. Kondisi ini dengan demikian mempercepat terwujudnya pluralisme sosial dan pluralisme politik: kebebasan memperoleh kesederajatan ekonomi sama dengan kebebasan memperoleh kesederajatan politik. Garis argumentasi neoliberal lain, yang lebih terbatas berpendapat, reformasi ekonomi akan mendorong ke arah pembangunan ekonomi. Bagi kelompok ini, awal yang menyakitkan dari penyesuaian struktural pada akhirnya menghasilkan kemakmuran di masa depan. Proses ini berkaitan dengan ruang dan waktu.

Akhirnya para penganut neoliberal mengatakan, kita sudah memasuki suatu dunia baru yang telah terglobalisasi. Sebuah dunia di mana kekuatan yang impersonal dari pasar liberal, menuntut liberalisasi pasar negara nasional (jika bukan sebuah anakronisme) untuk merinci kebijakan yang mempersiapkan ekonomi nasional agar siap berkompetisi secara internasional. Sebuah varian “neostruktural” menganjurkan agar negara harus mempertahankan perannya guna mengoreksi ekses-ekses dari pasar, misalnya, melalui program pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki dampak dari penyesuaian pasar. Esensinya, kalangan neoliberalis berpendapat, merupakan sesuatu yang tak terbantahkan bahwa transisi ekonomi harus berujung pada pasar bebas; tidak ada alternatif yang mungkin atau realistis. Ignacio Ramonet, editor Le Monde Diplomatique, menyebutknya sebagai “pensamiento ú nico,” yang secara harafiah bermakna “hanya pikiran.”

Kedua, adalah literatur yang berhubungan dengan transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perdebatan tentang ini sudah berlangsung sejak awal 1980an. Aliran pemikiran dominan (dominant school) berpendapat, sebagian besar negara di Amerika Latin telah sukses dalam transisi menuju rejim politik demokratis (dengan perkecualian barangkali, Peru dan Mexico. Bahkan para penganjur utama transis menuju demokrasi, beberapa di antaranya mengalami perselisihan pendapat).

Tesis dari para penganjur transisi demokrasi berpendapat, kendati masih berada dalam bayang-bayang otoritarianisme, proses konsolidasi telah melalui sebuah pakta politis di antara para elite elektoral, kelas sosial-ekonomi yang berkuasa (socio-economic ruling class), dan para jenderal. Karena itu, sebagian dari para penulis ini, menunjukkan bukti-bukti yang konsisten dimana banyak pemerintah yang terpilih di banyak negara Amerika Latin yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Amerika Latin. Mereka juga memperlihakan bukti tentang supremasi sipil dalam mengatasi militer. Mereka mengidentifikasi ancaman bagi demokrasi berasal dari angkatan perang di luar rejim, gerakan-gerakan sosial ekstra-parlementer yang bertindak di luar gelanggang pemilu, dan para pejabat militer garis keras yang tidak puas akibat perubahan yang terjadi. Menurut skenario ini, para teoritikus transisi demokrasi mengacu pada peran Washington yang mengubah politik gendarme yang secara informal menjaga imperium, menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi dan pasar bebas.

Esai kami ini menantang premis-premis dasar yang dikemukakan oleh para teoritikus neoliberal. Kami berpendapat, reformasi ekonomi tidak mendorong terwujudnya demokrasi politik tetapi, pada terciptanya ketidakadilan yang meluas dan polarisasi sosial yang tinggi akibat represi negara. Kebijakan pasar bebas sesungguhnya telah dimulai sejak berkuasanya diktator militer pada 1970an. Kebijakan itu kemudian semakin meningkat dalam siklus neoliberal dengan reformasi ekonominya yang diikuti oleh pemulihan jangka pendek dan krisis yang berulang, yang kemudian ditangani kembali dengan paket penyesuaian baru; “siklus sakit yang berakhir dengan sakit.” Kebijakan penyesuaian tak lebih dari suatu strategi pembangunan ekonomi (yang di atasnya terdapat sedikit indikator kemajuan dan suatu kelimpahan data yang saling bertentangan). Lebih tepat untuk disebutkan bahwa kebijakan penyesuaian ini lebih sebagai sebuah strategi politik untuk memusatkan kekayaan dan mengumpulkan sumberdaya negara.

Para pembela tesis transisi demokrasi (transitologi), gagal membedakan antara “negara” dan “rejim:” dalam arti bahwa negara otoriter (militer, polisi, pengadilan, dll.) tidak berubah di masa “transisi” ini. Justru yang terjadi adalah sebuah kesinambungan secara tersirat (samar-samar) maupun tersurat (tampak jelas) dalam era demokrasi yang bebas ini. Ada kesinambungan dari praktek-praktek otoriter di dalam rejim sipil hasil pemilu (civilian electoral regimes): aturan berdasarkan dekrit, privatisasi tanpa konsultasi dengan rakyat, penggunaan yang sering dari militer atau intimidasi negara untuk mempengaruhi penyesuaian semua hal yang bertentangan dengan suatu kebudayaan otentik warga yang demokratis. Sebuah siklus ekonomi neoliberal memperdalam, seperti penyakit kronis dan menyebar, dimana hal ini membentuk spiral menaik bagi rejim politik yang represif: setiap rejim politik kemudian mulai bersandar pada perundang-undangan otoritarian yang dipilih kembali yang membedakannya dengan janji-janji kampanye yang menyesatkan dan memanfaatkan pendekatan represif untuk membatasi pembelaan publik atas dampak dari upah yang merugikan, mereka yang bergaji dan kelas petani.

Kerangka kerja ini secara radikal menggeser istilah-istilah yang selama ini muncul dalam perdebatan: dari transisi ke demokrasi, menuju transisi ke neo-otoritarianisme; dari transisi ke pasar bebas dan kemakmuran, menuju kemunduran kapitalisme yang barbar. Analisa ini, sebagian besar fokusnya pada elaborasi (penjelasan yang rinci) kerangka kerja analitikal guna menjelaskan kecenderungan saling pengaruh yang mengarah pada terbentuknya otoritarianisme politik yang lebih besar dan polarisasi sosial, sebagai akibat dari kebijakan rejim hasil pemilu.

Di seluruh Amerika Latin, telah tumbuh kekecewaan rakyat yang mendalam terhadap pemerintahan neoliberal yang menyebabkan terjadinya persekutuan lintas benua lebih dari dekade sebelumnya atau lebih. Namun salah satu paradoks yang mengacaukan dari analis politik regional bahwa para pemilih segan untuk tidak mengakui rejim tersebut di kotak pemungutan suara: kehancuran yang disebabkan oleh gagalnya ekonomi sosial tidak menjadi rintangan bagi rejim pengganti hasil pemilu untuk terikat dengan kebijakan yang sama. Paradoks lainnya juga mengalami kebuntuan: selagi oposisi politik, memanfaatkan permusuhan pemberi suara, sukses mengampanyekan isu mengenai upah dalam pemilu untuk menyingkirkan pemerintahan neoliberal. Tapi, begitu rejim baru ini berkuasa dalam waktu singkat dan sistematis segera menanggalkan janji-janji populisme yang diumbarnya pada masa kampanye pemilu. Dalam seketika, rejim baru tersebut berbalik arah memperdalam agenda-agenda neoliberal yang diwariskan rejim pendahulunya.

Esai ini akan mengeksplorasi pola yang direproduksi oleh rejim neoliberal di Amerika Latin dan mempertanyakan apakah mungkin ada sebuah resolusi untuk mematahkan siklus politik ini. Yang terakhir ini berkaitan, dan saling berhubungan dengan, naik turunnya spiral ekonomi-sosial, yang pada gilirannya, secara erat berhubungan dengan suatu bagian kunci dari daftar lagu-lagu (repertoire) neoliberal, yang disebut kebijakan penyesuaian struktural (SAPs). Berdasarkan pada pengujian dampak sosial ekonomi ini, kami menyatakan bahwa terlalu banyak perhatian yang telah diberikan kepada SAPs sebagai bagian dari strategi ekonomi yang diakui ketimbang memahami SAPs sebagai motivasi utama sebuah kelas yang diarahkan melalui strategi politik.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 2)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Pertama

Rejim neoliberal hasil pemilu, telah mengikuti suatu siklus dari keadaan berkuasa, mengalami pembusukan, dan kemudian bangkit kembali. Terdapat tiga gelombang besar yang bisa kita identifikasi. Bagi banyak negara yang mengalami gelombang pertama sepanjang dekade 1980an, kira-kira bersamaan waktu dengan transisi hasil negosiasi antara kediktatoran militer dengan pemerintahan sipil yang berlangsung di hampir seluruh benua ini. Gelombang kedua mengikuti arah ujung dekade hingga paruh pertama dekade 1990an. Gelombang ketiga neoliberal dimulai pada akhir gelombang kedua hingga periode sekarang ini.

Fernando Belaúnde dan Alan García di Peru, Raúl Alfonsín di Argentina, Miguel de la Madrid di Mexico, Julio Sanguinetti di Uruguay, dan José Sarney di Brazil, adalah figur-figur terkemuka yang memimpin gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu. Mereka menjalankan kekuasaan di atas gelombang eforia yang menyertai proses “redemokratisasi” dan harapan pemilih mengenai perubahan politik dan keterbukaan ekonomi yang mempromosikan kebebasan dan kemakmuran. Cepat atau lambat, bagaimanapun, setiap pemerintahan reformis tersebut segera berbalik arah secepat kilat dari retorika kampanyenya yang populis dengan memperpanjang agenda pasar bebas yang mula-mula diusulkan oleh pemerintahan diktator militer yang mereka gantikan. Ini menunjukkan suatu kesediaan untuk menerapkan “stabilisasi” dan SAPs yang didiktekan oleh IMF dan Bank Dunia. Ketundukkan kepada IMF dan Bank Dunia itu dimulai dengan menghancurkan program-program kesejahteraan sosial, membuat undang-undang (legislasi) yang melemahkan posisi kaum buruh, mengambil langkah pertama dengan menghancurkan sektor negara (BUMN), mengijinkan penghapusan utang luar negeri secara besar-besaran kepada perusahaan publik, dan memberi prioritas pada pembayaran kembali utang luar negeri dengan mengorbankan biaya untuk pembangunan ekonomi dan sosial di dalam negeri.

Tetapi apa yang menyolok dari kegagalan umum gelombang pertama rejim neoliberal ini untuk menghasilkan dukungan, pertumbuhan dinamis berdasarkan atas distribusi kemakmuran dan pendapatan yang lebih merata? Sebagaimana tampak dari istilah-istilah yang mereka simpulkan, setiap usaha yang serius untuk melawan krisis ekonomi, dalam beberapa kasus berbaur dengan skandal korupsi besar-besaran, terciptanya depresi pemilih yang meluas, dan berkembangnya oposisi borjuis elektoral dan oposisi ekstra-parlementer. Kasus Peru dan Brazil adalah ilustrasi yang baik mengenai hal ini. Di Peru, Belaúnde memenangkan kursi Presiden pada 1980, sebagian besar disebabkan oleh kemampuannya menarik suara dari para pekerja, petani, dan kaum miskin kota. Dukungan itu diraihnya setelah menebar janji pekerjaan tetap, peningkatan standar hidup, dan kebebasan yang luas bagi serikat buruh. Tapi, begitu ia menjadi pejabat pemerintah, Belaúnde dengan cepat memberi tanda bahwa ia akan menerapkan sebuah agenda prioritas baru: pembebasan pasar, privatisasi perusahaan-perusahaan negara, menarik minat para investor asing, mengadakan pertemuan internasional untuk menunaikan kewajiban membayar utang, dan memaksakan tindakan-tindakan penghematan dan stabilisasi guna mendapatkan kembali utang baru dari lembaga-lembaga keungan internasional. Pada 1984, kebijakan neoliberal Belaúnde, tidak menghasilkan pertumbuhan maupun pembangunan. Sebagai gantinya, ekonomi Peru justru terjerumus ke dalam resesi ekonomi yang menyakitkan: kira-kira 50 persen dari produk ekspor hanya digunakan untuk membayar utang luar negeri sesuai jadwal. Sementara itu, produksi industri dan pertanian hanya menghasilkan kebangkrutan. Biaya sosial sama artinya dengan kehancuran: pengangguran bertambah tinggi, harga makanan melonjak tak terjangkau, upah nyata merosot dan secara dramatis dilaporkan, kasus penderita kekurangan gizi dan tuberculosis (tbc) meningkat.

Dengan sederetan dampak dari kebijakan neoliberal yang diterapkannya itu, dukungan terhadap kandidat dari partai Belaúnde untuk pemilihan Presiden pada 1985, merosot kurang dari sepuluh persen.

APRA, partainya Alan García, memenangkan perolehan suara pada pemilu 1985 di Peru. Partai ini memenangkan pemilu dengan mengusung platform yang menjanjikan perbaikan kemunduran ekonomi dan peningkatan standard hidup. Menurut Garcia, kedua hal yang ia janjikan itu akan dilaksanakan melalui strategi kombinasi antara tindakan-tindakan penghematan dan peningkatan belanja pemerintah. Selama 1986-87, García bekerja melebihi kemampuannya tapi, pemulihan ekonomi tetap rapuh (inflasi rendah, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli massa). Tetapi, seluruh janji-janji itu dengan cepat berbalik arah sebagai akibat investasi yang macet, pelarian modal (capital flight), dan kesulitan neraca pembayaran. Antara tahun 1988 dan 1990, rejim Garcia membuang retorika populisnya dan menetapkan tiga jurus IMF-SAPs, sebagai akibat kegagalannya dalam mengendalikan hiperinflasi di bawah kendalinya. Yang paling kasar dari paket ekonomi ini adalah ditetapkannya peningkatan harga melebihi waktu-waktu sebelumnya secara massif, dalam hal ini bahan-bahan makanan dasar dan barang konsumsi. Akibatnya sudah bisa diramalkan, hancurnya standard hidup. Pelakuan kejutan penghematan ini telah menyebabkan pemiskinan segmen terbesar dari populasi penduduk Peru. Saat ini, eksperimen neoliberal telah memicu kebangkitan besar dari perjuangan kelas dan politik: ratusan ribu kelas pekerja di pertambangan, tekstil, pendidikan, dan sektor negara berpartisipasi dalam gelombang besar pemogokan di seluruh negeri.

Di Brazil, urutan peristiwanya hampir sama: dari perubahan jangka pendek, reformasi terbatas menjadikan kebijakan neoliberal berkembang pesat dan berakhir pada robohnya basis politis rejim Sarnye. Melalui kombinasi pembekuan harga, reformasi mata uang dan tindakan-tindakan lainnya, pemerintahan Sarney (1985-90) untuk sementara berhasil mengendalikan inflasi rendah dan meningkatkan upah nyata. Namun demikian, pada awal 1987, kebanyakan pembatasan harga telah dihapuskan, dimana hal ini memberi sinyal bagi pergeseran kebijakan yang utama. Pada akhir 1988, kembali terjadi hiperinflasi yang menghancurkan daya beli kelas pekerja, ekonomi kembali mengalami krisis, dan korupsi pemerintah kian merajalela. Sementara itu, Sarney tampak lebih mengonsentrasikan kebijakannya pada renegosiasi secara diam-diam utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 121 milyar. Ongkos dari renegosiasi itu, pemerintah kembali menerapkan kebijakan pengetatan untuk mendapatkan pinjaman dari para kreditor. Inflasi, lagi-lagi, membentuk spiral menaik yang tak terkontrol, ratusan ribu kelas pekerja yang terorganisasi turun ke jalan-jalan, melakukan pemogokan dan protes-protes lainnya menentang konsekuensi dari kebijakan neoliberal.

Demonstrasi dan pemogokan besar-besaran ini, tentu saja menyebabkan situasi tidak nyaman bagi para investor. Terjadi instabilitas politik yang berpengaruh pada kalkulasi bisnis. Itu sebabnya, pemerintah kemudian menghadapi aksi-aksi protes itu dengan mengedepankan tindakan hukum dan ketertiban (law and order). Pada titik inilah, pemerintah kembali menyandarkan nasibnya pada militer dan polisi. Hasil jajak pendapat umum yang diselenggarakan sebelum pemilihan kotapraja pada November 1988, kekuasaan Partai Pergerakan Demokratik Brasil, menderita kerugian besar. Persetujuan Sarney atas penerapan kebijakan neoliberal telah menyebabkan partainya menderita kekalahan telak, lebih rendah dari lima persen.

Krisis gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu, tidak mempengaruhi agen-agen pemberi pinjaman internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk mengkritisi konsekuensi-konsekuensi reformasi ekonomi atau pasar bebas. Justru sebaliknya, mereka tetap bersikukuh pada diagnosa mereka sebelumnya. Kesalahan bukan pada resep yang dianjurkan tapi, pada kegagalan rejim neoliberal gelombang pertama dalam menerapkan kebijakan neoliberal yang ketat, konsisten, dan berkelanjutan. Hasil diagnosa ini, bagaimanapun, mengabaikan para pendonor asing dan para kolaboratornya sebagai sumber masalah dalam menjerumuskan Amerika Latin ke dalam krisis yang lebih dalam. Yang penting bagi para pendonor dan kolaboratornya itu, sejauh para pemilih yang merasakan pahitnya obat memperoleh kemakmuran di masa depan sepahit apapun tak soal, khususnya ketika prospek kemakmuran tetap nampak di kejauhan. Isu politik yang paling penting bagi para aktor internasional dan kalangan oposisi elektoral domestik, berpusat pada pertanyaan: siapa yang akan membentuk rejim neoliberal gelombang kedua, yang memenangkan suara mayoritas sehingga bisa menerapkan agenda neoliberal yang baru dan lebih radikal?


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 3)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Kedua

“Gelombang” kedua dari politikus-politikus elektoral neoliberal, adalah Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Fernando Collor di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Jaime Paz Zamora di Bolivia, Luis La Calle di Uruguay, dan Carlos Salinas di Mexico. Para politisi ini diharuskan memecahkan dilema ketundukan kepada pemilihnya di satu pihak dan berlangsungnya sebuah tatanan yang memaksa para politisi ini harus melayani penguasa ekonominya melalui pemisahan proses politik ke dalam kumpulan-kumpulan yang berbeda.

Pada gelombang kedua neoliberal ini, masa-masa kampanye pemilu ditandai oleh serangan tajam terhadap kelompok populis, yang merupakan konsekuensi dari neoliberalisme (kemiskinan, stagnasi, dan pelarian modal). Tujuannya, menyebarkan ketidakpuasan rakyat terhadap rejim neoliberal gelombang pertama sekaligus, mendulang suara untuk mengantarkannya ke posisi pemerintahan. Periode paska pemilu dengan cepat menyaksikan penegasan kembali bagi agenda neoliberal yang dikombinasikan dengan suatu indikasi kuat bahwa presiden gelombang kedua ini bukan sekadar mengubah proses tetapi, dengan sungguh-sungguh meradikalisasi kebijakan-kebijakan para pendahulunya. Apakah itu melalui dukungan kuat terhadap percepatan formula-formula privatisasi, pemberlakuan undang-undang yang lebih membatasi aktivitas serikat buruh atau penuruan upah buruh dan pemotongan lapangan kerja guna menciptakan suatu angkatan kerja cadangan yang lebih besar dari tenaga kerja murah. Ini semua pada akhirnya menghancurkan standar hidup rakyat di seluruh negeri.

Setelah sukses berkampanye untuk pemilihan presiden Venezuela pada akhir 1988, dengan sebuah program quasi-populist, mencakup dukungan terhadap kartel pemberi utang untuk membatasi biaya-biaya sosial ekonomi guna pembayaran kembali utang luar negeri kepada para kreditor internasional, Carlos Andrés Pérez mulai menerapkan program neoliberal yang sangat kasar, tepat ketika ia mengambilalih kekuasaan politik. Pada Pebruari 1989, pemerintahan baru ini melakukan negosiasi paket ekonomi sebesar US$ 4.6 milyar dengan IMF. Tindakan ini mencerminkan, sebagian, suatu keputusan untuk menempatkan pembayaran kembali utang luar negeri sebagai prioritas utama. Tak lama berselang, pemerintah memaksakan peningkatan besar-besaran bagi ongkos bensin, pengangkutan, dan bahan makanan dasar. Kebijakan ini tak pelak memicu ledakan huru-hara dimana 200 orang mati dan lebih dari 1.000 lainnya terluka.

Ketika kontrol terhadap harga dan subsidi bahan makanan dihapus, dan pembebasan tingkat suku bunga hingga dua digit di bawah tingkat inflasi, selama 18 bulan pertama pemerintahan Pérez, telah diambil langkah-langkah penghematan yang luar biasa (penghapusan penghalang tarif, pengurangan ribuan lapangan kerja di sektor negara, dll). Akibat langkah penghematan brutal Pérez ini, secara signifikan telah mengikis standar hidup masyarakat bawah dan kelas menengah. Meskipun terjadi peningkatan GDP sebesar 9 persen antara pertengahan 1991-92, persetujuan Pérez terhadap masalah publik jatuh sebesar 6 persen. Akibatnya, tidak mengejutkan jika upah riil pekerja jatuh pada level setengah dari apa yang mereka peroleh pada tahun 1988. Sekitar 60 persen populasi Venezuela tetap hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, seiring dengan konsekuensi reformasi neoliberal, bersamaan dengannya terjadi peningkatan politik uang dan korupsi yang meluas di dalam tubuh rejim. Kondisi ini sekali lagi kemudian memicu protes di seluruh negeri dan kemacetan kerja di hampir semua tempat kerja tetap. Pada Mei 1993, Mahkamah Agung, telah memiliki bukti-bukti yang cukup kuat untuk menuntut Pérez atas korupsi dan penggelapan dana-dana publik. Setahun kemudian, ia didakwa dan kemudian dipenjarakan dengan tuduhan mengembangbiakkan perilaku korup di pemerintahannya.

Di Brazil, pemerintahan Collor (1990-93) dengan cepat mengandangkan retorika populis selama pemilu dan membuat kerangka rencana ekonomi pasar bebas yang ambisius, yang didasarkan pada deregulasi, privatisasi skala besar, dan membiarkan upah dan harga ditentukan oleh pasar. Walaupun usaha untuk menjual perusahaan-perusauaan milik negara hampir tidak mengalami kemajuan karena oposisi rakyat yang konsisten terutama pada basis-basis pelayanan publik, rejim Collor terus tertekan dengan kebijakan fiskal dan moneter untuk menekan jumlah permintaan. Pada saat bersamaan aktivitas industri mengalami kelesuan yang parah, tingkat pengangguran semakin tinggi, hiperinflasi merajalela, jumlah kebangkrutan yang belum pernah terjadi, dan pertumbuhan keseluruhan negatif. Pada akhir 1991, basis dukungan rakyat terhadap Collor ambruk. Ketika kebijakan neoliberal menyebabkan resesi pada tahun ketiganya, presiden telah dihadapkan pada masalah lain: pada Juni 1992, suatu penyelidikan oleh Kongres menemukan bahwa Collor dengan sadar memanfaatkan kantor publik guna keuntungan pribadi. Pada September, para anggota Kongres menjatuhkan impeachment; dan tiga bulan kemudian Collor dipaksa meninggalkan kantor kepresidenan. Tak lama berselang Collor menghadapi tuntutan hukum dari senat atas aktivitas korupsi yang dilakukannya.
Pemerintahan Zamora di Bolivia ( 1989-93), juga meluncurkan program neoliberal yang sangat agresif. Tujuanya “stabilisasi” dan “penyesuaian” ekonomi. Dalam konsultasi tertutup dengan IMF dan Bank Dunia, Zamora meminta pinjaman baru dan investasi asing, menghilangkan kendali atas barang-barang dan jasa, memotong tarif yang mendukung industri lokal, dan membangun sistem tenaga kerja dengan memberikan lebih banyak otoritas kepada penyedia kerja untuk mengurangi tingkat upah dan meningkatkan kekuasaan atas perekrutan dan pemecatan tenaga kerja. Bagaimanapun, usaha untuk meluncurkan sebuah program privatisasi yang ambisius pada 1992, dalam beberapa hal juga tergelincir tapi, tidak semuanya. Dengan alasan yang sama dengan frustasi Collor di Brazil: oposisi serikat buruh; dugaan korupsi pemerintah; dan ketidakpuasan militer karena hilangnya sebagian dari sumber pendapatannya yang paling menguntungkan.

Pada kasus pemerintahan Menem di Argentina ( 1989-93), pembagian antara masa kampanye pemilu dan kebijakan sesudah pemilu, tak terlalu menyolok. Untuk memenangkan kursi kepresidenannya, Menem berjanji akan memperbaiki ekonomi dan mengembalikannya pada kebijakan tenaga kerja yang tradisional. Ia berjanji akan meningkatkan gaji pekerja yang telah merosot secara substansial, dalam pengertian yang riil, di bawah pendahulunya, Raúl Alfonsín. Dan ia menghukum Alfonsín karena telah membiarkan pembayaran hutang yang menghabiskan sekitar 45 persen pendapatan ekspor Argentina. Ia mengatakan kepada pemilihnya bahwa pemerintahnya akan mendorong untuk masa lima tahun “masa tenggang,” sebagai akibat penangguhan hutang. Pada saat yang sama, ia juga menyokong penjualan perusahaan-perusahaan milik negara dan kebijakan baru untuk meningkatkan level investasi asing.

Selama seratus hari pertama di kantornya, prioritas kebijakan Menem adalah kebalikan dari retorika masa kampanye. Dengan janji baru dari IMF untuk memberikan bantuan, Menem secara pengecut memutar punggungnya dari gerakan serikat buruh yang berperan penting dalam mengantarkan dirinya sebagai pemenang pemilu. Berdasarkan janji IMF itu, Menem segera beralih dengan melaksanakan sekumpulan tindakan penghematan neoliberal termasuk dukungannya bagi penerapan tingkat bunga yang tinggi bagi fasilitas umum, pengangkutan, komunikasi dan perusahaan-perusahaan energi. Secara serempak, ia juga mundur dari pembelaannya bagi penangguhan pembayaran utang luar negeri. Hal mana menandakan kesiapan untuk merundingkan suatu jadwal baru tentang terminologi pembayaran kembali dengan negara-negara kreditur internasional.

Pada tahun 1991, menteri ekonomi Domingo Cavallo, meluncurkan sebuah program utama tentang reformasi pasar neoliberal, selain sasaran obyektif lainnya, guna memikat masuknya investasi asing yang lebih besar. Pada pertengahan 1993, rejim Menem kemudian menswastanisasikan sejumlah besar perusahaan-perusahaan negara. Tapi, yang lebih penting, dalam kaitan menjaga dukungan rakyat, rejim kemudian menurunkan tingkat pengangguran dan mendorong laju pertumbuhan inflasi sebesar 200 persen pada tahun 1989, menjadi hanya 12 persen setiap tahunnya. Tetapi, ketika kebijakan neoliberal mengalami kebangkrutan yang dimulai pada akhir 1993 dan awal 1994, dalam bentuk meningkatnya keresahan sosial, termasuk pemberontakan rakyat di sebelah utara provinsi Santiago del Estero, menyusul kegagalan reformasi ekonomi, telah memarjinalisasi banyak kelompok sosial ekonomi tradisional . Lebih dari itu, pengangguran mulai menampakkan kecenderungan menaik, mencapai 18 persen di 1996. Pada waktu yang sama, pemerintah mengumumkan pemotongan dana pengangguran nasional dan kesejahteraan serta kesehatan yang bermanfaat bagi para pekerja. Pada Desember 1994, negara membekukan sistem pensiun; dua bulan kemudian sekitar 500,000 pegawai sipil mendapat pemberitahuan bahwa gaji mereka akan dipotong dalam waktu secepatnya.

Meskipun demikian, Menem kembali terpilih dalam pemilu pada Mei 1995 dengan mengantongi hampir 50 persen dari jumlah suara. Setelah stabilisasi ekonomi, yang ditandai dengan laju pertumbuhan GDP rata-rata sebesar delapan persen setiap tahunnya, selama masa pemerintahannya yang pertama dan, di atas semuanya, secara efektif memecahkan masalah inflasi, para pemilih kembali menginginkan Menem ke puncak kekuasaannya. Walaupun untuk itu, harus dilakukan “penyesuaian” pengetatan ekonomi dan bertumbuhnya tingkat kemiskinan seiring dengan eksperimen neoliberal.

Kandidat kuat presiden Peru dalam pemilu 1990, Alberto Fujimori, berkampanye menentang kedua lawannya: Mario Vargas Llosa, seorang pendukung pasar bebas dari sayap kanan, dan pendahulunya. Fujimori menyerang yang belakangan karena kegagalannya menyelesaikan problem sosial negerinya. Terhadap Vargas Llosa, Fujimori menyerang “shock treatment” sebagai tindakan kasar. Kebijakan yang diumumkan untuk mengurangi hiperinflasi negeri itu secara bertahap. Karena kampanyenya, kaum tani pedesaan dan miskin kota memberikan jalan lurus kepada Fujimori memenangkan kursi presiden melalui pemilu Juni.

Tetapi, dalam minggu itu juga, Fujimori segera berbalik arah menentang kaum tani dan miskin perkotaan. Ia kemudian mengumumkan sekumpulan tindakan penghematan yang keras yang telah dimandatkan oleh IMF dan Bank Dunia, sebagai ongkos untuk memperoleh pinjaman baru. Dengan menyandang gelar “Fujishock,” mereka hampir merupakan cermin dari Vargas Llosa yang mengumbar janji-janji pada masa kampanye tapi, setelah menang para pemilih itu dengan cepat ditinggalkan. Penghapusan subsidi-subsidi bahan makanan pokok telah memicu kenaikan harga sebesar tiga kali lipat dalam waktu singkat; segera setelah itu, ratusan ribu pekerja sektor publik menjadi korban dari “kesengsaraan” ini. Tanggapan langsung dari kebijakan ini adalah naiknya harga roti dan susu dan jatuhnya tingkat upah. Tak terelakkan bangkitnya demonstrasi massa, kekacauan, dan konfrontasi antara penduduk daerah kumuh di kota Lima dan pasukan angkatan bersenjata Peru. Kebijakan “Fujishock” itu, juga dilawan dengan pemogokan oleh serikat pekerja publik yang anggotanya paling menderita akibat kehilangan lapangan kerja secara besar-besaran.

Komitmen Fujimori terhadap kebijakan neoliberal, juga diperluas dengan pembayaran kembali utang luar negeri sebesar US$ 2 milyar kepada IMF, Bank Dunia, dan Inter-American Development Bank. Kebijakan ini dengan segera mendapat respon positif dari komunitas keuangan internasional yang diterjemahkan dalam bentuk makin bertambahnya beban rakyat miskin dan kelas menengah rendahan. Selama 12 bulan pertama rejim Fujimori, ratusan juta dollar berhasil diserap ke luar negeri akibat pelayanan utang. Bandingkan dengan anggaran kesejahteraan sosial yang diperkirakan mencapai US$ 40 juta. Sementara itu, hampir 90 persen dari jumlah populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dua kali lipat.
Pada akhir 1994, Fujimori sukses menswastanisasi sejumlah besar sektor negara, menciptakan rekor inflasi yang patut ditiru, menghasilkan pertumbuhan dan ekonomi yang stabil. Itu semua menjadi landasan utama kemenangan kedua bagi Fujimori dalam pemilu April 1995. Meskipun kondisi sosial memburuk, lebih banyak orang yang terbebas dari status kemiskinan, dan sebuah lintasan hukum baru “hampir menghapuskan semua bentuk perlindungan legal bagi pekerja bergaji.”

Tindakan-tindakan penyesuaian dan stabilisasi yang resmi diumumkan oleh rejim neoliberal gelombang kedua, secara efektif mengambil alih karakter upacara agama tahunan. Setiap putaran baru mencabik-cabik sisa jaring sosial. Secara simbolis, memburuknya kondisi sosial ekonomi di kota-kota besar utama seperti, Buenos Aires, Sao Paulo, Caracas dan Mexico City, ditandai oleh tingginya angka pengangguran terbuka maupun tertutup. Pada saat bersamaan, kebijakan ekonomi deflasioner, pinjaman bank internasional dan arus modal spekulatif berhasil menstabilkan ekonomi dalam jangka pendek. Tetapi, seiring dengan tanda-tandan kesembuhan itu segera diikuti oleh putaran baru krisis struktural.

Sebagaimana reformasi ekonomi memolarisasi masyarakat, para presiden rejim neoliberal gelombang kedua ini mulai meningkatkan sentralisasi legislatif dan kekuasaan eksekutif. Prototipenya adalah Fujimori “autogolpe” (perebutan kekuasaan oleh dirinya sendiri) yang dieksekusi sambil memelihara kerangka kerja atau memangkas daya tawar sistem elektoral. Pada April 1992, dengan dukungan penuh dari komando tertinggi militer, presiden Peru membubarkan kongres, menutup lembaga peradilan, membekukan semua jaminan konstitutional, dan menulis ulang konstitusi yang mengijinkan dilakukannya pemilu. Inilah yang disebut Fujimori autgolpe.

Kesediaan untuk memaksakan kebijakan melalui kekuasaan eksekutif, menolak badan pembuat undang-undang, dan memperkosa norma-norma konstitusional dan hak-hak individual, melukiskan corak penting dari rejim neoliberal gelombang kedua. Dalam pencarian sederhana dari doktrin ideologis, para pemimpin ini kebal dari protes-protes publik skala besar atau jajak pendapat umum yang rendah. Presiden Argentina Carlos Menem, sebagai contoh, menyatakan pada berbagai kesempatan bahwa tak satupun, apakah pemogokan umum kolapsnya dukungan rakyat yang bisa menghalanginya dari pelaksanaan agenda pasar bebas. Kekakuan seperti ini dan caci maki terhadap segala jenis konsultasi rejim beriringan dengan dimulainya gerakan memperkuat institusi-institusi pemaksa seperti, militerisasi kembali masyarakat sipil. Pergeseran ini, dan penciptaan paralelnya, adalah meningkatnya mentalitas bunker di antara rejim neoliberal. Keadaan ini lebih kukuh dengan datangnya presiden-presiden rejim neoliberal gelombang ketiga.

Dua macam oposisi yang sebagai akibat merosotnya rejim gelombang kedua: partai politik dengan keuangan yang baik yang mengutuk program penghematan tapi, sekali lagi sedang menyiapkan sebuah eksperiman gelombang neo-liberal; dan oposisi yang bertumbuh dari gerakan sosial yang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa dari upah sosial dan menghindari kemiskinan yang lebih dalam. Berhadapan dengan rejim yang kaku dan secara serius menghapuskan pendapat publik, bahkan para perantara pro-rejim di antara serikat buruh, asosiasi kewarganegaraan dan kelompok tetangga yang dihubungkan dengan politik yang klientalistik, mulai mengorganisir aktivitas protes.

Ketika sebagian besar masyarakat yang mendukung pemisahan dari neoliberalisme semakin banyak, mayoritas oposisi politik tetap menunjukkan komitmen yang mendalam dengan kerangka kerja itu, sehingga tidak mampu merinci prakarsa baru di luar globalisasi ekonomi yang pada akhirnya akan diurusnya. Gelombang ketiga yang baru atau pemilihan kembali presiden neoliberal, tanpa ragu melanjutkan kebijakan yang kian memperdalam eksploitasi pasar bebas; dan meningkatnya resiko dari pergolakan sosial yang terorganisir.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 4)

Siklus Politik Neoliberal: Rejim Gelombang Ketiga

Rejim neoliberal gelombang ketiga, berhasil memperoleh kekuasaan antara tahun 1993 dan 1995. Mereka terdiri dari Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina, keduanya terpilih kembali dalam pemilu, pemerintahan Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Caldera di Venezuela, Gonzalo Sánchez de Losada di Bolivia, dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil. Seperti rejim neoliberal gelombang kedua, apa yang mereka lakukan adalah mempertunjukkan bahwa SAPs bukanlah sebuah fenomena yang telah lalu; pengorbanan sosial bukanlah sebuah kondisi yang sementara di atas jalan panjang menuju kemakmuran yang berlimpah; bahwa lapisan mengenah bawah dan kelas pekerja kini mengalami spiral menurun berlanjut dari kemerosotan standar hidup, sebagai stabilisator sementara yang akan diikuti oleh satu tindakan-tindakan penyesuaian baru yang semakin mengerosi standar kehidupannya. Dengan peningkatan SAPs ini, para intelektual dan profesional mengalami kenyataan bahwa mobilitasnya semakin menukik. Sebaliknya, SAPs memberikan kemudahan berupa spiral menaik kepada kelompok superkaya, menciptakan polarisasi sosial dan menghancurkan ilusi-ilusi yang tersisa tentang retorika penghapusan kelas modernisasi neoliberal.

Di Peru, ketika lembaga-lembaga keuangan internasional mencurahkan pujiannya kepada Fujimori atas komitmennya pada reformasi neoliberal, lebih dari separuh populasi hidup di bawah garis kemiskinan dan kurang dari satu dari sepuluh orang Peru memiliki pekerjaan yang tetap selama periode pertumbuhan ekonomi. Yang sangat mendesak adalah proyek sosial ketika ekonomi informal bertumbuh dengan cepat. Pada April 1996, perdana menteri Dante Córdova dan lebih dari separuh anggota kabinet, mengundurkan diri dari jabatannya karena kegagalan Fujimori meneruskan komitmennya untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menanggulangi masalah-masalah kemiskinan.

Bertekad untuk tidak membiarkan adanya oposisi terhada agenda neoliberalnya, Fujimori tetap meneruskan langkah-langkah reformasinya. Setelah melakukan privatisasi terhadap kira-kira 173 dari 183 perusahaan negara yang beroperasi pada 1990, pemerintah pada Mei 1996 mengumumkan sebuah keputusan yang tak dapat diubah lagi yakni, menjual seluruh perusahaan minyak negara (Petroperu). Penjualan Petroperu ini kemudian diikuti dengan penjualan semua perusahaan publik yang tersisa pada 1998. Di samping itu, sebuah jajak pendapat umum pada bulan yang sama menunjukkan, hampir 70 persen dari populasi menentang keputusan pemerintah itu, bahkan mayoritas besar menuntut diadakannya referendum tentang persoalan ini. Untuk membendung tuntutan referendum itu, pemerintah membenturkannya dengan amandemen yang membendung siapapun yang menghalangi kebijakan pemerintah.

Pada Agustus 1996, di Argentina gerakan buruh sekarang lebih atau kurang, mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap rejim Menem. Perlawanan itu ditujukan terhadap kebijakan penghematan dan diiringi pengangguran besar-besaran, yang ditetapkan oleh menteri ekonomi yang baru Roque Fernández, seorang monetaris terkemuka lulusan Universitas Chicago, AS. Kebijakan yang diumumkan itu mencakup sebuah paket, termasuk di dalamnya peningkatan harga bahan bakar dan minyak tanah, pemotongan dalam industri dan insentif (rangsangan) untuk promosi ekspor, dan penghapusan subsidi ekspor dan pajak untuk konsesi manufaktur dan impor barang-barang modal. Ia juga mengumumkan bahwa tidak boleh ada pemogokan umum, seperti yang diorganisir oleh General Confederation of Workers (CGT) pada awal bulan. Bagi Fernández, pemogokan hanya akan memperlemah ketetapan pemerintah untuk mendorong pemotongan anggaran yang lebih ketat dan pajak yang lebih tinggi untuk mencapai prioritas yang utama: pertumbuhan defisit fiskal. Pada akhir September, CGT dijadwalkan melakukan pemogokan yang lebih efektif, yang didukung oleh dua organisasi payung yang lain, memprotes kebijakan ekonomi rejim. Menem mencela pemogokan itu, dan menyatakan kembali kebulatan tekadnya untuk terus berjalan dengan program ekonomi neoliberalnya.
Menurut lembaga statistik nasional (INDEC), model distribusi pendapatan telah menjadi lebih terdistorsi semenjak Menem memegang kendali atas kekuasaan politik. Pusat Stusi Makroekonomi Argentina, menaksir bahwa 45 persen dari populasi kerja sekarang ini setengah pengangguran atau tidak mendapat cukup bahan-bahan untuk kebutuhan subsistennya. Sementara itu, sogok menyogok dan korupsi kian mengancam rejim pada kejatuhannya. Beberapa menteri di depan dituduh melakukan aktivitas ilegal untuk memperoleh keuntungan finansial bagi pribadinya, termasuk praktek korupsi yang terjadi pada privatisasi pelayanan pemerintah.

Dengan keberhasilan menggolkan sedikitnya lima proposal utama di lembaga legislatif untuk memudahkan perekrutan dan pemecatan para pekerja, dan secara umum memberi kekuasaan yang besar kepada kapital atas tenaga kerja, merupakan trademark dari dua masa pemerintahan Menem. Pemberi kerja juga memperoleh keuntungan yang besar dari setiap perjanjian bersama sejak 1991: lebih dari 90 persen dari klausul melibatkan prakarsa pemotongan biaya, mengubah syarat pekerjaan, menurunkan gaji, memperpanjang waktu kerja dan mengikat karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya. Pada akhir 1996, Menem memberi tanda bahawa ia akan menyerahkan sebuah paket baru tentang reformasi tenaga kerja kepada Kongres, pura-pura memecahkan masalah pengangguran. Seperti yang telah diuraikan, “flexibilisación,”' perundang-undangan itu lebih lanjut akan membatasi pekerja untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. Sebaliknya, kian memperlemah kelas buruh di hadapan persyaratan-persyaratan pencapaian keuntungan bagi pemilik kapital. Dua gambaran kunci yang memprovokasi perlawanan heroik dari serikat buruh adalah proposal yang akan menghapuskan peraturan tentang uang pesangon dan penghancuran prinsip-prinsip kesepakatan bersama tanpa melalui negosiasi “ke bawah” sehingga keuntungan yang diperoleh dari kesepakatan sebelumnya dipindahkan.

Transisi dari Pérez ke Caldera di Venezuela, membuktikan suatu pengulangan dari kesenjangan antara janji-janji kampanye dan kebijakan rejim baru. Dihadapkan pada krisis ekonomi, defisit, dan inflasi yang bergelombang, Caldera dengan cepat menyimpang dari komitmennya pada penghapusan kemiskinan, dan berpaling pada tindakan-tindakan reformasi terukur yang berpihak pada IMF. Dengan lebih dari 70 persen keluarga-keluarga hidup di bawah garis kemiskinan dan setidaknya 50 persen dari populasi yang aktif secara ekonomis mencari tambahan hidup di sektor informal, obat penawar yang ditentukan dalam putaran lain “penyesuaian” neo-liberal membatasi “stabilisasi” ekonomi itu. Pengendalian harga telah dihapuskan, biaya-biaya bensin meningkat, dan pada Juli 1996 atas persetujuan IMF telah dikucurkan dana sebesar US$ 1.5 milyar dalam bentuk standby credit, sebagai pengganti tindakan-tindakan penghematan yang telah dilakukan pemerintah. Ketika tahun berlalu, keadaan sosial-ekonomi dari tiga perempat dari populasi Venezuela bisa disebut mengalami malapetaka. Pengangguran di antara kelas menengah dan rendah semakin mencapai jumlah jutaan. Sementara itu, solusi neoliberal telah mendorong angka kejahatan lebih tinggi lagi; dimana perdagangan obat-obatan menjadi sektor bisnis yang paling menguntungkan, pencurian mobil telah mendorong minyak tanah dari tempat kedua ke tempat ketiga.

Berkampanye untuk pemilihan presiden Bolivia pada akhir 1993, Gonzalo Lozada, seorang tokoh pertambangan dan arsitek arsitek prinsip-prinsip dari program stabilisasi negara pada 1985, mengatakan kepada pemilihnya bahwa ia akan melanjutkan program restrukturisasi ekonomi rejim Zamora secara berkelanjutan. Program itu ditujukan untuk memberi perhatian pada pengaman sosial (mencakup ketiadaan akses dari separuh populasi pada air yang layak minum dan sistem pembuangan limbah), sesuatu yang dianggapnya telah dilalaikan oleh pendahulunya. Ketika ia berada di kantornya, bagaimanapun, kebijakan ekonomi neoliberal tetap menjadi prioritas utama. Akibatnya muncul ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Lozada. Protes ini dihadapai oleh Lozada dengan mendeklarasikan negara dalam keadaan perang, mencabut seluruh hak-hak konstitusional dan mengambilalih kekuasaan yang tak terbatas pada April 1995. Sebagai hadiah atas kebijakannya melawan latar belakang terjadinya stagnasi upah, pengangguran yang meluas, dan demonstrasi di seluruh negeri yang dilakukan oleh serikat pekerja yang memprotes tindakan deflasioner, Lozada menerima pinjaman lain dari IMF di bawah peningkatan SAPs pada April 1996. Tujuan bantuan IMF tersebut untuk mendukung reformasi neoliberal yang dilakukan Lozada. Belakangan, pemerintah membuat keputusan yang sangat tidak populer yakni, memprivatisasi perusahaan-perusahaan publik, termasuk perusahaan minyak negara (YPFB). Tak ada satu pun partai politik oposisi maupun gerakan serikat buruh yang bisa mencegah persetujuan senat terhadap privatisasi sebagian rekening YPFB pada bulan Mei.

Retorika populis dan komitmen pada reformasi sosial juga menjadi instrumen bagi Fernando Cardoso untuk terpilih sebagai presiden baru Brazil pada 1995. Dan, serupa dengan rejim gelombang ketiga yang lain, mereka dengan cepat tunduk pada sebuah obsesi tentang stabilisasi ekonomi yang mana, pada gilirannya, telah memicu berkembangnya oposisi rakyat. Para pekerja baik di sektor swasta mapun sektor publik, menggerakkan serangkaian pemogokan terhadap rencana-rencana pemerintah untuk “mengurangi” birokrasi dan peningkatan upah minimum yang sangat tidak memadai. Tetapi isu kuncinya adalah kegagalan rejim neoliberal untuk mengatasi masalah pengangguran. Departemen statistik serikat buruh, DIESSE, menghitung bahwa mulai April 1996 lebih dari dua juta orang adalah pengangguran di lima kota utama Brasil: Sao Paulo (di mana resesi industri telah mendorong tingkat tarif hampir 16 persen), Porto Alegre, Belo Horizonte, Curitiba dan Brazilia. Menurut lembaga statistik nasional, IBGE, pengangguran meningkat lebih dari 39 persen antara pertengahan 1995 dan pertengahan 1996. Keadaan ini menjelaskan hasil dari jajak pendapat umum pada Mei 1996, yang mengungkapkan bahwa popularitas Cardoso merosot hingga 25 persen dari semula 68 percent.
Seperti pendahulunya, faktor penting yang mengikis basis politik Cardoso untuk tetap populer (dan bersifat parlementer-) adalah programnya untuk mempercepat proses privatisasi. Singkatnya, sangat terbatasnya pengaruh pada keseluruhan sektor negara antara tahun 1990 dan 1995, sebagian diterangkan oleh fakta ini: perusahaan-perusahaan negara mencatat 60.4 persen asset 500 perusahaan teratas pada 1995, jatuh hanya 7.4 persen; dan 30.5 persen dari perputaran 500 perusahaan puncak pada 1995, hanya jatuh sekitar 7.1 persen. Fokus dari oposisi nasionalis adalah pengumuman terbaru pemerintah mengenai rencana penjualan konglomerat pertambangan CVRD, salah satu dari sepuluh teratas perusahaan perdagangan umum di Amerika Latin dan dengan reputasi yang operasinya layak ditiru.

Di Mexico, rejim neoliberal gelombang ketiga dari Ernesto Zedillo, tidak lebih baik dibanding Salinas atau de la Madrid, dalam meningkatkan kondisi-kondisi sosial-ekonomi massa rakyat. Apakah itu di tempat-tempat kerja, upah, harga atau pelayanan publik. Beriringan dengan pengetatan ekonomi dan kondisi-kondisi fiskal yang dipaksakan oleh Washington dan IMF sebagai ganti “penghapusan” utang multi-miliar menyusul krisis ekonomi post-Desember 1994, Zedillo memperkenalkan suatu rencana penghematan termasuk pemotongan anggaran, peningkatan harga bahan makanan dan listrik, dan kenaikan pajak pertambahan nilai. Tindakan ini, bersamaan dengan devaluasi mata uang peso, semakin memiskinkan pekerja dan kelas menengah. Antara serangan krisis pada pertengahan 1996, dikombinasikan dengan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan dasar dan jatuhnya tingkat upah nyata pada tingkat lebih dari 50 persen, telah melemparkan setidaknya lima juta rakyat Meksiko ke bawah garis kemiskinan. Secara umum dengan sejumlah rejim neoliberal rejim lainnya, bagaimanapun, Zedillo telah dipaksa untuk menarik kembali, sedikitnya untuk sementara, langkah-langkah dan cakupan ambisi privatisasinya. Pada Oktober 1996, ia dipaksa patuh pada tekanan luas dari serikat buruh, partai politik oposisi, dan bahkan sektor dari PRI yang memerintah. Zedillo dipaksa meninjau kembali rencananya untuk menjual semua industri petrokimia milik negara (PEMEX).

Pergeseran ke arah yang lebih militrristik dari versi pendekatan neoliberal selama rejim gelombang kedua, semakin menjadi lebih nyata pada presiden-presiden gelombang ketiga. Pada Pebruari 1996, sebagai contoh, Caldera menggunakan militer Venezuela untuk secara kejam membungkam protes jalanan di Caracas dan memerintahkan untuk tetap siaga menghancurkan setiap oposisi anti pemerintah yang tak dapat dikendalikannya. Di Brasil, pada April, polisi melepas tembakan kepada petani yang menduduki tanah yang tak dikerjakan di negara bagian Para. Sedikitnya, 19 orang mati terbunuh dalam tindak represif ini. Seminggu kemudian, presiden Cardoso memperingatkan bahwa pendudukan tanah akan diperlakukan sebagai suatu isu keamanan nasional, dan angkatan bersenjata akan digunakan untuk mengusir para pemukim liar. Begitu di Brasil, demikian juga di Argentina. Menem tak segan-segan menerjunkan tentara dan tank-tank di jalan-jalan Buenos Aires, untuk memblok demonstrasi damai yang merupakan bagian dari pemogokan umum. Terakhir tapi, bukan yang paling akhir, adalah metoda Zedillo dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang menciptakan basis bagi munculnya para gerilyawan Zapatista di Chiapas. Menghadapi Zapatista, Zedillo telah menempatkan militer secara luas di Meksiko Selatan.

Dukungan rakyat terhadap seluruh presiden neoliberal gelombang ketiga, ambruk atau merosot secara signifikan, justru ketika mereka mulai menjalani masa pemerintahannya. Barómetro Iberoamericano, sebuah survei yang diselenggarakan bersama oleh 14 lembaga-lembaga politik pada akhir 1996 mengungkapkan, naiknya tingkat permusuhan regional terhadap penganjur utama agenda pasar bebas. Rating penolakan tertinggi diperoleh Menem (79 persen), Lozada (63 persen), dan Caldera (60 persen. Alberto Fujimori, yang merupakan preisden paling populer di Peru, bahkan juga mengalami krisis popularitas. Dukungan terhadap pemerintahannya selama 12 bulan pertama kekuasaannya, jatuh sebesar 15 persen dari dukungan semula sebesar 58 persen.

Tidak seperti pada gelombang pertama dan kedua, dimana gerakan protes sosial terhadap rejim berlangsung secara sporadis, sektoral, dan defensif, politisi-politisi liberal gelombang ketiga berhadapan dengan kekuatan rakyat yang terorganisasi dengan sebuah perspektif revolusi sosial. Di Mexico, gerilyawan Zapatista mengungkapan kedalaman krisis ekonomi-sosial dan mendesakkan sebuah tantangan yang mendasar kepada sistem politik nasional. Di Brazil, gerakan pekerja pedesaan tak bertanah (MST), saat ini telah menduduki kekayaan pedesaan di 22 dari 26 negara bagian, sebuah respon yang agresif kepada pemerintah yang tidak melaksanakan reformasi agraria. Di Bolivia, petani Chapare memainkan peran yang sangat penting dalam menentang reformasi agraria pada 1996, termasuk pengurangan 50 persen pajak tanah dan pemberian konsesi-konsesi lain terhadap kelompok kaya.

Di sini dan di tempat-tempat lainnya di benua ini, gerakan tidak hanya menggambarkan sebuah tipe baru oposisi revolusioner yang demokratis kepada politik elektoral neoliberal. Tetapi, juga sukses dalam menarik sektor-sektor terpenting dari kelas menengah ke bawah yang sebelumnya ragu-ragu untuk turun ke jalan, jika tidak bermusuhan, menjadi lebih radikal secara politik dan bertindak secara langsung. Padahal mereka inilah yang sebelumnya menjadi dasar utama dukungan bagi rejim neoliberal. Di Mexico, organisasi penerima pinjaman kecil dan petani menengah (Barzón), para pelaku bisnis dan profesional, telah membangun jaringan dengan Zapatistas; di Brazil, sektor industri nasional dan perdagangan telah menyatakan dukungannya pada tuntutan-tuntutan pekerja pedesaan tak beranah untuk reformasi agraria; di Bolivia, kelompok-kelompok bisnis ukuran kecil menengah juga menyatakan dukungannya kepada para petani coca; di Paraguay, para profesional, wartawan, dan para guru mengartikulasikan minatnya pada gerakan tani.

Derajat keterasingan kelas menengah di kota-kota besar bervariasi. Prasangka yang dilekatkan pada gerakan-gerakan radikal kaum miskin dan kepercayaan yang berlanjut pada model-model konsensus sosial liberal-demokratik lama, untuk sementara menghalangi sebuah pergerakan yang cepat ke kiri. Meskipun demikian, sebuah kumpulan yang menyebut dirinya kiri-tengah pragmatis, gagal untuk mencegah merosotnya kelas menengah ke dalam kemiskinan. Jelas ini mengandung pertanyaan, bahwa politik elektoral dan kelangsungan hidup model neoliberal, justru mempercepat perpindahan, terutama penerimaan di kalangan pekerja sektor publik, ke arah politik ekstra parlementer. Ketika siklus neoliberal memainkan dirinya sendiri ke luar, para pemilih semakin meningkat kecurigaannya pada politik kelas dan kemampuannya untuk menggambarkan proyek ekonomi-politik yang baru.

Dualitas dari politik neoliberal, kampanye populis selama pemilu, dan rejim penghematan pasar bebas, telah melahirkan sinisme yang meluas kepada seluruh politisi. Pada saat yang sama, perspektif kelas ke arah politik telah memperoleh dominasinya dalam gerakan sosial yang menantang doktrin dasar neoliberal, “Tidak ada alternatif.” Gerakan sosial terus bergerak naik ke arah suatu penjelasan proyek politik alternatif, bergerak dari protes melawan kebijakan neoliberal ke arah politik revolusi sosial. Di Brazil, MST sedang memperdebatkan sebuah program yang melampaui reformasi agraris ke sosialisme yang mengatur dirinya sendiri. Di Bolivia, petani coca sudah mengorganisir sebuah gerakan politik baru, “Aliansi Untuk Kedaulatan Rakyat (Alliance for the Sovereignty of the People),” yang menyatukan otonomi bangsa Indian, kepemilikan sosial dan pasar bebas produksi coca. Di Paraguay, Federasi Petani Nasional (the National Peasant Federation)” secara terbuka menggambarkan sebuah program sosialis di mana kepemilikan publik dan koperasi pedesaan adalah tandingan terhadap gaya “statisme” Stroessner dan pemerintahan liberalis Wasmosy. Pemisahan antara gerakan sosial dan politik telah menjadi barang lapuk. Definisi politik dari gerakan sosial mengambil tempat tanpa bercermin pada ramalan eksternal termasuk pencarian debat dan mengeksplorasi wilayah-wilayah baru melalui diskusi.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 5)

Dari Kritik Menuju Perayaan: Akar-akar Agenda NeoLiberal

Dalam analisis tentang siklus politik Amerika Latin, adalah penting mengajukan pertanyaan “mengapa suara-suara yang menentang neoliberalisme yang diterjemahkan dalam bentuk pemilihan rejim pengganti yang menyertainya, menerapkan kebijakan yang sama? Pertama, kita telah melihat pada seluruh kasus, kaum neoliberal tidak mengampanyekan program politiknya; mereka tidak menjanjikan upah yang lebih rendah, menghancurkan negara kesejahteraan, mengurangi pensiun, meningkatkan harga bahan-bahan makanan esendial dan pelayanan sosial yang mendasar. Sebaliknya, kaum neoliberal mengidentikkan dirinya sebagai populis, mengecam pejabat-pejabat neoliberal dan menjanjikan perubahan yang mendasar. Dalam pertarungan untuk menempati jabatan kepresidenan, slogan populis dan nasionalis dangat mendominasi; para kandidat berjanji untuk menyelesaiakn masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran; para penganjur utama doktrin pasar bebas dikecamnya habis-habisan sehingga di mata rakyat mereka tampak sebagai musuh bersama yang mesti dienyahkan dari panggung kekuasaan politik. Tetapi, sekali kursi kepresidenan sudah didudukinya, komitmen penganut pembaharuan adalah membudak kepada penyesuaian gaya IMF dan program stabilisasi yang sama kerasnya dengan rejim neoliberal sebelumnya yang telah dihujatnya habis-habisan. Rejm baru ini menghancurkan seluruh sistem kesejahteraan sosial, menghapuskan undang-undang perlindungan pekerja, menarik ke bahwa spiral upah, meningkatnya pengangguran dan pertumbuhan sektor ekonomi informal, sehingga menyebabkan kemiskinan rakyat yang semakin meluas.

Program kampanye pemilu berhubungan terbalik dengan politik pasca pemilu. Neoliberalisme telah menghina proses pemilu dengan memarjinalkan badan pembuat undang-undang, pada periode pasca pemilu. Di bawah neoliberalisme, politik pemilu menjadi tidak berarti sebagai metode yang menyediakan aneka pilihan yang penuh arti kepada pemilih, di mana harapan pemberi suara berkorelasi dengan hasil pemilu. Hasilnya menyangsikan keseluruhan isu dari pemerintah pilihan rakyat. Pemilu yang tidak representatif adalah hasil fundamental dari karakter elitis neoliberalisme; dimana kebijakan sosial ekonomi bertentangan dengan pemilu yang bebas. Di bawah pemerintahan militer, tindakan-tindakan neoliberal diumumkan secara terbuka dan dipaksakan. Di bawah pemerintahan sipil, kebijakan neoliberal diterapkan secara terselubung dan dipaksakan melalui mandat pemilu palsu. Legitimasi palsu (pseudo-legitimacy) dari rejim neoliberal menyandarkan dirinya pada asumsi palsu bahwa pemerintah “dipilih secara bebas.” Tetapi politikus hasil pemilu hanya merupakan wakil sebuah posisi yang dipertahankan di depan umum. Dari konteks politis, proses pemilu kekurangan legitimasi sebagaimana pada contoh lainnya disebut politik kotor. Secara umum, kampanye pemilu neoliberal adalah manipulatif untuk mengamankan perolehan suara yang secara diametral bertentangan dengan dukungan mayoritas pemilih. Oposisi itu tak hanya dalam bentuk luruhnya kepercayaan tapi, terutama pada gagasan tentang pemerintahan perwakilan. Siklus neoliberal, reproduksi rejim neoliberal, juga menjadi basis bagi para politisi tangguh untuk mendistorsi (menyimpangkan) proses pemilu melalui manipulasi kesadaran; kian mendalamnya jurang antara pilihan (preferensi) pemilih dengan praktek dari kelas politik dan antara proses pemilu dan kebijakan yang dihasilkannya.

Alasan kedua oposisi publik terhadap neoliberalisme yang diterjemahkan ke dalam pemilihan neoliberal adalah kekuasaan kelompok-kelompok ekonomi teorganisasi di luar proses pemilu. Penentu utama kebijakan politik bukanlah pilihan pemilih tapi, melekat pada struktur sosial ekonomi dimana politisi hasil pemilu beroperasi. Yang pertama, percaya bahwa kelas buruh hanya akan eksis dalam relasi kepemilikan kapitalistik, sirkuit internasional dan jaringan kerja keuangan. Dengan visi seperti ini, otomatis tak ada pilihan lain kecuali mengakomodasi kebijakan mereka pada kepentingan-kepentingan ekonomi mendasar konfigurasi ini. Aktor-aktor kapitalis kunci, nasional dan internasional, produktif dan finansial, dasar keputusan investasinya mengabdi pada model neoliberal. Hasilnya, politisi-politisi kapitalis yakni, mereka yang mencoba “mengatur” atau mengubah aturan-aturan tentang investasi, untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan sosial dari mayoritas pemilih, tak terelakkan lagi telah “memprovokasi” pelarian modal, jatuhnya investasi dan penghapusan aliran keuangan eksternal. Politisi-politisi yang terpilih, untuk mengantisipasi kemungkinan krisis kepercayaan investor, dengan cepat mengingkari janji-janji masa kampanyenya. Mereka segera menerapkan “agenda yang lain,” agenda yang terselubung.

Hari ini, pusat pengambilan keputusan sistem politik berhubungan dengan neoliberal, dan tidak ada ruang kelembagaan untuk mengimbangi kekuatan sosial yang mengusulkan alternatif bagi sebuah strategi kapitalis. Situasi ini memberi peluang bagi polisi-politisi reformis atau populis untuk mengangkangi retorika masa kampanye mereka, yang mengusulkan adanya sebuah kekuatan sosial yang terorganisasi atau lembaga yang berwibawa sehingga menghasilkan pertanggungjawaban politik. Pada akhirnya, melalui pemilu semuanya menjadi lembah.
Alasan ketiga mengapa neoliberalisme mereproduksi dirinya sendiri di samping oposisi elektoral tersebar luas, bisa ditemukan pada lingkungan akomodatif dari politisi-politisi kiri tengah (centre-left politicians). Di samping mandat pemilu untuk mengubah, sebuah ideologi yang mengaku menentang neoliberalisme dan sebelum melakukan oposisi politik, kiri-tengah dengan cepat terserap ke dalam konfigurasi kekuasaan neoliberal.

Sejarah masa lalu (latar belakang sosial dan perjuangan), tidak berpengaruh pada lingkungan politik kiri-tengah sehingga mendadak menjadi faktor kontekstual: komitmen ideologis menjadi tidak penting ketimbang kepentingan politik sempit; mandat pemilu menjadi tidak relevan sebagai sarana mempertinggi harga diri. Faktor-faktor kontekstual, kepentingan politik dan harga diri menerima keunggulan neoliberal di dunia kini karena mereka bergema bersama dengan etos dominan saat itu. Politisi-politisi kiri-tengah menyalahkan neoliberalisme dalam teori: dalam praktek, mereka erat tertarik pada etika pencarian keuntungan yang mudah dan depat melalui transaksi umum dan swasta. Proses ini dimudahkan dan disahkan oleh wacana privatisasi. Bagi para borjuis kecil (petty bourgeois) (dan tidak sedikit bekas pekerja), mobilitas sosial ke atas melalui politik praktis telah menjadi sebuah kebutuhan pokok. Di masa lalu, oportunisme ini telah dikendalikan sampai derajat tertentu atau dicek oleh institusi kelas yang kuat (yang dipimpin oleh para pemimpin bertanggung jawab) dan yang dihukum oleh resep-resep moral yang ketat. Hari ini ketidakpuasan mayoritas rakyat tidak terlembagakan; etika kelas telah dikikis. Sebagai hasilnya, politisi-politisi kiri-tengah bebas mengapung ke seberang peta sosial dan politik yang mendefinisikan kembali istilah “menentang neoliberalisme.” Terminologi seperti (itu) cukup samar-samar seperti mengijinkan berbagai format dari “modernisasi” pro-kapitalis, sebagai muslihat di atas permukaan alternatif rakyat yang tidak populer.

Reproduksi neoliberalisme, juga bisa dianalisis dalam kaitan dengan kesinambungan kelembagaan antara rejim militer dan sistem pemilu yang baru. Debat tentang “transisi” dari kediktatoran menuju demokrasi, secara khas mengabaikan atau memalsukan sebuah elemen kunci: keberlanjutan kekuasan sosial-ekonomi, lembaga negara dan model pembangunan. Rejim pemilu bukannya bersedia atau berkeinginan menantang parameter kebijakan yang kaku yang diciptakan oleh kapital domestik dan internasional. Untuk melakukannya, kita harus menyangsikan asal-usul dari seluruh pakta politik yang mengijinkan politisi elektoral muncul dari ketidakjelasan. Warisan sejarah dan pengenalan batasan-batasan kebijakan telah menjadi bagian dari kebangkitan kembali budaya politik elektoral. Pelanggar dari pakta politik ini menghadapi masa depan krisis kepercayaan investor dan di luar ancaman berkuasanya kembali pemerintahan militer. Di bawah hegemoni neoliberal, kekuasaan baru dari permainan elektoral mengijinkan partai oposisi bebas lepas untuk menyerang neoliberalism hingga ke kantor pemerintah. Tetapi, begitu kekuasaan direngkuh, mereka diminta tanggung jawabnya untuk mempercepat penerapan model neoliberal. Kebebasan, dalam makna demokrasi pasar, melibatkan percakapan dengan rakyat dalam kampanye pemilu, dan sekali berkuasa, bekerja untuk menjadi kaya raya.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 6)

Memiskinkan Masyarakat: Krisis Berganda Dalam Neoliberalisme

Problem mendasar neoliberalisme adalah ia tidak mampu menciptakan suatu kebijakan yang dapat diramalkan stabil dengan harapan yang didukung oleh pertumbuhan berkelanjutan dan keuntungan berlipat yang menghasilkan konsolidasi jangka panjang. Meskipun demikian, rejim yang menyertai pendekatan ini sudah mengungkapkan suatu kapasitas yang gaib untuk reproduksi diri mereka sendiri. Keadaan tanpa alternatif ini mendorong suatu radikalisasi lebih lanjut dari “penyesuaian” dan “stabilisasi” tindakan menyertainya secara lambat, tetapi pasti, pertumbuhan gerakan oposisi sosial-politik menentang aturan dan model mereka.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para penganjur model ini adalah, “mengapa neoliberalisme menyebabkan kita terjerambab ke dalam krisis yang lebih dalam pada setiap gelombang baru penyesuaian ketimbang kemakmuran dan ekonomi lepas pandas?” Kunci untuk memahami SAPs adalah dengan mengonseptualisasikan kembali pengertian tentang politik dan strategi kelas. Karena, inilah sebab utama untuk mengubah wilayah perjuangan sosial dan mengonsentrasikan kembali kekuasaan politik, seperti halnya memperluas jurang kemakmuran antara yang kaya dan yang miskin. Wacana tentang pembangunan sosial-ekonomi adalah sebuah pemikiran yang berada di pinggiran (peripheral). SAPs didahului oleh tindakan “stabilisasi” yang berwatak politik, yang menciptakan tanah tak bertuan untuk semakin dalamnya “penyesuaian” berikutnya.

Tipikal dari tindakan “stabilisasi” menciptakan penghalang bagi munculnya resistensi rakyat terhadap SAPs yang semakin menyulitkan mereka. “Stabilisasi” menyebabkan terjadinya krisis ekonomi, yang mengakibat kekuatan kelas buruh dan kelas menengah terkonsentrasi dalam perjuangan untuk keberadaannya. SAPs juga melemahkan gerakan rakyat dengan target membentengi buruh terorganisasi, khususnya sektor publik, buruh tambang dan perserikatan minyak tanah. Dalam lingkungan sedemikian, para pemimpin buruh dengan cepat dikepung dan ditakut-takuti dengan ancaman dipenjarakan. Di Argentina, Brazil dan Venezuela, di mana serikat buruh mengurus multi-jutaan dolar anggaran kesehatan dan kesejahteraan, para pemimpinnya segan untuk memobilisasi oposisi politik terhadap “penyesuaian,” karena sumber daya moneter dan organisasinya berada dalam bahaya jika menentang “stabilisasi.”
Dibandingkan dengan asumsi dasar pemikiran ekonomi SAPs, sangat relevan untuk menekankan logika politik yang mendasari kebijakan “stabilisasi” dan konsekwensi-konsekwensi ekonomi-sosialnya. Kebijakan neoliberal hanya menyumbang sedikit pada pembangunan ekonomi. Privatisasi atau penjualan aset publik hanya menyumbang sedikit bagi fasilitas produktif baru. Paling baik, terjadi tambahan investasi, tetapi sebagian besar adalah aliran masuk sumberdaya asli sebagai lawan pengimbang bagi aliran keluar yang lebih besar ke kantor pusat (sebagai hasil depresi pasar Amerika Latin). Privatisasi besar-besaran perusahaan milik negara bergandengan tangan dengan kehancuran ekonomi secara besar-besaran, menciptakan masalah pembayaran. Dan itu semua tak ada jalan keluarnya.
Liberalisasi perdagangan, penghapusan secara sepihak atau pengurangan yang drastis tentang tarif, gagal menciptakan perusahaan yang kompetitif. Keadaan ini mendorong terjadinya kebangkuran secara massif, penguasaan pasar oleh sejumlah kecil perusahaan-perusahaan besar dan/atau ketergantungan yang tinggi pada impor luar negeri. Antara tahun 1986 dan 1994, kegagalan produk ekspor bisa seiring dengan impor yang mentransformasikan neraca perdagangan wilayah yang positif dalam jumlah besar menjadi defisit sebesar $US 18 milyar. Pembukaan perdagangan berasumsi bahwa goncangan dari kompetisi akan mempercepat perusahaan untuk meningkatkan kecanggihan tekonologinya, meningkatkan mutu angkatan kerja mereka, menemukan pasar luar negeri dalam kerangka waktu dan konteks global yang jauh melebihi kapasitas setiap negeri atau perusahaan dibandingkan dengan tahapan perkembangannya. Penerapan dari kebijakan mengenai perdagangan terbuka ini independen terhadap kekhususan sejarah dan kemampuan suatu negeri mencerminkan asal-usul mereka di dalam sistem kepercayaan doktrinalnya ketimbang seluruh sejarah atau konteks situasi yang empirik.

Liberalisasi arus keuangan tidak menyumbang pada investasi modal baru dalam skala besar dan aktivitas produktif jangka panjang. Arus keuangan terbaru lebih mengarah pada pengejaran tingkat bunga tinggi dalam jangka pendek dan keinginan pemerintah untuk memperkuar cadangan asing, mengadakan pertemuan untuk pembayaran hutang atau keseimbangan keuangan eksternal. Pada 1990, investasi portofolio tercatat sekitar 3.7 persen dari seluruh investasi asing di Amerika Latin; selama 1993 sampai 1995, jumlah tersebut melonjak hingga mencapai angka 42 persen dan 62 persen. Deregulasi keuangan sering dihubungkan dengan pertumbuhan spekulan modal: masuk gampang dan keluar cepat. Praktek yang bersifat untung-untungan ini lalu ditiru oleh investor lokal yakni, mereka yang mengambil keuntungan dari deregulasi untuk memindahkan modalnya ke dan dari rekening-rekening luar negeri atas dasar pergeseran di dalam tingkat bunga yang terintegrasi pada pembukaan, peningkatan biaya pinjaman untuk produsen lokal dan perilaku pengusaha yang memeras keuntungan dari pembayaran bunga. Hasil dari meningkatnya jumlah utang pada bank, moda produktif pada umumnya melakukan tekanan pada pengurangan upah dan pembayaran sosial bagi pekerja. Sebagian besar pemberi mensubkontrakkan pekerjaannya kepada apa yang disebut sektor informal atau mengalihkan modalnya dari investasi produktif yang lambat pertumbuhannya ke dalam aktivitas perputaran komersil yang tinggi atau surat utang (obligasi) pemerintah yang menguntungkan. Dengan kata lain, strategi neoliberal hanya makin mengonsentrasikan keuntungan pada pihak swasta dan meningkatkan ketergantungan pada pihak asing dan monopoli kepemilikan ketimbang, merangsang keahlian pengusaha, investasi produktif atau membayar pekerja dengan baik.

Bahkan, yang tidak meyakinkan adalah argumentasi neoliberal bahwa pengurangan secara besar-besaran anggaran sektor sosial akan membantu pengusaha dan investor untuk menghapuskan biaya-biaya berlebihan yang selalu merintangi akumulasi dan pertumbuhan. Pemotongan program-program sosial mengikis produktivitas buruh dan mendorong tingginya perputaran pekerja. Kebijakan itu juga menyebabkan hilangnya keahlian yang dihubungkan dengan stabilitas ketenaga-kerjaan. Strategi ini juga mendorong investasi padat karya yang mana, pada gilirannya, memperlemah rangsangan untuk melakukan riset dan pengembangan yang menciptakan inovasi teknologi baru. Pertumbuhan neoliberalisme telah menelurkan suatu angkatan perang yang luas dari tenaga kerja “informal” (terlepas dari manfaat sosialnya) yakni, mereka yang tidak memiliki masa depan dan sering terlibat dalam aktivitas obat terlarang dan pasar gelap. Di Brazil, sebagai contoh, ekonomi “informal” tercatat hampir 30 persen menyumbang pada sirkulasi pajak di dalam sistem keuangan negeri itu pada 1992, setara dengan kira-kira 60 persen GDP tahunan. Dan sebagian besar hal itu berhubungan dengan perdagangan obat terlarang dan aktivitas keuangan ilegal, korupsi dan penyelundupan. Keuntungan tinggi yang terus bertumbuh ternyata tidak diinvestasikan ke dalam pasar domestik yang sedang mengalami depresi, dengan sejumlah besar pekerja atau konsumen berpendapatan rendah. Justru yang terjadi, keuntungan tersebut diinvestasikan pada pasar luar negeri (Mercosur, NAFTA) dan spekulasi global.

Gagasan dasar neoliberalisme sesungguhnya adalah memprioritaskan pembayaran utang luar negeri melebihi atau di atas kepentingan pembangunan domestik. Argumentasinya, kepercayaan investor/kreditor luar negeri penting untuk mengamankan arus masuk modal dalam pembangunan kembali ekonomi. Dalam prakteknya, kewajiban untuk secara total membayar utang luar negeri tepat pada waktunya telah mendorong terjadinya kerusakan infrastruktur fisik: jalan-jalan, sistem transportasi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang semakin buruk, terkecuali fasilitas pribadi untuk para elite. Transportasi atau jaringan pemasaran yang terkait dengan sektor produktif telah digantikan oleh sebuah pusat sistem “suara” yang terhubung dengan kantong-kantong produktif di kota-kota pusat aktivitas ekspor untuk pasar luar negeri. Pembangunan kantong-kantong tersebut menghasilkan statistik pertumbuhan ekspor yang tinggi dan capaian pembayaran hutang yang baik. Tapi, akibatnya sebagian besar propinsi secara ekonomi tak tergarap. Penghancuran infrastruktur, berhubungan dengan dipangkasnya investasi modal negara di bidang komunikasi dan transportasi, telah mengurangi minat untuk investasi produktif khususnya di luar kota besar. Kemunduran pendidikan publik dan perluasan pendidikan swasta elit, juga berhubungan dengan spesialisasi ekonomi yang merupakan makanan empuk bagi pasar luar negeri dan investor spekulatif. Spekulan modal dan pemilik utang luar negeri pada akhirnya mengontrol populasi angkatan kerja yang lemah akibat stagnasi ekonomi.

Keterbukaan pada modal asing (khususnya penghapusan proteksi bagi sektor-sektor strategis) melalui deregulasi, insentif pajak dan wilayah perdagangan bebas, menyebabkan terjadinya investasi dalam produksi impor dengan nilai tambah kecil (pabrik perakitan, pertambangan, kehutanan, kelautan, dan pertanian). Penghapusan atau penurunan pajak bagi perusahaan multinasional, menyebabkan kemerosotan pendapatan negara dan peningkatan pajak bagi bisnis lokal dan mereka yang memperoleh upah. Usaha mengganti kerugian akibat merosotnya pendapatan perusahaan melalui pemotongan anggaran sosial, merupakan bahan bakar meletusnya kerusuhan sosial. Keadaan ini dalam jangka panjang menggerogoti investasi produktif skala besar. Neoliberalisme menciptakan budaya investasi yang bersandar pada tenaga kerja murah terus menerus. Investasi sosial minimal adalah kondisi khusus yang ditetapkan untuk investasi baru atau investasi yang berkelanjutan. Rendahnya biaya tenaga kerja tidak melulu untuk menarik modal agar masuk tapi, sebuah susunan dan sebuah kondisi yang diasumsikan untuk investasi kapitalis yang “normal.”

Jadi, pengorbanan kelas pekerja bukan sebuah syarat jangka pendek bagi kemakmuran. Melainkan, sebuah kondisi struktural jangka panjang untuk konsentrasi pendapatan. Dengan merosotnya pasar internal, rata-rata tingkat kebangkrutan bisnis dan pertanian yang tinggi, ketergantungan pada impor yang besar dan biaya-biaya uang yang tetap tinggi (yang digunakan untuk pembayaran utang luar negeri, ketidakseimbangan eksternal, pelarian modal), rejim neoliberal menghadapi defisit anggaran domestik dan membutuhkan pinjaman eksternal. Untuk menjamin dukungan keuangan eksternal, bagaimanapun, mereka harus menerapkan SAPs baru, yang pada gilirannya menciptakan kembali kondisi-kondisi untuk krisis yang baru. Proses ini terus berlanjut mengikuti spiral yang tetap: upah yang merosot dan hancurnya kondisi-kondisi sosial, sementara kelas dalam negara dan sektor swasta terkait dengan sirkuit baru pertumbuhan kekayaan. Kepemilikan asing pada sumberdaya-sumberdaya semakin berlipatganda, sehingga tingkat bunga dan keuntungan semakin tinggi berlanjut pada spiral menaik yang menciptakan sebuah klas baru yang supermilioner.


Baca selengkapnya!

Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 7)

Kesimpulan

Dari tinjauan historis singkat di atas, kami menyimpulkan bahwa neoliberalisme pada intinya adalah siklus “penyesuaian:” spiral menurun bagi kelas menengah dan pekerja dan spiral menaik bagi perusahaan multinasional, pemilik bank, dan kelas berkuasa domestik yang terhubungan dengan negara dan sirkuit eksternal. Dialektika “penyesuaian” tampak pada polarisasi struktur kelas yang tinggi. Ketika gaji jatuh dan sumberdaya-sumberdaya domestik diambilalih oleh modal asing, pejabat publik dan kelas politik tidak bisa menghimpun kekayaan melalui jalur yang normal.

Neoliberalisme kemudian menjadi suatu doktrin yang menarik untuk memudahkan praktek korupsi, termasuk komisi-komisi dan kerjasama bagi pejabat publik yang mengetuai proses privatisasi itu, imbalan keuangan dari kapialis lokal untuk perdagangan dan konsesi-konsesi sumberdaya, dan dukungan bagi kesepakatan perburuhan yang pro bisnis.

Etika baru tentang kekayaan pribadi mengikis aset publik dan mengubah sebagian besar politisi elektoral menjadi penganut neoliberal. Ke luar dari sektor publik bermakna, mengambil sejumlah besar kekayaan untuk kepentingan pribadi dalam jangka pendek, sebelum sektor swasta mengambilalih semuanya. Pada gilirannya, negara korup memudahkan terjadinya akumulasi kekayaan pribadi yang menjadi basis bagi kerjasamanya dengan sektor swasta yang mendapatkan keuntungan dari penjualan perusahaan-perusahaan publik. Dengan perilaku seperti itu, sebuah pembacaan politik terhadap SAPs menyediakan kerangka yang lebih sesuai dalam memahami neoliberalisme, ketimbang mengakuinya sebagai suatu strategi ekonomi.
Siklus neoliberal elektoral dan spiral ekonomi-sosial berlanjut secara tumpang tindih. Setiap saat selalu menyediakan kondisi-kondisi yang lebih radikal untuk tindakan sosial dan politik. Suatu patahan dalam siklus ini tidak ditentukan secara struktural tapi, tergantung pada intervensi kesadaran politik yang tumbuh dari gerakan kelas bawah secara bersamaan. Selama ini, politik oposisi telah dibelokkan pada setiap titik krisis neoliberal karena ketiadaan sebuah alternatif sosialis yang sistemik. Itu sebabnya, proses gerakan di luar neoliberalisme, tidak hanya berupa naluri sosial tapi, harus dimulai secara politik. Analisa kami menyarankan gerakan sosial-politik yang baru, memiliki tantangan yang besar di luar kerangka kerja elektoral. Selama gerakan oposisi berkutat pada proses pemilu untuk menghancurkan rejim neoliberal, selama itu pula akan terus menuai kegagalan. Sebabnya, kerangka kerja pemilu sangat membatasi operasi gerakan oposisi selanjutnya. Bagi kami, penghancuran neoliberalisme hanya mungkin berlangsung di gelanggang ekstra-parlementer, oleh kekuatan politik yang bergerak di luar pragmatisme politik kiri-tengah (centre-left).


Baca selengkapnya!